"Selamat datang di acara undangan makan malam keluarga besar Marais. Para kolega yang sudah bersedia untuk datang, sekali lagi saya sampaikan terima kasih. Sebelum kita menikmati sajian utama, saya ingin menyambut kedatangan Clarissa Jordan, putri pertama dari keluarga Jordan." Seluruh tamu undangan yang hadir memberikan tepuk tangan dan sambutan yang meriah ketika seorang perempuan cantik mengangkat gelasnya sambil tersenyum. Semua orang tahu bahwa Clarissa baru kembali dari luar negeri untuk proyek terbaru perusahaan mereka. Keluarga Jordan yang menguasai media nasional bahkan kini melebarkan sayap dengan membuka stasiun televisi di luar negeri. "Makan malam ini sekaligus menjadi momen untuk mengukuhkan dua keluarga dalam ikatan yang lebih serius. Dalam waktu sebulan ke depan, pernikahan putra sulung kami, Axel Marais dan putri sulung keluarga Jordan akan segera digelar." Celine dengan bangga melanjutkan sambutannya. Kali ini tepuk tangan terdengar lebih meriah dan heboh dari se
Niken mengakhiri penampilannya dengan sangat sempurna dan memukau, tapi dia tak menyadari hal itu. Ketika nada terakhir dari tuts piano selesai dimainkan, Niken sedikit menundukkan wajah. Dia merasa gagal dan malu. Suasana menjadi hening untuk beberapa detik. Seolah-olah semua tamu undangan yang hadir malam itu tersihir oleh penampilannya. Seorang pemuda yang sebelumnya terus melirik ke arah Niken dan Axel, lebih dulu bertepuk tangan. Tepukan tangannya menyadarkan orang-orang. Lalu, mereka semua serempak ikut memberikan tepuk tangan yang meriah untuk penampilan Niken yang memukau. Diam-diam Axel mengembuskan napas lega, meski ketegangan masih melingkupi sekujur tubuhnya. Dia segera maju ke tempat Niken berdiri dan mengulurkan tangan untuk membawa gadis itu kembali ke sisinya. Ketika menggenggam tangan Niken dan memeluk pinggang gadis itu, Axel terlihat begitu posesif. Dia bisa merasakan betapa tubuh Niken bergetar dan menggigil di saat yang bersamaan. Axel sendiri pasti akan merasa
Niken tak bisa meneruskan kata-katanya. Karena bibir gadis itu sudah dibungkam rapat oleh bibir Axel. Niken terkejut. Namun, tanpa sadar dia juga menerima ciuman itu. Ada tuntutan untuk meminta lebih yang muncul begitu saja dari dasar hatinya yang paling dalam. Pada detik berikutnya, kesadaran Niken yang mengambil alih. Spontan dia mendorong dada Axel agar menjauh dan Niken mulai bernapas dengan terengah-engah. “Apa yang kau lakukan?” gumam Niken dengan wajah merah dan putus asa. Dia meraba bibirnya yang terasa panas dan berdenyut. Aroma Axel masih melekat di sana. Axel sendiri menarik diri. Dia menghembuskan napasnya dengan kasar. Pria itu mencoba mengalihkan pikiran dengan merapikan dasi dan jasnya yang baik-baik saja lalu duduk dengan tegak. Mobil yang membawa mereka kembali ke apartemen melaju dengan kecepatan sedang. Tiba-tiba Axel berteriak pada sang sopir agar mempecepat lajunya. “Apa yang aku lakukan?” bisik Axel di antara seringai nakalnya. Dia mengulangi pertanyaan Nik
Axel sudah hampir berlari menuju ke balkon kamar Niken ketika dia mendengar suara rintihan. Langkah kaki Axel terhenti dan dia segera menoleh ke atas tempat tidur. Di balik selimut yang bertumpuk dan kusut, Axel melihat Niken sedang meringkuk di sana. Seketika rasa lega membanjiri perasaan Axel. “Apakah dia tidur dalam keadaan jendela terbuka? Dasar gadis gila!” gumam Axel sambil menutup kembali jendela itu dengan rapat. Saat Axel akan melangkah meninggalkan kamar Niken, tiba-tiba dia merasa ragu. Niken sama sekali tidak bereaksi dengan kemunculan Axel. Pria itu berjalan kembali menuju ke ranjang untuk memeriksa keadaan Niken. “Hei, kau baik-baik saja?” Axel menarik selimut yang menutupi tubuh Niken. “Kau terus merintih. Apa semalaman kau tidur dengan jendela terbuka? Apa kau gila?” Axel terkejut melihat penampilan gadis itu di balik selimut. Niken bahkan belum mengganti pakaiannya. Dia masih mengenakan gaun pesta yang sama. Gadis itu hanya meringkuk di ranjang seperti bayi. Kin
