Para tamu undangan menatap Mira dengan tatapan sinis. Mereka seperti jijik melihat penampilan wanita itu yang memang terlihat lusuh itu.“Jadi, dia ibunya anak-anak itu? Benar-benar menjijikan.”“Kenapa pestanya jadi seperti ini? Kalau tahu akan begini aku menyesal datang kemari.”Hinaan demi hinaan terlontar dari mulut para tamu undangan, tatapan sinis pun seakan mengiringi langkah Mira yang hendak menghampiri anaknya.Hana dan Kiano yang mulai menyadari kehadiran Mira pun seketika berteriak dengan mata berkaca-kaca.“Ibu!” teriak Hana.“Mbu!” Kiano tak mau kalah.Ketiganya hendak berjalan menghampiri Mira, sampai saat Mega dan beberapa karyawannya memegangi tangan ketiga bocah itu.“Jangan pergi! Itu bukan ibu kalian!” tegas Mega sambil menatap tajam.“Nggak, itu Ibu! Arka yakin itu ibu!” teriak Arka sambil berusaha melepas genggaman tangan anak buah Mega.Mira yang emosi melihat anak-anaknya diperlakukan tidak baik pun lantas mempercepat langkah, hendak mendekati Mega. Namun, baru
Hanif duduk bersandar sambil menahan nyeri akibat pukulan Mega. Ia memandang ke arah kasur, tempat di mana dirinya dipukul tadi. Matanya tertuju pada sebuah vas bunga yang biasa berdiri di atas nakas, kini sudah berpindah ke atas kasur.“Kenapa Mega begitu tega melakukan ini padaku?” gumam Hanif yang hatinya sedang merasa sangat kecewa sekaligus bersedih.Di sisi lain, Mira yang sedang berada di luar rumah itu terus memberontak berusaha melepaskan diri.“Diamlah! Jangan menghambat pekerjaanku! Seharusnya sejak awal kamu jangan egois! Biarkan saja anak-anakmu bahagia dengan Bu Mega,” timpal Susi.Mira yang sedang merasa terpuruk semakin hancur saat mendengar kalimat uang Susi ucapkan. Apa memang dirinya terlihat egois di mata orang? Tapi ibu mana yang rela berpisah dengan anak-anaknya? Lagi pula, tangis anak-anak tadi sudah menjadi bukti nyata jika mereka pun tak ingin berpisah dengan Mira.‘Ya Allah, berikan hambamu ini kekuatan,’ gumam M
Bukannya menjawab, Andi malah tersenyum simpul.“Bang, ayo naik ke mobil!” ajak Alex yang kala itu muncul dari samping mobil.Mira lagi-lagi di buat membelalak, tak menyangka jika ternyata Andi berada di sisi Alex yang mana secara tak langsung juga berada di pihak Mega.“Andi, tolong biarkan aku pergi! Aku tidak akan melupakan kebaikanmu. Jika kita bertemu lagi suatu saat nanti, aku pasti akan membalas pertolonganmu sekarang.” Air mata Mira tak hentinya mengalir karena keputusasaan yang perlahan menyelimuti.“Apa maksudmu, Mira?” Andi mengerutkan alis.Di saat bersamaan, dari arah warung nasi muncul Rani yang dengan cepat menghampiri Mira.Tentu saja Mira semakin gelisah karena berpikir jika Rani adalah adik Mega yang mana sudah jelas akan berpihak pada saudaranya sendiri.“Mbak Mira?” Rani menatap heran.Mira merasa sudah terpojokkan dan tak tahu harus berbuat apa, melarikan diri pun percuma karena sudah pasti
