Dibawa santuy aja sama Lisa :)
Lisa terkagum-kagumnya melihat keindahan rumah Vincent ini. Dinding putih yang bersih dan minimalis memberikan kesan luas dan terang di setiap ruangan. Di ruang tamu, furnitur mewah dengan warna netral menghadap jendela kaca besar yang memperlihatkan pemandangan laut yang memesona. Tirai putih yang lembut menari-nari dihembus angin. Kesegaran angin laut yang masuk ke dalam rumah, menciptakan atmosfer yang terasa menenangkan. Lantai marmer berkilau dihiasi dengan karpet lembut, memberikan sentuhan hangat di bawah kaki Lisa. Dari ruang tamu, dia bisa melihat lorong yang mengarah ke ruangan lain, memperlihatkan keindahan desain interior rumah ini. Lisa melewati ruang makan menuju dapur, tampak meja kayu besar yang dikelilingi kursi empuk. Lukisan-lukisan seni modern menghiasi dinding, menambah nuansa artistik di ruangan tersebut. Di dapur, Vincent berdiri tegap dengan pakaian yang tampak sederhana namun sangat pas di tubuhnya. Kemeja lengan panjangnya digulung sedikit di siku dan cel
Lisa berjalan cepat menyusuri lorong rumah sakit yang hening, sesekali dia berlari-lari kecil, lalu berjalan cepat lagi. Sesaat kemudian, dia tiba di ruang perawatan dan terkejut melihat Niken dan Naura ternyata masih berada di sana."Kalian belum ke Bandung? Kan sudah kubilang kalian berangkat saja, aku pasti datang," ujar Lisa, napasnya tersengal setelah berjalan cepat sejauh itu. Kedua gadis itu hanya menatap Lisa dengan wajah sendu, lalu menggelengkan kepala sebagai jawaban atas pertanyaannya. Lisa kemudian mengikuti pandangan mereka yang terfokus pada ranjang tempat Ardi berbaring."Oh. Ardi, sudah siuman?" Lisa mendekati ranjang dengan senyuman lembut di wajahnya. “Halo, Ar?” sapanya, namun senyumnya segera memudar ketika dia melihat tatapan kosong dan kebingungan di mata Ardi. Lisa berpaling ke arah Niken dan Naura, mencari penjelasan."Mas Ardi baru saja sadar semalam.” Niken memberitahu Lisa dengan suara gemetar. "Namun, dia kehilangan sebagian memori karena benturan keras d
Lisa merawat Ardi dengan penuh kesabaran, setiap hari menghadapi tantangan yang datang bersamaan dengan pemulihan laki-laki itu. Terapi terus dilakukan untuk membangkitkan memori Ardi. Di samping itu, dia merasa bertanggung jawab untuk memastikan bahwa adik-adik Ardi, Niken dan Naura, juga mendapatkan dukungan yang mereka butuhkan. Sesulit apapun situasi dan kondisi mereka saat ini, kehidupan tidak berhenti berputar. Naura perlu segera kembali ke kampus untuk melanjutkan persiapan sidang ujian skripsinya yang sudah di depan mata. Sedangkan Niken, sebagai pencari nafkah utama keluarga, harus kembali ke Bandung karena tuntutan pekerjaan yang tidak bisa dihindari. Niken tidak bisa berlama-lama berada di rumah sakit untuk mengurus Ardi. Sementara kondisi Ardi saat ini pun masih belum siap untuk dipindahkan ke Bandung. Lisa juga menyadari bahwa masa cutinya sudah mendekati batas akhir, dan dia tidak bisa terus meminta cuti tanpa batas pada Vincent. Lisa akhirnya memutuskan untuk bicara de
