Happy reading, manteman :)
Lisa melangkah dengan jantung berdebar-debar di koridor rumah sakit. Wajahnya penuh harap dan cemas saat menuju ruang dokter bedah yang merawat Ardi. Suster menyambut Lisa dan segera memintanya agar segera masuk, “Silakan. Dokter sudah menunggu Anda, Bu.” Si suster membuka pintu ruangan untuk Lisa dan Lisa berterima kasih disertai senyuman. "Selamat siang, Bu Lisa," sapa dokter dengan senyum ramahnya, mengangkat pandangan dari berkas medis Ardi yang ada di mejanya. "Selamat siang, Dok.” Lisa tersenyum dan duduk di sebuah kursi kosong di hadapan sang dokter. Dokter memandang Lisa dengan simpati, sedangkan Lisa duduk dengan tegang, menunggu penjelasan dari dokter. Setelah menilai bahwa keluarga pasiennya ini sudah siap untuk diajak berbicara, si dokter mulai membuka pembicaraan. "Bu Lisa, sejauh ini proses pemulihan Pak Ardi berjalan cukup baik, namun Pak Ardi masih membutuhkan perawatan lanjutan, terutama fisioterapi, untuk memastikan pemulihannya berlangsung secara optimalnya,” dia
Selesai mengurus administrasi, Lisa menuju kamar perawatan Ardi. Dia terkejut melihat Mina ada di dalam kamar, tapi yang lebih mengejutkan lagi karena Ardi masih mengingat Mina. Bahkan Ardi masih ingat juga tentang Chika, anak si janda itu!Lisa berdiri di luar kamar perawatan Ardi, tak bisa menahan rasa kaget dan cemburunya. Matanya terpaku pada pemandangan di dalam ruangan yang seakan-akan membuka lembaran masa lalu.Lisa urung membuka pintu, dia menepi di dinding dan mendengarkan percakapan yang terjadi di dalam lewat celah pintu yang terbuka sedikit. Ardi dan Mina masih bercakap-cakap dengan hangat, seperti dulu. "Bagaimana sekolahnya Chika? Apa Chika masih sedih gara-gara guru kesayangannya pindah sekolah?" tanya Ardi pada Mina yang sedang menyuapinya makan. Lisa, bersembunyi di balik dinding, jantungnya berdenyut kencang. Pertanyaan Ardi itu menyentuh luka batinnya. Ardi tampaknya masih begitu dekat dengan Mina, bahkan pria itu masih mengingat detail kehidupan mereka, sementa
Lisa menghentikan langkahnya di koridor rumah sakit. Jantungnya masih berdegup kencang, tapi dia mencoba meredakan perasaannya. Suara langkahnya terdengar cepat dan buru-buru. Dia merasa perlu fokus pada pekerjaannya saat ini dan mencoba melupakan pemandangan di kamar Ardi.“Tidak ada waktu untuk hal-hal seperti ini,” gumam Lisa pada dirinya sendiri. Meski hatinya terasa berat, dia memutuskan untuk menjalankan tugasnya dengan profesional. Mengambil pakaian Vincent ke butik adalah prioritasnya sekarang.Lisa melangkah menuju mobilnya di tempat parkir rumah sakit. Dia segera memasuki mobil dan melajukannya secara perlahan. Lisa memijat kepalanya yang pening saat mobilnya terhadang di sebuah lampu merah. Adegan Mina menyuapi Ardi tadi terlintas kembali di benaknya. “Sialan,” gumamnya sambil menertawakan dirinya sendiri. Lisa menggelengkan kepalanya. “Sepertinya aku memang harus kembali pada niat awalku saja, tidak usah menikah lagi! Sama seperti Pak Vincent,” ucapnya sambil menghela nap
