Axel buru-buru kembali ke rumah. Niken sudah menunggunya di ruang makan. Sejumlah hidangan sudah tersaji di sana. Axel terkejut melihat Niken menyiapkan makan siang yang terlihat begitu menggiurkan. Dia senyum-senyum sendiri. “Oh, jadi kau ingin aku cepat-cepat pulang untuk memamerkan hasil masakanmu?” Setelah menanggalkan jas dan menggulung lengan kemeja, Axel segera mengambil piring dan menyantap makan siangnya. Niken masih duduk diam di seberang Axel. Dia hanya memperhatikan Axel yang lahap menyantap masakannya. “Kau tidak ikut makan?” “Tidak. Makanlah lebih dulu. Jika selesai, kita harus membicarakan sesuatu yang penting.” “Katakan saja sekarang,” pinta Axel sambil mengunyah sepotong daging ayam yang dimasak dengan saus kedelai. Niken terlihat ragu-ragu pada awalnya. Karena Axel sudah memberinya izin, Niken tidak perlu ragu dan menunggu hingga Axel selesai makan. “Axel, kita punya masalah besar. Ibu tirimu tadi datang ke sini.” Uhuk! Axel tersedak. Dia memukul-mukul dad
Niken dan Axel berada dalam perjalanan kembali ke rumah pantai mereka. Mereka benar-benar berkendara dalam senyap. Axel fokus mengemudi meski pikirannya berkecamuk tentang ancaman dan desakan dari Celine. Sedangkan Niken masih memikirkan tentang perkataan Celine mengenai rahasia yang tersimpan di dalam keluarga Marais. Niken tidak pernah nyaman setiap kali berhadapan dengan Celine. Perempuan itu memiliki aura yang begitu kuat sekaligus menakutkan. “Kamu mau es krim?” tanya Axel tiba-tiba. “Apa? Es krim di tengah-tengah musim dingin?” Lima belas menit kemudian, Niken pun masuk ke sebuah minimarket sambil menggerutu. Dia menuju ke tempat es krim dijual. “Dia selalu saja begitu,” gerutu Niken. “Berpura-pura menawarkanku sesuatu tapi sebenarnya dia sendiri yang ingin membeli makanan itu. Ujung-ujungnya aku lagi yang harus turun dan membeli. Tidak bisakah dia sedikit berempati pada perempuan yang sedang hamil?” Tanpa sadar, Niken berjalan sambil mengusap perutnya yang mulai membesar
“Kau akan melakukan pemeriksaan kehamilan hari ini? Aku tidak bisa mengantarmu karena ada pekerjaan. Tapi, aku akan menjemputmu jika sudah selesai.” Itu adalah pesan yang dikirim Axel pada Niken beberapa jam yang lalu. Dia akan menjemput Niken dari rumah sakit sebelum pergi ke pack. Malam bulan purnama. Axel keluar dari kantor lebih awal. Dia harus pergi ke desa dan berkunjung ke packnya. Tempat itu terletak di kawasan hutan sekitar satu jam berkendara dari rumah pantainya. Axel selalu kembali ke pack dan berkumpul dengan kawanannya setiap malam purnama. Mereka akan melakukan perburuan, berpesta, dan merayakan pernikahan sejumlah rekan-rekannya jika ada. Ponsel Axel berdering ketika dia akan meninggalkan kantor. “Alfa, bisa kau datang lebih awal ke pack? Ada sedikit masalah di sini. Dan aku rasa hanya kau yang bisa menyelesaikannya.” Axel memeriksa jam di ponselnya. Dia masih memiliki waktu sekitar satu jam sebelum menjemput Niken dari rumah sakit. Axel mengakhiri panggilan ter
“Kau akan melakukan pemeriksaan kehamilan hari ini? Aku tidak bisa mengantarmu karena ada pekerjaan. Tapi, aku akan menjemputmu jika sudah selesai.” Itu adalah pesan yang dikirim Axel pada Niken beberapa jam yang lalu. Dia akan menjemput Niken dari rumah sakit sebelum pergi ke pack. Malam bulan purnama. Axel keluar dari kantor lebih awal. Dia harus pergi ke desa dan berkunjung ke packnya. Tempat itu terletak di kawasan hutan sekitar satu jam berkendara dari rumah pantainya. Axel selalu kembali ke pack dan berkumpul dengan kawanannya setiap malam purnama. Mereka akan melakukan perburuan, berpesta, dan merayakan pernikahan sejumlah rekan-rekannya jika ada. Ponsel Axel berdering ketika dia akan meninggalkan kantor. “Alfa, bisa kau datang lebih awal ke pack? Ada sedikit masalah di sini. Dan aku rasa hanya kau yang bisa menyelesaikannya.” Axel memeriksa jam di ponselnya. Dia masih memiliki waktu sekitar satu jam sebelum menjemput Niken dari rumah sakit. Axel mengakhiri panggilan ter
