Axel duduk di salah satu bangku restoran tanpa mengalihkan perhatian dari ponselnya. Berulang kali dia menghubungi Niken, tapi gadis itu tak segera menjawab panggilannya. Sangat jelas terlihat bahwa Axel mulai khawatir. Axel berdiri sambil mengemasi barang-barangnya. Tepat saat dia berbalik, Niken sudah berdiri di belakangnya dengan wajah pucat dan napas terengah-engah. “Kau… membuatku kesal!” Axel mendesis. “Sudah kukatakan untuk....” “Maaf!” Niken memotong perkataan Axel dengan cepat. Dia mengatakannya dengan suara yang terputus-putus dan napas yang masih tersengal-sengal. “Aku sudah berusaha yang terbaik. Aku bahkan berlari cepat-cepat untuk segera datang ke sini.” Axel mengepalkan tangan dan mengayunkan tinjunya ke udara kosong. “Kau mengabaikan panggilanku! Sudah kukatakan untuk….” Belum selesai Axel berbicara, Niken sudah maju beberapa langkah dengan cepat sambil menyodorkan ponsel yang sebelumnya Axel berikan untuknya. Niken mendorong ponsel itu ke dada Axel dengan kasar
“Kau yakin ingin menghadiri acara makan malam keluarga?” Niken baru menyelesaikan riasan terakhirnya dan dia baru akan keluar dari kamar ketika mendengar suara Carlos yang tengah berbicara pada Axel. Gadis itu mematung di balik pintu kamar yang sedikit terbuka. Dia sengaja ingin mendengarkan percakapan antara Axel dengan pengawal pribadinya. “Aku sudah mengira,” pikir Niken. “Kedua pria itu tak hanya sekadar pengawal pribadi dan bosnya. Mereka memiliki hubungan yang jauh lebih dekat dari sekadar rekan kerja.” “Mereka pasti sudah menyiapkan sesuatu yang lebih dari sekadar makan malam keluarga biasa,” ujar Carlos. “Aku tak pernah salah tentang hal-hal seperti ini. Sebaiknya, kau pertimbangkan sekali lagi sebelum memutuskan untuk menghadirinya, Axel.” “Terimakasih atas kekhawatiranmu, Carlos. Seperti yang kau tahu, Celine tak akan berhenti hanya sampai di sini. Lebih cepat mengakhirinya lebih baik. Akan aku tunjukkan siapa yang memimpin permainan.” Suara Axel terdengar dingin. Niken
"Selamat datang di acara undangan makan malam keluarga besar Marais. Para kolega yang sudah bersedia untuk datang, sekali lagi saya sampaikan terima kasih. Sebelum kita menikmati sajian utama, saya ingin menyambut kedatangan Clarissa Jordan, putri pertama dari keluarga Jordan." Seluruh tamu undangan yang hadir memberikan tepuk tangan dan sambutan yang meriah ketika seorang perempuan cantik mengangkat gelasnya sambil tersenyum. Semua orang tahu bahwa Clarissa baru kembali dari luar negeri untuk proyek terbaru perusahaan mereka. Keluarga Jordan yang menguasai media nasional bahkan kini melebarkan sayap dengan membuka stasiun televisi di luar negeri. "Makan malam ini sekaligus menjadi momen untuk mengukuhkan dua keluarga dalam ikatan yang lebih serius. Dalam waktu sebulan ke depan, pernikahan putra sulung kami, Axel Marais dan putri sulung keluarga Jordan akan segera digelar." Celine dengan bangga melanjutkan sambutannya. Kali ini tepuk tangan terdengar lebih meriah dan heboh dari se
