“Katy?“
Niken terkejut melihat kemunculan Katy di pesta pernikahannya. Setelah beberapa waktu yang lalu Andrew memburu dan mengejarnya, bahkan sampai mendatangi Niken di rumah pantai, kini tiba-tiba yang Katy muncul dengan membawa teror.
Sekelebat, Niken melihat Katy membaur di antara para tamu undangan. Niken yang masih berada di altar, mulai teralihkan perhatiannya. Dia celingukan dan menebarkan pandangan ke seluruh penjuru ruangan untuk mencari Katy. Tapi, gadis itu sudah tidak terlihat di mana pun.
‘Apa yang dia inginkan dan rencanakan? Apakah dia dan Andrew bekerja sama untuk mengusikku? Tidak akan aku biarkan mereka sekali lagi menghancurkan kehidupanku.’
Niken sudah sangat penasaran dan gelisah. Tanpa sadar, dia sudah turun dari altar dan berjalan cepat meninggalkan Axel dan para tamu undangan untuk mencari Katy.
Saat Niken hampir mendapatkan Katy yang mencoba keluar dari tempat pesta, seorang tamu undangan mengadang langkah Niken.
“Axel Marais,” desis Niken. “Bersikaplah dewasa. Kau hanya seperti bayi besar yang sedang merajuk saat ini.” Axel yang awalnya ingin menggoda Niken, tiba-tiba menjadi geram. Dia merasa tersinggung karena dikatai sebagai bayi besar. “Apa?” Axel mengangkat satu sudut bibirnya. “Bayi?” Axel pun mencebik. “Jadi, kau ingin kita seperti orang dewasa?” Di luar dugaan Niken, bukannya menjauh Axel malah melepas kemejanya dengan tergesa-gesa. Niken begitu gugup. Dia menjadi salah tingkah. Niken berusaha mengalihkan tatapan dari Axel, tapi lagi-lagi nalurinya terus menarik Niken untuk menikmati setiap lekuk tubuh berotot Axel yang telanjang. “Pernikahan kita tidak nyata!” ujar Niken dengan panik. Axel tidak peduli. Dia sudah terlanjur kesal. Dia sudah bertelanjang dada dan kini mulai melepas sabuk celananya. Axel berjalan mendekati Niken dengan penuh ancaman. “Pernikahan kita hanya sandiwara! Ingat kontrak kita!” teriak Niken.
“Dasar kau bajingan!” keluh Niken di antara isak tangisnya. “Kau hampir membunuhku dan calon bayiku!” Axel merasa sangat senang dan bahagia karena Niken sudah memiliki kembali gairah hidupnya. Dan itu ditunjukkan dari kemarahan serta gerutuannya. Sambil tetap memeluk gadis itu, Axel berujar dengan nada pura-pura marah. “Apa maksudmu dengan membunuhmu? Aku sudah menyelamatkanmu. Aku membawamu cepat-cepat ke rumah sakit untuk menyelamatkan kalian berdua. Kau harusnya berterima kasih padaku, bukan malah mengataiku sebagai seorang bajingan.” Niken langsung mendorong Axel kuat-kuat hingga hampir terjungkal karena tidak siap. “Apa-apaan ini? Setelah puas dengan pelukan hangatku dan sekarang kamu campakkan aku?” “Aku ingin pulang,” ujan Niken sambil cepat-cepat menghapus sisa air mata di wajahnya. “Aku tidak mau tinggal terlalu lama di sini. Rumah sakit membuatku gila!” Axel mengerti jika Niken merasa tertekan berada di rumah sakit. M
Clarissa mendatangi Niken dan Axel yang sedang bermain kembang api di pantai. “Apa yang kau lakukan di sini?” Wajah Axel terlihat sangat tidak suka dengan kemunculan Clarissa. Niken menyapa perempuan itu dengan sewajarnya. Meski pernah dibuat kesal oleh Clarissa, tapi Niken merasa tidak berhak ikut campur dalam urusan Axel dan perempuan itu. “Katamu kau sedang sibuk,” ujar Clarissa. “Jadi aku mendatangimu ke sini.” Lalu Clarissa menoleh ke arah Niken. “Maaf jika aku mengganggumu.” Niken menunjukkan sikap ceria dan seolah-olah dia tidak terpengaruh. “Tidak masalah. Jika memang kalian ada urusan, silahkan selesaikan. Aku akan kembali ke rumah. Atau kau ingin ke rumah juga? Aku bisa menyiapkan camilan dan minuman untukmu.” Clarissa hanya melirik Axel menunggu pria itu memberinya izin. Niken mulai mendorong kursi rodanya sendiri. Ini pertama kali dia menggunakan kursi roda sehingga terlihat begitu kesulitan. Axel mendesah. Dia pun
