Sebelum Axel berjalan mendekat ke arah ranjang, Niken sudah menyibakkan selimut dan melompat turun. Dia berlari meninggalkan kamarnya dan bergegas pergi ke dapur untuk membersihkan kekacauan yang sudah dia buat. Axel Masih berdiri di depan ranjang Niken. Diam-diam dia tertawa melihat tingkah laku Niken yang panik. “Rasakan itu! Jangan coba-coba untuk mempermainkanku,” ujar Axel sambil kembali merapikan pakaiannya. Niken mulai membersihkan dapur. Setelah membuang sampah, dia mencuci piring-piring yang menumpuk di wastafel. Mulutnya terus menggerutu dan mengumpat. Dia kesal pada Axel. Saat Niken membilas piring, tiba-tiba Axel berjalan melewatinya. Gadis itu meletakkan piring dan bersandar dengan satu tangan pada wastafel. Dia pegangi kepalanya dengan tangan yang lain. “Aduh....” rintik Niken. “Kepalaku sakit sekali!” Dia berpura-pura kesakitan di depan Axel. Axel akan mengambil air di kulkas. Mendengar rintihan Niken, dia batal melakukannya. Axel melirik ke arah Niken dengan tata
“Aku tak ingin kau pergi!” ujar Axel dengan nada memohon. Pria itu berada di lantai dasar. Dia duduk dalam kegelapan dengan punggung merunduk.Niken terjaga di malam hari. Gadis itu mendengar suara-suara dari lantai dasar dan segera beranjak dari tempat tidur untuk memeriksa. Niken berdiri di bordes lantai dua dan melongok ke bawah.“Axel? Apa yang dilakukan di dalam kegelapan?”Niken tidak tahu kalau Axel sudah kembali ke rumah. Saat Niken kembali dari swalayan dia mendapati rumah dalam keadaan kosong. Niken tertidur untuk beberapa jam.“Aku tak ingin kau pergi. Tak bisakah kau bersamaku?” Axel mengulangi kata-katanya lalu mendesah sambil mengibaskan tangan ke udara. “Aku amat menyukaimu. Aku mencintaimu.”Axel mengucapkan kalimat terakhir dengan nada lebih keras seolah-olah dia sangat menderita. Setelahnya, dia tiba-tiba merasa pusar. Axel mengacak-acak rambutnya sendiri lalu duduk dengan bahu melorot.“Sudah lama aku mencintaimu.” Axel berbicara dengan nada lebih rendah. “Tak bisak
“Kau?” Niken gemetar. Dia bahkan tak berani menyebutkan nama orang itu dengan bibirnya saat ini. “Yah, ini aku!” Ucap pria itu. “Andrew. Mantan kekasihmu.” Dia menyeringai tepat di depan Niken. Niken mundur ketakutan dan menutupkan syal ke mulutnya. “Maaf,” ujar Niken. “Kau pasti salah mengenali orang.” Dia mundur dan cepat-cepat berpaling dari sana. Andrew menarik tangan Niken tepat waktu. Dia cengkeram tangan gadis itu dengan kuat sampai Niken merintih. “Kau tak bisa membodohiku. Kau tak bisa pergi dariku, Niken Raswani!” Andrew juga menarik syal yang menutupi wajah Niken. Gadis itu memucat dan ketakutan. Matanya bertemu dengan mata Andrew. “Lepaskan aku!” ujar Niken sambil menyentak tangan Andrew dari lengannya. “Aku tak ada urusan denganmu. Kau sudah mencampakkanku demi Katty. Kenapa sekarang kau mengikuti dan menggangguku?” Andrew menyeringai. “Jadi ini memang kau! Awalnya, aku pikir Katty mengatakan omong kosong ketika dia berkata melihatmu di pusat perbelanjaan Manhattan