Niken mengakhiri penampilannya dengan sangat sempurna dan memukau, tapi dia tak menyadari hal itu. Ketika nada terakhir dari tuts piano selesai dimainkan, Niken sedikit menundukkan wajah. Dia merasa gagal dan malu. Suasana menjadi hening untuk beberapa detik. Seolah-olah semua tamu undangan yang hadir malam itu tersihir oleh penampilannya. Seorang pemuda yang sebelumnya terus melirik ke arah Niken dan Axel, lebih dulu bertepuk tangan. Tepukan tangannya menyadarkan orang-orang. Lalu, mereka semua serempak ikut memberikan tepuk tangan yang meriah untuk penampilan Niken yang memukau. Diam-diam Axel mengembuskan napas lega, meski ketegangan masih melingkupi sekujur tubuhnya. Dia segera maju ke tempat Niken berdiri dan mengulurkan tangan untuk membawa gadis itu kembali ke sisinya. Ketika menggenggam tangan Niken dan memeluk pinggang gadis itu, Axel terlihat begitu posesif. Dia bisa merasakan betapa tubuh Niken bergetar dan menggigil di saat yang bersamaan. Axel sendiri pasti akan merasa
Niken tak bisa meneruskan kata-katanya. Karena bibir gadis itu sudah dibungkam rapat oleh bibir Axel. Niken terkejut. Namun, tanpa sadar dia juga menerima ciuman itu. Ada tuntutan untuk meminta lebih yang muncul begitu saja dari dasar hatinya yang paling dalam. Pada detik berikutnya, kesadaran Niken yang mengambil alih. Spontan dia mendorong dada Axel agar menjauh dan Niken mulai bernapas dengan terengah-engah. “Apa yang kau lakukan?” gumam Niken dengan wajah merah dan putus asa. Dia meraba bibirnya yang terasa panas dan berdenyut. Aroma Axel masih melekat di sana. Axel sendiri menarik diri. Dia menghembuskan napasnya dengan kasar. Pria itu mencoba mengalihkan pikiran dengan merapikan dasi dan jasnya yang baik-baik saja lalu duduk dengan tegak. Mobil yang membawa mereka kembali ke apartemen melaju dengan kecepatan sedang. Tiba-tiba Axel berteriak pada sang sopir agar mempecepat lajunya. “Apa yang aku lakukan?” bisik Axel di antara seringai nakalnya. Dia mengulangi pertanyaan Nik
Axel sudah hampir berlari menuju ke balkon kamar Niken ketika dia mendengar suara rintihan. Langkah kaki Axel terhenti dan dia segera menoleh ke atas tempat tidur. Di balik selimut yang bertumpuk dan kusut, Axel melihat Niken sedang meringkuk di sana. Seketika rasa lega membanjiri perasaan Axel. “Apakah dia tidur dalam keadaan jendela terbuka? Dasar gadis gila!” gumam Axel sambil menutup kembali jendela itu dengan rapat. Saat Axel akan melangkah meninggalkan kamar Niken, tiba-tiba dia merasa ragu. Niken sama sekali tidak bereaksi dengan kemunculan Axel. Pria itu berjalan kembali menuju ke ranjang untuk memeriksa keadaan Niken. “Hei, kau baik-baik saja?” Axel menarik selimut yang menutupi tubuh Niken. “Kau terus merintih. Apa semalaman kau tidur dengan jendela terbuka? Apa kau gila?” Axel terkejut melihat penampilan gadis itu di balik selimut. Niken bahkan belum mengganti pakaiannya. Dia masih mengenakan gaun pesta yang sama. Gadis itu hanya meringkuk di ranjang seperti bayi. Kin
“Mama....” Axel tertidur dengan posisi tubuh bersimpuh ke lantai sedangkan kepala dan tangannya bertumpu pada ranjang Niken. Pria itu tersentak kaget ketika mendengar suara Niken. “Mama... sakit....” Niken merintih dalam tidur. Axel segera duduk tegak. Dia memeriksa keadaan Niken. Mata gadis masih terpejam erat, tapi bibirnya terus bergumam memanggil-manggil sang ibu. Axel mulai panik. Ingin sekali dia mengangkat Niken dan membawanya ke rumah sakit saat itu juga. Akan tetapi, Niken pasti akan marah besar dan mungkin akan melakukan pemberontakan yang lebih keras lagi jika Axel membawanya ke rumah sakit dengan paksa. Axel berjalan mondar-mandir di kamar Niken sambil memikirkan apa yang harus dia lakukan. Rintihan Niken semakin sering dan gadis itu terlihat sangat kesakitan. Axel mendekat. Ragu-ragu dia mengulurkan tangan untuk meraba kening Niken. “Suhu tubuhnya masih tinggi.” Axel mendesah dan melipat kedua tangan ke dada. Dia marah karena frustrasi dan merasa tak berdaya. Axel
