“Permisi, Pak Vincent, mobil Anda sudah siap setiap saat. Tuan Aubert juga sudah siap.” Lisa memberitahu Vincent yang sedang menikmati kopi paginya sambil mengobrol bersama Dennis di sebuah balkon. Vincent menoleh begitu mendengar suara asisten pribadinya itu. “Terima kasih, Lisa.” Dipandanginya wajah Lisa yang sudah tampak lebih segar pagi ini. “Kamu sudah enakan?” tanyanya sambil mengamati lekat-lekat sosok Lisa yang berdiri di sebelahnya. Lisa tampak ayu dengan pakaian ‘bepergian’ berupa gaun selutut, warna krem gelap yang kontras dengan kulitnya yang putih cerah. Rambut panjangnya berkibar cantik tertiup angin. “Sudah, Pak. Terima kasih atas bantuannya. Saya sudah sehat sekarang.” Lisa mengangguk dengan gestur hormat.“Syukurlah.” Vincent tersenyum dengan pandangannya yang lembut kepada Lisa. Lisa balas tersenyum dan segera pamit meninggalkan tempat itu, membawa serta degup jantungnya yang mulai menggila di bawah tatapan Vincent Alessio yang terasa begitu menggodanya. “Kita pu
Jaka menyambut kedatangan Vincent dan Dennis di bandara dengan senyuman hangat. Kebahagiaan terpancar jelas di wajahnya yang tampan. “Halo, jagoannya Uncle!” Jaka memeluk Dennis dengan penuh kerinduan. “Kau pasti punya banyak cerita, Uncle tak sabar ingin mendengarnya,” katanya dengan mata berbinar-binar memandang Dennis yang tersenyum cerah.“Bagaimana festival layangannya? Apakah tim Uncle menang lagi?” tanya Dennis dengan suaranya yang ceria.Jaka mencebik, pura-pura menyombong. “Apakah pertanyaan itu betul-betul perlu Uncle jawab? Kau pasti sudah tahu jawabannya, bukan?” sahutnya seraya mengedipkan sebelah matanya pada Dennis. Keduanya lalu tergelak dan saling merangkul sekali lagi.“Aku bangga padamu, Uncle Jack!” kata Dennis saat tenggelam dalam pelukan hangat Jaka. Bocah remaja itu tak menyadari betapa pujian kecilnya itu sanggup membuat kebahagiaan Jaka terbang hingga ke awan. Dia senang bisa membuat Dennis merasa bangga terhadapnya. Ucapan itu terdengar seperti sebuah ungkapa
“Makananmu sudah siap, sayang. Tada …, sup ayam by chef Vincent Alessio!” seru Jaka sambil membawa semangkuk sup yang sudah dicampur nasi.“Selamat menikmati, Ning.” Vincent tersenyum di belakang Jaka, dia kemudian duduk di sebelah Lisa yang segera menggeser bokongnya untuk menjauh. Nuning yang tadinya rebahan di sofa segera bangkit dan tersenyum menyambut Jaka yang segera duduk di sebelahnya. Jaka pun dengan penuh kelembutan menyuapi Nuning. Pria itu tersenyum senang melihat istrinya begitu menikmati sup kaldu buatan Vincent tanpa mual lagi. Setiap sendok yang diangkat ke bibir Nuning diiringi dengan senyum kecil dan tatapan penuh kasih dari Jaka.“Enak?” tanya Jaka dengan sorot lega di matanya. Ini kali pertama Nuning menghabiskan makanannya. “Mau nambah?” tanya Jaka sambil menyingkirkan nasi yang menempel di sudut bibir Nuning.Nuning menggeleng, “Nanti saja,” jawabnya sambil tersenyum.“Baiknya memang makan sedikit-sedikit tapi sering, Ning.” Vincent menimpali sambil ikut terseny