Lisa terbangun oleh suara dering ponselnya, dia menyibak selimut dan bangkit dari ranjang dengan tergesa-gesa. Matanya langsung memandang jam dinding digital di atas nakas, di sisi tempat tidurnya. “Mati aku!” matanya mendelik kaget. Lisa meraih ponselnya, nama “Bona” tertulis di layar. "Halo, Mas Bona? M-maaf, Mas. S-saya … kesiangan. Baru bangun tidur.” Lisa berbicara sambil beranjak dari ranjang. “APA?” Lisa bisa merasakan kemarahan dalam suara Bona di ujung telepon. “Duh, gimana ya?” Lisa menggigit bibir sambil menjitak kepalanya sendiri. “Mmmh. Saya nanti nyusul deh pakai pesawat komersil?” usulnya. “Heh! Kok malah jadinya kamu yang ngatur?” omel Bona. “Habis gimana, Mas Bona? Saya belum mandi ini. Aduh!---" Lisa tersandung di depan kamar mandi karena terburu-buru, dia meringis kesakitan memegangi dengkulnya yang terantuk lantai. Bona yang mendengar suara gaduh di dalam teleponnya segera menegur, “Kamu kenapa, Lisa?” Lisa meringis. "Saya kesandung, Mas." Bona menghela
Lisa merentangkan tubuhnya di kursi sofa lounge yang empuk, rasa lelah melandanya. Matanya memandang langit-langit lounge dengan tatapan kosong, mencoba melepaskan diri dari keramaian pikiran yang memenuhi benaknya. Rambutnya yang tergerai berjatuhan di bahu. “Capek banget gila … ngejar jadwal pesawat paling cepat ke Bali, ujung-ujungnya sampai sini malah diminta jadi baby sitternya Dennis. Hadeh, males banget ketemu sama bocah manja yang hobinya drama itu,” keluhnya sambil membaca ulang pesan Vincent di ponselnya. [Lisa, kamu nyusul saya ke Lombok bareng Dennis. Tunggu saja dia di lounge bandara. Dia sedang diantar sama Pak Jaka ke sana. Saya sudah siapkan jet pribadi untuk menuju Lombok buat kalian.] Di sekitarnya, cahaya lembut lampu-lampu hiasan menyinari ruangan, menciptakan nuansa hangat yang mengundang ketenangan. Lisa menghela napas panjang, membiarkan suasana santai menyelimuti dirinya. Dengan gerakan ringan, dia meraih segelas minuman dingin yang diletakkan di atas meja
Di bawah sinar matahari sore, Vincent duduk di atas pasir, membiarkan deburan ombak menyapu kesunyian pantai. Ia menggenggam pasir lembut di tangannya, mengamati butiran-butiran kecil yang meluncur di antara jemarinya. Perasaannya campur aduk, ia mencoba meresapi setiap momen dalam hidupnya. Vincent merasa senang mendengar kabar kehamilan Nuning. Dalam hatinya, doa keselamatan dan kesehatan selalu menyertai mantan istrinya, terutama mengingat Nuning sebelumnya pernah mengalami keguguran yang membuat Vincent merasa cemas. Meskipun usia Nuning sudah tergolong riskan, Vincent tetap optimis bahwa segala sesuatunya akan baik-baik saja. "Andai aku juga bisa memiliki anak kandungku sendiri," desahnya penuh harap. Kata-kata seorang androlog yang pernah dikunjunginya pada beberapa tahun yang lalu rasanya masih terus terngiang di kepalanya. “Pak Vincent, berdasarkan hasil pemeriksaan lab, Anda mengalami apa yang disebut dengan “asthenozoospermia”, ini merujuk pada kondisi di mana sperma memil
Di tepi pantai yang mempesona, Vincent membimbing Dennis dan Lisa ke sebuah kafe. Senja yang merambat di ufuk barat menciptakan spektrum warna merah memukau di langit. "Dennis Cafe" terpampang megah di pintu masuk, mengejutkan Dennis saat melihat namanya diabadikan di tempat ini. Dengan senyum kecil, Dennis memasuki kafe itu, berdampingan dengan Vincent yang merangkulnya. Deretan lampu-lampu hias yang gemerlap menambah kehangatan suasana di dalam. Terdengar musik ringan yang mengalun, memberikan sentuhan riang yang menggembirakan. Manager kafe menyambut kedatangan Vincent dengan senyuman termanisnya. "Selamat datang, Pak Vincent dan keluarga," ucapnya, mengalihkan senyumnya dari Vincent menuju Dennis dan Lisa. Dennis tersenyum sinis mendengar kata "keluarga" yang terlontar, padahal Lisa bukan bagian dari keluarganya. "Dia cuma asisten kami," tegasnya, ingin menunjukkan kedudukan Lisa yang seharusnya. "Oh, ma-maaf," sang manager yang berpakaian kasual cepat tersenyum pada Dennis yan