Sebelum Axel berjalan mendekat ke arah ranjang, Niken sudah menyibakkan selimut dan melompat turun. Dia berlari meninggalkan kamarnya dan bergegas pergi ke dapur untuk membersihkan kekacauan yang sudah dia buat. Axel Masih berdiri di depan ranjang Niken. Diam-diam dia tertawa melihat tingkah laku Niken yang panik. “Rasakan itu! Jangan coba-coba untuk mempermainkanku,” ujar Axel sambil kembali merapikan pakaiannya. Niken mulai membersihkan dapur. Setelah membuang sampah, dia mencuci piring-piring yang menumpuk di wastafel. Mulutnya terus menggerutu dan mengumpat. Dia kesal pada Axel. Saat Niken membilas piring, tiba-tiba Axel berjalan melewatinya. Gadis itu meletakkan piring dan bersandar dengan satu tangan pada wastafel. Dia pegangi kepalanya dengan tangan yang lain. “Aduh....” rintik Niken. “Kepalaku sakit sekali!” Dia berpura-pura kesakitan di depan Axel. Axel akan mengambil air di kulkas. Mendengar rintihan Niken, dia batal melakukannya. Axel melirik ke arah Niken dengan tata
Di antara desahan napas mereka yang saling memburu, Axel membisikkan sesuatu ke telinga Niken. “Menikahlah denganku, Niken. Jadilah istriku. Jadilah ibu dari putri dan calon anak-anak kita nanti. Menikahlah denganku, cintaku…” *** Beberapa bulan setelah malam tersebut. Seorang perempuan paruh baya tengah membersihkan meja restoran usai pelanggan terakhir pergi. Wajahnya tampak lelah. Tapi dia masih begitu semangat bekerja. Pintu terbuka. “Maaf kami sudah tutup!” ujar pekerja restoran tersebut tanpa menoleh dan tetap mengelap meja. Seorang gadis kecil berusia tiga tahun yang sangat cantik dan menggemaskan berjalan mendekatinya. Perempuan itu menghentikan aktivitasnya mengelap meja. Dia kaget sekaligus terpukau dengan kecantikan gadis itu. “Hai, Nak! Kau datang dengan orang tuamu?” Perempuan itu menoleh ke pintu dan tidak melihat siapa pun. Dia pun berlutut di depan balita itu untuk menyejajarkan posisinya. “Kau datang sendirian? Siapa namamu? Restoran kami sudah tutup. Apa k
Niken berhasil meloloskan diri dari pelukan Axel tanpa menjatuhkan harga dirinya. Dia mengembuskan napas lega usai mengusir pria itu. Tidak lagi terdengar suara Axel yang berteriak maupun mengetuk pintu. Niken kembali menyibukkan diri dengan pekerjaan dan aktivitas merawat Angelie. Beberapa jam kemudian, Niken pun menuju ke pintu depan dan membukanya. Dia mengintip ke halaman dan tidak melihat Axel di mana pun. Ada rasa penyesalan sekaligus kehilangan di dalam hati kecilnya. Tapi Niken berusaha menepis semua kekhawatiran itu dan kembali fokus pada kehidupannya saat ini. Saat Niken akan menutup kembali pintu, sudut matanya menangkap sekelebat gerakan yang mengganggunya. Nikah pun keluar dan berjalan menuju ke halaman samping. Dia terkejut ketika melihat Axel tengah berbaring meringkuk di ayunan. “Astaga, apa yang sedang dia lakukan di sana? Benar-benar keras kepala. Kenapa dia tidak juga pergi dari sini?” Niken pun kembali kesal dan membanting pintu hingga menutup rapat. Niken p