“Kau seharusnya tidak menjanjikan untuk menjemputku! Atau kau tidak seharusnya memintaku untuk menunggu!” Niken berteriak dengan berapi-api di hadapan Axel. Axel menarik nafas dalam dan mengembuskannya. Dia melilitkan handuk ke pinggang dan menjelaskan pada Niken dengan nada setenang mungkin. “Aku datang ke rumah sakit dan kau tidak ada di sana. Aku juga sudah berusaha mencari ke restoran terdekat, tapi aku tidak menemukanmu. Entah sudah berapa restoran yang Aku datangi. Dan aku juga sudah berusaha menghubungi ponselmu, tapi tidak aktif. Dan terakhir aku memutuskan untuk memeriksamu ke rumah.” “Kau hanya beralasan! Dari awal kau memang tidak berniat untuk menjemputku. Kau hanya berusaha untuk mempermainkanku, Axel Marais!” “Niken! Niken, tunggu!” Axel bergegas mengadang langkah Niken yang akan meninggalkan kamar mandi. “Ah!” Tiba-tiba Niken mengerang karena ada rasa sakit di perutnya. Dia memegangi perutnya sambil bersandar pada dinding kamar mandi. Axel terkejut. “Ada apa? Ka
Niken meninggalkan restoran. Dia sedang berdiri di pinggir jalan untuk menunggu taxi. Sebuah mobil hitam melaju dengan lambat hingga akhirnya berhenti tepat di depan Niken. Sang pengemudi membuka kaca mobil. Niken yang penasaran pun sedikit membungkuk untuk melihat siapa orang tersebut. “Naiklah!” “Axel?” Niken benar-benar terkejut sekaligus panik. ‘Apa Axel tahu apa yang sedang aku lakukan di sini? Apakah orang yang menguntitku sejak dari rumah memang benar-benar orang suruhan Axel? Ini terlalu mengejutkan untuk menjadi suatu kebetulan.’ Niken sibuk dengan pikirannya sendiri. “Kenapa kau bengong dan masih berdiri di sana? Kau sedang hamil dan jangan terlalu lelah. Cepat naiklah dan kita akan pulang bersama.” ‘Akan lebih aneh dan mencurigakan jika aku menolak, bukan?’ Dengan sangat hati-hati dan gugup, Niken pun masuk ke mobil. Dia duduk diam dan hanya menatap lurus ke depan. Axel mendekatkan bibirnya ke wajah Niken. Gadis itu memejamkan mata dan mengerut di tempat duduknya.
Axel berada di kantornya. Dia duduk dengan gelisah tampak sedang menunggu seseorang. Pintu terbuka. Axel segera menegakkan badan dan memasang wajah dingin. Terlihat dari kedua tangan yang terkepal kuat tengah menahan emosi yang hampir meledak di dalam kepalanya. Marco dan Carlos datang sambil menyeret seorang pemuda berjaket dan bertopi hitam. Pemuda itu terus memberontak, melawan, dan memaki. Dia meminta agar Carlos dan Marco melepaskannya. Kedua pengawal tersebut tidak berniat melepaskannya. Mereka mencengkram semakin kuat kedua lengan pemuda itu lalu menyeretnya sampai ke hadapan Axel. Pemuda itu dipaksa berlutut di depan Axel. Axel bangkit dari kursinya. Dia berdiri dengan kedua tangan terkepal dan menatap pemuda itu dengan begitu tajam. Pemuda itu acuh tidak acuh. Dia dengan santai memijat-mijat rahangnya yang kaku. Wajahnya lebam dan darah segar terlihat masih keluar dari bibirnya yang pecah. “Brengsek!” umpat pemuda itu. “Apa mau kalian sebenarnya? Aku akan menuntut kali
Axel baru kembali dari jogging. Setiap pagi sebelum berangkat kerja, dia selalu menyempatkan diri untuk berolahraga atau sekedar lari di sekitar pantai. Begitu kembali ke rumah, Axel berpapasan Niken yang sudah berpakaian rapi dan akan meninggalkan rumah. Axel masih kesal. Dia pun mengabaikan Niken meski begitu penasaran ke mana gadis itu akan pergi. Axel langsung menuju ke dapur dan mengambil segelas air. “Axel, aku pergi dulu!” ujar Niken. Axel hampir tersedak air minum karena kaget. Dia pun melambaikan tangan pada Niken tanpa melirik pada gadis itu. “Pergilah!” Niken urung meninggalkan rumah dan berbalik ke dapur untuk mencari Axel. “Apalagi sekarang?” tanya Axel sedikit ketus. “Apa kau melupakan sesuatu?” Niken tiba-tiba tersenyum ke arah Axel sambil merentangkan tangan dan membentuknya menjadi sebuah hati yang besar. “Axel, aku sangat mencintaimu! Aku mencintaimu seluas langit dan sedalam samudra!” teriak Niken. Dia mengatakan hal itu sambil tertawa kecil untuk menggoda