"Maaf, Tuan Aubert, saya harus merekam penampilan Pak Vincent dan putranya. Kita lanjutkan obrolan nanti lagi, ya?" ujar Lisa dalam bahasa Perancis, suaranya tegas namun dibalut dengan senyum ramah di wajahnya. Frederick memandang ke arah panggung. "Oh, itu putranya Pak Vincent ya? Tampan sekali. Saya baru pertama kali melihatnya." Dia menoleh pada Lisa dan tersenyum, "Silakan Lisa, lakukanlah tugasmu." Frederick menarik sebuah kursi dan duduk di tempatnya, membiarkan Lisa fokus pada tugasnya. Dia juga penasaran ingin melihat penampilan Vincent Alessio dan putranya. Sementara itu, Lisa sibuk mengatur kamera yang diposisikan dengan sempurna untuk merekam penampilan Vincent dan Dennis di panggung. Dia menyusun setelan kameranya dengan presisi, memastikan tidak melewatkan detail apa pun dari momen yang berharga ini. Di atas panggung, jari-jari lentik Dennis merayapi senar gitar, memulai petikan yang menciptakan dentingan-dentingan indah dari melodi lagu barat berjudul "Someone You L
Dennis mengucapkan “selamat” pada Vincent dan Lisa melalui telepon. Vincent merasa bahagia mendengar ucapan putranya yang terasa betul-betul tulus kali ini. Bahkan Dennis secara khusus bicara pada Lisa untuk minta maaf padanya. "Tante, maaf atas semua sikap burukku selama ini," ucapnya dengan rendah hati. "Aku tahu ayah dan Tante saling mencintai, ayah pasti akan bahagia dengan Tante.” Dennis terdiam sejenak. “Tante Lisa memang layak bersanding dengan ayah, sebab aku tahu... ayah tidak mungkin sembarangan memilih orang yang akan mendampinginya seumur hidupnya. Aku percaya pada pilihan ayah," tambah Dennis dengan suara yang penuh dukungan. Lisa tersenyum, meskipun Dennis tidak bisa melihat senyumnya di telepon. "Terima kasih, Dennis. Kamu anak yang luar biasa, dan Tante bahagia bisa menjadi bagian dari keluargamu." “Aku juga bahagia memiliki ayah Vincent dan Tante Lisa.” Lisa dan Vincent saling berpandangan mendengar ungkapan Dennis yang terasa tulus. Setelah selesai menelepon, Vin
Jaka menghela napas, mencoba menenangkan diri di tengah tekanan yang dirasakannya. Tatapannya terpaku pada dinding putih ruangan yang pucat. Wajah pria tampan itu mencerminkan perasaan yang selama ini sulit untuk diungkapkan."Saya masih merasa bersalah, Pak," ucapnya dengan suara lirih. Tatapannya kemudian turun pada genggaman tangannya pada tangan Dennis yang masih tak bergerak. Setiap sentuhan, setiap simpul jemari, terasa penuh makna baginya.Pak Priyo memandang Jaka, siap mendengarkan apapun yang ingin diungkapkan oleh anak menantu yang sangat disayanginya itu."Saya menyesal telah menikahi Erna, padahal Nuning sedang mengandung Dennis, anak kami," lanjut Jaka perlahan, suaranya semakin rendah, hampir tersendat oleh rasa sesak di dadanya. "Andai waktu bisa diulang, saya tidak akan menikahi Erna saat itu." Matanya kembali naik menatap dinding pucat di depan sana. "Saya ingin tetap bersama Nuning, harusnya saya mengambil keputusan tegas dan tak perlu larut dalam situasi yang membua
