Di dalam mobil menuju bandara, keheningan menyelimuti Vincent dan Lisa. Vincent yang duduk bersebelahan dengan Lisa, melirik asisten pribadinya itu. Lisa menjadi banyak diam sejak dia menegurnya dengan sedikit keras di momen mengepel lantai. Vincent mencoba memecah keheningan dengan bertanya, "Sesampainya di bandara Soetta, kamu mau langsung ke rumah sakit?" katanya sambil menggeser bokongnya agar lebih dekat dengan Lisa. "Iya, Pak," jawab Lisa dengan suara yang seakan meredup, seraya menggeser posisinya agar sedikit menjauhi Vincent. Lisa menutup hidungnya dengan sapu tangan, entah mengapa aroma tubuh Vincent yang enak dan harum, yang biasanya tak mengganggu, kini membuatnya merasa tidak nyaman dan mual. Lisa memalingkan wajahnya dan memandang keluar jendela, menghindari aroma tubuh Vincent sebisa mungkin. Vincent menghela napas, merasa bahwa Lisa masih marah kepadanya. Ia ingin menjelaskan kenapa dia sharus membentaknya tadi, namun ia memilih untuk tidak membahasnya lebih lanjut ag
Lisa mendengus kesal, membiarkan napasnya keluar dalam-dalam untuk mencoba meredakan amarah yang melonjak di dalam dirinya. Lisa mengambil ponselnya dan dengan setengah hati menekan nomor Vincent. Beberapa kali deringan terdengar sebelum akhirnya diangkat. "Selamat pagi, Pak Vin?" sapanya, menyembunyikan kejengkelan di dalam suaranya. "Ya?" jawab Vincent dengan suaranya yang berwibawa seperti biasa. Tanpa banyak basa-basi, Lisa langsung menyampaikan maksudnya, "Saya minta izin tidak masuk kerja hari ini, Pak. Saya masih di rumah sakit. Kondisi Ardi masih belum stabil," jelasnya dengan nada sopan. Namun, di luar dugaan, Vincent menjawabnya dengan dingin, "Tidak bisa, Lisa. Kamu harus tetap masuk kerja. Kamu sudah terlalu banyak izin. Saya tahu kamu tidak bohong, tapi saya ingin kamu tetap profesional bekerja. Ardi masih punya keluarga yang bisa mengurusnya, bukan?" sahutnya tegas, tanpa kompromi. Lisa tercekat, tidak mengira Vincent bakal setegas ini memberikan jawaban. "Tapi, Pak?
Vincent mendengus pelan, seakan tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Dunianya seolah runtuh dalam sekejap. Segala harapan dan impian yang sempat menyelimuti pikirannya terasa hancur berkeping-keping."Sudah memutuskan untuk menyudahi hubungan kita?" ulangnya dengan suara parau, mencoba mencerna kenyataan yang begitu pahit.Lisa menatapnya dengan tatapan mantap, walaupun dalam dadanya terasa berdebar-debar. "Ya, Pak. Saya sudah memutuskan," jawabnya tegas, tanpa ada keraguan sedikit pun dalam suaranya.Vincent terdiam, mencoba mengatur napasnya yang terasa sesak. Dia tak bisa mengatakan apa-apa. Hanya diam, dengan perasaan yang berkecamuk di dalam hatinya. “Bapak pernah bilang, keputusan putus atau terus ada di saya, saya tak harus melanjutkan kontrak itu kalau tidak nyaman. Dan sekarang saya sudah tidak nyaman.”“Apa yang membuatmu tak lagi merasa nyaman, Lisa? Apa karena Ardi?”“Bukan, Pak.” Lisa menggeleng, Ardi memang sama sekali bukan alasannya. Namun, kata-kata D
