Di dalam restoran, Vincent memperlakukan Tamara dengan lembut. Dengan langkah yang halus, ia mendekati kursi yang hendak ditempati Tamara, sambil tersenyum ramah, Vincent menarik kursi itu keluar untuknya. Tamara balas tersenyum sebagai ucapan terima kasihnya. Vincent juga ingin memberikan perlakuan yang sama kepada Lisa. Dia ingin menunjukkan kelembutan yang sama pada asisten pribadinya tersebut. Dengan gerakan halus, Vincent pun beranjak menuju kursi yang akan ditempati Lisa. Namun, sebelum ia sempat menarik kursi itu, Lisa dengan sigap sudah melakukannya untuk dirinya sendiri. Lisa sepertinya tak ingin diperlakukan istimewa oleh Vincent. Vincent duduk di kursinya, berseberangan dengan Tamara. "Kamu mau pesan apa, Tamara?" tanya Vincent sambil membuka buku menu restoran yang disajikan di meja. Tamara menyampaikan pesanannya, menyebutkan menu kesukaannya dengan senyum di wajahnya. Sementara itu, ketika Vincent menoleh ke arah Lisa, dia melihat pandangan wanita itu tidak sepenuhnya
Setelah santap malam, Vincent dan Tamara melangkah bersama menuju lobi hotel, dan seperti sebelumnya, Lisa mengikuti di belakang mereka. Sedan mewah Vincent sudah menunggu, Vincent membuka pintu mobil bagian belakang untuk Tamara."Saya masih ada urusan dengan Lisa, nanti ada sopir lain yang akan menjemput kami. Kamu pulanglah lebih dulu, Tamara. Terima kasih telah bersedia menjadi teman duetku untuk menyanyi di acara ulang tahun orang tuaku nanti," ucap Vincent dengan suara lembut, mencoba memberikan penjelasan tanpa menyakiti perasaan wanita itu.Tamara terkejut, dia mengira Vincent akan mengantarnya pulang dengan mobil yang sama. Dalam hatinya, ia berharap Vincent akan mengubah keputusannya dan menyertainya pulang. Namun, dia segera menyadari bahwa Vincent seperti tak sepenuhnya berminat kepadanya. Vincent tampaknya hanya menghargainya sebatas teman duet belaka. Tamara menyembunyikan kekecewaannya dengan tersenyum. “Baiklah. Terima kasih atas makan malamnya, Vin.” Dia lalu memanda
Lisa membuka mata dengan perlahan, dan pandangannya segera disambut oleh suasana yang asing baginya. Kamar yang berukuran luas, perabotan yang elegan, semuanya jauh berbeda dengan kamar yang biasa ia tempati di sebuah apartemen yang ukurannya lebih sempit dari ini. Namun, kebingungannya tergantikan rasa nyaman saat merasakan kehangatan lengan Vincent yang melingkari perutnya dengan lembut. Senyum mengembang di wajah Lisa ketika dia menoleh dan menatap Vincent yang masih terlelap. Rambut ikal cokelatnya yang berantakan sama sekali tak mengurangi ketampanannya. Dengan lembut, Lisa menyentuh wajah Vincent, merayapi setiap lekuk halus yang ada. Tangannya meraba rambut cokelatnya yang berantakan, dan dia tak bisa menahan rasa yang tiba-tiba melanda hatinya. "Jujur saja, aku merindukanmu," bisiknya dalam hati, sambil merasakan detak jantungnya yang berdegup kencang. Namun, tiba-tiba saja Lisa tercekat ketika teringat sesuatu, dia harus ke rumah sakit pagi-pagi sekali. Dia sudah janji pada