Lisa menatap meja makan yang dipenuhi oleh aneka hidangan khas Bali. Ia merasa lapar, dan melupakan sup kaldu ayam yang ia inginkan. Lisa pun mulai menyendok satu centong nasi ke dalam piringnya. Ia menambahkan sate lilit, lawar, dan suwiran daging, menciptakan kombinasi hidangan yang menggugah selera. Namun, anehnya, ketika Lisa mencicipi makanannya, ia tiba-tiba merasa mual. Rasa yang seharusnya nikmat malah menyiksa lidahnya, dan Lisa merasa kesulitan menelan setiap suapan. Lisa dengan cepat meneguk segelas minuman untuk menetralkan rasa mualnya sendiri. Dia menghela napas dalam-dalam, heran dengan reaksi aneh perut dan lidahnya. Makanan yang seharusnya enak malah menjadi sumber ketidaknyamanan. "Astaga, ada masalah apa sih dengan lidah dan perutku? Padahal aku kan lapar, tapi kenapa malah mual tiap kali mau makan?" batin Lisa, bingung atas sensasi yang tidak biasa ini. Jaka, yang memperhatikan Lisa, menyadari ketidaknyamanannya. "Lisa, kamu minum melulu sejak tadi, nanti perutmu
Lisa merasakan sensasi pedas yang meresap di setiap sudut lidahnya saat menghirup kuah sup yang disajikan oleh Dennis. Kuah sup itu terasa panas di mulutnya, rasa panas dan pedas yang begitu kuat. Meskipun rasanya begitu menantang, Lisa tidak tetap menikmatinya sesendok demi sesendok. “Sup yang tadi tidak sepedas ini, jangan-jangan bocah tengil itu mengerjaiku dengan menambahkan banyak lada, sialan … untung saja rasanya malah tambah enak, daripada nggak ada pedas-pedasnya sama sekali kayak yang tadi,” pikir Lisa dalam hati.Lisa menambahkan secentong nasi ke dalam mangkuk supnya, mungkin makan nasi bisa membantunya meredakan sensasi pedas yang terus membakar lidahnya. Namun, dia tak menyangkal bahwa rasa pedas itu malah memberikan kenikmatan tersendiri. Meski keningnya mulai berkeringat, itu hanyalah tanda kelezatan yang makin mendalam.Lisa tahu, Dennis mungkin sedang mengerjainya, namun dia tetap menghabiskan setiap suapan dengan penuh hasrat. Pedas bukanlah rintangan baginya; itu
Lisa berdiri mematung. Ia menunduk, menyembunyikan air matanya yang seketika meleleh hangat di pipinya yang mulus. Dia merasa bak seorang murid yang sedang disetrap dan diomeli oleh seorang guru killer.“Lisa. Apa kamu pikir menangis akan menyelesaikan masalah?” tegur Vincent dengan suara baritonnya yang tetap tegas dan berwibawa.Lisa menggeleng pelan sambil terisak lirih.“Nah, berhentilah menangis. Jangan bikin saya malu di depan Dennis karena sikapmu yang suka ceroboh seperti ini,” tegur Vincent dengan suaranya yang sedikit melembut. “Tolong bantu saya menunjukkan pada Dennis, bahwa keputusan saya menjadikan kamu sebagai asisten pribadi saya itu memang tepat,” lanjutnya.Lisa pun buru-buru menyeka air matanya dengan punggung tangan. “Baik, Pak. Saya minta maaf.”Vincent tidak bicara apa-apa lagi, pria itu segera meninggalkan dapur untuk bergabung bersama Nuning, Dennis, dan Jaka di ruang keluarga.Sepeninggalan Vincent, Lisa memegangi dadanya yang mendadak sesak. “Aku harus profes
"Kita akan pulang bersama," tegas Vincent setelah menguasai keterkejutannya. Meskipun ucapan Lisa tentang 'calon suami' telah mengguncang hatinya, namun pria itu berusaha bersikap baik-baik saja. "Kita akan pulang nanti sore, menunggu Tuan Aubert selesai mensurvei lokasi bersama Bona. Lagipula, tanggung kalau kamu pulang sekarang dengan pesawat komersil, waktu sampainya di Jakarta bisa jadi sama dengan jet pribadi kami nanti," kata Vincent menyampaikan alasannya. Nuning menghampiri Lisa dan memeluknya, menyampaikan perasaan simpatinya terhadap kesedihan apapun yang sedang Lisa rasakan saat ini. "Tenanglah, Lisa. Kamu istirahat saja dulu di sini. Vincent benar, lebih baik kalian pulang bersama-sama dengan jet pribadi saja," ucapnya sambil tersenyum keibuan. Lisa menggigit bibir, sebenarnya dia tak peduli bakal tiba lebih cepat atau tidak di Jakarta, yang ia inginkan sekarang hanyalah ingin pergi sejauhnya dari Vincent. Dia kesal dengan pria itu. Namun, alasannya untuk segera pergi t