Andrew masih mencengkeram tangan Niken dan tak ada niat untuk melepaskan gadis itu sampai dia mendapatkan apa yang diinginkan. “Lepaskan aku, keparat! Kau pikir bisa memerasku? Jangan bermimpi!” Adrew berdecak. “Lihatlah dirimu sekarang! Kau merasa lebih berani setelah mendapat dukungan para pria kaya yang kau tipu? Kau pikir bisa bersenang-senang sendirian? Aku tahu kau masih mencintaiku, Niken!” Dengan satu tangannya yang bebas, Andrew menarik tas Niken dan memeriksanya dari dekat. Dia menyeringai. “Kau bahkan mengenakan tas seharga ratusan ribu dolar. Kau benar-benar tahu cara bersenang-senang. Gadis murahan. Kau sama seperti ibumu. Pelacur!” “Tidak! Ibuku bukan pelacur!” Niken menjerit seperti orang gila dan terus memberontak untuk membebaskan diri dari Andrew. Wajah Andrew terlihat mulai panik. Dia melirik ke sekitar dan orang-orang mulai memperhatikan mereka. “Aku akan membiarkanmu bebas kali ini. Tapi, ingat, aku akan kembali kapan saja. Dan saat aku kembali, kau harus m
“Apa yang terjadi?” Axel sudah berdiri di depan Niken. Gadis itu masih duduk sendirian di bangku taman dengan wajah tertunduk. Kedua tangannya memeluk dada. Niken menggigil. Axel melihat kerapuhan dan ketakutan pada wajah gadis itu. Axel segera melepas jasnya dan menyelimutkan ke bahu Niken. “Kau baik-baik saja?” Axel berlutut di depan Niken dan memeriksa gadis itu. “Bisa kau bawa aku pergi dari sini?” Suara Niken lirih berusaha menahan tangis. “Yah, tentu saja. Kau bisa berjalan?” Niken mengangguk lemah. Axel membantu gadis itu berdiri dan mereka menuju ke mobil yang diparkir di depan taman. Mereka berkendara dalam keheningan dan kembali ke penthouse Axel yang terletak di lantai 96 di pusat Manhattan. Setibanya mereka di penthouse, Niken masih tetap membisu. Dia bahkan tak menatap Axel sama sekali. “Terimakasih karena sudah datang.” Setelah mengucapkan terima kasih, gadis itu berjalan gontai menuju ke kamarnya.
Niken keluar dari mobil begitu Marco menghentikannya di sebuah halaman rumah pantai yang sangat mewah. Gadis itu terkejut bukan main. Dia segera berlari menuju ke halaman rumah yang menyatu dengan pasir pantai. “Ini gila!” seru Niken tak percaya. “Benarkah aku akan tingggal di sini mulai sekarang? Wow, ini menakjubkan. Benar-benar sebuah rumah pantai impian.” Marco yang membantu membawakan barang-barang Niken sudah berdiri di belakang gadis itu. “Masuklah, Nona. Ini kuncinya,” seru Marco. “Bagaimana denganmu?” “Tugasku hanya mengantarmu sampai di sini, Nona. Kau bisa masuk dan beristirahat sampai Tuan datang. Kami juga sudah menempatkan penjaga yang akan mengawasi tempat ini selama 24 jam penuh. Kau tak perlu khawatir tentang keamanan.” “Apa itu artinya kalian hanya memindahkan penjaraku dari penthouse ke rumah pantai ini?” Niken berkata sambil mengangkat sudut bibirnya penuh kebencian. Dia merebut kunci dari tangan Marco denga
Niken mendengar pintu yang terbanting menutup. Dia yakin Axel baru saha meninggalkan rumah. Gadis itu segera menuju ke balkon dan benar-benar melihat Axel tengah berjogging di sepanjang pantai. “Olahraga saat dingin begini?” Niken tiba-tiba memeluk tubuhnya sendiri membayangkan rasa dingin itu. Gadis itu segera berlari menuruni anak tangga menuju ke halaman samping rumah. Saat musim semi atau panas, seharusnya halaman itu ditumbuhi dengan rumput dan bung-bunga yang indah. Niken tidak sabar menantinya. Dia membungkuk mencari cincin yang sebelumnya dilempar oleh Axel ke halaman. Dia menyibak kerikil dan melototi permukaan tanah dengan sangat cermat. “Jika aku bisa menjual cincin berlian itu, setidaknya aku bisa mengurangi utangku padanya.” Niken sangat bersemangat. “Sedang apa kau?” tegur Axel. Niken terlonjak kaget. Dia hampir bersimpuh di permukaan tanah. Niken tidak mengira jika Axel akan kembali secepat itu. “Sedang apa kau?”