Axel kembali ke rumah pantai dan berlari dengan tergopoh-gopoh. Dia membuka pintu rumah yang tidak terkunci dan berteriak memanggil nama Niken. “Niken! Niken Di mana kau?” Axel tidak menemukan Niken di manapun. “Angelie? Ini papa!” Axel pun berlari menuju ke lantai dua. “Angelie? Kalian di mana? Niken?” Rumah itu benar-benar kosong. Axel tidak menemukan Niken dan putrinya di mana pun. Axel nekat pergi ke kamar Niken. Tempat itu juga kosong. Dia mencari ke ruangan yang lain dan melihat sebuah kamar bayi. Langkah Axel melambat begitu melihat banyak sekali perlengkapan bayi di sana. Axel berlutut di depan ranjang bayi. Dia mengambil salah satu sepatu rajut kecil milik putrinya dan menciumnya dengan air mata berderai. “Di mana kalian berada? Apa sesuatu yang buruk menimpa Angelie? Ke mana aku harus mencari kalian?” Axel tidak tahu lagi harus ke mana. Dia pun kembali keluar dan berdiri di halaman rumah dengan gelisah. Dia letakkan tas ranselnya ke tanah dan berdiri di sana sepert
Niken berjalan-jalan di sepanjang pantai bersama dengan putri kecilnya. Dia meletakkan Angelie di dalam stroller. Niken terus bercerita sambil menunjukkan banyak hal kepada Angelie. “Maafkan mama, Angelie. Saat seperti ini, aku benar-benar menyesal pada diriku sendiri karena tidak bisa memberikanmu seorang ayah yang bisa kau banggakan di hadapan teman-temanmu kelak.” Niken berlutut di depan stroller sambil menatap sepasang mata bening bayi itu. Angelie tersenyum ceria sambil sesekali memasukkan tangannya ke mulut. Niken mengulurkan telunjuknya untuk membelai pipi Angelie. Bayi kecil itu pun meraih jari Niken dan menggenggamnya erat. “Aku benar-benar merindukan Mama di saat seperti ini. Apa yang dia lakukan sekarang? Apa dia sehat di sana? Betapa berat rasanya harus membesarkan seorang anak sendirian tanpa didukung oleh suami dan keluarga. Kini, aku tahu betapa marahnya Mama malam itu, ketika tahu aku sedang hamil. Aku bisa mengerti jika dia mengusirku dari rumah. Aku benar-benar la
Niken pulang ke rumahnya yang sepi dan gelap. Tempat pertama yang dia tujuh adalah bekas kamar Axel. Dia buka pintu kamar itu dengan pelan. Di dalam hati kecilnya, Niken berharap ada keajaiban. “Apa yang sedang aku lakukan di sini? Mustahil dia tiba-tiba muncul di sini, kan? Aku bahkan tidak tahu di mana dia saat ini. Setelah kutolak lamarannya, dia pergi begitu saja meninggalkan segalanya.” Niken akan menutup kembali pintu kamar Axel yang kosong. Lalu tatapannya terhenti pada potret Axel berukuran besar dan masih terpasang di dinding. Axel bertelanjang dada dan berpose dengan begitu memikat dalam foto itu. “Hanya foto itu satu-satunya yang masih tertinggal.” Niken mengingat betapa Axel sangat membanggakan foto itu. Saat itulah Niken benar-benar mulai merasakan kesepian. Dia menepis kenangan manis tentang Axel dan lekas menutup kembali pintu kamarnya. Niken pun bergegas menuju ke kamar Angelie. Gadis kecil itu satu-satunya pelipur kesepian Niken saat ini. *** Louis pergi ke pa
Enam bulan kemudian… “Kau tidak perlu membawakanku bunga dan mainan untuk Angelie setiap kali berkunjung ke sini, Louis.” Niken mempersilakan Louis masuk ke rumah pantai yang kini menjadi miliknya. Louis duduk di ruang tamu. Dia menatap ke arah stroller bayi tempat di mana Niken meletakkan Angelie yang sedang tidur lelap di sana. “Kau sepertinya suka bunga. Dan aku juga sama sekali tidak keberatan jika harus membelikan lebih banyak mainan untuk Angelie. Lihatlah dia tidur dengan sangat lelap. Gadis kecil ini tumbuh begitu cepat.” Niken membawakan minuman untuk Louis. “Maaf jika rumah ini berantakan. Karena aku benar-benar harus mengerjakan semuanya sendiri termasuk mengurus Angelie.” “Kau selalu menolak tawaranku untuk memberikan Angelie pengasuh.” “Tidak apa Louis. Aku tidak ingin kehilangan momen berharga menemani masa-masa pertumbuhan emas putriku.” “Oh, aku datang ke sini untuk mengabarkan padamu bahwa kami sudah memilih sutradara untuk film yang akan kita produksi.” “Ben
