“Apa yang terjadi?” Axel sudah berdiri di depan Niken.
Gadis itu masih duduk sendirian di bangku taman dengan wajah tertunduk. Kedua tangannya memeluk dada. Niken menggigil.
Axel melihat kerapuhan dan ketakutan pada wajah gadis itu. Axel segera melepas jasnya dan menyelimutkan ke bahu Niken.
“Kau baik-baik saja?” Axel berlutut di depan Niken dan memeriksa gadis itu.
“Bisa kau bawa aku pergi dari sini?” Suara Niken lirih berusaha menahan tangis.
“Yah, tentu saja. Kau bisa berjalan?”
Niken mengangguk lemah. Axel membantu gadis itu berdiri dan mereka menuju ke mobil yang diparkir di depan taman. Mereka berkendara dalam keheningan dan kembali ke penthouse Axel yang terletak di lantai 96 di pusat Manhattan.
Setibanya mereka di penthouse, Niken masih tetap membisu. Dia bahkan tak menatap Axel sama sekali.
“Terimakasih karena sudah datang.”
Setelah mengucapkan terima kasih, gadis itu berjalan gontai menuju ke kamarnya.
Niken keluar dari mobil begitu Marco menghentikannya di sebuah halaman rumah pantai yang sangat mewah. Gadis itu terkejut bukan main. Dia segera berlari menuju ke halaman rumah yang menyatu dengan pasir pantai. “Ini gila!” seru Niken tak percaya. “Benarkah aku akan tingggal di sini mulai sekarang? Wow, ini menakjubkan. Benar-benar sebuah rumah pantai impian.” Marco yang membantu membawakan barang-barang Niken sudah berdiri di belakang gadis itu. “Masuklah, Nona. Ini kuncinya,” seru Marco. “Bagaimana denganmu?” “Tugasku hanya mengantarmu sampai di sini, Nona. Kau bisa masuk dan beristirahat sampai Tuan datang. Kami juga sudah menempatkan penjaga yang akan mengawasi tempat ini selama 24 jam penuh. Kau tak perlu khawatir tentang keamanan.” “Apa itu artinya kalian hanya memindahkan penjaraku dari penthouse ke rumah pantai ini?” Niken berkata sambil mengangkat sudut bibirnya penuh kebencian. Dia merebut kunci dari tangan Marco denga
Niken mendengar pintu yang terbanting menutup. Dia yakin Axel baru saha meninggalkan rumah. Gadis itu segera menuju ke balkon dan benar-benar melihat Axel tengah berjogging di sepanjang pantai. “Olahraga saat dingin begini?” Niken tiba-tiba memeluk tubuhnya sendiri membayangkan rasa dingin itu. Gadis itu segera berlari menuruni anak tangga menuju ke halaman samping rumah. Saat musim semi atau panas, seharusnya halaman itu ditumbuhi dengan rumput dan bung-bunga yang indah. Niken tidak sabar menantinya. Dia membungkuk mencari cincin yang sebelumnya dilempar oleh Axel ke halaman. Dia menyibak kerikil dan melototi permukaan tanah dengan sangat cermat. “Jika aku bisa menjual cincin berlian itu, setidaknya aku bisa mengurangi utangku padanya.” Niken sangat bersemangat. “Sedang apa kau?” tegur Axel. Niken terlonjak kaget. Dia hampir bersimpuh di permukaan tanah. Niken tidak mengira jika Axel akan kembali secepat itu. “Sedang apa kau?”