Di sisi lain, Hanif yang masih berada di kamar itu tak hentinya memandangi ponsel, menunggu kabar dari Rani. Hingga tak berselang lama ada sebuah pesan masuk yang membuat pria itu buru-buru membukanya.[Mas, masalah Mbak Mira sudah beres. Sekarang Rani sedang perjalanan ke rumah Mas.]Dengan cepat Hanif membalas pesan di ponselnya tersebut.[Bagus, jangan lupa obat yang aku bilang kemarin.][Ya, jangan khawatir.]Setelah ada balasan terakhir dari Rani, Hanif pun buru-buru menghapus pesan singkat tersebut agar tidak ketahuan Mega. Ia berpura-pura tidur karena yakin jika sebentar lagi sang istri akan masuk ke kamar.Benar saja, seperti yang diduga, pintu perlahan dibuka. Mega mengendap-endap masuk setelah sebelumnya mengintip untuk memastikan keadaan Hanif.“Akhirnya Mas Hanif tidur juga,” gumam Mega yang kemudian bergegas menuju ke kasur, mendekati sang suami yang ia pikir sudah terlelap.Hanif sedikit merasa ber
Saat Arka berdiri di depan kedua adiknya, di belakang Hana tampak berusaha menenangkan Kiano dengan memeluknya erat. Perlahan pintu terbuka, dari baliknya mulai tampak Mega yang berdiri sambil tersenyum lebar. “Selamat pagi anak-anak. Apa kalian tidur nyenyak semalam?” tanya Mega seraya merentangkan tangan, hendak memeluk anak kecil yang dari raut wajahnya saja jelas sedang ketakutan. “A-apa yang akan Tante lakukan?” tanya Arka dengan suara pelan. Bukannya menjawab Mega malah semakin mendekat sambil tersenyum seolah sebelumnya tak terjadi apa-apa, layaknya seseorang yang sedang amnesia. “Tante mau ngajak kalian sarapan. Ngomong-ngomong kalian mau makan apa sekarang?” Mega kini sudah berada di hadapan Arka. Ia berjongkok sambil menunjukan senyum penuh kasih sayang. Arka terlihat masih ragu. Ingatannya akan kejadian di ulang tahun masih terngiang, apalagi saat
“Wah, Kak Rani datang. Kita bisa–”Arka dengan cepat membekap mulut Hana. Ia tak ingin jika sang adik menyulut emosi Mega lagi.Tingkah Arka dan Hana tentu memancing emosi Mega. Ia berbalik mendelik kedua bocah yang sedang ketakutan tersebut.“Jangan melakukan hal yang aneh kalau ingin ibu kalian selamat,” ancam Mega.Arka dan Hana hanya bisa diam seraya membelalak. Tak menyangka akan mendengar ucapan seperti itu keluar dari mulut Mega.Padahal Mega hanya berniat agar anak-anak mau patuh. Dalam benaknya itu adalah salah satu bentuk kasih sayang akibat dari saking tak ingin kehilangan.Mega pun segera beranjak, menghampiri Rani yang baginya datang tak diundang.“Apa yang kamu lakukan di sini? Kenapa tidak telepon dulu? Malah tiba-tiba datang begini,” timpal Mega dengan raut wajah tak senang.Rani mengerutkan alis, sedikit bingung melihat respon Mega.“Loh, Rani kan kalau datang memang kadang tiba-tiba. Kenapa Mbak kayak yang bingung begitu?”Mega membuang napas kasar. Kehadiran Rani be
Daging panggang sudah matang, hanya tinggal menyajikan untuk dimakan bersama. Namun, sebelum itu Rani menambahkan dulu sebuah bumbu yang katanya akan menjadi pelengkap akhir dari daging panggang tersebut.“Memang bumbu apa?” tanya Mega, ketus.“Ini bumbu dari luar negri, Mbak. Oleh-oleh dari temen,” sahut Rani dengan santainya.Mega tak banyak bertanya lagi, karena memang aroma dari bumbu yang Rani bawa itu begitu menggugah selera.Setelah selesai dengan daging panggang ya, Rani pun segera menaruhnya di meja. Tak lupa green tea sebagai pelengkap sudah tersedia begitu banyak.Rani mendatangi anak buah Mega satu persatu. Sekilas orang-orang berpikir jika gadis itu begitu perhatian pada karyawan kakaknya. Namun, hal tersebut tidak seperti yang terlihat, meski menawarkan kesenangan faktanya Rani sedang menyiapkan sesuatu dibaliknya.“Ayo jangan sungkan, makan daging yang banyak. Kapan lagi bisa makan daging sepuasnya, kan?” ujar Rani dengan begitu ramahnya.Semua karyawan Mega sampai lupa