“Mas Dennis, kenapa tidak mengizinkan ayah menikah lagi?” Lisa bicara dengan hati-hati.Dennis mendengus. “Ck! Jangan ikut campur.” “Kan yang penting, bukan sama saya?” goda Lisa sambil terkekeh pelan, mencoba memecah ketegangan di wajah Dennis. “Mas Dennis,” panggil Lisa dengan nada keibuan, hingga Dennis bisa merasakan getaran yang sama seperti saat sang bunda memanggil dirinya, “Bagaimanapun ayah Vincent berhak bahagia meskipun itu bukan lagi dengan Bunda Nuning. Tidak adil bila Mas Dennis memaksa ayah Vincent untuk terus sendirian, sedangkan Bunda Nuning sendiri sudah berbahagia bersama Uncle Jack. Berdamailah dengan kenyataan, bahwa ayah dan bunda Mas Dennis sudah tidak bisa bersatu lagi.” Lisa meraih tangan Dennis dan menggenggamnya dengan lembut. Dennis awalnya menunjukkan wajah yang tegang dan sulit ditembus, tetapi perlahan, kata-kata dan kelembutan Lisa mulai meresap ke dalam hatinya. Saat Lisa meraih tangannya dan menggenggamnya dengan hangat, Dennis merasakan getaran em
Dennis mengucapkan “selamat” pada Vincent dan Lisa melalui telepon. Vincent merasa bahagia mendengar ucapan putranya yang terasa betul-betul tulus kali ini. Bahkan Dennis secara khusus bicara pada Lisa untuk minta maaf padanya. "Tante, maaf atas semua sikap burukku selama ini," ucapnya dengan rendah hati. "Aku tahu ayah dan Tante saling mencintai, ayah pasti akan bahagia dengan Tante.” Dennis terdiam sejenak. “Tante Lisa memang layak bersanding dengan ayah, sebab aku tahu... ayah tidak mungkin sembarangan memilih orang yang akan mendampinginya seumur hidupnya. Aku percaya pada pilihan ayah," tambah Dennis dengan suara yang penuh dukungan. Lisa tersenyum, meskipun Dennis tidak bisa melihat senyumnya di telepon. "Terima kasih, Dennis. Kamu anak yang luar biasa, dan Tante bahagia bisa menjadi bagian dari keluargamu." “Aku juga bahagia memiliki ayah Vincent dan Tante Lisa.” Lisa dan Vincent saling berpandangan mendengar ungkapan Dennis yang terasa tulus. Setelah selesai menelepon, Vin
Jaka menghela napas, mencoba menenangkan diri di tengah tekanan yang dirasakannya. Tatapannya terpaku pada dinding putih ruangan yang pucat. Wajah pria tampan itu mencerminkan perasaan yang selama ini sulit untuk diungkapkan."Saya masih merasa bersalah, Pak," ucapnya dengan suara lirih. Tatapannya kemudian turun pada genggaman tangannya pada tangan Dennis yang masih tak bergerak. Setiap sentuhan, setiap simpul jemari, terasa penuh makna baginya.Pak Priyo memandang Jaka, siap mendengarkan apapun yang ingin diungkapkan oleh anak menantu yang sangat disayanginya itu."Saya menyesal telah menikahi Erna, padahal Nuning sedang mengandung Dennis, anak kami," lanjut Jaka perlahan, suaranya semakin rendah, hampir tersendat oleh rasa sesak di dadanya. "Andai waktu bisa diulang, saya tidak akan menikahi Erna saat itu." Matanya kembali naik menatap dinding pucat di depan sana. "Saya ingin tetap bersama Nuning, harusnya saya mengambil keputusan tegas dan tak perlu larut dalam situasi yang membua
