Selama seharian Niken menghabiskan waktunya di dalam rumah. Entah dengan menonton televisi, mendengarkan musik, ataupun membuat makanan yang sudah lama tidak dia buat. Niken sudah terbiasa mandiri sejak kecil. Ibunya menghabiskan waktu untuk bekerja dan menjadi tulang punggung keluarga. Perempuan itu berangkat pagi-pagi sekali dan pulang hampir menjelang tengah malam. Karena itu Niken harus membuat sarapan dan makan malamnya sendiri hampir setiap hari. Awalnya dia memang kesulitan, tapi pengalaman dan waktu memberikan segalanya untuk Niken. Kali ini dia benar-benar memanfaatkannya dengan baik. Segala peralatan masak dan bahan-bahan tersedia di rumah Axel. Niken bebas bereksplorasi dan melakukan hal-hal yang dia senangi yang selama menjadi tunawisma tak bisa dilakukan. Setelah melakukan semua yang ingin dia lakukan, Niken pun mulai bosan. Dia merasa jenuh dan seolah terkurung di dalam apartemen mewah itu. Satu-satunya pemandangan yang bisa dia saksikan hanyalah menatap Kota New York
Niken duduk di sebuah cafe. Dia memilih tempat yang dekat dengan jendela kaca. Lalu lalang jalanan Kota New York tak pernah sepi. Tapi, suasana kafe begitu tenang. Ditambah dengan pencahayaan berpendar kekuningan, semakin menghangatkan suasana. Suara dari musik box di salah satu sisi cafe mengalun pelan. Niken berusaha duduk dengan nyaman dan bersandar pada kursinya. Dia menumpukan satu kaki di atas kaki yang lain. Kedua tangannya di atas meja. Niken berusaha menunjukkan dan menampilkan kesan bahwa dia tidak terintimidasi oleh perempuan cantik yang duduk di seberangnya. Perempuan berambut pirang yang sebelumnya datang ke apartemen Axel dan menyerahkan kartu nama pada Niken kini duduk di depan Niken. Usianya mungkin sekitar akhir 20 tahunan. Dia perempuan karir yang sudah menggenggam dunia di tangannya. Terlihat dari cara dia berpenampilan dan bersikap. Perempuan itu duduk dengan penuh percaya diri sambil memainkan gelas anggur di tangan. "Aku tidak mengira kau akan menghubungiku se
Axel duduk di bagian paling ujung-tengah dari meja yang berbentuk oval itu. Total keseluruhan ada sekitar 20 kursi yang mengelilingi meja. Hampir semua kursi terisi, kecuali beberapa saja yang memang tak bisa hadir pada pertemuan darurat itu. Ruang pertemuan itu terasa penuh dengan ketegangan. Wajah-wajah mereka dingin dengan menahan kecewa di masing-masing dada. Beberapa bahkan duduk dengan sikap acuh tak acuh seolah-olah itu sebagai wujud protes atas kekesalan mereka terhadap Axel. “Tanpa mengurangi rasa hormatku padamu, Tuan Axel. Kau sama sekali tidak kompeten untuk memimpin dan mengelola perusahaan ini,” keluh seorang pria dengan jenggot lebat dan kacamata di pangkal hidungnya. “Apa itu artinya kau mengatakan bahwa ayahku keliru telah mewariskan perusahaan ini padaku?” desis Axel. “Yah, benar.” Seorang perempuan menyahuti pertanyaan Axel dengan ketus. “Sudah terlalu banyak skandal yang kau timbulkan, Tuan Axel. Bahkan, sikap aroganmu itu semakin memperburuk nilai penjualan sa
Niken sengaja merintih dengan lebih keras untuk menarik perhatian Axel. Akhirnya, tatapan marah Axel pada Clarissa teralihkan. “Kau pasti sangat kesakitan? Kita harus ke rumah sakit sekarang juga!” ujar Axel dengan wajah panik. Seluruh warrior yang bertugas sebagai pengawal pribadi Axel dan telah mengamankan wilayah cafe membuka jalan untuk Axel dan Niken. Axel segera meraih bahu Niken setelah membungkus telapak tangan gadis itu yang berdarah dengan sapu tangan. “Haruskah aku menggendongmu?” Axel terlihat panik sekaligus kebingungan. Niken benar-benar merasa canggung dan tak nyaman. Beberapa kali dia melirik pada Clarissa. Niken memutuskan untuk mundur dan menjaga jarak dari Axel. “Aku baik-baik saja, sungguh! Ini hanya luka gores kecil. Aku bisa mengatasinya sendiri. Aku bisa menjelaskan situasi ini padamu dan Clarissa....” Niken diserang panik. Dia khawatir jika hubungan Axel dan Clarissa memburuk akibat dirinya. “Lelucon Apa yang sedang kau mainkan?” Axel tampak kecewa. “Lek