Lisa menegakkan tubuh di bawah air pancuran yang mengguyur dirinya, wajahnya tersembunyi di balik tetesan-tetesan air hangat. Hatinya sesak, dia berusaha menyembunyikan kekecewaannya di balik guyuran air. “Memangnya apa yang kuharapkan? Aku hanyalah wanita bayaran.” Lisa menegur dirinya sendiri. Dia tak boleh menyimpan harapan yang terlampau tinggi. Vincent Alessio hanyalah pria yang membayarnya untuk seks, tak lebih. Lisa sadar tak perlu melibatkan hati dan perasaan dalam menjalani hubungannya dengan Vincent yang berdiri di atas sebuah kontrak yang akan berakhir beberapa bulan lagi. Sementara itu di dalam kamar, Vincent duduk di tepi ranjang, dia memandang ke arah kamar mandi pribadinya yang sedang dipakai Lisa. Pria itu menghela napasnya dalam-dalam. Dia menyisir rambutnya dengan jari-jari tangannya. Lalu dia mengusap wajahnya dengan tangannya yang sedikit gemetar. “Apa yang sudah kulakukan tadi? Aku sedang bercinta dengan Lisa, tapi kenapa nama Nuning yang masih saja kusebut-sebu
Lisa terkagum-kagumnya melihat keindahan rumah Vincent ini. Dinding putih yang bersih dan minimalis memberikan kesan luas dan terang di setiap ruangan. Di ruang tamu, furnitur mewah dengan warna netral menghadap jendela kaca besar yang memperlihatkan pemandangan laut yang memesona. Tirai putih yang lembut menari-nari dihembus angin. Kesegaran angin laut yang masuk ke dalam rumah, menciptakan atmosfer yang terasa menenangkan. Lantai marmer berkilau dihiasi dengan karpet lembut, memberikan sentuhan hangat di bawah kaki Lisa. Dari ruang tamu, dia bisa melihat lorong yang mengarah ke ruangan lain, memperlihatkan keindahan desain interior rumah ini. Lisa melewati ruang makan menuju dapur, tampak meja kayu besar yang dikelilingi kursi empuk. Lukisan-lukisan seni modern menghiasi dinding, menambah nuansa artistik di ruangan tersebut. Di dapur, Vincent berdiri tegap dengan pakaian yang tampak sederhana namun sangat pas di tubuhnya. Kemeja lengan panjangnya digulung sedikit di siku dan cel
Lisa berjalan cepat menyusuri lorong rumah sakit yang hening, sesekali dia berlari-lari kecil, lalu berjalan cepat lagi. Sesaat kemudian, dia tiba di ruang perawatan dan terkejut melihat Niken dan Naura ternyata masih berada di sana."Kalian belum ke Bandung? Kan sudah kubilang kalian berangkat saja, aku pasti datang," ujar Lisa, napasnya tersengal setelah berjalan cepat sejauh itu. Kedua gadis itu hanya menatap Lisa dengan wajah sendu, lalu menggelengkan kepala sebagai jawaban atas pertanyaannya. Lisa kemudian mengikuti pandangan mereka yang terfokus pada ranjang tempat Ardi berbaring."Oh. Ardi, sudah siuman?" Lisa mendekati ranjang dengan senyuman lembut di wajahnya. “Halo, Ar?” sapanya, namun senyumnya segera memudar ketika dia melihat tatapan kosong dan kebingungan di mata Ardi. Lisa berpaling ke arah Niken dan Naura, mencari penjelasan."Mas Ardi baru saja sadar semalam.” Niken memberitahu Lisa dengan suara gemetar. "Namun, dia kehilangan sebagian memori karena benturan keras d
Lisa merawat Ardi dengan penuh kesabaran, setiap hari menghadapi tantangan yang datang bersamaan dengan pemulihan laki-laki itu. Terapi terus dilakukan untuk membangkitkan memori Ardi. Di samping itu, dia merasa bertanggung jawab untuk memastikan bahwa adik-adik Ardi, Niken dan Naura, juga mendapatkan dukungan yang mereka butuhkan. Sesulit apapun situasi dan kondisi mereka saat ini, kehidupan tidak berhenti berputar. Naura perlu segera kembali ke kampus untuk melanjutkan persiapan sidang ujian skripsinya yang sudah di depan mata. Sedangkan Niken, sebagai pencari nafkah utama keluarga, harus kembali ke Bandung karena tuntutan pekerjaan yang tidak bisa dihindari. Niken tidak bisa berlama-lama berada di rumah sakit untuk mengurus Ardi. Sementara kondisi Ardi saat ini pun masih belum siap untuk dipindahkan ke Bandung. Lisa juga menyadari bahwa masa cutinya sudah mendekati batas akhir, dan dia tidak bisa terus meminta cuti tanpa batas pada Vincent. Lisa akhirnya memutuskan untuk bicara de