“Tidak perlu khawatir,” ucap Andi seraya tersenyum lebar.Mira menatap Andi sambil mengerutkan alis.“Apa maksudnya?” Mira masih terlihat kebingungan.“Ya, kamu tidak perlu khawatir, sebelumnya Rani sudah memberikan uang titipan Pak Hanif. Katanya itu uang gajimu kemarin dan uang ganti rugi atas apa yang telah Bu Mega perbuat,” jelas Andi.Mira tersenyum simpul, merasa lega setelah mendengar jawaban Andi.“Jadi, ke mana tujuanmu? Biar sekalian kuantar.” Andi sesekali melirik Mira.Sejenak Mira terdiam, memikirkan langkah yang terbaik baginya dan anak-anak. Hanya saja, kala itu ia malah berakhir merasa buntu.“Aku tidak tahu harus ke mana.” Mira menghela napas lagi, berusaha berpikir keras di tengah rasa cemasnya.“Aku tidak punya kerabat di kota, kenalanku juga kebanyakan laki-laki, jadi tidak bisa menitipkanmu pada orang yang kukenal. Hanya saja, mungkin untuk sementara kamu bisa tinggal di penginapan dulu, lalu besok pagi baru mulai mencari kontrakan.”“Ide bagus. Apa kalian tahu di
Dengan cepat Mira keluar dari kontrakan dan menaruh kotak tersebut ke dalam tong sampah besar yang berada tak jauh dari kontrakannya.“Siapa yang melakukan ini? Apa tujuannya?” Mira terus berkecamuk dengan pikirannya sendiri. Ia khawatir sekaligus takut jika sampai yang terjadi selanjutnya lebih dari ini.Dengan cepat Mira bergegas kembali ke dalam kontrakan dan buru-buru mengunci pintu. Isi kotak yang merupakan bangkai hewan dan secarik kertas berisi ancaman masih terus menari-nari dalam pikiran.Mira merasa bersedih, baru saja merasakan sedikit hidup tenang, tetapi sekarang malah harus dihadapkan dengan hal seperti itu.“Ya Allah, lindungilah hamba dan anak-anak. Hamba sudah tidak memiliki uang lagi jika harus pergi dari tempat ini.” Mata Mira berkaca-kaca.Mira dengan cepat menunaikan shalat malam, setidaknya dia sudah terlelap meski hanya sebentar.Baginya kini sudah tidak ada lagi tempat mengadu dan bersandar selain tuhan. Ia tak memiliki siapa-siapa sedangkan diri harus tetap ku
“I-itu.” Jojo menggaruk kepala dengan kencang. Tak tahu lagi harus mengatakan apa.Mira hanya diam menanti jawaban Jojo. Ia takut jika terjadi kesalahan dan malah berakhir merugikan orang lain.Sedangkan Jojo sendiri terus bergelut dengan pikirannya demi berusaha mencari alasan yang masuk akal.“Itu … Abang sudah tanya sama orang sekitar, sama penjual nasi uduk lain, tapi nggak ada yang merasa barang belanjaannya tertukar,” sahut Jojo dengan sikap gugupnya.Mira lagi-lagi mengerutkan kening. Sebenarnya ia sedikit tak nyaman jika sampai memakai sesuatu yang bukan haknya, hanya saja mau bagaimana lagi, jika tidak digunakan maka ia tidak bisa berjualan besok.“Ya sudah, kalau misal nanti ada yang merasa kehilangan tolong beritahu saya. Biar saya ganti kelebihan barangnya,” ucap Mira.“Oh, ide bagus itu. Daripada pusing-pusing cari orang yang entah siapa,” sahut Jojo sambil tertawa bahagia.Untuk beberapa detik keduanya hanya berdiri terdiam. Kemudian Mira menyadari jika mereka sudah tida
