“Jadi wanita yang berdansa denganmu tadi itu Lisa, asisten pribadinya Vincent?” Nuning bertanya setelah mereka jauh dari Lisa. “Yup.” Jaka menyahut dengan singkat, seraya melingkarkan tangannya di pinggang sang istri.“Terus, kenapa nggak bilang kalau kamu sebenarnya bisa berdansa?” protes Nuning.Jaka tersenyum mendengar nada merajuk dalam suara Nuning. “Kamu nggak pernah tanya,” jawabnya santai.“Perlukah hal semacam itu aku pertanyakan dulu, Jak? Kenapa bukan mengajakku saja? Malah mengajak Lisa. Oke-oke, dia cantik dan masih muda. Tariannya juga lebih luwes dariku. Kamu memang pintar pilih pasangan berdansa, Jak. Hebat!” ketusnya dengan gigi terkatup.“Sayang, jangan berpikir sejauh itu,” Jaka mengetatkan pelukannya di pinggul sang istri yang sedang ngambek. “Aku tadi tak sengaja berdiri di dekat Lisa, dia terlihat seperti ingin berdansa dan secara spontan aku mengajaknya, aku tak ada niat apa-apa kok, tadi itu betul-betul ajakan spontan. Lagipula dia itu asisten pribadinya Vince
Lisa berada di kamar apartemennya yang tenang, dengan cahaya lampu nakas yang menyorot lembut keemasan, menciptakan suasana yang nyaman. Ranjang empuknya menjadi tempat favorit ketika ide-ide kreatif membanjiri pikirannya. MacBook terbuka di atas pangkuan, dan dengan sepenuh perasaannya Lisa mengetikkan setiap kata dalam naskah novelnya. Jemarinya menari dengan ringan di atas keyboard, menciptakan melodi kata-kata yang terhubung dengan perasaannya. Ceritanya berkembang, menggambarkan adegan-adegan yang penuh emosi. Tidak hanya para tokohnya yang mengalami konflik, tetapi Lisa juga ikut tenggelam dalam dunia ciptaannya. “Kenapa tiba-tiba aku sesedih ini?” gumamnya sambil berusaha fokus mengetik. Adegan kesalahpahaman antara Dona dan Lukas ia ungkapkan dalam kata-katanya yang mencubit perasaan. Lisa merasakan bagaimana detak jantung Dona dan Lukas saling bertabrakan, seolah-olah itu adalah detak jantungnya sendiri. Dalam keheningan kamar, suara ketikannya terdengar mendominasi ruangan
Lisa duduk di samping tempat tidur Ardi yang masih terbaring lemah. Dia memperhatikan setiap napas yang diambil mantan suaminya itu, tatapan penuh cemas memenuhi matanya. Ruangan perawatan intensif terasa hening, hanya terdengar suara berirama dari alat-alat medis yang memantau kondisi Ardi.Telepon genggamnya bergetar di dalam tasnya. Dia melihat pesan singkat dari Niken, yang memberitahukan bahwa mereka sudah pulang ke Bandung dan membawa serta jenazah almarhum Pak Iman. Naura, adik bungsu Ardi, juga ikut bersama mereka. Lisa menarik napas panjang, merasa iba pada kedua mantan adik iparnya yang tengah terpukul dengan kepergian Pak Iman kali ini. Padahal ibu mereka belum lama pergi. Ditambah kondisi kakak lelaki mereka yang tengah terbaring tak berdaya ini.Lisa tahu dia tak mungkin bisa bekerja untuk sementara waktu, setidaknya sampai ada anggota keluarga Ardi yang datang menggantikannya untuk menjaga Ardi. Saat ini semua keluarga Ardi sedang berkumpul di Bandung untuk mengantarkan