Niken kembali ke rumah pantai. Dia melihat Axel sedang tertidur di bangku taman sambil menutupkan buku ke wajahnya. Niken tiba-tiba menjadi iri dan marah saat melihat Axel enak-enakan tidur di sana. “Kehidupan pribadi CEO misterius apanya? Dia tidak memiliki kehidupan pribadi selain makan, tidur, dan berolahraga. Lihat saja dia bahkan sekarang sedang bermalas-malasan di sana.” Niken berjalan cepat mendekati Axel yang berbaring terlentang di bangku taman. Niken mendorong kaki Axel dengan ujung sepatunya. “Geserlah! Aku mau duduk,” seru Niken sambil menggerutu. Buku yang menutupi wajah Axel pun terjatuh. Pria itu kaget karena tiba-tiba dibangunkan. Axel pun segera duduk dan terheran-heran melihat Niken pulang dengan bermuka masam. “Kau tidak bekerja?” sindir Niken. “Kau lupa? Aku mengambil cuti karena sedang berpura-pura menikah dan berbulan madu denganmu. Jadi bagaimana? Apa mereka akan menerbitkannya?” Niken sangat malu. Semala
Niken dan Axel sudah bersiap akan pergi ke Magic Land. Barang-barang pribadi sudah mereka masukkan ke mobil. Bahkan, Marco dan Carlos juga siap untuk mengikuti dan mengawal mereka dari kejauhan. Axel membukakan pintu mobil untuk Niken masuk. Saat itu, ponsel Niken berdering. “Siapa yang menghubungiku?” pikir Niken sambil merogoh tas dan mencari ponselnya. Itu adalah ponsel baru dan tidak banyak orang yang tahu nomornya selain Axel. Axel menyipitkan mata. Tangannya sampai lelah karena harus menahan pintu. Sedangkan Blari tidak segera masuk. Gadis itu malah menjawab telepon dan sedikit menjauh dari Axel. “Niken Raswani?” tanya seorang pria di telepon. “Yah, ini aku. Kamu siapa?” “Apa kau lupa sudah memberikan nomor ponselmu di kertas catatan yang kau tempelkan di atas naskah novelmu?” Niken segera berpikir cepat. Dia langsung teringat pada Louis Marais. “Oh, Louis Marais? Maaf, aku tidak mengenali suaramu.” Teling
“Apa maksudmu? Apa kau memintaku untuk melakukan hal-hal yang buruk, Louis?” Louis tersenyum kaaku. Dia pun melepaskan cengkramannya dari tangan Niken dan meminta maaf. “Tidak, aku benar-benar menawarkan pekerjaan untukmu. Kirimkan satu sinopsis setiap minggu. Jika hasilnya baik, mungkin akan bisa dijadikan film. Aku akan membayarmu sesuai dengan kualitas naskah yang kau kirimkan padaku.” Niken kaget antara percaya dan tidak. Akhirnya dia menyadari bahwa itu tantangan yang sangat serius. Pekerjaan yang ditawarkan oleh Louis benar-benar akan menguji kemampuan Niken dalam hal menulis. “Baiklah! Aku sepakat.” Louis tertawa. “Cepat sekali kau berubah pikiran? Tapi aku suka dengan sikap terbuka dan ceriamu. Beruntung sekali kakakku bisa menikahi perempuan seperti dirimu.” Senyum hilang sama sekali di wajah Niken dan berubah menjadi rasa bersalah. “Louis, maafkan aku atas kejadian yang tadi.” “Tidak masalah, aku bisa mengerti posisim