Axel tidak mungkin tidak menghadiri undangan acara peluncuran majalah film tersebut. Karena itu adalah undangan Louis Marais, adik tirinya. Axel mengemudikan mobil sampai tiba di sebuah gedung yang difungsikan sebagai peluncuran majalah perfilman. Dia menyerahkan kunci mobil pada seorang bellboy dan bergegas masuk ke lokasi acara. Tepat sebelum sang bellboy membuka pintu dan akan mengantarkan mobil ke tempat parkir, Niken tiba-tiba muncul dari bangku belakang. Sang bellboy terkejut karena melihat seorang perempuan masih tertinggal di bangku belakang mobil. Niken menyeringai dan menjelaskan dengan singkat pada sang bellboy. “Ya, Bosku sedang buru-buru sampai dia meninggalkan aku di sini. Maaf karena mengejutkanmu. Tolong jaga mobilnya. Aku akan menyusul Bos ke dalam,” ujar Niken dengan gugup. Dia takut jika kebohongannya akan terbongkar. Sejak sore, Niken berpura-pura masuk dan mengunci diri di dalam kamar. Tapi sebenarnya diam-diam dia menyelinap ke g
“Axel?” Mereka semua menoleh ke belakang dan melihat Clarissa berdiri di sana dengan gaun putih anggunnya. Clarissa mendekati Axel dan meraih lengan pria itu, tapi Axel menolak dan menepisnya. “Maaf, Clarissa. Sepertinya ada kesalahpahaman di antara kita. Aku ingin meluruskan gosip yang beredar di media saat ini tentang pertunangan kita. Aku tidak pernah menganggapmu sebagai kekasihku, apalagi menerimamu sebagai tunanganku. Semua itu hanya pendapat ibuku dan asumsimu saja. Selama ini, aku hanya berusaha bersikap sopan terhadapmu.” Wajah Clarissa terlihat memerah karena marah dan juga menahan malu. Dadanya naik turun dengan napas terasa sesak. “Lagi pula, kau sudah mempunyai Louis,” ujar Axel sambil melirik pada adik tirinya. “Kau tahu betapa Louis mencintaimu? Kalian pasangan yang sangat serasi.” Axel mengangkat sudut bibirnya dengan angkuh. “Jadi,” suara Clarissa bergetar. “Itu karena dia? Karena dia mencintaiku?” Perempuan itu langsung beral
Keesokan pagi sebelum sarapan, Niken tiba-tiba menyodorkan selembar kertas pada Axel. “Apa ini?” tanya Axel. “Bukannya menyajikan sarapan, kau malah memberiku secarik kertas?” Niken duduk di meja makan di seberang Axel. Dia tersenyum lebar. “Karena ini adalah kawin kontrak, maka kita membutuhkan surat kontrak. Kertas yang kau pegang saat ini adalah surat perjanjian yang sudah aku buat.” Axel sedikit terkejut karena dia tak mengira bahwa Niken akan menerima usulannya untuk kawin kontrak. Sebelum Axel membaca klausa di dalam surat kontrak yang dibuat Niken, gadis itu sudah merebut kontrak itu kembali. Niken tak sabar. Dia mulai membacakan poin-poin penting di dalam kontrak perjanjian yang sudah dia buat. “Pertama, kau harus menghargai privasi dengan menghapus para bodyguard yang akan terus mengawalku dan rumah ini. Kedua, tidak ada kontak fisik. Ketiga, pernikahan ini berlangsung tidak lebih dari tiga bulan.” Niken terdiam. Setidaknya di
Louis Marais berkunjung ke kantor Axel ketika Axel sedang sibuk dengan pekerjaannya. Louis masuk begitu saja bahkan tanpa membuat janji terlebih dahulu. “Sudah kukatakan untuk–” ujar Axel tanpa mengalihkan perhatian dari dokumen-dokumen yang sedang dia periksa ketika mendengar seseorang melangkah masuk. Axel pikir itu adalah salah satu staf atau asistennya. “Kenapa kau sibuk sekali menjelang hari pernikahanmu, kak?” tegur Louis dengan senyum ceria dan lebarnya. Mendengar dan melihat keberadaan Louis, seketika membuat Axel muak. Dia menutup dokumen-dokumen dan menyingkirkannya. Axel bangkit dari kursi dan mengangkat kedua tangan seolah-olah ingin berkata, ‘Kenapa kau datang ke sini? Apa hanya untuk menggangguku?’ “Oh, ayolah, kakakku tercinta. Kudengar kau akan melangsungkan pernikahan? Kenapa kau masih menyibukkan diri di kantormu? Bukankah kau seharusnya pergi ke salon untuk mempersiapkan diri sebaik mungkin sebelum pesta pernikahan digelar?”