“Usir dia dari lingkungan sini!” ujar Siska dengan tatapan penuh keyakinan.Jojo seketika membelalak saat mendengar jawaban Siska.“Kamu pikir aku bisa seenaknya mengusir orang dari kontrakannya?” Jojo menaikan suaranya saking merasa kesal.“Ya, pake cara lain lah, Bang. Misalnya Abang fitnah dia, pura-pura gerebek aja, bilang sama semua orang kalau dia habis berbuat mesum.” Siska berkata dengan santainya.Dada Jojo pun seketika bergemuruh, tidak mungkin baginya melakukan sesuatu yang bisa merugikan Mira. Dibanding harus melakukan hal tersebut, ia lebih memilih menjaga sang pujaan hati selama 24 jam agar tidak diganggu Siska yang baginya sudah tak waras.“Nggak waras!” Jojo pun berlalu pergi dengan emosi yang bergejolak.“Bang, katanya mau aku balikin belanjaan perempuan itu! Aku juga janji nggak bakal ganggu dia lagi kalau Abang kau pakai cara itu!” teriak Siska yang masih berharap jika Jojo mau menurutinya.Jojo hanya melambai sambil berlalu pergi. Pria itu sudah sangat muak dengan
“Becak!” teriak Jojo sambil melambai ke arah becak motor yang berada tak jauh dari sana.Mira dan Hana saling pandang.“Maaf, tapi saya tidak berniat untuk naik becak.”“Udah nggak usah dipikirin! Ini tukang becak langganan Abang, setiap hari Jumat dia suka kasih tumpangan gratis buat Jumat berkah,” ungkap Jojo yang kala itu hanya sedang mengarang cerita.“Tapi, ini hari Rabu,” balas Mira.Jojo pun gelagapan. Ia yang seorang pengangguran terkadang sering lupa hari.“Kalau begitu biar Jumat berkahnya di pindah ke hari Rabu saja,” jawab Jojo dengan santainya.Mira menggeleng pelan, heran dengan sikap Jojo yang baginya sangatlah aneh. Hanya saja, ia merasa sudah sangat kelelahan sehingga pada akhirnya berniat untuk tetap naik becak dengan uangnya sendiri.“Eh, Bang Jojo. Mau naik becak, Bang?” tukang becak yang sudah sepuh tersebut tersenyum menatap Jojo yang sama sekali belum pernah menaiki becaknya tersebut.“Bukan, tapi si Neng ini yang mau naik.” Jojo melirik Mira.Tukang becak terse
Matanya terus menatap dengan lekat. Tak sedikitpun Jojo ingin melepaskan pandangannya dari Mira yang kala itu sedang menemui masalah besar.“Apa yang harus kulakukan? Kalau aku membantu Mira sekarang maka masalah akan semakin panjang.”Meski Jojo dikenal sebagai seseorang yang tak takut pada siapa pun, tetapi untuk urusan wanita ia malah menjadi sosok pria yang begitu banyak pertimbangan. Terlebih yang berhadapan dengan Mira kali ini adalah Siska yang pastinya akan membuat masalah semakin panjang dan runyam.Di sisi lain, Mira yang tengah dicegat oleh Siska pun lantas berusaha bersikap tenang agar anak-anak tidak merasa takut.“Heh, ngapain kamu dekat-dekat sama Bang Jojo?! Jangan pikir bisa menarik simpati Banh Jojo dengan cara sok polos begitu!”Mira mengerutkan alis, tak menyangka kenapa malah harus dihadapkan dengan masalah asmara orang lain. Sejak awal pun ia terus diam dan bersikap ketus pada Jojo, dan sekarang malah dituduh yang tidak-tidak.“Maaf, sepertinya Anda telah salah p
