Axel tidak mungkin tidak menghadiri undangan acara peluncuran majalah film tersebut. Karena itu adalah undangan Louis Marais, adik tirinya.
Axel mengemudikan mobil sampai tiba di sebuah gedung yang difungsikan sebagai peluncuran majalah perfilman. Dia menyerahkan kunci mobil pada seorang bellboy dan bergegas masuk ke lokasi acara.
Tepat sebelum sang bellboy membuka pintu dan akan mengantarkan mobil ke tempat parkir, Niken tiba-tiba muncul dari bangku belakang. Sang bellboy terkejut karena melihat seorang perempuan masih tertinggal di bangku belakang mobil.
Niken menyeringai dan menjelaskan dengan singkat pada sang bellboy. “Ya, Bosku sedang buru-buru sampai dia meninggalkan aku di sini. Maaf karena mengejutkanmu. Tolong jaga mobilnya. Aku akan menyusul Bos ke dalam,” ujar Niken dengan gugup. Dia takut jika kebohongannya akan terbongkar.
Sejak sore, Niken berpura-pura masuk dan mengunci diri di dalam kamar. Tapi sebenarnya diam-diam dia menyelinap ke g
“Axel?” Mereka semua menoleh ke belakang dan melihat Clarissa berdiri di sana dengan gaun putih anggunnya. Clarissa mendekati Axel dan meraih lengan pria itu, tapi Axel menolak dan menepisnya. “Maaf, Clarissa. Sepertinya ada kesalahpahaman di antara kita. Aku ingin meluruskan gosip yang beredar di media saat ini tentang pertunangan kita. Aku tidak pernah menganggapmu sebagai kekasihku, apalagi menerimamu sebagai tunanganku. Semua itu hanya pendapat ibuku dan asumsimu saja. Selama ini, aku hanya berusaha bersikap sopan terhadapmu.” Wajah Clarissa terlihat memerah karena marah dan juga menahan malu. Dadanya naik turun dengan napas terasa sesak. “Lagi pula, kau sudah mempunyai Louis,” ujar Axel sambil melirik pada adik tirinya. “Kau tahu betapa Louis mencintaimu? Kalian pasangan yang sangat serasi.” Axel mengangkat sudut bibirnya dengan angkuh. “Jadi,” suara Clarissa bergetar. “Itu karena dia? Karena dia mencintaiku?” Perempuan itu langsung beral
Keesokan pagi sebelum sarapan, Niken tiba-tiba menyodorkan selembar kertas pada Axel. “Apa ini?” tanya Axel. “Bukannya menyajikan sarapan, kau malah memberiku secarik kertas?” Niken duduk di meja makan di seberang Axel. Dia tersenyum lebar. “Karena ini adalah kawin kontrak, maka kita membutuhkan surat kontrak. Kertas yang kau pegang saat ini adalah surat perjanjian yang sudah aku buat.” Axel sedikit terkejut karena dia tak mengira bahwa Niken akan menerima usulannya untuk kawin kontrak. Sebelum Axel membaca klausa di dalam surat kontrak yang dibuat Niken, gadis itu sudah merebut kontrak itu kembali. Niken tak sabar. Dia mulai membacakan poin-poin penting di dalam kontrak perjanjian yang sudah dia buat. “Pertama, kau harus menghargai privasi dengan menghapus para bodyguard yang akan terus mengawalku dan rumah ini. Kedua, tidak ada kontak fisik. Ketiga, pernikahan ini berlangsung tidak lebih dari tiga bulan.” Niken terdiam. Setidaknya di
Louis Marais berkunjung ke kantor Axel ketika Axel sedang sibuk dengan pekerjaannya. Louis masuk begitu saja bahkan tanpa membuat janji terlebih dahulu. “Sudah kukatakan untuk–” ujar Axel tanpa mengalihkan perhatian dari dokumen-dokumen yang sedang dia periksa ketika mendengar seseorang melangkah masuk. Axel pikir itu adalah salah satu staf atau asistennya. “Kenapa kau sibuk sekali menjelang hari pernikahanmu, kak?” tegur Louis dengan senyum ceria dan lebarnya. Mendengar dan melihat keberadaan Louis, seketika membuat Axel muak. Dia menutup dokumen-dokumen dan menyingkirkannya. Axel bangkit dari kursi dan mengangkat kedua tangan seolah-olah ingin berkata, ‘Kenapa kau datang ke sini? Apa hanya untuk menggangguku?’ “Oh, ayolah, kakakku tercinta. Kudengar kau akan melangsungkan pernikahan? Kenapa kau masih menyibukkan diri di kantormu? Bukankah kau seharusnya pergi ke salon untuk mempersiapkan diri sebaik mungkin sebelum pesta pernikahan digelar?”
