Niken dibangunkan oleh salju pertama yang turun di tahun itu titik matanya mengerjap dan melirik pada jendela yang gordennya terbuka. Langit berwarna kelabu. “Tidak!” pekik Niken tiba-tiba sambil duduk tegak di ranjangnya. “Salju? Itu salju?” Rambut gadis itu berantakan dan wajahnya kusut karena baru bangun tidur. “Musim dingin datang lebih cepat daripada yang aku perkirakan,” gumam Niken. “Bagaimana denganku dan bayi ini?” Niken meraba perutnya dan menyapa sang bayi dengan lembut. “Kita harus mencari tempat singgah, bukan?” Niken menarik napas dalam dan mengembuskannya perlahan. “Tempat singgah?” ulang Niken. Niken menatap interior kamar yang kini dia tempati. Kamar bernuansa pastel itu menghangatkan hatinya. Niken juga meraba selimut hangat yang masih menutupi tubuhnya. “Bagaimana aku bisa lupa? Aku tak membutuhkan tempat perlindungan lagi saat ini. Axel Marais sudah menyediakan rumah yang nyaman dan hangat untukku.” Seharusnya, Niken bahagia tapi dia masih tak tenang memiki
Axel duduk di tepi ranjang sambil memegangi tangan Niken dan memeriksa denyut nadinya. Pria itu menatap tajam pada Niken. “Apa kau?” “Mampus aku!” pikir Niken. “Dia pasti tahu rahasiaku.” Niken memejamkan mata dan menyembunyikan wajahnya dari Axel. “Kau sedang bercanda?” selidik Axel. “Kau ingin bermain-main denganku? Jadi ini yang kau sembunyikan dariku selama ini?” suara Axel meninggi. Niken ketakutan dan masih memejamkan mata. Perlahan dia mengintip sambil mengucapkan kata maaf dengan sangat lirih, hampir-hampir tak terdengar oleh Axel. “Maafkan aku.” “Maaf? Hanya itu yang bisa kau lakukan?” “Lalu, apa lagi yang bisa aku lakukan? Bahkan minta maaf pun tidak seharusnya aku lakukan. Karena tidak ada yang salah dengan apa yang aku lakukan selama ini terhadap diriku sendiri. Aku hanya mencoba untuk bertahan.” “Kamu mencoba bertahan? Dengan membodohiku seperti ini? Baiklah, kau akan mendapatkan balasannya. Ingat tak ada yang gratis di dunia ini.” Niken membuka mata lebar dan me
Niken berjalan cepat-cepat meninggalkan perempuan yang baru saja tidak sengaja dia tabrak. Niken mencari tempat yang sepi dan terhindar dari pandangan orang-orang untuk menenangkan diri. Ketika lari, sudut mata Niken sempat menangkap pergerakan Carlos dan Marco yang diam-diam mengawasinya sambil berpura-pura berbelanja di salah satu distro. Ketika dua pengawal itu tidak sadar, Niken segera menyelinap pergi dan membaur di antara para pengunjung yang lain. Dia mencapai lift terjauh dan menekan segala angka selama itu bisa membawanya pergi sejauh mungkin dari perempuan yang sebelumnya dia tabrak. “Kenapa dia ada di sini? Dari sekian banyak orang, kenapa aku harus bertemu dia di sini? Dia tidak boleh melihatku.” Di dalam lift Niken sendirian. Cukup lama dia berdiri sampai pintu lift terbuka dan tiba di sebuah lantai yang sepi. Niken baru sadar jika dia sudah sampai di lantai teratas dari gedung mall. Setelah keluar dari lift, tak ada apa-apa lagi selain tangga darurat yang menuju ke r
Axel duduk di salah satu bangku restoran tanpa mengalihkan perhatian dari ponselnya. Berulang kali dia menghubungi Niken, tapi gadis itu tak segera menjawab panggilannya. Sangat jelas terlihat bahwa Axel mulai khawatir. Axel berdiri sambil mengemasi barang-barangnya. Tepat saat dia berbalik, Niken sudah berdiri di belakangnya dengan wajah pucat dan napas terengah-engah. “Kau… membuatku kesal!” Axel mendesis. “Sudah kukatakan untuk....” “Maaf!” Niken memotong perkataan Axel dengan cepat. Dia mengatakannya dengan suara yang terputus-putus dan napas yang masih tersengal-sengal. “Aku sudah berusaha yang terbaik. Aku bahkan berlari cepat-cepat untuk segera datang ke sini.” Axel mengepalkan tangan dan mengayunkan tinjunya ke udara kosong. “Kau mengabaikan panggilanku! Sudah kukatakan untuk….” Belum selesai Axel berbicara, Niken sudah maju beberapa langkah dengan cepat sambil menyodorkan ponsel yang sebelumnya Axel berikan untuknya. Niken mendorong ponsel itu ke dada Axel dengan kasar