Bandara Soekarno-Hatta tampak ramai dengan kehadiran penumpang yang baru tiba dan para penjemput yang sibuk menunggu di area kedatangan. Lisa berdiri tegak di antara kerumunan orang. Tangannya diangkat tinggi, memegang selembar kertas polio yang mencolok dengan tulisan tebal 'Mr. Frederick Aubert - Sutomo Land Corp'. Lisa memandang pintu keluar dengan gelisah. Kakinya mulai pegal karena telah lama berdiri. Beberapa penjemput yang lain sibuk mengobrol dan saling bertukar cerita di sekitar Lisa, sementara ia terus memerhatikan setiap sosok yang keluar dari arah pintu kedatangan. Tak lama kemudian, Lisa melihat sosok pria bule yang melangkah mantap dan berkharisma, membawa kopor besar di tangannya. Tubuhnya tinggi dan proporsional, dengan sikap yang tegap dan percaya diri. Pakaian kasualnya yang penuh gaya dan berkelas menonjolkan sisi maskulinnya yang memikat. Rambut pirangnya yang teratur dan mata birunya yang tajam menambah daya tariknya. Lisa mengintip ponselnya, memastikan bahwa
Dennis mengucapkan “selamat” pada Vincent dan Lisa melalui telepon. Vincent merasa bahagia mendengar ucapan putranya yang terasa betul-betul tulus kali ini. Bahkan Dennis secara khusus bicara pada Lisa untuk minta maaf padanya. "Tante, maaf atas semua sikap burukku selama ini," ucapnya dengan rendah hati. "Aku tahu ayah dan Tante saling mencintai, ayah pasti akan bahagia dengan Tante.” Dennis terdiam sejenak. “Tante Lisa memang layak bersanding dengan ayah, sebab aku tahu... ayah tidak mungkin sembarangan memilih orang yang akan mendampinginya seumur hidupnya. Aku percaya pada pilihan ayah," tambah Dennis dengan suara yang penuh dukungan. Lisa tersenyum, meskipun Dennis tidak bisa melihat senyumnya di telepon. "Terima kasih, Dennis. Kamu anak yang luar biasa, dan Tante bahagia bisa menjadi bagian dari keluargamu." “Aku juga bahagia memiliki ayah Vincent dan Tante Lisa.” Lisa dan Vincent saling berpandangan mendengar ungkapan Dennis yang terasa tulus. Setelah selesai menelepon, Vin
Jaka menghela napas, mencoba menenangkan diri di tengah tekanan yang dirasakannya. Tatapannya terpaku pada dinding putih ruangan yang pucat. Wajah pria tampan itu mencerminkan perasaan yang selama ini sulit untuk diungkapkan."Saya masih merasa bersalah, Pak," ucapnya dengan suara lirih. Tatapannya kemudian turun pada genggaman tangannya pada tangan Dennis yang masih tak bergerak. Setiap sentuhan, setiap simpul jemari, terasa penuh makna baginya.Pak Priyo memandang Jaka, siap mendengarkan apapun yang ingin diungkapkan oleh anak menantu yang sangat disayanginya itu."Saya menyesal telah menikahi Erna, padahal Nuning sedang mengandung Dennis, anak kami," lanjut Jaka perlahan, suaranya semakin rendah, hampir tersendat oleh rasa sesak di dadanya. "Andai waktu bisa diulang, saya tidak akan menikahi Erna saat itu." Matanya kembali naik menatap dinding pucat di depan sana. "Saya ingin tetap bersama Nuning, harusnya saya mengambil keputusan tegas dan tak perlu larut dalam situasi yang membua