Niken mengepel lantai ruang tamu sambil memasak. Gadis itu benar-benar dituntut bekerja keras hingga kelelahan. Karena kesal, dia lemparkan alat pel dan duduk di lantai sambil berselonjor. Beberapa saat kemudian, dia mengentak-entakkan kakinya ke lantai sambil ngedumel. “Kenapa aku harus melakukan semua pekerjaan ini sendirian? Aku sedang hamil. Bahkan aku tidak memiliki waktu untuk diriku sendiri. Sialan! Kenapa aku harus dijadikan pembantu di rumah ini? Aku tidak tahan lagi! Haruskah kuakui kehamilanku agar dia segera melepaskanku? Atau sebaliknya, dia akan memintaku untuk menyingkirkan bayi ini?” Ketika pikiran itu terlintas dalam benak, Niken mulai ketakutan. Dia memeluk perutnya yang mulai sedikit membuncit. “Tidak! Itu tidak boleh terjadi. Dia tidak boleh menyentuh bayi ini.” Ding. Dong. Niken menoleh ke arah pintu dan bergumam, “Siapa itu yang datang pada jam segini? Seharusnya, baik aku maupun Axel tidak memiliki tamu.” Ding. D
Wajah Niken seketika pias saat tahu Axel mendengar semua percakapannya dengan Celine. Niken bahkan tak ada niat untuk membeberkan rahasia kehamilannya. Dia mengaku hamil di depan Celine, hanya bertujuan menggertak perempuan itu. Agar Celine tak mengusik Niken lagi. Rupanya, rencana Niken malah malah dianggap serius oleh Celine dan juga didengar oleh Axel. “Katakan padaku, Niken,” ujar Axel dengan serius dan nada sedikit tajam. “Apakah kau benar-benar hamil?” Niken menatap Axel dan berkedip dua kali. Dia bermaksud memberitahu Axel bahwa itu hanya sandiwara untuk membohongi Celine. Tapi, tampaknya Axel tak mengerti arti kedipan mata Niken. ‘Jika aku berkata itu hanya sandiwara, maka Celine pasti akan semakin menginjak-injak harga diriku dan mengusirku dengan segala cara. Tapi, jika kukatakan memang sedang hamil, aku tidak tahu apa yang akan Axel lakukan. Meskipun aku memang sungguh hamil.’ “Kau tidak tahu jika gadis ini hamil?” Suara Celine menyita perh
Saat Axel bangun di pagi hari dan pergi ke dapur untuk mengambil air, dia melihat sebuah catatan tertempel di pintu kulkas. Dengan cepat, Axel menyambar catatan yang ditulis oleh Niken. Dia membacanya lalu meremas kertas tersebut menjadi gumpalan sebelum melemparnya ke tempat sampah. “Kau pikir bisa lolos dariku, Niken? Apalagi setelah aku tahu bahwa kau sedang hamil. Kau… tidak bisa pergi begitu saja.” Niken memanggil taxi untuk membawanya pergi meninggalkan rumah pantai. Gadis itu meninggalkan rumah ketika matahari bahkan belum terbit. Dia masih mengantuk dan tertidur di bangku belakang taksi. “Nona, kita sudah sampai.” Niken yang terus tertidur lelap pun akhirnya bangun. Dia masih setengah sadar ketika bertanya pada song sopir taksi berapa tagihan yang harus dia bayar. “Apakah saya perlu mengantarkan barang-barang Anda ke dalam?” Niken mulai duduk tegak. Dia mengucek mata dan melihat keluar jendela. “Kau membawaku ke mana?”
“Katy?“ Niken terkejut melihat kemunculan Katy di pesta pernikahannya. Setelah beberapa waktu yang lalu Andrew memburu dan mengejarnya, bahkan sampai mendatangi Niken di rumah pantai, kini tiba-tiba yang Katy muncul dengan membawa teror. Sekelebat, Niken melihat Katy membaur di antara para tamu undangan. Niken yang masih berada di altar, mulai teralihkan perhatiannya. Dia celingukan dan menebarkan pandangan ke seluruh penjuru ruangan untuk mencari Katy. Tapi, gadis itu sudah tidak terlihat di mana pun. ‘Apa yang dia inginkan dan rencanakan? Apakah dia dan Andrew bekerja sama untuk mengusikku? Tidak akan aku biarkan mereka sekali lagi menghancurkan kehidupanku.’ Niken sudah sangat penasaran dan gelisah. Tanpa sadar, dia sudah turun dari altar dan berjalan cepat meninggalkan Axel dan para tamu undangan untuk mencari Katy. Saat Niken hampir mendapatkan Katy yang mencoba keluar dari tempat pesta, seorang tamu undangan mengadang langkah Niken.
“Axel Marais,” desis Niken. “Bersikaplah dewasa. Kau hanya seperti bayi besar yang sedang merajuk saat ini.” Axel yang awalnya ingin menggoda Niken, tiba-tiba menjadi geram. Dia merasa tersinggung karena dikatai sebagai bayi besar. “Apa?” Axel mengangkat satu sudut bibirnya. “Bayi?” Axel pun mencebik. “Jadi, kau ingin kita seperti orang dewasa?” Di luar dugaan Niken, bukannya menjauh Axel malah melepas kemejanya dengan tergesa-gesa. Niken begitu gugup. Dia menjadi salah tingkah. Niken berusaha mengalihkan tatapan dari Axel, tapi lagi-lagi nalurinya terus menarik Niken untuk menikmati setiap lekuk tubuh berotot Axel yang telanjang. “Pernikahan kita tidak nyata!” ujar Niken dengan panik. Axel tidak peduli. Dia sudah terlanjur kesal. Dia sudah bertelanjang dada dan kini mulai melepas sabuk celananya. Axel berjalan mendekati Niken dengan penuh ancaman. “Pernikahan kita hanya sandiwara! Ingat kontrak kita!” teriak Niken.