Vincent Alessio duduk di ujung meja oval ruang rapat yang mewah. Dengan tatapan tajam dan wibawa yang melekat padanya, dia memandang para direktur yang hadir dengan sikap yang penuh profesionalisme. Ruangan itu dipenuhi aura ketenangan, di sinilah pusat kendali dari segala keputusan bisnis yang akan diambil. Vincent mengenakan setelan jas abu-abu gelap yang membuatnya semakin tampak tegas dan kharismatik. Rambut cokelatnya yang teratur dan sorot mata sewarna karamelnya yang tajam menambah kesan kepercayaan dirinya sebagai seorang CEO. Ponsel pintar dan dokumen-dokumen rapat tersebar di sekitarnya, dia terlihat siap menghadapi diskusi yang kompleks. “Pak Vincent, ini dokumen yang Bapak minta tadi,” kata Rini, sang sekretaris, sambil meletakkan sebuah berkas di sisi kiri Vincent. Vincent mengangguk dan membacanya sejenak. Tak lama kemudian dia segera memimpin rapat. Para direktur yang duduk di sekitar meja memandang Vincent, menyimak ucapannya dengan raut wajah serius. Mereka tahu b
Hari-hari di rumah sakit terus berjalan, dan Ardi masih terbaring tak berdaya. Namun dia sudah melewati masa kritisnya. Keheningan kamar perawatannya hanya terputus oleh bunyi perangkat medis yang terus-menerus memonitor kondisinya. Lisa duduk di samping ranjang, mata lelahnya tetap memandang wajah Ardi yang tak kunjung membuka mata. Niken dan Naura, adik-adik Ardi, bergantian berjaga bersama Lisa. Kedua adik Ardi itu merasa terharu melihat Lisa masih setia mendampingi Ardi meskipun mereka sudah bercerai. Terlebih Lisa bersikap seperti kakak bagi Niken dan Naura. Dia memastikan Niken dan Naura tak lupa makan, meskipun kadang dirinya sendiri lupa. “Mbak Lisa juga makan, kalau nggak ntar dicerewetin loh sama orang yang suka ngomel itu. Siapa sih lelaki itu, Mbak? Dia naksir Mbak Lisa ya?” tegur Naura, lelaki yang dia maksud adalah Bona. “Dih, nggak. Mana mungkin dia naksir aku? Kami aja kerjaannya berantem terus kok,” Lisa geleng-geleng kepala dan langsung bergidik membayangkan diri
Dengan langkahnya yang tegap dan mantap, Vincent memasuki coffee shop yang dipenuhi dengan aroma kopi yang khas dan menyegarkan. Cahaya lampu yang lembut menyinari ruangan yang ramai dengan obrolan para pelanggan yang sedang menikmati minuman mereka. Di sudut ruangan, dia melihat meja yang ditempati oleh Yuna dan Tamara, dua wanita yang sudah menanti kedatangannya. Yuna, melambaikan tangan dan memberikan isyarat ke arah kursi kosong di depannya. "Memangnya si Bona nggak mengingatkan kamu tentang jadwal kita ini?” tegurnya ketika Vincent sampai di hadapannya. “Sorry-sorry. Sudah kok, tapi tadi aku sedang keasyikan mengerjakan sesuatu.” Vincent memberikan senyuman lembut sebagai tanggapan, lalu beralih ke arah Tamara yang duduk di sebelah kakaknya. Tatapan keduanya bertemu dan mereka berbagi senyum. Kedua wanita itu segera berdiri menyambut Vincent. Yuna merentangkan tangan dan Vincent segera memeluk sang kakak disertai tepukan lembut di pundak Yuna. Vincent kemudian mengarahkan lang
Setengah jam berlalu, Lisa merenung dalam kenikmatan kopinya, sementara itu Vincent dan Tamara masih asyik dengan percakapan pribadi mereka. Di dalam ruangan coffee shop yang dipenuhi aroma kopi, Lisa tersenyum tipis memperhatikan keduanya. “Dia cantik, kelihatan cerdas dan juga berkelas," gumam Lisa pada dirinya sendiri. "Wanita itu cocok bersanding dengan Pak Vincent, sebagai istrinya … bukan sebagai simpanan sepertiku.” Setelah menghirup sedikit lagi kopi yang tersisa di cangkirnya, Lisa menatap jam di pergelangan tangannya. Waktunya untuk kembali ke apartemennya untuk mandi dan menyiapkan pakaian ganti sebelum menuju rumah sakit. Besok, pagi-pagi sekali, Niken dan Naura harus kembali ke Bandung, karena Naura harus bersiap menghadapi ujian skripsinya dan Niken harus bekerja, meskipun sudah memohon tapi perusahaan tempat Niken bekerja tidak mengabulkan permintaannya tentang cuti tambahan untuk mengurus sang kakak. Karena itulah, atas dasar iba, maka dengan lapang dada Lisa mengaj
