Axel terkejut harus bertemu dengan perempuan yang tak pernah dia harapkan kehadirannya. Dia ingin menghindari perempuan itu, apalagi melihat kondisi Niken yang tampaknya tidak sehat. Gadis itu masih menahan mual. Axel lekas membisikkan sesuatu pada Niken. “Hoeek!” Niken tak lagi bisa menahan diri. Dia muntah ke pakaian Axel. Perempuan di depan Axel mengipaskan tangannya dan memalingkan wajah menahan jijik. Axel mual dengan tatapan jijik itu. Dia masih memegangi bahu Niken dan membisikkan sesuatu. “Pergilah ke toilet. Aku akan menyusulmu. Jika kau kesakitan atau mengalami masalah sampaikan pada Carlos atau Marco.” Niken langsung berlari secepat kakinya mampu melangkah. Kedua pengawal Axel mengikuti gadis itu sesuai instruksi dari tatapan Axel. “Dia kekasihmu?” Perempuan yang masih berdiri di depan Axel itu menatap tajam dengan suara yang sinis. “Kau hanya bisa membuat masalah.” “Ada urusan apa kau di sini?” tanya Axel. “Apa pelayan di depan tidak menyampaikan bahwa restoran ini s
“Apa yang kau lakukan?” Axel berteriak tepat di depan wajah Niken. “Kenapa kau masih duduk di sana dengan malas-malasan?” Niken membuka sebelah matanya dan menatap Axel yang masih berdiri dengan kedua tangan di pinggang. Axel hanya mengenakan celana pendek setelah melucuti seluruh pakaiannya. “Jawablah! Jangan hanya duduk saja!” teriakan Axel semakin keras. “Apa kau akan diam saja di sana dan bermalas-malasan? Mulailah lakukan pekerjaan pertamamu dengan mencuci pakaianku. Kau sudah mengotorinya dengan muntahanmu!” keluh Axel. “A-apa? Jadi kau melepas pakaianmu untuk kucuci?” Niken kebingungan dengan perubahan sikap Axel yang tiba-tiba. Axel tergerak dengan kesal. “Kau pikir untuk apa aku melepas pakaianku? Jangan berpikir aku akan melakukan hal yang akan membuatmu senang! Mulai sekarang, kau harus mengerjakan semua yang aku perintahkan termasuk mencuci pakaianku. Cepat bangun dan kerjakan!” Teriakan Axel menggema hingga membuat Niken terlonjak. Gadis itu berdiri seketika. Anehnya
Axel berbaring miring di ranjang super empuk dan besarnya. Dia menopang kepala menggunakan tangan kanan dan diam-diam tersenyum tanpa tujuan. Di depan Axel ada Niken yang terlelap dengan mulut sedikit terbuka. Niken menggeliat. Perlahan matanya mengerjap. Ketika membuka mata, hal yang pertama yang dia lihat adalah wajah tampan Axel yang terlihat tersenyum geli. Sontak gadis itu terlonjak bangun. “Apa yang kau lakukan?” teriak Niken kebingungan dan panik. “Seharusnya aku yang bertanya, bukan?” gumam Axel masih dalam posisi berbaring miring. “Di mana aku?” Niken kelabakan. “Tidurmu nyenyak sekali, bukan?” Axel mengubah posisi tidur dengan berbaring terlentang dan menarik selimut ke tubuhnya. Niken yang masih setengah sadar dan kebingungan mengucek-ngucek mata sambil duduk. Dia melihat Axel berbaring di sisinya dengan nyaman dan tanpa keraguan. “Maaf,” ujar Niken gugup. “Aku ketiduran. Sebaiknya aku tidur di sofa. Kau pasti terganggu. Aku tidak bermaksud mengotori tempat tidurmu.”