Bandara Soekarno-Hatta tampak ramai dengan kehadiran penumpang yang baru tiba dan para penjemput yang sibuk menunggu di area kedatangan. Lisa berdiri tegak di antara kerumunan orang. Tangannya diangkat tinggi, memegang selembar kertas polio yang mencolok dengan tulisan tebal 'Mr. Frederick Aubert - Sutomo Land Corp'. Lisa memandang pintu keluar dengan gelisah. Kakinya mulai pegal karena telah lama berdiri. Beberapa penjemput yang lain sibuk mengobrol dan saling bertukar cerita di sekitar Lisa, sementara ia terus memerhatikan setiap sosok yang keluar dari arah pintu kedatangan. Tak lama kemudian, Lisa melihat sosok pria bule yang melangkah mantap dan berkharisma, membawa kopor besar di tangannya. Tubuhnya tinggi dan proporsional, dengan sikap yang tegap dan percaya diri. Pakaian kasualnya yang penuh gaya dan berkelas menonjolkan sisi maskulinnya yang memikat. Rambut pirangnya yang teratur dan mata birunya yang tajam menambah daya tariknya. Lisa mengintip ponselnya, memastikan bahwa
"Tuan Aubert, kemacetan adalah sahabat sehari-hari kami. Sebenarnya hotel yang akan Anda tempati sudah dekat, tapi menjadi terasa jauh karena kemacetan ini. Mohon maaf." Frederick tersenyum, "Ah, kemacetan adalah masalah universal, bukan? Meskipun tidak selalu menyenangkan, tapi ini bagian dari pengalaman. Jakarta memang kota yang penuh warna. Tidak perlu merasa tidak enak, Lisa. Kemacetan ini bukanlah kesalahan Anda," jawabnya penuh pengertian. Setelah cukup lama tertahan macet, akhirnya mobil mereka sampai juga di sebuah hotel bintang lima yang terletak di jantung kota Jakarta. Lisa mengantar tamu perusahaannya itu hingga ke lobi hotel. Cahaya senja yang memperindah langit Jakarta memberikan nuansa hangat saat mereka tiba. Lobi hotel yang megah dan penuh ornamen artistik menyambut kedatangan mereka. Mereka melangkah masuk ke dalam lobi yang megah, dihiasi dengan lampu gantung kristal yang memantulkan cahaya ke segala penjuru. Karpet merah mewah menghiasi lantai, dan bunga-bunga s
Pagi itu, Lisa tampak cantik dengan pakaian kerjanya yang modis. Vincent juga tampak gagah dengan setelan jas abu-abu gelapnya. Lisa membantu merapikan simpul dasinya. "Anda tampan sekali, Pak," pujinya sambil berjinjit mengecup singkat bibir Vincent. "Kamu juga cantik, Lisa," Vincent mengecup kening Lisa. “Omong-omong,” Lisa melingkarkan lengannya ke pinggang Vincent dengan manja, Vincent balas menahan punggung Lisa sambil menatapnya mesra. “Saya sudah menghubungi desainer yang mengurus pakaian Bapak, buat acara ulang tahun pernikahan Nyonya Rose dan Tuan Rain nanti. Pakaian Bapak sudah siap. Rencananya nanti sore saya akan mengambilnya ke sana.” Lisa berbicara sambil mempertahankan kontak fisik yang hangat. Vincent tersenyum, “Good job,” pujinya. “Biasanya dia lama sekali, tumben bisa jadi cepat?” dia kemudian menyipitkan matanya sambil pura-pura berpikir, “Kamu menerornya ya?” Lisa mengedikkan bahu. “Saya meneleponnya setiap hari, sehari tiga kali.” Vincent memutar bola mata
Frederick Aubert, seorang arsitek asal Perancis yang kharismatik, dikenal sebagai ahli di bidang perancangan resort. Dengan kepakaran dan visinya yang unik, ia telah menandatangani beberapa proyek terkenal di dunia perhotelan. Sosok Frederick Aubert memiliki aura yang menawan, dengan mata yang penuh gairah terhadap dunia desain arsitektur yang menciptakan pengalaman tak terlupakan bagi setiap penghuni resortnya. Frederick terkenal karena gaya desainnya yang menciptakan harmoni antara keindahan alam dan estetika arsitektur modern. Setiap proyeknya diwarnai dengan sentuhan kreativitasnya yang khas, menghasilkan struktur bangunan yang tidak hanya indah secara visual, tetapi juga menyatu dengan lingkungan sekitarnya. Gaya Frederick mencerminkan kecintaannya pada keindahan alam dan budaya setempat, membuat setiap resortnya menjadi manifestasi elegan dari keunikan tempat itu. Vincent Alessio tertarik pada karya-karya Frederick Aubert dan memutuskan untuk menggunakan jasanya dalam merancang