Di dalam restoran, Vincent memperlakukan Tamara dengan lembut. Dengan langkah yang halus, ia mendekati kursi yang hendak ditempati Tamara, sambil tersenyum ramah, Vincent menarik kursi itu keluar untuknya. Tamara balas tersenyum sebagai ucapan terima kasihnya. Vincent juga ingin memberikan perlakuan yang sama kepada Lisa. Dia ingin menunjukkan kelembutan yang sama pada asisten pribadinya tersebut. Dengan gerakan halus, Vincent pun beranjak menuju kursi yang akan ditempati Lisa. Namun, sebelum ia sempat menarik kursi itu, Lisa dengan sigap sudah melakukannya untuk dirinya sendiri. Lisa sepertinya tak ingin diperlakukan istimewa oleh Vincent. Vincent duduk di kursinya, berseberangan dengan Tamara. "Kamu mau pesan apa, Tamara?" tanya Vincent sambil membuka buku menu restoran yang disajikan di meja. Tamara menyampaikan pesanannya, menyebutkan menu kesukaannya dengan senyum di wajahnya. Sementara itu, ketika Vincent menoleh ke arah Lisa, dia melihat pandangan wanita itu tidak sepenuhnya
Dennis mengucapkan “selamat” pada Vincent dan Lisa melalui telepon. Vincent merasa bahagia mendengar ucapan putranya yang terasa betul-betul tulus kali ini. Bahkan Dennis secara khusus bicara pada Lisa untuk minta maaf padanya. "Tante, maaf atas semua sikap burukku selama ini," ucapnya dengan rendah hati. "Aku tahu ayah dan Tante saling mencintai, ayah pasti akan bahagia dengan Tante.” Dennis terdiam sejenak. “Tante Lisa memang layak bersanding dengan ayah, sebab aku tahu... ayah tidak mungkin sembarangan memilih orang yang akan mendampinginya seumur hidupnya. Aku percaya pada pilihan ayah," tambah Dennis dengan suara yang penuh dukungan. Lisa tersenyum, meskipun Dennis tidak bisa melihat senyumnya di telepon. "Terima kasih, Dennis. Kamu anak yang luar biasa, dan Tante bahagia bisa menjadi bagian dari keluargamu." “Aku juga bahagia memiliki ayah Vincent dan Tante Lisa.” Lisa dan Vincent saling berpandangan mendengar ungkapan Dennis yang terasa tulus. Setelah selesai menelepon, Vin
Jaka menghela napas, mencoba menenangkan diri di tengah tekanan yang dirasakannya. Tatapannya terpaku pada dinding putih ruangan yang pucat. Wajah pria tampan itu mencerminkan perasaan yang selama ini sulit untuk diungkapkan."Saya masih merasa bersalah, Pak," ucapnya dengan suara lirih. Tatapannya kemudian turun pada genggaman tangannya pada tangan Dennis yang masih tak bergerak. Setiap sentuhan, setiap simpul jemari, terasa penuh makna baginya.Pak Priyo memandang Jaka, siap mendengarkan apapun yang ingin diungkapkan oleh anak menantu yang sangat disayanginya itu."Saya menyesal telah menikahi Erna, padahal Nuning sedang mengandung Dennis, anak kami," lanjut Jaka perlahan, suaranya semakin rendah, hampir tersendat oleh rasa sesak di dadanya. "Andai waktu bisa diulang, saya tidak akan menikahi Erna saat itu." Matanya kembali naik menatap dinding pucat di depan sana. "Saya ingin tetap bersama Nuning, harusnya saya mengambil keputusan tegas dan tak perlu larut dalam situasi yang membua