Niken baru saja turun dari pesawat. Dia berjalan sambil menyeret koper kecil. Koper itu hampir tak ada isinya. Karena Niken tak memiliki barang apa pun yang bisa dia bawa selain pakaian yang diberikan oleh Axel ketika bermalam di hotel dan beberapa alat rias yang hampir tak disentuh oleh Niken. Gadis itu mengenakan rok selutut dengan motif bunga dan dilapis sweter kuning yang lembut. Wajahnya terlindung oleh topi lebar dan kacamata gelap. Sepatu hak tinggi Niken mengentak pelan saat dia berjalan dengan tegap. Sejak tiba di bandara, hampir seluruh mata tertuju kepada mereka, terutama Axel. Penampilan Axel yang sangat menawan dan seperti model menjadi pusat perhatian para perempuan dan petugas bandara. Dengan langkah percaya diri, Axel meraih bahu Niken yang berjalan di sampingnya dengan sangat posesif. Perbuatan Axel semakin menjadikan mereka pusat perhatian. Ketika mereka keluar dari bandara, Axel sedikit menunduk kepala dan membisikkan sesuatu pada Niken. “Tersenyumlah dan tunjuk
Axel meraba rok selutut yang dikenakan Niken. Gadis itu beringsut mundur dan ketakutan. Dia berusaha menahan ujung roknya dengan kedua tangan agar tidak disingkap oleh Axel. “Lihat, ada benang yang terlepas dari keliman bajumu.” “Apa?” Niken hampir tak bisa berpikir dengan jernih. Axel duduk tegak dan dengan sigap mencabut benang yang mencuat dari keliman baju perempuan itu. Lalu Axel berdiri tegak dan mengibaskan pakaiannya. Dia beranjak seolah tak terjadi apa-apa. Niken tertawa kesal sambil mengentak-entakkan kakinya. Dia juga memukuli sofa dengan cukup keras. “Brengsek!” umpat Niken. “Kau terus saja menggodaku dan mengusikku. Lihat saja, aku pasti akan membalasmu!” ujar Niken dalam hati. “Kemarilah!” teriak Axel. Anehnya, meski Niken sangat kesal tapi dia juga lekas bangkit dari kursi. Gadis itu dengan cepat mendatangi Axel. Sikap Niken benar-benar seperti seekor anak anjing yang selalu menurut pada perintah majikan, meski sang majikan terus mempermainkan dan menggodanya. A
Selama seharian Niken menghabiskan waktunya di dalam rumah. Entah dengan menonton televisi, mendengarkan musik, ataupun membuat makanan yang sudah lama tidak dia buat. Niken sudah terbiasa mandiri sejak kecil. Ibunya menghabiskan waktu untuk bekerja dan menjadi tulang punggung keluarga. Perempuan itu berangkat pagi-pagi sekali dan pulang hampir menjelang tengah malam. Karena itu Niken harus membuat sarapan dan makan malamnya sendiri hampir setiap hari. Awalnya dia memang kesulitan, tapi pengalaman dan waktu memberikan segalanya untuk Niken. Kali ini dia benar-benar memanfaatkannya dengan baik. Segala peralatan masak dan bahan-bahan tersedia di rumah Axel. Niken bebas bereksplorasi dan melakukan hal-hal yang dia senangi yang selama menjadi tunawisma tak bisa dilakukan. Setelah melakukan semua yang ingin dia lakukan, Niken pun mulai bosan. Dia merasa jenuh dan seolah terkurung di dalam apartemen mewah itu. Satu-satunya pemandangan yang bisa dia saksikan hanyalah menatap Kota New York