Lisa tercekat, tangannya gemetar saat dia mencoba mengingat kembali tanggal-tanggal terakhir menstruasinya. Pendarahan yang seharusnya datang tapi tak kunjung muncul, membuatnya merasa gelisah. "Apa iya aku hamil?" gumamnya, rasa panik mulai merayapi pikirannya.Lisa menggigit bibir dengan wajahnya yang pias, ketika dia menghubungkan kondisi aneh yang dialaminya belakangan ini dengan kemungkinan kehamilan. Rasa mual yang datang tanpa alasan yang jelas, seringnya muntah yang mengganggunya setiap pagi, semua itu menjadi gejala yang menakutkan bagi Lisa. “Apa jangan-jangan … aku sedang mengalami yang namanya morning sickness?” Dia menggigil, menolak untuk mempercayai pikirannya yang meresahkan itu."Tidak. Tidak mungkin!" gumamnya dengan suara yang gemetar, meskipun hatinya tidak bisa menghilangkan ketakutannya. Lisa meremas rambutnya dengan perasaan frustrasi, mencoba menenangkan dirinya sendiri meskipun jantungnya berdegup tak karuan dalam ketakutannya yang semakin memuncak.Lisa buru-
Setiap pagi, sebelum matahari bahkan sempat menampakkan sinarnya, Vincent Alessio sudah duduk di meja kerjanya. CEO Sutomo Land Corporation itu kerap menyibukkan diri dengan membaca laporan keuangan dan berita terkini yang memengaruhi industri properti.Pagi ini, sambil menikmati kopinya, Vincent berbincang via zoom dengan tim ahlinya yang sedang berada di luar kota. "Pak Vin. Kami memperkirakan proyek pembangunan hotel baru akan memakan biaya sekitar dua puluh persen lebih tinggi dari perkiraan awal," ujar seorang tim ahlinya, sementara itu Vincent mengamati angka-angka di layar komputer dengan serius."Apakah kita bisa mencari opsi lain untuk mengurangi biaya tanpa mengorbankan kualitas bangunan?" Vincent mengkritisi masalah anggaran yang muncul."Sepertinya kita memang perlu melakukan evaluasi ulang terhadap rencana anggaran dan mencari solusi yang lebih efisien, Pak Vin.”Vincent mengangguk, menunjukkan bahwa dia mendengarkan dengan cermat. “Baiklah. Kita akan lakukan evaluasi la
Lisa mengantarkan makan siang untuk Vincent ke ruangannya, capcay dan salad sayur sesuai permintaan sang CEO. Dia juga menyertakan beberapa potong buah segar sebagai hidangan penutup. Seperti biasa, CEO Sutomo Land Corporation itu sedang fokus dengan layar datar komputer di depannya. Keningnya mengerut, di balik kacamata bacanya, sorot mata Vincent yang tajam tampak serius meneliti sebuah tabel laporan.“Permisi, Pak. Makan siang sudah siap. Ini sudah hampir jam satu siang, sudah saatnya Bapak makan.”Vincent mengalihkan perhatiannya dari layar komputer ke arah Lisa, yang sebagian wajahnya masih ditutupi masker. “Terima kasih, Lisa,” ucap Vincent sambil membuka kacamata dan meletakkannya di meja.“Lisa, tunggu,” cegahnya saat melihat Lisa bergerak menuju pintu, ingin meninggalkan ruangan sang CEO.Lisa menoleh. “Ada apa, Pak?”“Temani saya makan. Kamu juga belum makan, kan?” ajak Vincent sambil beranjak dari kursinya menuju sofa, di mana Lisa telah menghidangkan makanan di atas meja
Saat lift meluncur turun, suara ponsel yang berdenting memecah keheningan. Lisa menghela napas, mengeluarkan ponselnya dari tas dan melihat panggilan masuk dari Niken. Lisa segera menyentuh layar “answer”.“Halo, Ken?”"Mbak Lisa, maaf kalau telepon saya mengganggu," ujar Niken dengan nada ragu-ragu di ujung teleponnya."Ada apa, Ken?" Niken terdiam sesaat, dia tidak enak terlalu sering merepotkan mantan kakak iparnya itu. Lisa sudah banyak sekali membantu proses perawatan Ardi, terutama dari segi biaya, juga turut menjaganya di rumah sakit. Ketika Niken ingin mencicil biaya yang sudah Lisa keluarkan, mantan kakak iparnya itu menolak. Lisa bilang uang itu bukan dari kantong pribadinya, melainkan dari sumbangan pribadi sang pimpinan perusahaan di mana Ardi bekerja saat ini. Niken merasa bersyukur bahwa di tengah kesulitan yang sedang dihadapi oleh keluarganya, Tuhan memberikan banyak kemudahan lewat Lisa dan juga lewat kemurahan hati CEO perusahaan real estate ternama di Indonesia itu