Di antara para tamu undangan, Mei yang merupakan mantan kekasih Vincent juga tampak hadir di sana, dia datang bersama suaminya, Juna, dan putranya, Vi. Rambut panjang Mei disanggul cantik berhiaskan aksesori yang serasi dengan gaun rancangan desainer ternama berwarna pastel yang melekat indah di tubuh langsingnya. Wajahnya yang jelita terpancar dalam senyuman lembut, memberikan kesan hangat kepada siapa pun yang bertemu dengannya. Sementara itu, Juna terlihat tampan dan karismatik dengan setelan tuksedo hitamnya. Ekspresi wajahnya yang percaya diri menunjukkan bahwa dia adalah sosok yang menguasai situasi. Dia berbicara dengan sesama tamu yang dikenalnya sambil memperkenalkan sosok Vi, putranya yang berusia 7 tahun. Senyum bangga terukir di wajahnya setiap kali mendengar orang-orang memuji ketampanan Vi yang sangat mirip dengan dirinya. Dalam setelan tuksedo kecilnya, Vi memang terlihat begitu memesona dengan senyuman polosnya. Postur tubuhnya yang tinggi menjadikannya tampak gagah
Lisa sebenarnya ingin resepsi pernikahannya dengan Vincent bisa diadakan di tepi pantai yang cantik di Bali. Namun, pada trimester pertama kehamilannya ini, Lisa masih mengalami mual, muntah, dan mudah lelah, sehingga bakal menyulitkan dirinya sendiri saat harus melakukan perjalanan dari Jakarta menuju Bali dan sebaliknya. Selain itu, risiko keguguran juga lebih tinggi pada trimester pertama. Vincent pun menolak keinginan Lisa dan menetapkan agar resepsi digelar di Jakarta saja. “Bersabarlah, Sayang. Setelah anak kita lahir nanti dan kalian berdua dalam kondisi sehat untuk melakukan perjalanan, bukan hanya ke Bali…, aku akan membawa kalian pergi ke tempat-tempat indah manapun yang kamu sukai,” janji Vincent sambil mencium kening Lisa. Dia tak ingin melihat wanita yang dicintainya itu merasa kecewa menjalani resepsi pernikahan mereka nanti. Dan Vincent merasa lega setelah melihat Lisa mengangguk.“Nggak apa-apa, kok. Sebenarnya nggak terlalu jadi soal bagiku resepsinya nanti mau diada
Jaka menggenggam erat gagang kursi pesawat, tatapan kosongnya menatap ke luar jendela yang menampilkan pemandangan langit biru dan awan putihnya yang berderak. Pemandangan yang indah, tetapi dia tak bisa menikmati pemandangan itu karena pikirannya terus melayang ke rumah sakit tempat Dennis dirawat. "Dennis kecelakaan," dua kata yang terlontar lewat telepon dari Bambang seperti palu yang membelah dadanya. Beban yang menghantamnya terasa begitu berat, seakan-akan dunianya runtuh dalam sekejap. Meskipun hanya dua kata, namun rasanya dua kata itu menjelma seperti dua ton beban yang meremukkan hati Jaka sebagai seorang ayah. Dia sengaja tidak memberitahu Nuning tentang kecelakaan Dennis. Kondisi Nuning yang belum begitu baik membuatnya khawatir akan dampak stres yang bisa mempengaruhi kandungan Nuning yang lemah. Jaka tidak ingin menambah masalah baru di tengah situasi yang sudah sulit.Pesawat terbang melaju dengan kecepatan tinggi, namun perjalanan yang dilaluinya terasa begitu lamba
Suasana gereja dipenuhi dengan aroma harum dari bunga-bunga segar yang menghiasi setiap sudut. Sinar matahari pagi membelai lembut melalui jendela-jendela gereja, menciptakan permainan cahaya yang mempercantik momen sakral ini. Seperti berkah dari langit, cahaya itu memberikan sentuhan hangat pada momen ini, menambahkan keindahan pada detik-detik yang tak terlupakan.Gaun putih Lisa mengalir indah di belakangnya, mengikuti setiap langkahnya dengan lembut. Rambutnya dihiasi dengan sebuah tiara yang manis. Setiap langkah yang diambilnya terlihat begitu anggun dan memikat.Di sekeliling gereja, keluarga besar Alessio dan keluarga Lisa berkumpul, penuh dengan senyuman dan kegembiraan. Sorot mata yang penuh cinta dari kedua belah pihak keluarga mencerahkan suasana, menunjukkan dukungan dan kasih sayang yang mereka miliki untuk pasangan yang akan menikah.Daniel Sutomo juga tampak hadir di sana. Keberadaan sosok konglomerat itu memberikan aura kebijaksanaan dan kemuliaan yang tak terbantahk