Niken duduk di sebuah cafe. Dia memilih tempat yang dekat dengan jendela kaca. Lalu lalang jalanan Kota New York tak pernah sepi. Tapi, suasana kafe begitu tenang. Ditambah dengan pencahayaan berpendar kekuningan, semakin menghangatkan suasana. Suara dari musik box di salah satu sisi cafe mengalun pelan. Niken berusaha duduk dengan nyaman dan bersandar pada kursinya. Dia menumpukan satu kaki di atas kaki yang lain. Kedua tangannya di atas meja. Niken berusaha menunjukkan dan menampilkan kesan bahwa dia tidak terintimidasi oleh perempuan cantik yang duduk di seberangnya. Perempuan berambut pirang yang sebelumnya datang ke apartemen Axel dan menyerahkan kartu nama pada Niken kini duduk di depan Niken. Usianya mungkin sekitar akhir 20 tahunan. Dia perempuan karir yang sudah menggenggam dunia di tangannya. Terlihat dari cara dia berpenampilan dan bersikap. Perempuan itu duduk dengan penuh percaya diri sambil memainkan gelas anggur di tangan. "Aku tidak mengira kau akan menghubungiku se
Axel duduk di bagian paling ujung-tengah dari meja yang berbentuk oval itu. Total keseluruhan ada sekitar 20 kursi yang mengelilingi meja. Hampir semua kursi terisi, kecuali beberapa saja yang memang tak bisa hadir pada pertemuan darurat itu. Ruang pertemuan itu terasa penuh dengan ketegangan. Wajah-wajah mereka dingin dengan menahan kecewa di masing-masing dada. Beberapa bahkan duduk dengan sikap acuh tak acuh seolah-olah itu sebagai wujud protes atas kekesalan mereka terhadap Axel. “Tanpa mengurangi rasa hormatku padamu, Tuan Axel. Kau sama sekali tidak kompeten untuk memimpin dan mengelola perusahaan ini,” keluh seorang pria dengan jenggot lebat dan kacamata di pangkal hidungnya. “Apa itu artinya kau mengatakan bahwa ayahku keliru telah mewariskan perusahaan ini padaku?” desis Axel. “Yah, benar.” Seorang perempuan menyahuti pertanyaan Axel dengan ketus. “Sudah terlalu banyak skandal yang kau timbulkan, Tuan Axel. Bahkan, sikap aroganmu itu semakin memperburuk nilai penjualan sa
Di antara desahan napas mereka yang saling memburu, Axel membisikkan sesuatu ke telinga Niken. “Menikahlah denganku, Niken. Jadilah istriku. Jadilah ibu dari putri dan calon anak-anak kita nanti. Menikahlah denganku, cintaku…” *** Beberapa bulan setelah malam tersebut. Seorang perempuan paruh baya tengah membersihkan meja restoran usai pelanggan terakhir pergi. Wajahnya tampak lelah. Tapi dia masih begitu semangat bekerja. Pintu terbuka. “Maaf kami sudah tutup!” ujar pekerja restoran tersebut tanpa menoleh dan tetap mengelap meja. Seorang gadis kecil berusia tiga tahun yang sangat cantik dan menggemaskan berjalan mendekatinya. Perempuan itu menghentikan aktivitasnya mengelap meja. Dia kaget sekaligus terpukau dengan kecantikan gadis itu. “Hai, Nak! Kau datang dengan orang tuamu?” Perempuan itu menoleh ke pintu dan tidak melihat siapa pun. Dia pun berlutut di depan balita itu untuk menyejajarkan posisinya. “Kau datang sendirian? Siapa namamu? Restoran kami sudah tutup. Apa k
Niken berhasil meloloskan diri dari pelukan Axel tanpa menjatuhkan harga dirinya. Dia mengembuskan napas lega usai mengusir pria itu. Tidak lagi terdengar suara Axel yang berteriak maupun mengetuk pintu. Niken kembali menyibukkan diri dengan pekerjaan dan aktivitas merawat Angelie. Beberapa jam kemudian, Niken pun menuju ke pintu depan dan membukanya. Dia mengintip ke halaman dan tidak melihat Axel di mana pun. Ada rasa penyesalan sekaligus kehilangan di dalam hati kecilnya. Tapi Niken berusaha menepis semua kekhawatiran itu dan kembali fokus pada kehidupannya saat ini. Saat Niken akan menutup kembali pintu, sudut matanya menangkap sekelebat gerakan yang mengganggunya. Nikah pun keluar dan berjalan menuju ke halaman samping. Dia terkejut ketika melihat Axel tengah berbaring meringkuk di ayunan. “Astaga, apa yang sedang dia lakukan di sana? Benar-benar keras kepala. Kenapa dia tidak juga pergi dari sini?” Niken pun kembali kesal dan membanting pintu hingga menutup rapat. Niken p