Axel tidak mungkin tidak menghadiri undangan acara peluncuran majalah film tersebut. Karena itu adalah undangan Louis Marais, adik tirinya. Axel mengemudikan mobil sampai tiba di sebuah gedung yang difungsikan sebagai peluncuran majalah perfilman. Dia menyerahkan kunci mobil pada seorang bellboy dan bergegas masuk ke lokasi acara. Tepat sebelum sang bellboy membuka pintu dan akan mengantarkan mobil ke tempat parkir, Niken tiba-tiba muncul dari bangku belakang. Sang bellboy terkejut karena melihat seorang perempuan masih tertinggal di bangku belakang mobil. Niken menyeringai dan menjelaskan dengan singkat pada sang bellboy. “Ya, Bosku sedang buru-buru sampai dia meninggalkan aku di sini. Maaf karena mengejutkanmu. Tolong jaga mobilnya. Aku akan menyusul Bos ke dalam,” ujar Niken dengan gugup. Dia takut jika kebohongannya akan terbongkar. Sejak sore, Niken berpura-pura masuk dan mengunci diri di dalam kamar. Tapi sebenarnya diam-diam dia menyelinap ke g
Di antara desahan napas mereka yang saling memburu, Axel membisikkan sesuatu ke telinga Niken. “Menikahlah denganku, Niken. Jadilah istriku. Jadilah ibu dari putri dan calon anak-anak kita nanti. Menikahlah denganku, cintaku…” *** Beberapa bulan setelah malam tersebut. Seorang perempuan paruh baya tengah membersihkan meja restoran usai pelanggan terakhir pergi. Wajahnya tampak lelah. Tapi dia masih begitu semangat bekerja. Pintu terbuka. “Maaf kami sudah tutup!” ujar pekerja restoran tersebut tanpa menoleh dan tetap mengelap meja. Seorang gadis kecil berusia tiga tahun yang sangat cantik dan menggemaskan berjalan mendekatinya. Perempuan itu menghentikan aktivitasnya mengelap meja. Dia kaget sekaligus terpukau dengan kecantikan gadis itu. “Hai, Nak! Kau datang dengan orang tuamu?” Perempuan itu menoleh ke pintu dan tidak melihat siapa pun. Dia pun berlutut di depan balita itu untuk menyejajarkan posisinya. “Kau datang sendirian? Siapa namamu? Restoran kami sudah tutup. Apa k
Niken berhasil meloloskan diri dari pelukan Axel tanpa menjatuhkan harga dirinya. Dia mengembuskan napas lega usai mengusir pria itu. Tidak lagi terdengar suara Axel yang berteriak maupun mengetuk pintu. Niken kembali menyibukkan diri dengan pekerjaan dan aktivitas merawat Angelie. Beberapa jam kemudian, Niken pun menuju ke pintu depan dan membukanya. Dia mengintip ke halaman dan tidak melihat Axel di mana pun. Ada rasa penyesalan sekaligus kehilangan di dalam hati kecilnya. Tapi Niken berusaha menepis semua kekhawatiran itu dan kembali fokus pada kehidupannya saat ini. Saat Niken akan menutup kembali pintu, sudut matanya menangkap sekelebat gerakan yang mengganggunya. Nikah pun keluar dan berjalan menuju ke halaman samping. Dia terkejut ketika melihat Axel tengah berbaring meringkuk di ayunan. “Astaga, apa yang sedang dia lakukan di sana? Benar-benar keras kepala. Kenapa dia tidak juga pergi dari sini?” Niken pun kembali kesal dan membanting pintu hingga menutup rapat. Niken p