“Kau yakin ingin menghadiri acara makan malam keluarga?” Niken baru menyelesaikan riasan terakhirnya dan dia baru akan keluar dari kamar ketika mendengar suara Carlos yang tengah berbicara pada Axel. Gadis itu mematung di balik pintu kamar yang sedikit terbuka. Dia sengaja ingin mendengarkan percakapan antara Axel dengan pengawal pribadinya. “Aku sudah mengira,” pikir Niken. “Kedua pria itu tak hanya sekadar pengawal pribadi dan bosnya. Mereka memiliki hubungan yang jauh lebih dekat dari sekadar rekan kerja.” “Mereka pasti sudah menyiapkan sesuatu yang lebih dari sekadar makan malam keluarga biasa,” ujar Carlos. “Aku tak pernah salah tentang hal-hal seperti ini. Sebaiknya, kau pertimbangkan sekali lagi sebelum memutuskan untuk menghadirinya, Axel.” “Terimakasih atas kekhawatiranmu, Carlos. Seperti yang kau tahu, Celine tak akan berhenti hanya sampai di sini. Lebih cepat mengakhirinya lebih baik. Akan aku tunjukkan siapa yang memimpin permainan.” Suara Axel terdengar dingin. Niken
"Selamat datang di acara undangan makan malam keluarga besar Marais. Para kolega yang sudah bersedia untuk datang, sekali lagi saya sampaikan terima kasih. Sebelum kita menikmati sajian utama, saya ingin menyambut kedatangan Clarissa Jordan, putri pertama dari keluarga Jordan." Seluruh tamu undangan yang hadir memberikan tepuk tangan dan sambutan yang meriah ketika seorang perempuan cantik mengangkat gelasnya sambil tersenyum. Semua orang tahu bahwa Clarissa baru kembali dari luar negeri untuk proyek terbaru perusahaan mereka. Keluarga Jordan yang menguasai media nasional bahkan kini melebarkan sayap dengan membuka stasiun televisi di luar negeri. "Makan malam ini sekaligus menjadi momen untuk mengukuhkan dua keluarga dalam ikatan yang lebih serius. Dalam waktu sebulan ke depan, pernikahan putra sulung kami, Axel Marais dan putri sulung keluarga Jordan akan segera digelar." Celine dengan bangga melanjutkan sambutannya. Kali ini tepuk tangan terdengar lebih meriah dan heboh dari se
Niken mengakhiri penampilannya dengan sangat sempurna dan memukau, tapi dia tak menyadari hal itu. Ketika nada terakhir dari tuts piano selesai dimainkan, Niken sedikit menundukkan wajah. Dia merasa gagal dan malu. Suasana menjadi hening untuk beberapa detik. Seolah-olah semua tamu undangan yang hadir malam itu tersihir oleh penampilannya. Seorang pemuda yang sebelumnya terus melirik ke arah Niken dan Axel, lebih dulu bertepuk tangan. Tepukan tangannya menyadarkan orang-orang. Lalu, mereka semua serempak ikut memberikan tepuk tangan yang meriah untuk penampilan Niken yang memukau. Diam-diam Axel mengembuskan napas lega, meski ketegangan masih melingkupi sekujur tubuhnya. Dia segera maju ke tempat Niken berdiri dan mengulurkan tangan untuk membawa gadis itu kembali ke sisinya. Ketika menggenggam tangan Niken dan memeluk pinggang gadis itu, Axel terlihat begitu posesif. Dia bisa merasakan betapa tubuh Niken bergetar dan menggigil di saat yang bersamaan. Axel sendiri pasti akan merasa
Niken tak bisa meneruskan kata-katanya. Karena bibir gadis itu sudah dibungkam rapat oleh bibir Axel. Niken terkejut. Namun, tanpa sadar dia juga menerima ciuman itu. Ada tuntutan untuk meminta lebih yang muncul begitu saja dari dasar hatinya yang paling dalam. Pada detik berikutnya, kesadaran Niken yang mengambil alih. Spontan dia mendorong dada Axel agar menjauh dan Niken mulai bernapas dengan terengah-engah. “Apa yang kau lakukan?” gumam Niken dengan wajah merah dan putus asa. Dia meraba bibirnya yang terasa panas dan berdenyut. Aroma Axel masih melekat di sana. Axel sendiri menarik diri. Dia menghembuskan napasnya dengan kasar. Pria itu mencoba mengalihkan pikiran dengan merapikan dasi dan jasnya yang baik-baik saja lalu duduk dengan tegak. Mobil yang membawa mereka kembali ke apartemen melaju dengan kecepatan sedang. Tiba-tiba Axel berteriak pada sang sopir agar mempecepat lajunya. “Apa yang aku lakukan?” bisik Axel di antara seringai nakalnya. Dia mengulangi pertanyaan Nik