Niken tidak bisa berlari cepat karena dia harus berhati-hati dengan keselamatan bayi di dalam perutnya. Tepat saat Niken akan meraih gagang pintu kamar, Axel sudah mendahului dan mengadang Niken.Niken terkesiap.“Oke, aku minta maaf. Tadi aku hanya bercanda. Oke?”Axel tersenyum sinis. “Minta maaf? Bercanda? Semudah itu?”Niken mulai gugup dan ketakutan. Tampaknya Axel kali ini benar-benar marah dan serius ingin melakukan sesuatu padanya.“Ah, kau lapar, kan? Kau belum makan malam? Bagaimana jika aku saja yang menyiapkan makan malam untukmu?”Niken pun berbalik arah dan akan turun lagi ke dapur.Axel menarik tangan gadis itu dan menyeretnya ke dalam pelukan. Niken membeku selama beberapa detik yang sangat panjang. Axel memeluknya dari belakang dengan sangat posesif.“Axel? Apa yang kau lakukan?”“Hukuman untukmu,” bisik Axel di telinga Niken.Gadis itu b
Celine Marais dan Niken Raswani duduk berhadapan di sofa ruang tamu rumah pantainya. Niken merasa sangat canggung dan tidak tahu harus berbicara apa di hadapan ibu mertua tirinya. Beberapa menit yang lalu usai Celine menarik tangan Niken keluar dari pintu, tiba-tiba perempuan itu nyelonong masuk ke rumah. Niken tidak bisa mengusir Celine. Tapi, dia juga tidak senang melihat kemunculan perempuan yang kehadirannya sangat mengintimidasi tersebut. Celine duduk sambil bertopang kaki dengan angkuh. Dia mengipas-ngipaskan tangannya ke badan sambil memperhatikan rumah pantai itu dengan seksama. Niken sebenarnya tidak tega melihat Celine kepanasan. Dia pun mengambilkan kipas kertas dan mencoba mengipasi Celine. “Apa-apaan kau ini?” Celine menampik kipas kertas yang sedang diayunkan Niken. “Kau hanya akan merusak tatanan rambutku dengan kipas itu. Lagian kenapa kau tidak memakai pendingin udara?” “Oh, itu. Sebenarnya, sejak hamil aku tidak bersahabat dengan pendingin udara. Dan kurasa ang
Di antara desahan napas mereka yang saling memburu, Axel membisikkan sesuatu ke telinga Niken. “Menikahlah denganku, Niken. Jadilah istriku. Jadilah ibu dari putri dan calon anak-anak kita nanti. Menikahlah denganku, cintaku…” *** Beberapa bulan setelah malam tersebut. Seorang perempuan paruh baya tengah membersihkan meja restoran usai pelanggan terakhir pergi. Wajahnya tampak lelah. Tapi dia masih begitu semangat bekerja. Pintu terbuka. “Maaf kami sudah tutup!” ujar pekerja restoran tersebut tanpa menoleh dan tetap mengelap meja. Seorang gadis kecil berusia tiga tahun yang sangat cantik dan menggemaskan berjalan mendekatinya. Perempuan itu menghentikan aktivitasnya mengelap meja. Dia kaget sekaligus terpukau dengan kecantikan gadis itu. “Hai, Nak! Kau datang dengan orang tuamu?” Perempuan itu menoleh ke pintu dan tidak melihat siapa pun. Dia pun berlutut di depan balita itu untuk menyejajarkan posisinya. “Kau datang sendirian? Siapa namamu? Restoran kami sudah tutup. Apa k
Niken berhasil meloloskan diri dari pelukan Axel tanpa menjatuhkan harga dirinya. Dia mengembuskan napas lega usai mengusir pria itu. Tidak lagi terdengar suara Axel yang berteriak maupun mengetuk pintu. Niken kembali menyibukkan diri dengan pekerjaan dan aktivitas merawat Angelie. Beberapa jam kemudian, Niken pun menuju ke pintu depan dan membukanya. Dia mengintip ke halaman dan tidak melihat Axel di mana pun. Ada rasa penyesalan sekaligus kehilangan di dalam hati kecilnya. Tapi Niken berusaha menepis semua kekhawatiran itu dan kembali fokus pada kehidupannya saat ini. Saat Niken akan menutup kembali pintu, sudut matanya menangkap sekelebat gerakan yang mengganggunya. Nikah pun keluar dan berjalan menuju ke halaman samping. Dia terkejut ketika melihat Axel tengah berbaring meringkuk di ayunan. “Astaga, apa yang sedang dia lakukan di sana? Benar-benar keras kepala. Kenapa dia tidak juga pergi dari sini?” Niken pun kembali kesal dan membanting pintu hingga menutup rapat. Niken p