Di antara para tamu undangan, Mei yang merupakan mantan kekasih Vincent juga tampak hadir di sana, dia datang bersama suaminya, Juna, dan putranya, Vi. Rambut panjang Mei disanggul cantik berhiaskan aksesori yang serasi dengan gaun rancangan desainer ternama berwarna pastel yang melekat indah di tubuh langsingnya. Wajahnya yang jelita terpancar dalam senyuman lembut, memberikan kesan hangat kepada siapa pun yang bertemu dengannya. Sementara itu, Juna terlihat tampan dan karismatik dengan setelan tuksedo hitamnya. Ekspresi wajahnya yang percaya diri menunjukkan bahwa dia adalah sosok yang menguasai situasi. Dia berbicara dengan sesama tamu yang dikenalnya sambil memperkenalkan sosok Vi, putranya yang berusia 7 tahun. Senyum bangga terukir di wajahnya setiap kali mendengar orang-orang memuji ketampanan Vi yang sangat mirip dengan dirinya. Dalam setelan tuksedo kecilnya, Vi memang terlihat begitu memesona dengan senyuman polosnya. Postur tubuhnya yang tinggi menjadikannya tampak gagah
Lisa sebenarnya ingin resepsi pernikahannya dengan Vincent bisa diadakan di tepi pantai yang cantik di Bali. Namun, pada trimester pertama kehamilannya ini, Lisa masih mengalami mual, muntah, dan mudah lelah, sehingga bakal menyulitkan dirinya sendiri saat harus melakukan perjalanan dari Jakarta menuju Bali dan sebaliknya. Selain itu, risiko keguguran juga lebih tinggi pada trimester pertama. Vincent pun menolak keinginan Lisa dan menetapkan agar resepsi digelar di Jakarta saja. “Bersabarlah, Sayang. Setelah anak kita lahir nanti dan kalian berdua dalam kondisi sehat untuk melakukan perjalanan, bukan hanya ke Bali…, aku akan membawa kalian pergi ke tempat-tempat indah manapun yang kamu sukai,” janji Vincent sambil mencium kening Lisa. Dia tak ingin melihat wanita yang dicintainya itu merasa kecewa menjalani resepsi pernikahan mereka nanti. Dan Vincent merasa lega setelah melihat Lisa mengangguk.“Nggak apa-apa, kok. Sebenarnya nggak terlalu jadi soal bagiku resepsinya nanti mau diada
Jaka menggenggam erat gagang kursi pesawat, tatapan kosongnya menatap ke luar jendela yang menampilkan pemandangan langit biru dan awan putihnya yang berderak. Pemandangan yang indah, tetapi dia tak bisa menikmati pemandangan itu karena pikirannya terus melayang ke rumah sakit tempat Dennis dirawat. "Dennis kecelakaan," dua kata yang terlontar lewat telepon dari Bambang seperti palu yang membelah dadanya. Beban yang menghantamnya terasa begitu berat, seakan-akan dunianya runtuh dalam sekejap. Meskipun hanya dua kata, namun rasanya dua kata itu menjelma seperti dua ton beban yang meremukkan hati Jaka sebagai seorang ayah. Dia sengaja tidak memberitahu Nuning tentang kecelakaan Dennis. Kondisi Nuning yang belum begitu baik membuatnya khawatir akan dampak stres yang bisa mempengaruhi kandungan Nuning yang lemah. Jaka tidak ingin menambah masalah baru di tengah situasi yang sudah sulit.Pesawat terbang melaju dengan kecepatan tinggi, namun perjalanan yang dilaluinya terasa begitu lamba
Suasana gereja dipenuhi dengan aroma harum dari bunga-bunga segar yang menghiasi setiap sudut. Sinar matahari pagi membelai lembut melalui jendela-jendela gereja, menciptakan permainan cahaya yang mempercantik momen sakral ini. Seperti berkah dari langit, cahaya itu memberikan sentuhan hangat pada momen ini, menambahkan keindahan pada detik-detik yang tak terlupakan.Gaun putih Lisa mengalir indah di belakangnya, mengikuti setiap langkahnya dengan lembut. Rambutnya dihiasi dengan sebuah tiara yang manis. Setiap langkah yang diambilnya terlihat begitu anggun dan memikat.Di sekeliling gereja, keluarga besar Alessio dan keluarga Lisa berkumpul, penuh dengan senyuman dan kegembiraan. Sorot mata yang penuh cinta dari kedua belah pihak keluarga mencerahkan suasana, menunjukkan dukungan dan kasih sayang yang mereka miliki untuk pasangan yang akan menikah.Daniel Sutomo juga tampak hadir di sana. Keberadaan sosok konglomerat itu memberikan aura kebijaksanaan dan kemuliaan yang tak terbantahk