Lisa mengetuk pintu kamar perawatan Ardi. Niken dan Naura menoleh serentak. “Masuklah, Mbak. Mas Ardi sudah menunggu di dalam,” sambut mereka. “Kami keluar dulu, ya.” Kedua adik Ardi itu segera meninggalkan kamar, memberikan Ardi dan Lisa sebuah ruang privasi.Lisa tersenyum melihat Ardi yang tampaknya sudah menunggunya. Pria itu baru saja selesai melakukan terapi fisik, duduk di atas kursi roda. “Halo, Ar?” sapa Lisa sambil berjalan mendekat.Ardi membalas senyuman Lisa dengan lemah. Matanya berkaca-kaca saat melihat Lisa mendekat, kehadirannya memberi sedikit sinar dalam kegelapan yang sempat mengelilinginya. Lisa tampak begitu cantik, jauh lebih cantik daripada yang pernah dilihat Ardi selama ini. "Lisa, terima kasih sudah datang," katanya dengan suara yang rapuh.Lisa duduk di sebuah sofa, berhadapan dengan Ardi yang tetap duduk di kursi roda. “Kamu sudah siap pulang?” ucap Lisa memecah keheningan. Ardi terlihat gugup dan Lisa tertawa pelan. “Dih. Kaku begitu? Seperti bukan Ardi?
Dennis mengucapkan “selamat” pada Vincent dan Lisa melalui telepon. Vincent merasa bahagia mendengar ucapan putranya yang terasa betul-betul tulus kali ini. Bahkan Dennis secara khusus bicara pada Lisa untuk minta maaf padanya. "Tante, maaf atas semua sikap burukku selama ini," ucapnya dengan rendah hati. "Aku tahu ayah dan Tante saling mencintai, ayah pasti akan bahagia dengan Tante.” Dennis terdiam sejenak. “Tante Lisa memang layak bersanding dengan ayah, sebab aku tahu... ayah tidak mungkin sembarangan memilih orang yang akan mendampinginya seumur hidupnya. Aku percaya pada pilihan ayah," tambah Dennis dengan suara yang penuh dukungan. Lisa tersenyum, meskipun Dennis tidak bisa melihat senyumnya di telepon. "Terima kasih, Dennis. Kamu anak yang luar biasa, dan Tante bahagia bisa menjadi bagian dari keluargamu." “Aku juga bahagia memiliki ayah Vincent dan Tante Lisa.” Lisa dan Vincent saling berpandangan mendengar ungkapan Dennis yang terasa tulus. Setelah selesai menelepon, Vin
Jaka menghela napas, mencoba menenangkan diri di tengah tekanan yang dirasakannya. Tatapannya terpaku pada dinding putih ruangan yang pucat. Wajah pria tampan itu mencerminkan perasaan yang selama ini sulit untuk diungkapkan."Saya masih merasa bersalah, Pak," ucapnya dengan suara lirih. Tatapannya kemudian turun pada genggaman tangannya pada tangan Dennis yang masih tak bergerak. Setiap sentuhan, setiap simpul jemari, terasa penuh makna baginya.Pak Priyo memandang Jaka, siap mendengarkan apapun yang ingin diungkapkan oleh anak menantu yang sangat disayanginya itu."Saya menyesal telah menikahi Erna, padahal Nuning sedang mengandung Dennis, anak kami," lanjut Jaka perlahan, suaranya semakin rendah, hampir tersendat oleh rasa sesak di dadanya. "Andai waktu bisa diulang, saya tidak akan menikahi Erna saat itu." Matanya kembali naik menatap dinding pucat di depan sana. "Saya ingin tetap bersama Nuning, harusnya saya mengambil keputusan tegas dan tak perlu larut dalam situasi yang membua