Lisa melangkah dengan jantung berdebar-debar di koridor rumah sakit. Wajahnya penuh harap dan cemas saat menuju ruang dokter bedah yang merawat Ardi. Suster menyambut Lisa dan segera memintanya agar segera masuk, “Silakan. Dokter sudah menunggu Anda, Bu.” Si suster membuka pintu ruangan untuk Lisa dan Lisa berterima kasih disertai senyuman. "Selamat siang, Bu Lisa," sapa dokter dengan senyum ramahnya, mengangkat pandangan dari berkas medis Ardi yang ada di mejanya. "Selamat siang, Dok.” Lisa tersenyum dan duduk di sebuah kursi kosong di hadapan sang dokter. Dokter memandang Lisa dengan simpati, sedangkan Lisa duduk dengan tegang, menunggu penjelasan dari dokter. Setelah menilai bahwa keluarga pasiennya ini sudah siap untuk diajak berbicara, si dokter mulai membuka pembicaraan. "Bu Lisa, sejauh ini proses pemulihan Pak Ardi berjalan cukup baik, namun Pak Ardi masih membutuhkan perawatan lanjutan, terutama fisioterapi, untuk memastikan pemulihannya berlangsung secara optimalnya,” dia
Dennis mengucapkan “selamat” pada Vincent dan Lisa melalui telepon. Vincent merasa bahagia mendengar ucapan putranya yang terasa betul-betul tulus kali ini. Bahkan Dennis secara khusus bicara pada Lisa untuk minta maaf padanya. "Tante, maaf atas semua sikap burukku selama ini," ucapnya dengan rendah hati. "Aku tahu ayah dan Tante saling mencintai, ayah pasti akan bahagia dengan Tante.” Dennis terdiam sejenak. “Tante Lisa memang layak bersanding dengan ayah, sebab aku tahu... ayah tidak mungkin sembarangan memilih orang yang akan mendampinginya seumur hidupnya. Aku percaya pada pilihan ayah," tambah Dennis dengan suara yang penuh dukungan. Lisa tersenyum, meskipun Dennis tidak bisa melihat senyumnya di telepon. "Terima kasih, Dennis. Kamu anak yang luar biasa, dan Tante bahagia bisa menjadi bagian dari keluargamu." “Aku juga bahagia memiliki ayah Vincent dan Tante Lisa.” Lisa dan Vincent saling berpandangan mendengar ungkapan Dennis yang terasa tulus. Setelah selesai menelepon, Vin
Jaka menghela napas, mencoba menenangkan diri di tengah tekanan yang dirasakannya. Tatapannya terpaku pada dinding putih ruangan yang pucat. Wajah pria tampan itu mencerminkan perasaan yang selama ini sulit untuk diungkapkan."Saya masih merasa bersalah, Pak," ucapnya dengan suara lirih. Tatapannya kemudian turun pada genggaman tangannya pada tangan Dennis yang masih tak bergerak. Setiap sentuhan, setiap simpul jemari, terasa penuh makna baginya.Pak Priyo memandang Jaka, siap mendengarkan apapun yang ingin diungkapkan oleh anak menantu yang sangat disayanginya itu."Saya menyesal telah menikahi Erna, padahal Nuning sedang mengandung Dennis, anak kami," lanjut Jaka perlahan, suaranya semakin rendah, hampir tersendat oleh rasa sesak di dadanya. "Andai waktu bisa diulang, saya tidak akan menikahi Erna saat itu." Matanya kembali naik menatap dinding pucat di depan sana. "Saya ingin tetap bersama Nuning, harusnya saya mengambil keputusan tegas dan tak perlu larut dalam situasi yang membua