Axel kembali ke rumah pantai dan berlari dengan tergopoh-gopoh. Dia membuka pintu rumah yang tidak terkunci dan berteriak memanggil nama Niken. “Niken! Niken Di mana kau?” Axel tidak menemukan Niken di manapun. “Angelie? Ini papa!” Axel pun berlari menuju ke lantai dua. “Angelie? Kalian di mana? Niken?” Rumah itu benar-benar kosong. Axel tidak menemukan Niken dan putrinya di mana pun. Axel nekat pergi ke kamar Niken. Tempat itu juga kosong. Dia mencari ke ruangan yang lain dan melihat sebuah kamar bayi. Langkah Axel melambat begitu melihat banyak sekali perlengkapan bayi di sana. Axel berlutut di depan ranjang bayi. Dia mengambil salah satu sepatu rajut kecil milik putrinya dan menciumnya dengan air mata berderai. “Di mana kalian berada? Apa sesuatu yang buruk menimpa Angelie? Ke mana aku harus mencari kalian?” Axel tidak tahu lagi harus ke mana. Dia pun kembali keluar dan berdiri di halaman rumah dengan gelisah. Dia letakkan tas ranselnya ke tanah dan berdiri di sana sepert
Niken berjalan-jalan di sepanjang pantai bersama dengan putri kecilnya. Dia meletakkan Angelie di dalam stroller. Niken terus bercerita sambil menunjukkan banyak hal kepada Angelie. “Maafkan mama, Angelie. Saat seperti ini, aku benar-benar menyesal pada diriku sendiri karena tidak bisa memberikanmu seorang ayah yang bisa kau banggakan di hadapan teman-temanmu kelak.” Niken berlutut di depan stroller sambil menatap sepasang mata bening bayi itu. Angelie tersenyum ceria sambil sesekali memasukkan tangannya ke mulut. Niken mengulurkan telunjuknya untuk membelai pipi Angelie. Bayi kecil itu pun meraih jari Niken dan menggenggamnya erat. “Aku benar-benar merindukan Mama di saat seperti ini. Apa yang dia lakukan sekarang? Apa dia sehat di sana? Betapa berat rasanya harus membesarkan seorang anak sendirian tanpa didukung oleh suami dan keluarga. Kini, aku tahu betapa marahnya Mama malam itu, ketika tahu aku sedang hamil. Aku bisa mengerti jika dia mengusirku dari rumah. Aku benar-benar la
Niken pulang ke rumahnya yang sepi dan gelap. Tempat pertama yang dia tujuh adalah bekas kamar Axel. Dia buka pintu kamar itu dengan pelan. Di dalam hati kecilnya, Niken berharap ada keajaiban. “Apa yang sedang aku lakukan di sini? Mustahil dia tiba-tiba muncul di sini, kan? Aku bahkan tidak tahu di mana dia saat ini. Setelah kutolak lamarannya, dia pergi begitu saja meninggalkan segalanya.” Niken akan menutup kembali pintu kamar Axel yang kosong. Lalu tatapannya terhenti pada potret Axel berukuran besar dan masih terpasang di dinding. Axel bertelanjang dada dan berpose dengan begitu memikat dalam foto itu. “Hanya foto itu satu-satunya yang masih tertinggal.” Niken mengingat betapa Axel sangat membanggakan foto itu. Saat itulah Niken benar-benar mulai merasakan kesepian. Dia menepis kenangan manis tentang Axel dan lekas menutup kembali pintu kamarnya. Niken pun bergegas menuju ke kamar Angelie. Gadis kecil itu satu-satunya pelipur kesepian Niken saat ini. *** Louis pergi ke pa
Enam bulan kemudian… “Kau tidak perlu membawakanku bunga dan mainan untuk Angelie setiap kali berkunjung ke sini, Louis.” Niken mempersilakan Louis masuk ke rumah pantai yang kini menjadi miliknya. Louis duduk di ruang tamu. Dia menatap ke arah stroller bayi tempat di mana Niken meletakkan Angelie yang sedang tidur lelap di sana. “Kau sepertinya suka bunga. Dan aku juga sama sekali tidak keberatan jika harus membelikan lebih banyak mainan untuk Angelie. Lihatlah dia tidur dengan sangat lelap. Gadis kecil ini tumbuh begitu cepat.” Niken membawakan minuman untuk Louis. “Maaf jika rumah ini berantakan. Karena aku benar-benar harus mengerjakan semuanya sendiri termasuk mengurus Angelie.” “Kau selalu menolak tawaranku untuk memberikan Angelie pengasuh.” “Tidak apa Louis. Aku tidak ingin kehilangan momen berharga menemani masa-masa pertumbuhan emas putriku.” “Oh, aku datang ke sini untuk mengabarkan padamu bahwa kami sudah memilih sutradara untuk film yang akan kita produksi.” “Ben