Axel kembali ke rumah pantai dan berlari dengan tergopoh-gopoh. Dia membuka pintu rumah yang tidak terkunci dan berteriak memanggil nama Niken. “Niken! Niken Di mana kau?” Axel tidak menemukan Niken di manapun. “Angelie? Ini papa!” Axel pun berlari menuju ke lantai dua. “Angelie? Kalian di mana? Niken?” Rumah itu benar-benar kosong. Axel tidak menemukan Niken dan putrinya di mana pun. Axel nekat pergi ke kamar Niken. Tempat itu juga kosong. Dia mencari ke ruangan yang lain dan melihat sebuah kamar bayi. Langkah Axel melambat begitu melihat banyak sekali perlengkapan bayi di sana. Axel berlutut di depan ranjang bayi. Dia mengambil salah satu sepatu rajut kecil milik putrinya dan menciumnya dengan air mata berderai. “Di mana kalian berada? Apa sesuatu yang buruk menimpa Angelie? Ke mana aku harus mencari kalian?” Axel tidak tahu lagi harus ke mana. Dia pun kembali keluar dan berdiri di halaman rumah dengan gelisah. Dia letakkan tas ranselnya ke tanah dan berdiri di sana sepert
Niken berjalan-jalan di sepanjang pantai bersama dengan putri kecilnya. Dia meletakkan Angelie di dalam stroller. Niken terus bercerita sambil menunjukkan banyak hal kepada Angelie. “Maafkan mama, Angelie. Saat seperti ini, aku benar-benar menyesal pada diriku sendiri karena tidak bisa memberikanmu seorang ayah yang bisa kau banggakan di hadapan teman-temanmu kelak.” Niken berlutut di depan stroller sambil menatap sepasang mata bening bayi itu. Angelie tersenyum ceria sambil sesekali memasukkan tangannya ke mulut. Niken mengulurkan telunjuknya untuk membelai pipi Angelie. Bayi kecil itu pun meraih jari Niken dan menggenggamnya erat. “Aku benar-benar merindukan Mama di saat seperti ini. Apa yang dia lakukan sekarang? Apa dia sehat di sana? Betapa berat rasanya harus membesarkan seorang anak sendirian tanpa didukung oleh suami dan keluarga. Kini, aku tahu betapa marahnya Mama malam itu, ketika tahu aku sedang hamil. Aku bisa mengerti jika dia mengusirku dari rumah. Aku benar-benar la
Niken pulang ke rumahnya yang sepi dan gelap. Tempat pertama yang dia tujuh adalah bekas kamar Axel. Dia buka pintu kamar itu dengan pelan. Di dalam hati kecilnya, Niken berharap ada keajaiban. “Apa yang sedang aku lakukan di sini? Mustahil dia tiba-tiba muncul di sini, kan? Aku bahkan tidak tahu di mana dia saat ini. Setelah kutolak lamarannya, dia pergi begitu saja meninggalkan segalanya.” Niken akan menutup kembali pintu kamar Axel yang kosong. Lalu tatapannya terhenti pada potret Axel berukuran besar dan masih terpasang di dinding. Axel bertelanjang dada dan berpose dengan begitu memikat dalam foto itu. “Hanya foto itu satu-satunya yang masih tertinggal.” Niken mengingat betapa Axel sangat membanggakan foto itu. Saat itulah Niken benar-benar mulai merasakan kesepian. Dia menepis kenangan manis tentang Axel dan lekas menutup kembali pintu kamarnya. Niken pun bergegas menuju ke kamar Angelie. Gadis kecil itu satu-satunya pelipur kesepian Niken saat ini. *** Louis pergi ke pa
Enam bulan kemudian… “Kau tidak perlu membawakanku bunga dan mainan untuk Angelie setiap kali berkunjung ke sini, Louis.” Niken mempersilakan Louis masuk ke rumah pantai yang kini menjadi miliknya. Louis duduk di ruang tamu. Dia menatap ke arah stroller bayi tempat di mana Niken meletakkan Angelie yang sedang tidur lelap di sana. “Kau sepertinya suka bunga. Dan aku juga sama sekali tidak keberatan jika harus membelikan lebih banyak mainan untuk Angelie. Lihatlah dia tidur dengan sangat lelap. Gadis kecil ini tumbuh begitu cepat.” Niken membawakan minuman untuk Louis. “Maaf jika rumah ini berantakan. Karena aku benar-benar harus mengerjakan semuanya sendiri termasuk mengurus Angelie.” “Kau selalu menolak tawaranku untuk memberikan Angelie pengasuh.” “Tidak apa Louis. Aku tidak ingin kehilangan momen berharga menemani masa-masa pertumbuhan emas putriku.” “Oh, aku datang ke sini untuk mengabarkan padamu bahwa kami sudah memilih sutradara untuk film yang akan kita produksi.” “Ben