Di antara para tamu undangan, Mei yang merupakan mantan kekasih Vincent juga tampak hadir di sana, dia datang bersama suaminya, Juna, dan putranya, Vi. Rambut panjang Mei disanggul cantik berhiaskan aksesori yang serasi dengan gaun rancangan desainer ternama berwarna pastel yang melekat indah di tubuh langsingnya. Wajahnya yang jelita terpancar dalam senyuman lembut, memberikan kesan hangat kepada siapa pun yang bertemu dengannya. Sementara itu, Juna terlihat tampan dan karismatik dengan setelan tuksedo hitamnya. Ekspresi wajahnya yang percaya diri menunjukkan bahwa dia adalah sosok yang menguasai situasi. Dia berbicara dengan sesama tamu yang dikenalnya sambil memperkenalkan sosok Vi, putranya yang berusia 7 tahun. Senyum bangga terukir di wajahnya setiap kali mendengar orang-orang memuji ketampanan Vi yang sangat mirip dengan dirinya. Dalam setelan tuksedo kecilnya, Vi memang terlihat begitu memesona dengan senyuman polosnya. Postur tubuhnya yang tinggi menjadikannya tampak gagah
Lisa sebenarnya ingin resepsi pernikahannya dengan Vincent bisa diadakan di tepi pantai yang cantik di Bali. Namun, pada trimester pertama kehamilannya ini, Lisa masih mengalami mual, muntah, dan mudah lelah, sehingga bakal menyulitkan dirinya sendiri saat harus melakukan perjalanan dari Jakarta menuju Bali dan sebaliknya. Selain itu, risiko keguguran juga lebih tinggi pada trimester pertama. Vincent pun menolak keinginan Lisa dan menetapkan agar resepsi digelar di Jakarta saja. “Bersabarlah, Sayang. Setelah anak kita lahir nanti dan kalian berdua dalam kondisi sehat untuk melakukan perjalanan, bukan hanya ke Bali…, aku akan membawa kalian pergi ke tempat-tempat indah manapun yang kamu sukai,” janji Vincent sambil mencium kening Lisa. Dia tak ingin melihat wanita yang dicintainya itu merasa kecewa menjalani resepsi pernikahan mereka nanti. Dan Vincent merasa lega setelah melihat Lisa mengangguk.“Nggak apa-apa, kok. Sebenarnya nggak terlalu jadi soal bagiku resepsinya nanti mau diada
Jaka menggenggam erat gagang kursi pesawat, tatapan kosongnya menatap ke luar jendela yang menampilkan pemandangan langit biru dan awan putihnya yang berderak. Pemandangan yang indah, tetapi dia tak bisa menikmati pemandangan itu karena pikirannya terus melayang ke rumah sakit tempat Dennis dirawat. "Dennis kecelakaan," dua kata yang terlontar lewat telepon dari Bambang seperti palu yang membelah dadanya. Beban yang menghantamnya terasa begitu berat, seakan-akan dunianya runtuh dalam sekejap. Meskipun hanya dua kata, namun rasanya dua kata itu menjelma seperti dua ton beban yang meremukkan hati Jaka sebagai seorang ayah. Dia sengaja tidak memberitahu Nuning tentang kecelakaan Dennis. Kondisi Nuning yang belum begitu baik membuatnya khawatir akan dampak stres yang bisa mempengaruhi kandungan Nuning yang lemah. Jaka tidak ingin menambah masalah baru di tengah situasi yang sudah sulit.Pesawat terbang melaju dengan kecepatan tinggi, namun perjalanan yang dilaluinya terasa begitu lamba
Suasana gereja dipenuhi dengan aroma harum dari bunga-bunga segar yang menghiasi setiap sudut. Sinar matahari pagi membelai lembut melalui jendela-jendela gereja, menciptakan permainan cahaya yang mempercantik momen sakral ini. Seperti berkah dari langit, cahaya itu memberikan sentuhan hangat pada momen ini, menambahkan keindahan pada detik-detik yang tak terlupakan.Gaun putih Lisa mengalir indah di belakangnya, mengikuti setiap langkahnya dengan lembut. Rambutnya dihiasi dengan sebuah tiara yang manis. Setiap langkah yang diambilnya terlihat begitu anggun dan memikat.Di sekeliling gereja, keluarga besar Alessio dan keluarga Lisa berkumpul, penuh dengan senyuman dan kegembiraan. Sorot mata yang penuh cinta dari kedua belah pihak keluarga mencerahkan suasana, menunjukkan dukungan dan kasih sayang yang mereka miliki untuk pasangan yang akan menikah.Daniel Sutomo juga tampak hadir di sana. Keberadaan sosok konglomerat itu memberikan aura kebijaksanaan dan kemuliaan yang tak terbantahk