Di antara para tamu undangan, Mei yang merupakan mantan kekasih Vincent juga tampak hadir di sana, dia datang bersama suaminya, Juna, dan putranya, Vi. Rambut panjang Mei disanggul cantik berhiaskan aksesori yang serasi dengan gaun rancangan desainer ternama berwarna pastel yang melekat indah di tubuh langsingnya. Wajahnya yang jelita terpancar dalam senyuman lembut, memberikan kesan hangat kepada siapa pun yang bertemu dengannya. Sementara itu, Juna terlihat tampan dan karismatik dengan setelan tuksedo hitamnya. Ekspresi wajahnya yang percaya diri menunjukkan bahwa dia adalah sosok yang menguasai situasi. Dia berbicara dengan sesama tamu yang dikenalnya sambil memperkenalkan sosok Vi, putranya yang berusia 7 tahun. Senyum bangga terukir di wajahnya setiap kali mendengar orang-orang memuji ketampanan Vi yang sangat mirip dengan dirinya. Dalam setelan tuksedo kecilnya, Vi memang terlihat begitu memesona dengan senyuman polosnya. Postur tubuhnya yang tinggi menjadikannya tampak gagah
Lisa sebenarnya ingin resepsi pernikahannya dengan Vincent bisa diadakan di tepi pantai yang cantik di Bali. Namun, pada trimester pertama kehamilannya ini, Lisa masih mengalami mual, muntah, dan mudah lelah, sehingga bakal menyulitkan dirinya sendiri saat harus melakukan perjalanan dari Jakarta menuju Bali dan sebaliknya. Selain itu, risiko keguguran juga lebih tinggi pada trimester pertama. Vincent pun menolak keinginan Lisa dan menetapkan agar resepsi digelar di Jakarta saja. “Bersabarlah, Sayang. Setelah anak kita lahir nanti dan kalian berdua dalam kondisi sehat untuk melakukan perjalanan, bukan hanya ke Bali…, aku akan membawa kalian pergi ke tempat-tempat indah manapun yang kamu sukai,” janji Vincent sambil mencium kening Lisa. Dia tak ingin melihat wanita yang dicintainya itu merasa kecewa menjalani resepsi pernikahan mereka nanti. Dan Vincent merasa lega setelah melihat Lisa mengangguk.“Nggak apa-apa, kok. Sebenarnya nggak terlalu jadi soal bagiku resepsinya nanti mau diada
Jaka menggenggam erat gagang kursi pesawat, tatapan kosongnya menatap ke luar jendela yang menampilkan pemandangan langit biru dan awan putihnya yang berderak. Pemandangan yang indah, tetapi dia tak bisa menikmati pemandangan itu karena pikirannya terus melayang ke rumah sakit tempat Dennis dirawat. "Dennis kecelakaan," dua kata yang terlontar lewat telepon dari Bambang seperti palu yang membelah dadanya. Beban yang menghantamnya terasa begitu berat, seakan-akan dunianya runtuh dalam sekejap. Meskipun hanya dua kata, namun rasanya dua kata itu menjelma seperti dua ton beban yang meremukkan hati Jaka sebagai seorang ayah. Dia sengaja tidak memberitahu Nuning tentang kecelakaan Dennis. Kondisi Nuning yang belum begitu baik membuatnya khawatir akan dampak stres yang bisa mempengaruhi kandungan Nuning yang lemah. Jaka tidak ingin menambah masalah baru di tengah situasi yang sudah sulit.Pesawat terbang melaju dengan kecepatan tinggi, namun perjalanan yang dilaluinya terasa begitu lamba
Suasana gereja dipenuhi dengan aroma harum dari bunga-bunga segar yang menghiasi setiap sudut. Sinar matahari pagi membelai lembut melalui jendela-jendela gereja, menciptakan permainan cahaya yang mempercantik momen sakral ini. Seperti berkah dari langit, cahaya itu memberikan sentuhan hangat pada momen ini, menambahkan keindahan pada detik-detik yang tak terlupakan.Gaun putih Lisa mengalir indah di belakangnya, mengikuti setiap langkahnya dengan lembut. Rambutnya dihiasi dengan sebuah tiara yang manis. Setiap langkah yang diambilnya terlihat begitu anggun dan memikat.Di sekeliling gereja, keluarga besar Alessio dan keluarga Lisa berkumpul, penuh dengan senyuman dan kegembiraan. Sorot mata yang penuh cinta dari kedua belah pihak keluarga mencerahkan suasana, menunjukkan dukungan dan kasih sayang yang mereka miliki untuk pasangan yang akan menikah.Daniel Sutomo juga tampak hadir di sana. Keberadaan sosok konglomerat itu memberikan aura kebijaksanaan dan kemuliaan yang tak terbantahk