Axel kembali ke rumah pantai dan berlari dengan tergopoh-gopoh. Dia membuka pintu rumah yang tidak terkunci dan berteriak memanggil nama Niken. “Niken! Niken Di mana kau?” Axel tidak menemukan Niken di manapun. “Angelie? Ini papa!” Axel pun berlari menuju ke lantai dua. “Angelie? Kalian di mana? Niken?” Rumah itu benar-benar kosong. Axel tidak menemukan Niken dan putrinya di mana pun. Axel nekat pergi ke kamar Niken. Tempat itu juga kosong. Dia mencari ke ruangan yang lain dan melihat sebuah kamar bayi. Langkah Axel melambat begitu melihat banyak sekali perlengkapan bayi di sana. Axel berlutut di depan ranjang bayi. Dia mengambil salah satu sepatu rajut kecil milik putrinya dan menciumnya dengan air mata berderai. “Di mana kalian berada? Apa sesuatu yang buruk menimpa Angelie? Ke mana aku harus mencari kalian?” Axel tidak tahu lagi harus ke mana. Dia pun kembali keluar dan berdiri di halaman rumah dengan gelisah. Dia letakkan tas ranselnya ke tanah dan berdiri di sana sepert
Niken berjalan-jalan di sepanjang pantai bersama dengan putri kecilnya. Dia meletakkan Angelie di dalam stroller. Niken terus bercerita sambil menunjukkan banyak hal kepada Angelie. “Maafkan mama, Angelie. Saat seperti ini, aku benar-benar menyesal pada diriku sendiri karena tidak bisa memberikanmu seorang ayah yang bisa kau banggakan di hadapan teman-temanmu kelak.” Niken berlutut di depan stroller sambil menatap sepasang mata bening bayi itu. Angelie tersenyum ceria sambil sesekali memasukkan tangannya ke mulut. Niken mengulurkan telunjuknya untuk membelai pipi Angelie. Bayi kecil itu pun meraih jari Niken dan menggenggamnya erat. “Aku benar-benar merindukan Mama di saat seperti ini. Apa yang dia lakukan sekarang? Apa dia sehat di sana? Betapa berat rasanya harus membesarkan seorang anak sendirian tanpa didukung oleh suami dan keluarga. Kini, aku tahu betapa marahnya Mama malam itu, ketika tahu aku sedang hamil. Aku bisa mengerti jika dia mengusirku dari rumah. Aku benar-benar la
Niken pulang ke rumahnya yang sepi dan gelap. Tempat pertama yang dia tujuh adalah bekas kamar Axel. Dia buka pintu kamar itu dengan pelan. Di dalam hati kecilnya, Niken berharap ada keajaiban. “Apa yang sedang aku lakukan di sini? Mustahil dia tiba-tiba muncul di sini, kan? Aku bahkan tidak tahu di mana dia saat ini. Setelah kutolak lamarannya, dia pergi begitu saja meninggalkan segalanya.” Niken akan menutup kembali pintu kamar Axel yang kosong. Lalu tatapannya terhenti pada potret Axel berukuran besar dan masih terpasang di dinding. Axel bertelanjang dada dan berpose dengan begitu memikat dalam foto itu. “Hanya foto itu satu-satunya yang masih tertinggal.” Niken mengingat betapa Axel sangat membanggakan foto itu. Saat itulah Niken benar-benar mulai merasakan kesepian. Dia menepis kenangan manis tentang Axel dan lekas menutup kembali pintu kamarnya. Niken pun bergegas menuju ke kamar Angelie. Gadis kecil itu satu-satunya pelipur kesepian Niken saat ini. *** Louis pergi ke pa