Di antara para tamu undangan, Mei yang merupakan mantan kekasih Vincent juga tampak hadir di sana, dia datang bersama suaminya, Juna, dan putranya, Vi. Rambut panjang Mei disanggul cantik berhiaskan aksesori yang serasi dengan gaun rancangan desainer ternama berwarna pastel yang melekat indah di tubuh langsingnya. Wajahnya yang jelita terpancar dalam senyuman lembut, memberikan kesan hangat kepada siapa pun yang bertemu dengannya. Sementara itu, Juna terlihat tampan dan karismatik dengan setelan tuksedo hitamnya. Ekspresi wajahnya yang percaya diri menunjukkan bahwa dia adalah sosok yang menguasai situasi. Dia berbicara dengan sesama tamu yang dikenalnya sambil memperkenalkan sosok Vi, putranya yang berusia 7 tahun. Senyum bangga terukir di wajahnya setiap kali mendengar orang-orang memuji ketampanan Vi yang sangat mirip dengan dirinya. Dalam setelan tuksedo kecilnya, Vi memang terlihat begitu memesona dengan senyuman polosnya. Postur tubuhnya yang tinggi menjadikannya tampak gagah
Lisa sebenarnya ingin resepsi pernikahannya dengan Vincent bisa diadakan di tepi pantai yang cantik di Bali. Namun, pada trimester pertama kehamilannya ini, Lisa masih mengalami mual, muntah, dan mudah lelah, sehingga bakal menyulitkan dirinya sendiri saat harus melakukan perjalanan dari Jakarta menuju Bali dan sebaliknya. Selain itu, risiko keguguran juga lebih tinggi pada trimester pertama. Vincent pun menolak keinginan Lisa dan menetapkan agar resepsi digelar di Jakarta saja. “Bersabarlah, Sayang. Setelah anak kita lahir nanti dan kalian berdua dalam kondisi sehat untuk melakukan perjalanan, bukan hanya ke Bali…, aku akan membawa kalian pergi ke tempat-tempat indah manapun yang kamu sukai,” janji Vincent sambil mencium kening Lisa. Dia tak ingin melihat wanita yang dicintainya itu merasa kecewa menjalani resepsi pernikahan mereka nanti. Dan Vincent merasa lega setelah melihat Lisa mengangguk.“Nggak apa-apa, kok. Sebenarnya nggak terlalu jadi soal bagiku resepsinya nanti mau diada
Jaka menggenggam erat gagang kursi pesawat, tatapan kosongnya menatap ke luar jendela yang menampilkan pemandangan langit biru dan awan putihnya yang berderak. Pemandangan yang indah, tetapi dia tak bisa menikmati pemandangan itu karena pikirannya terus melayang ke rumah sakit tempat Dennis dirawat. "Dennis kecelakaan," dua kata yang terlontar lewat telepon dari Bambang seperti palu yang membelah dadanya. Beban yang menghantamnya terasa begitu berat, seakan-akan dunianya runtuh dalam sekejap. Meskipun hanya dua kata, namun rasanya dua kata itu menjelma seperti dua ton beban yang meremukkan hati Jaka sebagai seorang ayah. Dia sengaja tidak memberitahu Nuning tentang kecelakaan Dennis. Kondisi Nuning yang belum begitu baik membuatnya khawatir akan dampak stres yang bisa mempengaruhi kandungan Nuning yang lemah. Jaka tidak ingin menambah masalah baru di tengah situasi yang sudah sulit.Pesawat terbang melaju dengan kecepatan tinggi, namun perjalanan yang dilaluinya terasa begitu lamba
Suasana gereja dipenuhi dengan aroma harum dari bunga-bunga segar yang menghiasi setiap sudut. Sinar matahari pagi membelai lembut melalui jendela-jendela gereja, menciptakan permainan cahaya yang mempercantik momen sakral ini. Seperti berkah dari langit, cahaya itu memberikan sentuhan hangat pada momen ini, menambahkan keindahan pada detik-detik yang tak terlupakan.Gaun putih Lisa mengalir indah di belakangnya, mengikuti setiap langkahnya dengan lembut. Rambutnya dihiasi dengan sebuah tiara yang manis. Setiap langkah yang diambilnya terlihat begitu anggun dan memikat.Di sekeliling gereja, keluarga besar Alessio dan keluarga Lisa berkumpul, penuh dengan senyuman dan kegembiraan. Sorot mata yang penuh cinta dari kedua belah pihak keluarga mencerahkan suasana, menunjukkan dukungan dan kasih sayang yang mereka miliki untuk pasangan yang akan menikah.Daniel Sutomo juga tampak hadir di sana. Keberadaan sosok konglomerat itu memberikan aura kebijaksanaan dan kemuliaan yang tak terbantahk