Bambang duduk di samping Dennis, merangkulnya dengan lembut sambil memandang jauh ke laut yang tenang di depan mereka. "Dennis, janganlah sedih karena pernikahan ayah Vincent dengan tante Lisa," ucapnya dengan suara lembut.Dennis menoleh ke arah Bambang, tatapan matanya masih penuh dengan kesedihan. "Tapi, Om, aku merasa sedih. Aku merasa seperti kehilangan sesuatu yang penting," gumamnya sambil memandang ke lautan di hadapannya.Bambang tersenyum lembut, memahami perasaan keponakannya. "Dennis, kamu harus tahu bahwa pernikahan adalah bagian dari takdir yang telah diatur oleh Gusti Allah. Ayah Vincent selama ini belum aja ketemu sama jodohnya, makanya nggak nikah-nikah sejak cerai sama bundamu. Jangan kamu sesali juga perceraian bundamu sama ayah Vincent. Itu namanya nggak jodoh.”Dennis mendengarkan, sesekali ia menghela napasnya yang terdengar berat. sepertinya bocah remaja itu berusaha mencerna setiap kata yang diucapkan oleh Bambang. "Nggak usahlah kamu repot-repot mikir kenapa
Suasana makan malam antara keluarga Vincent dan keluarga Lisa dari Italia berlangsung dalam atmosfer kekeluargaan yang hangat dan penuh keakraban. Dante masih terkesima setelah mengetahui tentang kesuksesan Tuan Rain di Indonesia, begitu pula dengan putranya yang akan segera menikahi cucunya, Lisa."Putramu sangat tampan, Rain," puji Dante yang masih merasa terpukau melihat ketampanan Vincent sejak awal mula mereka bertemu. Vincent pun hanya tersenyum mendengar pujian dari calon mertuanya."Cucumu juga sangat cantik, Dante. Mereka sepadan," balas Tuan Rain dengan rendah hati, tersenyum bangga pada Lisa, calon menantunya."Selain cantik, Lisa juga cerdas. Dia bahkan menguasai 6 bahasa asing. Bukankah itu luar biasa?" timpal Nyonya Rose, mengumumkan bakat dan kecerdasan Lisa di hadapan semua orang.Tuan Rain menoleh kepada istrinya, "Sayangku, perlu kamu tahu,” ucapnya seraya mengerling pada Dante yang duduk berhadapan dengan mereka. “Kemampuan Dante menguasai bahasa asing sangat menonj
Hari-H pernikahan Vincent dan Lisa semakin dekat, dengan hitungan hari yang semakin berkurang. Kedatangan keluarga Lisa dari Italia telah menjadi momen yang sangat dinantikan. Di tengah suasana persiapan yang kian sibuk, Nyonya Rose telah menyusun rencana untuk menyambut mereka dengan sebuah jamuan makan malam di sebuah hotel mewah terbaik di Jakarta. Di sana pula tempat menginap bagi para tamu dari keluarga Lisa yang telah tiba dari Italia. Ketika Nyonya Rose dan Tuan Rain memasuki restoran di hotel itu, sorot mata mereka segera tertuju pada seorang pria tua yang duduk di sebelah Lisa. Tuan Rain, yang pertama kali melihatnya, mendesis pelan. “Dante?” gumamnya dengan suara rendah, matanya menyipit saat mencoba mengidentifikasi sosok tersebut. Semua orang memandang kehadiran Nyonya Rose dan Tuan Rain dengan tatapan hormat disertai senyuman hangat di mata mereka, termasuk pria berambut putih di sana. Pada saat itulah, Tuan Rain mengamati lagi pria tua yang ada di sebelah Lisa itu denga