Niken dibangunkan oleh salju pertama yang turun di tahun itu titik matanya mengerjap dan melirik pada jendela yang gordennya terbuka. Langit berwarna kelabu. “Tidak!” pekik Niken tiba-tiba sambil duduk tegak di ranjangnya. “Salju? Itu salju?” Rambut gadis itu berantakan dan wajahnya kusut karena baru bangun tidur. “Musim dingin datang lebih cepat daripada yang aku perkirakan,” gumam Niken. “Bagaimana denganku dan bayi ini?” Niken meraba perutnya dan menyapa sang bayi dengan lembut. “Kita harus mencari tempat singgah, bukan?” Niken menarik napas dalam dan mengembuskannya perlahan. “Tempat singgah?” ulang Niken. Niken menatap interior kamar yang kini dia tempati. Kamar bernuansa pastel itu menghangatkan hatinya. Niken juga meraba selimut hangat yang masih menutupi tubuhnya. “Bagaimana aku bisa lupa? Aku tak membutuhkan tempat perlindungan lagi saat ini. Axel Marais sudah menyediakan rumah yang nyaman dan hangat untukku.” Seharusnya, Niken bahagia tapi dia masih tak tenang memiki
Axel duduk di tepi ranjang sambil memegangi tangan Niken dan memeriksa denyut nadinya. Pria itu menatap tajam pada Niken. “Apa kau?” “Mampus aku!” pikir Niken. “Dia pasti tahu rahasiaku.” Niken memejamkan mata dan menyembunyikan wajahnya dari Axel. “Kau sedang bercanda?” selidik Axel. “Kau ingin bermain-main denganku? Jadi ini yang kau sembunyikan dariku selama ini?” suara Axel meninggi. Niken ketakutan dan masih memejamkan mata. Perlahan dia mengintip sambil mengucapkan kata maaf dengan sangat lirih, hampir-hampir tak terdengar oleh Axel. “Maafkan aku.” “Maaf? Hanya itu yang bisa kau lakukan?” “Lalu, apa lagi yang bisa aku lakukan? Bahkan minta maaf pun tidak seharusnya aku lakukan. Karena tidak ada yang salah dengan apa yang aku lakukan selama ini terhadap diriku sendiri. Aku hanya mencoba untuk bertahan.” “Kamu mencoba bertahan? Dengan membodohiku seperti ini? Baiklah, kau akan mendapatkan balasannya. Ingat tak ada yang gratis di dunia ini.” Niken membuka mata lebar dan me
Niken berjalan cepat-cepat meninggalkan perempuan yang baru saja tidak sengaja dia tabrak. Niken mencari tempat yang sepi dan terhindar dari pandangan orang-orang untuk menenangkan diri. Ketika lari, sudut mata Niken sempat menangkap pergerakan Carlos dan Marco yang diam-diam mengawasinya sambil berpura-pura berbelanja di salah satu distro. Ketika dua pengawal itu tidak sadar, Niken segera menyelinap pergi dan membaur di antara para pengunjung yang lain. Dia mencapai lift terjauh dan menekan segala angka selama itu bisa membawanya pergi sejauh mungkin dari perempuan yang sebelumnya dia tabrak. “Kenapa dia ada di sini? Dari sekian banyak orang, kenapa aku harus bertemu dia di sini? Dia tidak boleh melihatku.” Di dalam lift Niken sendirian. Cukup lama dia berdiri sampai pintu lift terbuka dan tiba di sebuah lantai yang sepi. Niken baru sadar jika dia sudah sampai di lantai teratas dari gedung mall. Setelah keluar dari lift, tak ada apa-apa lagi selain tangga darurat yang menuju ke r
Axel duduk di salah satu bangku restoran tanpa mengalihkan perhatian dari ponselnya. Berulang kali dia menghubungi Niken, tapi gadis itu tak segera menjawab panggilannya. Sangat jelas terlihat bahwa Axel mulai khawatir. Axel berdiri sambil mengemasi barang-barangnya. Tepat saat dia berbalik, Niken sudah berdiri di belakangnya dengan wajah pucat dan napas terengah-engah. “Kau… membuatku kesal!” Axel mendesis. “Sudah kukatakan untuk....” “Maaf!” Niken memotong perkataan Axel dengan cepat. Dia mengatakannya dengan suara yang terputus-putus dan napas yang masih tersengal-sengal. “Aku sudah berusaha yang terbaik. Aku bahkan berlari cepat-cepat untuk segera datang ke sini.” Axel mengepalkan tangan dan mengayunkan tinjunya ke udara kosong. “Kau mengabaikan panggilanku! Sudah kukatakan untuk….” Belum selesai Axel berbicara, Niken sudah maju beberapa langkah dengan cepat sambil menyodorkan ponsel yang sebelumnya Axel berikan untuknya. Niken mendorong ponsel itu ke dada Axel dengan kasar