“Mama....” Axel tertidur dengan posisi tubuh bersimpuh ke lantai sedangkan kepala dan tangannya bertumpu pada ranjang Niken. Pria itu tersentak kaget ketika mendengar suara Niken. “Mama... sakit....” Niken merintih dalam tidur. Axel segera duduk tegak. Dia memeriksa keadaan Niken. Mata gadis masih terpejam erat, tapi bibirnya terus bergumam memanggil-manggil sang ibu. Axel mulai panik. Ingin sekali dia mengangkat Niken dan membawanya ke rumah sakit saat itu juga. Akan tetapi, Niken pasti akan marah besar dan mungkin akan melakukan pemberontakan yang lebih keras lagi jika Axel membawanya ke rumah sakit dengan paksa. Axel berjalan mondar-mandir di kamar Niken sambil memikirkan apa yang harus dia lakukan. Rintihan Niken semakin sering dan gadis itu terlihat sangat kesakitan. Axel mendekat. Ragu-ragu dia mengulurkan tangan untuk meraba kening Niken. “Suhu tubuhnya masih tinggi.” Axel mendesah dan melipat kedua tangan ke dada. Dia marah karena frustrasi dan merasa tak berdaya. Axel
Sebelum Axel berjalan mendekat ke arah ranjang, Niken sudah menyibakkan selimut dan melompat turun. Dia berlari meninggalkan kamarnya dan bergegas pergi ke dapur untuk membersihkan kekacauan yang sudah dia buat. Axel Masih berdiri di depan ranjang Niken. Diam-diam dia tertawa melihat tingkah laku Niken yang panik. “Rasakan itu! Jangan coba-coba untuk mempermainkanku,” ujar Axel sambil kembali merapikan pakaiannya. Niken mulai membersihkan dapur. Setelah membuang sampah, dia mencuci piring-piring yang menumpuk di wastafel. Mulutnya terus menggerutu dan mengumpat. Dia kesal pada Axel. Saat Niken membilas piring, tiba-tiba Axel berjalan melewatinya. Gadis itu meletakkan piring dan bersandar dengan satu tangan pada wastafel. Dia pegangi kepalanya dengan tangan yang lain. “Aduh....” rintik Niken. “Kepalaku sakit sekali!” Dia berpura-pura kesakitan di depan Axel. Axel akan mengambil air di kulkas. Mendengar rintihan Niken, dia batal melakukannya. Axel melirik ke arah Niken dengan tata
“Aku tak ingin kau pergi!” ujar Axel dengan nada memohon. Pria itu berada di lantai dasar. Dia duduk dalam kegelapan dengan punggung merunduk.Niken terjaga di malam hari. Gadis itu mendengar suara-suara dari lantai dasar dan segera beranjak dari tempat tidur untuk memeriksa. Niken berdiri di bordes lantai dua dan melongok ke bawah.“Axel? Apa yang dilakukan di dalam kegelapan?”Niken tidak tahu kalau Axel sudah kembali ke rumah. Saat Niken kembali dari swalayan dia mendapati rumah dalam keadaan kosong. Niken tertidur untuk beberapa jam.“Aku tak ingin kau pergi. Tak bisakah kau bersamaku?” Axel mengulangi kata-katanya lalu mendesah sambil mengibaskan tangan ke udara. “Aku amat menyukaimu. Aku mencintaimu.”Axel mengucapkan kalimat terakhir dengan nada lebih keras seolah-olah dia sangat menderita. Setelahnya, dia tiba-tiba merasa pusar. Axel mengacak-acak rambutnya sendiri lalu duduk dengan bahu melorot.“Sudah lama aku mencintaimu.” Axel berbicara dengan nada lebih rendah. “Tak bisak
“Kau?” Niken gemetar. Dia bahkan tak berani menyebutkan nama orang itu dengan bibirnya saat ini. “Yah, ini aku!” Ucap pria itu. “Andrew. Mantan kekasihmu.” Dia menyeringai tepat di depan Niken. Niken mundur ketakutan dan menutupkan syal ke mulutnya. “Maaf,” ujar Niken. “Kau pasti salah mengenali orang.” Dia mundur dan cepat-cepat berpaling dari sana. Andrew menarik tangan Niken tepat waktu. Dia cengkeram tangan gadis itu dengan kuat sampai Niken merintih. “Kau tak bisa membodohiku. Kau tak bisa pergi dariku, Niken Raswani!” Andrew juga menarik syal yang menutupi wajah Niken. Gadis itu memucat dan ketakutan. Matanya bertemu dengan mata Andrew. “Lepaskan aku!” ujar Niken sambil menyentak tangan Andrew dari lengannya. “Aku tak ada urusan denganmu. Kau sudah mencampakkanku demi Katty. Kenapa sekarang kau mengikuti dan menggangguku?” Andrew menyeringai. “Jadi ini memang kau! Awalnya, aku pikir Katty mengatakan omong kosong ketika dia berkata melihatmu di pusat perbelanjaan Manhattan