Sang pengacara membacakan isi surat wasiat yang kedua. “Tuan Marais mengatakan bahwa Tuan Axel bisa memilih antara surat wasiat pertama atau kedua. Tuan Axel juga bisa menolak perjodohan dengan Nona Clarissa Jordan. Tapi, dia harus bisa menemukan jodoh lain yang telah ditentukan untuknya pada surat wasiat yang kedua.” “Apa?” Celine dan Louis benar-benar terkejut. “Apa maksudmu dengan jodoh lain yang sudah ditentukan? Berapa jodoh yang ditakdirkan untuk Axel?” “Tuan Axel ditakdirkan menjadi pasangan dari dua orang gadis. Gadis pertama memang Nona Clarissa Jordan. Gadis yang kedua adalah putri dari perempuan yang pernah dicintai oleh Tuan Marais.” “Omong kosong!” teriak Celine. Sang pengacara pun menceritakan semuanya pada Celine dan juga Louis dengan disaksikan oleh Carlos. “Tuan Marais memiliki cinta pertama dari kalangan manusia. Tepat sebelum dia menikah dengan ibunya Axel. Karena perempuan ini dari ras manusia, maka Tuan Marais tidak bisa melanjutkan hubungannya. Dia pun memi
Celine dan Louis sudah menunggu di kantor notaris yang ditunjuk oleh Tuan Marais. Mereka berkumpul di sana untuk mendengarkan pembacaan surat wasiat oleh pengacara. “Kenapa tidak kita mulai saja?” ujar Celine. “Kami sudah menunggu cukup lama di sini.” Sang notaris berdeham. Beberapa kali dia melirik ke arah pintu dan juga jam tangan. “Tuan Axel belum datang. Saya tidak bisa membacakan surat wasiat ini jika seluruh anggota yang berkepentingan belum hadir.” “Dia tidak akan datang,” seru Louis. “Dia sudah menyerah dan sadar posisinya tidak akan mampu mendapatkan kepemimpinan di perusahaan. Axel sudah gagal memenuhi surat wasiatnya.” Seseorang membuka pintu. Semua yang ada di dalam ruangan sang notaris terkejut. Mereka pikir yang datang adalah Axel. Begitu melihat Carlos yang masuk ke ruangan tersebut, mereka pun mengembuskan napas lega kecuali sang notaris. “Di mana Tuan Axel?” tanya sang notaris. “Tuan Axel sedang dalam perjalanan ke sini. Bukankah batas waktu pemenuhan surat wa
Sebulan pun berlalu usai terbongkarnya status pernikahan kontrak Niken dan Axel. Selama itu pula pemberitaan di media semakin kuat menerpa. Beragam gosip dan fitnah terus bermunculan. Kondisi perusahaan di bawah kepemimpinan Axel semakin menghadapi guncangan. Kerugian terus-menerus terjadi. Proyek-proyek lain yang dipegang oleh Axel pun semakin berguguran dan ditinggalkan oleh para investornya. Perusahaan manajemen artisnya pun mulai ditinggalkan. Pagi itu, Niken terbangun dengan perasaan yang begitu kesepian dan tidak nyaman. Semalaman, dia sibuk mempersiapkan seluruh perlengkapan untuk persalinan. “Seharusnya aku akan melahirkan tepat di hari ulang tahunku yang ke-18. Tapi, belum ada tanda-tanda kontraksai sampai saat ini.” Dan di hari itu pula, masa depan Axel akan ditentukan. Surat wasiat sang ayah jatuh tempo pada hari itu. Axel akan mewarisi seluruh perusahaan Marais atau sebaliknya, dia akan dikeluarkan dari perusahaan dan posisinya digantikan oleh Louis. Niken keluar dari