Niken mengepel lantai ruang tamu sambil memasak. Gadis itu benar-benar dituntut bekerja keras hingga kelelahan. Karena kesal, dia lemparkan alat pel dan duduk di lantai sambil berselonjor. Beberapa saat kemudian, dia mengentak-entakkan kakinya ke lantai sambil ngedumel. “Kenapa aku harus melakukan semua pekerjaan ini sendirian? Aku sedang hamil. Bahkan aku tidak memiliki waktu untuk diriku sendiri. Sialan! Kenapa aku harus dijadikan pembantu di rumah ini? Aku tidak tahan lagi! Haruskah kuakui kehamilanku agar dia segera melepaskanku? Atau sebaliknya, dia akan memintaku untuk menyingkirkan bayi ini?” Ketika pikiran itu terlintas dalam benak, Niken mulai ketakutan. Dia memeluk perutnya yang mulai sedikit membuncit. “Tidak! Itu tidak boleh terjadi. Dia tidak boleh menyentuh bayi ini.” Ding. Dong. Niken menoleh ke arah pintu dan bergumam, “Siapa itu yang datang pada jam segini? Seharusnya, baik aku maupun Axel tidak memiliki tamu.” Ding. D
Wajah Niken seketika pias saat tahu Axel mendengar semua percakapannya dengan Celine. Niken bahkan tak ada niat untuk membeberkan rahasia kehamilannya. Dia mengaku hamil di depan Celine, hanya bertujuan menggertak perempuan itu. Agar Celine tak mengusik Niken lagi. Rupanya, rencana Niken malah malah dianggap serius oleh Celine dan juga didengar oleh Axel. “Katakan padaku, Niken,” ujar Axel dengan serius dan nada sedikit tajam. “Apakah kau benar-benar hamil?” Niken menatap Axel dan berkedip dua kali. Dia bermaksud memberitahu Axel bahwa itu hanya sandiwara untuk membohongi Celine. Tapi, tampaknya Axel tak mengerti arti kedipan mata Niken. ‘Jika aku berkata itu hanya sandiwara, maka Celine pasti akan semakin menginjak-injak harga diriku dan mengusirku dengan segala cara. Tapi, jika kukatakan memang sedang hamil, aku tidak tahu apa yang akan Axel lakukan. Meskipun aku memang sungguh hamil.’ “Kau tidak tahu jika gadis ini hamil?” Suara Celine menyita perh
Di antara desahan napas mereka yang saling memburu, Axel membisikkan sesuatu ke telinga Niken. “Menikahlah denganku, Niken. Jadilah istriku. Jadilah ibu dari putri dan calon anak-anak kita nanti. Menikahlah denganku, cintaku…” *** Beberapa bulan setelah malam tersebut. Seorang perempuan paruh baya tengah membersihkan meja restoran usai pelanggan terakhir pergi. Wajahnya tampak lelah. Tapi dia masih begitu semangat bekerja. Pintu terbuka. “Maaf kami sudah tutup!” ujar pekerja restoran tersebut tanpa menoleh dan tetap mengelap meja. Seorang gadis kecil berusia tiga tahun yang sangat cantik dan menggemaskan berjalan mendekatinya. Perempuan itu menghentikan aktivitasnya mengelap meja. Dia kaget sekaligus terpukau dengan kecantikan gadis itu. “Hai, Nak! Kau datang dengan orang tuamu?” Perempuan itu menoleh ke pintu dan tidak melihat siapa pun. Dia pun berlutut di depan balita itu untuk menyejajarkan posisinya. “Kau datang sendirian? Siapa namamu? Restoran kami sudah tutup. Apa k
Niken berhasil meloloskan diri dari pelukan Axel tanpa menjatuhkan harga dirinya. Dia mengembuskan napas lega usai mengusir pria itu. Tidak lagi terdengar suara Axel yang berteriak maupun mengetuk pintu. Niken kembali menyibukkan diri dengan pekerjaan dan aktivitas merawat Angelie. Beberapa jam kemudian, Niken pun menuju ke pintu depan dan membukanya. Dia mengintip ke halaman dan tidak melihat Axel di mana pun. Ada rasa penyesalan sekaligus kehilangan di dalam hati kecilnya. Tapi Niken berusaha menepis semua kekhawatiran itu dan kembali fokus pada kehidupannya saat ini. Saat Niken akan menutup kembali pintu, sudut matanya menangkap sekelebat gerakan yang mengganggunya. Nikah pun keluar dan berjalan menuju ke halaman samping. Dia terkejut ketika melihat Axel tengah berbaring meringkuk di ayunan. “Astaga, apa yang sedang dia lakukan di sana? Benar-benar keras kepala. Kenapa dia tidak juga pergi dari sini?” Niken pun kembali kesal dan membanting pintu hingga menutup rapat. Niken p