Sang pengacara membacakan isi surat wasiat yang kedua. “Tuan Marais mengatakan bahwa Tuan Axel bisa memilih antara surat wasiat pertama atau kedua. Tuan Axel juga bisa menolak perjodohan dengan Nona Clarissa Jordan. Tapi, dia harus bisa menemukan jodoh lain yang telah ditentukan untuknya pada surat wasiat yang kedua.” “Apa?” Celine dan Louis benar-benar terkejut. “Apa maksudmu dengan jodoh lain yang sudah ditentukan? Berapa jodoh yang ditakdirkan untuk Axel?” “Tuan Axel ditakdirkan menjadi pasangan dari dua orang gadis. Gadis pertama memang Nona Clarissa Jordan. Gadis yang kedua adalah putri dari perempuan yang pernah dicintai oleh Tuan Marais.” “Omong kosong!” teriak Celine. Sang pengacara pun menceritakan semuanya pada Celine dan juga Louis dengan disaksikan oleh Carlos. “Tuan Marais memiliki cinta pertama dari kalangan manusia. Tepat sebelum dia menikah dengan ibunya Axel. Karena perempuan ini dari ras manusia, maka Tuan Marais tidak bisa melanjutkan hubungannya. Dia pun memi
Celine dan Louis sudah menunggu di kantor notaris yang ditunjuk oleh Tuan Marais. Mereka berkumpul di sana untuk mendengarkan pembacaan surat wasiat oleh pengacara. “Kenapa tidak kita mulai saja?” ujar Celine. “Kami sudah menunggu cukup lama di sini.” Sang notaris berdeham. Beberapa kali dia melirik ke arah pintu dan juga jam tangan. “Tuan Axel belum datang. Saya tidak bisa membacakan surat wasiat ini jika seluruh anggota yang berkepentingan belum hadir.” “Dia tidak akan datang,” seru Louis. “Dia sudah menyerah dan sadar posisinya tidak akan mampu mendapatkan kepemimpinan di perusahaan. Axel sudah gagal memenuhi surat wasiatnya.” Seseorang membuka pintu. Semua yang ada di dalam ruangan sang notaris terkejut. Mereka pikir yang datang adalah Axel. Begitu melihat Carlos yang masuk ke ruangan tersebut, mereka pun mengembuskan napas lega kecuali sang notaris. “Di mana Tuan Axel?” tanya sang notaris. “Tuan Axel sedang dalam perjalanan ke sini. Bukankah batas waktu pemenuhan surat wa
Sebulan pun berlalu usai terbongkarnya status pernikahan kontrak Niken dan Axel. Selama itu pula pemberitaan di media semakin kuat menerpa. Beragam gosip dan fitnah terus bermunculan. Kondisi perusahaan di bawah kepemimpinan Axel semakin menghadapi guncangan. Kerugian terus-menerus terjadi. Proyek-proyek lain yang dipegang oleh Axel pun semakin berguguran dan ditinggalkan oleh para investornya. Perusahaan manajemen artisnya pun mulai ditinggalkan. Pagi itu, Niken terbangun dengan perasaan yang begitu kesepian dan tidak nyaman. Semalaman, dia sibuk mempersiapkan seluruh perlengkapan untuk persalinan. “Seharusnya aku akan melahirkan tepat di hari ulang tahunku yang ke-18. Tapi, belum ada tanda-tanda kontraksai sampai saat ini.” Dan di hari itu pula, masa depan Axel akan ditentukan. Surat wasiat sang ayah jatuh tempo pada hari itu. Axel akan mewarisi seluruh perusahaan Marais atau sebaliknya, dia akan dikeluarkan dari perusahaan dan posisinya digantikan oleh Louis. Niken keluar dari