Enam bulan kemudian… “Kau tidak perlu membawakanku bunga dan mainan untuk Angelie setiap kali berkunjung ke sini, Louis.” Niken mempersilakan Louis masuk ke rumah pantai yang kini menjadi miliknya. Louis duduk di ruang tamu. Dia menatap ke arah stroller bayi tempat di mana Niken meletakkan Angelie yang sedang tidur lelap di sana. “Kau sepertinya suka bunga. Dan aku juga sama sekali tidak keberatan jika harus membelikan lebih banyak mainan untuk Angelie. Lihatlah dia tidur dengan sangat lelap. Gadis kecil ini tumbuh begitu cepat.” Niken membawakan minuman untuk Louis. “Maaf jika rumah ini berantakan. Karena aku benar-benar harus mengerjakan semuanya sendiri termasuk mengurus Angelie.” “Kau selalu menolak tawaranku untuk memberikan Angelie pengasuh.” “Tidak apa Louis. Aku tidak ingin kehilangan momen berharga menemani masa-masa pertumbuhan emas putriku.” “Oh, aku datang ke sini untuk mengabarkan padamu bahwa kami sudah memilih sutradara untuk film yang akan kita produksi.” “Ben
Sang pengacara membacakan isi surat wasiat yang kedua. “Tuan Marais mengatakan bahwa Tuan Axel bisa memilih antara surat wasiat pertama atau kedua. Tuan Axel juga bisa menolak perjodohan dengan Nona Clarissa Jordan. Tapi, dia harus bisa menemukan jodoh lain yang telah ditentukan untuknya pada surat wasiat yang kedua.” “Apa?” Celine dan Louis benar-benar terkejut. “Apa maksudmu dengan jodoh lain yang sudah ditentukan? Berapa jodoh yang ditakdirkan untuk Axel?” “Tuan Axel ditakdirkan menjadi pasangan dari dua orang gadis. Gadis pertama memang Nona Clarissa Jordan. Gadis yang kedua adalah putri dari perempuan yang pernah dicintai oleh Tuan Marais.” “Omong kosong!” teriak Celine. Sang pengacara pun menceritakan semuanya pada Celine dan juga Louis dengan disaksikan oleh Carlos. “Tuan Marais memiliki cinta pertama dari kalangan manusia. Tepat sebelum dia menikah dengan ibunya Axel. Karena perempuan ini dari ras manusia, maka Tuan Marais tidak bisa melanjutkan hubungannya. Dia pun memi
Celine dan Louis sudah menunggu di kantor notaris yang ditunjuk oleh Tuan Marais. Mereka berkumpul di sana untuk mendengarkan pembacaan surat wasiat oleh pengacara. “Kenapa tidak kita mulai saja?” ujar Celine. “Kami sudah menunggu cukup lama di sini.” Sang notaris berdeham. Beberapa kali dia melirik ke arah pintu dan juga jam tangan. “Tuan Axel belum datang. Saya tidak bisa membacakan surat wasiat ini jika seluruh anggota yang berkepentingan belum hadir.” “Dia tidak akan datang,” seru Louis. “Dia sudah menyerah dan sadar posisinya tidak akan mampu mendapatkan kepemimpinan di perusahaan. Axel sudah gagal memenuhi surat wasiatnya.” Seseorang membuka pintu. Semua yang ada di dalam ruangan sang notaris terkejut. Mereka pikir yang datang adalah Axel. Begitu melihat Carlos yang masuk ke ruangan tersebut, mereka pun mengembuskan napas lega kecuali sang notaris. “Di mana Tuan Axel?” tanya sang notaris. “Tuan Axel sedang dalam perjalanan ke sini. Bukankah batas waktu pemenuhan surat wa
Sebulan pun berlalu usai terbongkarnya status pernikahan kontrak Niken dan Axel. Selama itu pula pemberitaan di media semakin kuat menerpa. Beragam gosip dan fitnah terus bermunculan. Kondisi perusahaan di bawah kepemimpinan Axel semakin menghadapi guncangan. Kerugian terus-menerus terjadi. Proyek-proyek lain yang dipegang oleh Axel pun semakin berguguran dan ditinggalkan oleh para investornya. Perusahaan manajemen artisnya pun mulai ditinggalkan. Pagi itu, Niken terbangun dengan perasaan yang begitu kesepian dan tidak nyaman. Semalaman, dia sibuk mempersiapkan seluruh perlengkapan untuk persalinan. “Seharusnya aku akan melahirkan tepat di hari ulang tahunku yang ke-18. Tapi, belum ada tanda-tanda kontraksai sampai saat ini.” Dan di hari itu pula, masa depan Axel akan ditentukan. Surat wasiat sang ayah jatuh tempo pada hari itu. Axel akan mewarisi seluruh perusahaan Marais atau sebaliknya, dia akan dikeluarkan dari perusahaan dan posisinya digantikan oleh Louis. Niken keluar dari