Di antara para tamu undangan, Mei yang merupakan mantan kekasih Vincent juga tampak hadir di sana, dia datang bersama suaminya, Juna, dan putranya, Vi. Rambut panjang Mei disanggul cantik berhiaskan aksesori yang serasi dengan gaun rancangan desainer ternama berwarna pastel yang melekat indah di tubuh langsingnya. Wajahnya yang jelita terpancar dalam senyuman lembut, memberikan kesan hangat kepada siapa pun yang bertemu dengannya. Sementara itu, Juna terlihat tampan dan karismatik dengan setelan tuksedo hitamnya. Ekspresi wajahnya yang percaya diri menunjukkan bahwa dia adalah sosok yang menguasai situasi. Dia berbicara dengan sesama tamu yang dikenalnya sambil memperkenalkan sosok Vi, putranya yang berusia 7 tahun. Senyum bangga terukir di wajahnya setiap kali mendengar orang-orang memuji ketampanan Vi yang sangat mirip dengan dirinya. Dalam setelan tuksedo kecilnya, Vi memang terlihat begitu memesona dengan senyuman polosnya. Postur tubuhnya yang tinggi menjadikannya tampak gagah
Lisa sebenarnya ingin resepsi pernikahannya dengan Vincent bisa diadakan di tepi pantai yang cantik di Bali. Namun, pada trimester pertama kehamilannya ini, Lisa masih mengalami mual, muntah, dan mudah lelah, sehingga bakal menyulitkan dirinya sendiri saat harus melakukan perjalanan dari Jakarta menuju Bali dan sebaliknya. Selain itu, risiko keguguran juga lebih tinggi pada trimester pertama. Vincent pun menolak keinginan Lisa dan menetapkan agar resepsi digelar di Jakarta saja. “Bersabarlah, Sayang. Setelah anak kita lahir nanti dan kalian berdua dalam kondisi sehat untuk melakukan perjalanan, bukan hanya ke Bali…, aku akan membawa kalian pergi ke tempat-tempat indah manapun yang kamu sukai,” janji Vincent sambil mencium kening Lisa. Dia tak ingin melihat wanita yang dicintainya itu merasa kecewa menjalani resepsi pernikahan mereka nanti. Dan Vincent merasa lega setelah melihat Lisa mengangguk.“Nggak apa-apa, kok. Sebenarnya nggak terlalu jadi soal bagiku resepsinya nanti mau diada
Jaka menggenggam erat gagang kursi pesawat, tatapan kosongnya menatap ke luar jendela yang menampilkan pemandangan langit biru dan awan putihnya yang berderak. Pemandangan yang indah, tetapi dia tak bisa menikmati pemandangan itu karena pikirannya terus melayang ke rumah sakit tempat Dennis dirawat. "Dennis kecelakaan," dua kata yang terlontar lewat telepon dari Bambang seperti palu yang membelah dadanya. Beban yang menghantamnya terasa begitu berat, seakan-akan dunianya runtuh dalam sekejap. Meskipun hanya dua kata, namun rasanya dua kata itu menjelma seperti dua ton beban yang meremukkan hati Jaka sebagai seorang ayah. Dia sengaja tidak memberitahu Nuning tentang kecelakaan Dennis. Kondisi Nuning yang belum begitu baik membuatnya khawatir akan dampak stres yang bisa mempengaruhi kandungan Nuning yang lemah. Jaka tidak ingin menambah masalah baru di tengah situasi yang sudah sulit.Pesawat terbang melaju dengan kecepatan tinggi, namun perjalanan yang dilaluinya terasa begitu lamba
Suasana gereja dipenuhi dengan aroma harum dari bunga-bunga segar yang menghiasi setiap sudut. Sinar matahari pagi membelai lembut melalui jendela-jendela gereja, menciptakan permainan cahaya yang mempercantik momen sakral ini. Seperti berkah dari langit, cahaya itu memberikan sentuhan hangat pada momen ini, menambahkan keindahan pada detik-detik yang tak terlupakan.Gaun putih Lisa mengalir indah di belakangnya, mengikuti setiap langkahnya dengan lembut. Rambutnya dihiasi dengan sebuah tiara yang manis. Setiap langkah yang diambilnya terlihat begitu anggun dan memikat.Di sekeliling gereja, keluarga besar Alessio dan keluarga Lisa berkumpul, penuh dengan senyuman dan kegembiraan. Sorot mata yang penuh cinta dari kedua belah pihak keluarga mencerahkan suasana, menunjukkan dukungan dan kasih sayang yang mereka miliki untuk pasangan yang akan menikah.Daniel Sutomo juga tampak hadir di sana. Keberadaan sosok konglomerat itu memberikan aura kebijaksanaan dan kemuliaan yang tak terbantahk