Axel kembali ke rumah pantai dan berlari dengan tergopoh-gopoh. Dia membuka pintu rumah yang tidak terkunci dan berteriak memanggil nama Niken. “Niken! Niken Di mana kau?” Axel tidak menemukan Niken di manapun. “Angelie? Ini papa!” Axel pun berlari menuju ke lantai dua. “Angelie? Kalian di mana? Niken?” Rumah itu benar-benar kosong. Axel tidak menemukan Niken dan putrinya di mana pun. Axel nekat pergi ke kamar Niken. Tempat itu juga kosong. Dia mencari ke ruangan yang lain dan melihat sebuah kamar bayi. Langkah Axel melambat begitu melihat banyak sekali perlengkapan bayi di sana. Axel berlutut di depan ranjang bayi. Dia mengambil salah satu sepatu rajut kecil milik putrinya dan menciumnya dengan air mata berderai. “Di mana kalian berada? Apa sesuatu yang buruk menimpa Angelie? Ke mana aku harus mencari kalian?” Axel tidak tahu lagi harus ke mana. Dia pun kembali keluar dan berdiri di halaman rumah dengan gelisah. Dia letakkan tas ranselnya ke tanah dan berdiri di sana sepert
Niken berjalan-jalan di sepanjang pantai bersama dengan putri kecilnya. Dia meletakkan Angelie di dalam stroller. Niken terus bercerita sambil menunjukkan banyak hal kepada Angelie. “Maafkan mama, Angelie. Saat seperti ini, aku benar-benar menyesal pada diriku sendiri karena tidak bisa memberikanmu seorang ayah yang bisa kau banggakan di hadapan teman-temanmu kelak.” Niken berlutut di depan stroller sambil menatap sepasang mata bening bayi itu. Angelie tersenyum ceria sambil sesekali memasukkan tangannya ke mulut. Niken mengulurkan telunjuknya untuk membelai pipi Angelie. Bayi kecil itu pun meraih jari Niken dan menggenggamnya erat. “Aku benar-benar merindukan Mama di saat seperti ini. Apa yang dia lakukan sekarang? Apa dia sehat di sana? Betapa berat rasanya harus membesarkan seorang anak sendirian tanpa didukung oleh suami dan keluarga. Kini, aku tahu betapa marahnya Mama malam itu, ketika tahu aku sedang hamil. Aku bisa mengerti jika dia mengusirku dari rumah. Aku benar-benar la
Niken pulang ke rumahnya yang sepi dan gelap. Tempat pertama yang dia tujuh adalah bekas kamar Axel. Dia buka pintu kamar itu dengan pelan. Di dalam hati kecilnya, Niken berharap ada keajaiban. “Apa yang sedang aku lakukan di sini? Mustahil dia tiba-tiba muncul di sini, kan? Aku bahkan tidak tahu di mana dia saat ini. Setelah kutolak lamarannya, dia pergi begitu saja meninggalkan segalanya.” Niken akan menutup kembali pintu kamar Axel yang kosong. Lalu tatapannya terhenti pada potret Axel berukuran besar dan masih terpasang di dinding. Axel bertelanjang dada dan berpose dengan begitu memikat dalam foto itu. “Hanya foto itu satu-satunya yang masih tertinggal.” Niken mengingat betapa Axel sangat membanggakan foto itu. Saat itulah Niken benar-benar mulai merasakan kesepian. Dia menepis kenangan manis tentang Axel dan lekas menutup kembali pintu kamarnya. Niken pun bergegas menuju ke kamar Angelie. Gadis kecil itu satu-satunya pelipur kesepian Niken saat ini. *** Louis pergi ke pa