Bambang duduk di samping Dennis, merangkulnya dengan lembut sambil memandang jauh ke laut yang tenang di depan mereka. "Dennis, janganlah sedih karena pernikahan ayah Vincent dengan tante Lisa," ucapnya dengan suara lembut.Dennis menoleh ke arah Bambang, tatapan matanya masih penuh dengan kesedihan. "Tapi, Om, aku merasa sedih. Aku merasa seperti kehilangan sesuatu yang penting," gumamnya sambil memandang ke lautan di hadapannya.Bambang tersenyum lembut, memahami perasaan keponakannya. "Dennis, kamu harus tahu bahwa pernikahan adalah bagian dari takdir yang telah diatur oleh Gusti Allah. Ayah Vincent selama ini belum aja ketemu sama jodohnya, makanya nggak nikah-nikah sejak cerai sama bundamu. Jangan kamu sesali juga perceraian bundamu sama ayah Vincent. Itu namanya nggak jodoh.”Dennis mendengarkan, sesekali ia menghela napasnya yang terdengar berat. sepertinya bocah remaja itu berusaha mencerna setiap kata yang diucapkan oleh Bambang. "Nggak usahlah kamu repot-repot mikir kenapa
Suasana makan malam antara keluarga Vincent dan keluarga Lisa dari Italia berlangsung dalam atmosfer kekeluargaan yang hangat dan penuh keakraban. Dante masih terkesima setelah mengetahui tentang kesuksesan Tuan Rain di Indonesia, begitu pula dengan putranya yang akan segera menikahi cucunya, Lisa."Putramu sangat tampan, Rain," puji Dante yang masih merasa terpukau melihat ketampanan Vincent sejak awal mula mereka bertemu. Vincent pun hanya tersenyum mendengar pujian dari calon mertuanya."Cucumu juga sangat cantik, Dante. Mereka sepadan," balas Tuan Rain dengan rendah hati, tersenyum bangga pada Lisa, calon menantunya."Selain cantik, Lisa juga cerdas. Dia bahkan menguasai 6 bahasa asing. Bukankah itu luar biasa?" timpal Nyonya Rose, mengumumkan bakat dan kecerdasan Lisa di hadapan semua orang.Tuan Rain menoleh kepada istrinya, "Sayangku, perlu kamu tahu,” ucapnya seraya mengerling pada Dante yang duduk berhadapan dengan mereka. “Kemampuan Dante menguasai bahasa asing sangat menonj
Hari-H pernikahan Vincent dan Lisa semakin dekat, dengan hitungan hari yang semakin berkurang. Kedatangan keluarga Lisa dari Italia telah menjadi momen yang sangat dinantikan. Di tengah suasana persiapan yang kian sibuk, Nyonya Rose telah menyusun rencana untuk menyambut mereka dengan sebuah jamuan makan malam di sebuah hotel mewah terbaik di Jakarta. Di sana pula tempat menginap bagi para tamu dari keluarga Lisa yang telah tiba dari Italia. Ketika Nyonya Rose dan Tuan Rain memasuki restoran di hotel itu, sorot mata mereka segera tertuju pada seorang pria tua yang duduk di sebelah Lisa. Tuan Rain, yang pertama kali melihatnya, mendesis pelan. “Dante?” gumamnya dengan suara rendah, matanya menyipit saat mencoba mengidentifikasi sosok tersebut. Semua orang memandang kehadiran Nyonya Rose dan Tuan Rain dengan tatapan hormat disertai senyuman hangat di mata mereka, termasuk pria berambut putih di sana. Pada saat itulah, Tuan Rain mengamati lagi pria tua yang ada di sebelah Lisa itu denga