Bambang duduk di samping Dennis, merangkulnya dengan lembut sambil memandang jauh ke laut yang tenang di depan mereka. "Dennis, janganlah sedih karena pernikahan ayah Vincent dengan tante Lisa," ucapnya dengan suara lembut.Dennis menoleh ke arah Bambang, tatapan matanya masih penuh dengan kesedihan. "Tapi, Om, aku merasa sedih. Aku merasa seperti kehilangan sesuatu yang penting," gumamnya sambil memandang ke lautan di hadapannya.Bambang tersenyum lembut, memahami perasaan keponakannya. "Dennis, kamu harus tahu bahwa pernikahan adalah bagian dari takdir yang telah diatur oleh Gusti Allah. Ayah Vincent selama ini belum aja ketemu sama jodohnya, makanya nggak nikah-nikah sejak cerai sama bundamu. Jangan kamu sesali juga perceraian bundamu sama ayah Vincent. Itu namanya nggak jodoh.”Dennis mendengarkan, sesekali ia menghela napasnya yang terdengar berat. sepertinya bocah remaja itu berusaha mencerna setiap kata yang diucapkan oleh Bambang. "Nggak usahlah kamu repot-repot mikir kenapa
Suasana makan malam antara keluarga Vincent dan keluarga Lisa dari Italia berlangsung dalam atmosfer kekeluargaan yang hangat dan penuh keakraban. Dante masih terkesima setelah mengetahui tentang kesuksesan Tuan Rain di Indonesia, begitu pula dengan putranya yang akan segera menikahi cucunya, Lisa."Putramu sangat tampan, Rain," puji Dante yang masih merasa terpukau melihat ketampanan Vincent sejak awal mula mereka bertemu. Vincent pun hanya tersenyum mendengar pujian dari calon mertuanya."Cucumu juga sangat cantik, Dante. Mereka sepadan," balas Tuan Rain dengan rendah hati, tersenyum bangga pada Lisa, calon menantunya."Selain cantik, Lisa juga cerdas. Dia bahkan menguasai 6 bahasa asing. Bukankah itu luar biasa?" timpal Nyonya Rose, mengumumkan bakat dan kecerdasan Lisa di hadapan semua orang.Tuan Rain menoleh kepada istrinya, "Sayangku, perlu kamu tahu,” ucapnya seraya mengerling pada Dante yang duduk berhadapan dengan mereka. “Kemampuan Dante menguasai bahasa asing sangat menonj
Hari-H pernikahan Vincent dan Lisa semakin dekat, dengan hitungan hari yang semakin berkurang. Kedatangan keluarga Lisa dari Italia telah menjadi momen yang sangat dinantikan. Di tengah suasana persiapan yang kian sibuk, Nyonya Rose telah menyusun rencana untuk menyambut mereka dengan sebuah jamuan makan malam di sebuah hotel mewah terbaik di Jakarta. Di sana pula tempat menginap bagi para tamu dari keluarga Lisa yang telah tiba dari Italia. Ketika Nyonya Rose dan Tuan Rain memasuki restoran di hotel itu, sorot mata mereka segera tertuju pada seorang pria tua yang duduk di sebelah Lisa. Tuan Rain, yang pertama kali melihatnya, mendesis pelan. “Dante?” gumamnya dengan suara rendah, matanya menyipit saat mencoba mengidentifikasi sosok tersebut. Semua orang memandang kehadiran Nyonya Rose dan Tuan Rain dengan tatapan hormat disertai senyuman hangat di mata mereka, termasuk pria berambut putih di sana. Pada saat itulah, Tuan Rain mengamati lagi pria tua yang ada di sebelah Lisa itu denga