Sang pengacara membacakan isi surat wasiat yang kedua. “Tuan Marais mengatakan bahwa Tuan Axel bisa memilih antara surat wasiat pertama atau kedua. Tuan Axel juga bisa menolak perjodohan dengan Nona Clarissa Jordan. Tapi, dia harus bisa menemukan jodoh lain yang telah ditentukan untuknya pada surat wasiat yang kedua.” “Apa?” Celine dan Louis benar-benar terkejut. “Apa maksudmu dengan jodoh lain yang sudah ditentukan? Berapa jodoh yang ditakdirkan untuk Axel?” “Tuan Axel ditakdirkan menjadi pasangan dari dua orang gadis. Gadis pertama memang Nona Clarissa Jordan. Gadis yang kedua adalah putri dari perempuan yang pernah dicintai oleh Tuan Marais.” “Omong kosong!” teriak Celine. Sang pengacara pun menceritakan semuanya pada Celine dan juga Louis dengan disaksikan oleh Carlos. “Tuan Marais memiliki cinta pertama dari kalangan manusia. Tepat sebelum dia menikah dengan ibunya Axel. Karena perempuan ini dari ras manusia, maka Tuan Marais tidak bisa melanjutkan hubungannya. Dia pun memi
Celine dan Louis sudah menunggu di kantor notaris yang ditunjuk oleh Tuan Marais. Mereka berkumpul di sana untuk mendengarkan pembacaan surat wasiat oleh pengacara. “Kenapa tidak kita mulai saja?” ujar Celine. “Kami sudah menunggu cukup lama di sini.” Sang notaris berdeham. Beberapa kali dia melirik ke arah pintu dan juga jam tangan. “Tuan Axel belum datang. Saya tidak bisa membacakan surat wasiat ini jika seluruh anggota yang berkepentingan belum hadir.” “Dia tidak akan datang,” seru Louis. “Dia sudah menyerah dan sadar posisinya tidak akan mampu mendapatkan kepemimpinan di perusahaan. Axel sudah gagal memenuhi surat wasiatnya.” Seseorang membuka pintu. Semua yang ada di dalam ruangan sang notaris terkejut. Mereka pikir yang datang adalah Axel. Begitu melihat Carlos yang masuk ke ruangan tersebut, mereka pun mengembuskan napas lega kecuali sang notaris. “Di mana Tuan Axel?” tanya sang notaris. “Tuan Axel sedang dalam perjalanan ke sini. Bukankah batas waktu pemenuhan surat wa
Sebulan pun berlalu usai terbongkarnya status pernikahan kontrak Niken dan Axel. Selama itu pula pemberitaan di media semakin kuat menerpa. Beragam gosip dan fitnah terus bermunculan. Kondisi perusahaan di bawah kepemimpinan Axel semakin menghadapi guncangan. Kerugian terus-menerus terjadi. Proyek-proyek lain yang dipegang oleh Axel pun semakin berguguran dan ditinggalkan oleh para investornya. Perusahaan manajemen artisnya pun mulai ditinggalkan. Pagi itu, Niken terbangun dengan perasaan yang begitu kesepian dan tidak nyaman. Semalaman, dia sibuk mempersiapkan seluruh perlengkapan untuk persalinan. “Seharusnya aku akan melahirkan tepat di hari ulang tahunku yang ke-18. Tapi, belum ada tanda-tanda kontraksai sampai saat ini.” Dan di hari itu pula, masa depan Axel akan ditentukan. Surat wasiat sang ayah jatuh tempo pada hari itu. Axel akan mewarisi seluruh perusahaan Marais atau sebaliknya, dia akan dikeluarkan dari perusahaan dan posisinya digantikan oleh Louis. Niken keluar dari