Bambang duduk di samping Dennis, merangkulnya dengan lembut sambil memandang jauh ke laut yang tenang di depan mereka. "Dennis, janganlah sedih karena pernikahan ayah Vincent dengan tante Lisa," ucapnya dengan suara lembut.Dennis menoleh ke arah Bambang, tatapan matanya masih penuh dengan kesedihan. "Tapi, Om, aku merasa sedih. Aku merasa seperti kehilangan sesuatu yang penting," gumamnya sambil memandang ke lautan di hadapannya.Bambang tersenyum lembut, memahami perasaan keponakannya. "Dennis, kamu harus tahu bahwa pernikahan adalah bagian dari takdir yang telah diatur oleh Gusti Allah. Ayah Vincent selama ini belum aja ketemu sama jodohnya, makanya nggak nikah-nikah sejak cerai sama bundamu. Jangan kamu sesali juga perceraian bundamu sama ayah Vincent. Itu namanya nggak jodoh.”Dennis mendengarkan, sesekali ia menghela napasnya yang terdengar berat. sepertinya bocah remaja itu berusaha mencerna setiap kata yang diucapkan oleh Bambang. "Nggak usahlah kamu repot-repot mikir kenapa
Suasana makan malam antara keluarga Vincent dan keluarga Lisa dari Italia berlangsung dalam atmosfer kekeluargaan yang hangat dan penuh keakraban. Dante masih terkesima setelah mengetahui tentang kesuksesan Tuan Rain di Indonesia, begitu pula dengan putranya yang akan segera menikahi cucunya, Lisa."Putramu sangat tampan, Rain," puji Dante yang masih merasa terpukau melihat ketampanan Vincent sejak awal mula mereka bertemu. Vincent pun hanya tersenyum mendengar pujian dari calon mertuanya."Cucumu juga sangat cantik, Dante. Mereka sepadan," balas Tuan Rain dengan rendah hati, tersenyum bangga pada Lisa, calon menantunya."Selain cantik, Lisa juga cerdas. Dia bahkan menguasai 6 bahasa asing. Bukankah itu luar biasa?" timpal Nyonya Rose, mengumumkan bakat dan kecerdasan Lisa di hadapan semua orang.Tuan Rain menoleh kepada istrinya, "Sayangku, perlu kamu tahu,” ucapnya seraya mengerling pada Dante yang duduk berhadapan dengan mereka. “Kemampuan Dante menguasai bahasa asing sangat menonj
Hari-H pernikahan Vincent dan Lisa semakin dekat, dengan hitungan hari yang semakin berkurang. Kedatangan keluarga Lisa dari Italia telah menjadi momen yang sangat dinantikan. Di tengah suasana persiapan yang kian sibuk, Nyonya Rose telah menyusun rencana untuk menyambut mereka dengan sebuah jamuan makan malam di sebuah hotel mewah terbaik di Jakarta. Di sana pula tempat menginap bagi para tamu dari keluarga Lisa yang telah tiba dari Italia. Ketika Nyonya Rose dan Tuan Rain memasuki restoran di hotel itu, sorot mata mereka segera tertuju pada seorang pria tua yang duduk di sebelah Lisa. Tuan Rain, yang pertama kali melihatnya, mendesis pelan. “Dante?” gumamnya dengan suara rendah, matanya menyipit saat mencoba mengidentifikasi sosok tersebut. Semua orang memandang kehadiran Nyonya Rose dan Tuan Rain dengan tatapan hormat disertai senyuman hangat di mata mereka, termasuk pria berambut putih di sana. Pada saat itulah, Tuan Rain mengamati lagi pria tua yang ada di sebelah Lisa itu denga