Bambang duduk di samping Dennis, merangkulnya dengan lembut sambil memandang jauh ke laut yang tenang di depan mereka. "Dennis, janganlah sedih karena pernikahan ayah Vincent dengan tante Lisa," ucapnya dengan suara lembut.Dennis menoleh ke arah Bambang, tatapan matanya masih penuh dengan kesedihan. "Tapi, Om, aku merasa sedih. Aku merasa seperti kehilangan sesuatu yang penting," gumamnya sambil memandang ke lautan di hadapannya.Bambang tersenyum lembut, memahami perasaan keponakannya. "Dennis, kamu harus tahu bahwa pernikahan adalah bagian dari takdir yang telah diatur oleh Gusti Allah. Ayah Vincent selama ini belum aja ketemu sama jodohnya, makanya nggak nikah-nikah sejak cerai sama bundamu. Jangan kamu sesali juga perceraian bundamu sama ayah Vincent. Itu namanya nggak jodoh.”Dennis mendengarkan, sesekali ia menghela napasnya yang terdengar berat. sepertinya bocah remaja itu berusaha mencerna setiap kata yang diucapkan oleh Bambang. "Nggak usahlah kamu repot-repot mikir kenapa
Suasana makan malam antara keluarga Vincent dan keluarga Lisa dari Italia berlangsung dalam atmosfer kekeluargaan yang hangat dan penuh keakraban. Dante masih terkesima setelah mengetahui tentang kesuksesan Tuan Rain di Indonesia, begitu pula dengan putranya yang akan segera menikahi cucunya, Lisa."Putramu sangat tampan, Rain," puji Dante yang masih merasa terpukau melihat ketampanan Vincent sejak awal mula mereka bertemu. Vincent pun hanya tersenyum mendengar pujian dari calon mertuanya."Cucumu juga sangat cantik, Dante. Mereka sepadan," balas Tuan Rain dengan rendah hati, tersenyum bangga pada Lisa, calon menantunya."Selain cantik, Lisa juga cerdas. Dia bahkan menguasai 6 bahasa asing. Bukankah itu luar biasa?" timpal Nyonya Rose, mengumumkan bakat dan kecerdasan Lisa di hadapan semua orang.Tuan Rain menoleh kepada istrinya, "Sayangku, perlu kamu tahu,” ucapnya seraya mengerling pada Dante yang duduk berhadapan dengan mereka. “Kemampuan Dante menguasai bahasa asing sangat menonj
Hari-H pernikahan Vincent dan Lisa semakin dekat, dengan hitungan hari yang semakin berkurang. Kedatangan keluarga Lisa dari Italia telah menjadi momen yang sangat dinantikan. Di tengah suasana persiapan yang kian sibuk, Nyonya Rose telah menyusun rencana untuk menyambut mereka dengan sebuah jamuan makan malam di sebuah hotel mewah terbaik di Jakarta. Di sana pula tempat menginap bagi para tamu dari keluarga Lisa yang telah tiba dari Italia. Ketika Nyonya Rose dan Tuan Rain memasuki restoran di hotel itu, sorot mata mereka segera tertuju pada seorang pria tua yang duduk di sebelah Lisa. Tuan Rain, yang pertama kali melihatnya, mendesis pelan. “Dante?” gumamnya dengan suara rendah, matanya menyipit saat mencoba mengidentifikasi sosok tersebut. Semua orang memandang kehadiran Nyonya Rose dan Tuan Rain dengan tatapan hormat disertai senyuman hangat di mata mereka, termasuk pria berambut putih di sana. Pada saat itulah, Tuan Rain mengamati lagi pria tua yang ada di sebelah Lisa itu denga