Enam bulan kemudian… “Kau tidak perlu membawakanku bunga dan mainan untuk Angelie setiap kali berkunjung ke sini, Louis.” Niken mempersilakan Louis masuk ke rumah pantai yang kini menjadi miliknya. Louis duduk di ruang tamu. Dia menatap ke arah stroller bayi tempat di mana Niken meletakkan Angelie yang sedang tidur lelap di sana. “Kau sepertinya suka bunga. Dan aku juga sama sekali tidak keberatan jika harus membelikan lebih banyak mainan untuk Angelie. Lihatlah dia tidur dengan sangat lelap. Gadis kecil ini tumbuh begitu cepat.” Niken membawakan minuman untuk Louis. “Maaf jika rumah ini berantakan. Karena aku benar-benar harus mengerjakan semuanya sendiri termasuk mengurus Angelie.” “Kau selalu menolak tawaranku untuk memberikan Angelie pengasuh.” “Tidak apa Louis. Aku tidak ingin kehilangan momen berharga menemani masa-masa pertumbuhan emas putriku.” “Oh, aku datang ke sini untuk mengabarkan padamu bahwa kami sudah memilih sutradara untuk film yang akan kita produksi.” “Ben
Sang pengacara membacakan isi surat wasiat yang kedua. “Tuan Marais mengatakan bahwa Tuan Axel bisa memilih antara surat wasiat pertama atau kedua. Tuan Axel juga bisa menolak perjodohan dengan Nona Clarissa Jordan. Tapi, dia harus bisa menemukan jodoh lain yang telah ditentukan untuknya pada surat wasiat yang kedua.” “Apa?” Celine dan Louis benar-benar terkejut. “Apa maksudmu dengan jodoh lain yang sudah ditentukan? Berapa jodoh yang ditakdirkan untuk Axel?” “Tuan Axel ditakdirkan menjadi pasangan dari dua orang gadis. Gadis pertama memang Nona Clarissa Jordan. Gadis yang kedua adalah putri dari perempuan yang pernah dicintai oleh Tuan Marais.” “Omong kosong!” teriak Celine. Sang pengacara pun menceritakan semuanya pada Celine dan juga Louis dengan disaksikan oleh Carlos. “Tuan Marais memiliki cinta pertama dari kalangan manusia. Tepat sebelum dia menikah dengan ibunya Axel. Karena perempuan ini dari ras manusia, maka Tuan Marais tidak bisa melanjutkan hubungannya. Dia pun memi
Celine dan Louis sudah menunggu di kantor notaris yang ditunjuk oleh Tuan Marais. Mereka berkumpul di sana untuk mendengarkan pembacaan surat wasiat oleh pengacara. “Kenapa tidak kita mulai saja?” ujar Celine. “Kami sudah menunggu cukup lama di sini.” Sang notaris berdeham. Beberapa kali dia melirik ke arah pintu dan juga jam tangan. “Tuan Axel belum datang. Saya tidak bisa membacakan surat wasiat ini jika seluruh anggota yang berkepentingan belum hadir.” “Dia tidak akan datang,” seru Louis. “Dia sudah menyerah dan sadar posisinya tidak akan mampu mendapatkan kepemimpinan di perusahaan. Axel sudah gagal memenuhi surat wasiatnya.” Seseorang membuka pintu. Semua yang ada di dalam ruangan sang notaris terkejut. Mereka pikir yang datang adalah Axel. Begitu melihat Carlos yang masuk ke ruangan tersebut, mereka pun mengembuskan napas lega kecuali sang notaris. “Di mana Tuan Axel?” tanya sang notaris. “Tuan Axel sedang dalam perjalanan ke sini. Bukankah batas waktu pemenuhan surat wa
Sebulan pun berlalu usai terbongkarnya status pernikahan kontrak Niken dan Axel. Selama itu pula pemberitaan di media semakin kuat menerpa. Beragam gosip dan fitnah terus bermunculan. Kondisi perusahaan di bawah kepemimpinan Axel semakin menghadapi guncangan. Kerugian terus-menerus terjadi. Proyek-proyek lain yang dipegang oleh Axel pun semakin berguguran dan ditinggalkan oleh para investornya. Perusahaan manajemen artisnya pun mulai ditinggalkan. Pagi itu, Niken terbangun dengan perasaan yang begitu kesepian dan tidak nyaman. Semalaman, dia sibuk mempersiapkan seluruh perlengkapan untuk persalinan. “Seharusnya aku akan melahirkan tepat di hari ulang tahunku yang ke-18. Tapi, belum ada tanda-tanda kontraksai sampai saat ini.” Dan di hari itu pula, masa depan Axel akan ditentukan. Surat wasiat sang ayah jatuh tempo pada hari itu. Axel akan mewarisi seluruh perusahaan Marais atau sebaliknya, dia akan dikeluarkan dari perusahaan dan posisinya digantikan oleh Louis. Niken keluar dari