Bambang duduk di samping Dennis, merangkulnya dengan lembut sambil memandang jauh ke laut yang tenang di depan mereka. "Dennis, janganlah sedih karena pernikahan ayah Vincent dengan tante Lisa," ucapnya dengan suara lembut.Dennis menoleh ke arah Bambang, tatapan matanya masih penuh dengan kesedihan. "Tapi, Om, aku merasa sedih. Aku merasa seperti kehilangan sesuatu yang penting," gumamnya sambil memandang ke lautan di hadapannya.Bambang tersenyum lembut, memahami perasaan keponakannya. "Dennis, kamu harus tahu bahwa pernikahan adalah bagian dari takdir yang telah diatur oleh Gusti Allah. Ayah Vincent selama ini belum aja ketemu sama jodohnya, makanya nggak nikah-nikah sejak cerai sama bundamu. Jangan kamu sesali juga perceraian bundamu sama ayah Vincent. Itu namanya nggak jodoh.”Dennis mendengarkan, sesekali ia menghela napasnya yang terdengar berat. sepertinya bocah remaja itu berusaha mencerna setiap kata yang diucapkan oleh Bambang. "Nggak usahlah kamu repot-repot mikir kenapa
Suasana makan malam antara keluarga Vincent dan keluarga Lisa dari Italia berlangsung dalam atmosfer kekeluargaan yang hangat dan penuh keakraban. Dante masih terkesima setelah mengetahui tentang kesuksesan Tuan Rain di Indonesia, begitu pula dengan putranya yang akan segera menikahi cucunya, Lisa."Putramu sangat tampan, Rain," puji Dante yang masih merasa terpukau melihat ketampanan Vincent sejak awal mula mereka bertemu. Vincent pun hanya tersenyum mendengar pujian dari calon mertuanya."Cucumu juga sangat cantik, Dante. Mereka sepadan," balas Tuan Rain dengan rendah hati, tersenyum bangga pada Lisa, calon menantunya."Selain cantik, Lisa juga cerdas. Dia bahkan menguasai 6 bahasa asing. Bukankah itu luar biasa?" timpal Nyonya Rose, mengumumkan bakat dan kecerdasan Lisa di hadapan semua orang.Tuan Rain menoleh kepada istrinya, "Sayangku, perlu kamu tahu,” ucapnya seraya mengerling pada Dante yang duduk berhadapan dengan mereka. “Kemampuan Dante menguasai bahasa asing sangat menonj
Hari-H pernikahan Vincent dan Lisa semakin dekat, dengan hitungan hari yang semakin berkurang. Kedatangan keluarga Lisa dari Italia telah menjadi momen yang sangat dinantikan. Di tengah suasana persiapan yang kian sibuk, Nyonya Rose telah menyusun rencana untuk menyambut mereka dengan sebuah jamuan makan malam di sebuah hotel mewah terbaik di Jakarta. Di sana pula tempat menginap bagi para tamu dari keluarga Lisa yang telah tiba dari Italia. Ketika Nyonya Rose dan Tuan Rain memasuki restoran di hotel itu, sorot mata mereka segera tertuju pada seorang pria tua yang duduk di sebelah Lisa. Tuan Rain, yang pertama kali melihatnya, mendesis pelan. “Dante?” gumamnya dengan suara rendah, matanya menyipit saat mencoba mengidentifikasi sosok tersebut. Semua orang memandang kehadiran Nyonya Rose dan Tuan Rain dengan tatapan hormat disertai senyuman hangat di mata mereka, termasuk pria berambut putih di sana. Pada saat itulah, Tuan Rain mengamati lagi pria tua yang ada di sebelah Lisa itu denga