“I-itu, Bos … Anu.” Anak buah Jojo masih ragu untuk mengatakannya.“Kelamaan! Sekarang kita ikuti perempuan itu saja!”Baru saja Jojo hendak melangkah di saat itu juga sang anak buah dengan cepat menariknya.“Jangan, Bos!”“Memang ada apa, sih? Kenapa kamu terus menghalangiku?”Lagi-lagi saat di tanya anak buah Jojo lebih memilih diam sampai akhirnya sang preman yang sudah tak sabar itu pun segera melepas genggaman tangan anak buahnya dan berniat untuk segera berlari.“Siska bilang mau kasih perhitungan ke perempuan itu kalau sampai Bos ketahuan lagi sama dia,” teriak anak buah Jojo.Jojo yang semula sudah berlari pun seketika menghentikan langkahnya, lalu kembali menghampiri sang anak buah.“Apa kamu bilang? Siska? Kapan dia bilang begitu?” Jojo menatap tajam.“Sebelum saya ke sini, Bos. Saya cari Bos juga karena di suruh Siska buat bilang begitu.” Anak buah Jojo tertunduk lesu karena merasa tak nyaman berada di situasi yang tak menguntungkan.“Apa-apaan Siska itu. Berani sekali meng
“Kalau begitu biarkan aku mengantar anakku pulang dulu.” Mira berharap bisa meminta bantuan tetangganya.“Ya sudah, aku temani kamu sampai kontrakan biar nggak kabur.” Preman itu tertawa dengan kencang, membuat Mira sedikit bergidik ngeri.Karena tak ada pilihan lain Mira pun mengiyakan tawaran preman tersebut. Setidaknya ia tidak ingin membuat anak-anak merasa ketakutan dengan tingkah preman yang menyebalkan tersebut.Setelah membawa anak-anak ke kontrakan, Mira tak sengaja berpapasan dengan Nia yang kala itu malah terlihat biasa saja meski Mira sedang bersama preman.“Ngapain abang di sini?” tanya Nia seolah sudah akrab dengan preman tersebut.“Mau data warga baru.”Nia menoleh sekilas ke arah Mira yang kala itu menatapnya dengan harapan bisa mendapat bantuan dan lolos dari preman tersebut.“Nggak apa-apa, Mir. Bang Jojo itu memang sering data warga baru, katanya sih buat keamanan.” Tampaknya Nia tau kecemasan Mira.Mira sedikit bisa menghela napas lega, ternyata preman tersebut han
Hari telah berganti, seperti biasa saat langit masih gelap Mira sudah menyiapkan barang dagangannya. Tidak seperti kemarin, kali ini Mira terus berpesan pada anak-anaknya agar mereka tak membantu jualan nanti mengingat ancaman kemarin sudah jelas dapat merugikan mereka nantinya.“Kenapa orang-orang itu jahat sekali, kak? Cuma mau bantu ibu saja nggak boleh,” protes Hana yang kini hanya duduk di bawah meja sambil kesal karena tak bisa membantu sang ibu.“Kemarin katanya ibu berbuat curang karena dibantu kita. Kenapa mereka nggak dibantu anak mereka juga, ya?” celetuk Arka yang masih belum paham jika bantuan dari mereka hanya alasan saja mengingat kontribusi yang besar membuat para pedagang lain iri.“Arka dan Hana di bawah saja, ya! Jangan sampai kita malah dilarang jualan lagi di sini,” pinta Mira sambil menyodorkan beberapa kue untuk ketiga anaknya agar betah di kolong meja.“Iya, Bu,” jawab Arka dan Hana serentak.Meski dalam hati sangat ingin membantu sang ibu. Namun, mereka tak me
Di tengah kebimbangannya tersebut Nia mendadak muncul.“Ada apa? Kenapa wajahmu terlihat seperti orang kebingungan begitu?” tanya Nia sambil merangkul Mira.“Mira mau jualan sarapan pagi. Tapi aku sedikit ragu untuk itu.”“Kenapa tidak mencoba dulu saja. Kamu tidak akan tahu kalau belum mencobanya,” sahut Nia dengan santainya.Mira setuju dengan apa yang Nia katakan, hanya menduga-duga saja malah membuatnya berlarut dalam pikiran buruk yang belum terbukti.“Kalau begitu, mungkin aku memang harus mencobanya.” Mira telah memantapkan hati dan yakin untuk berjualan besok.“Ya sudah, yang terpenting kamu harus tetap berhati-hati, jangan sampai menyinggung pedagang lainnya,” ujar salah seorang tetangga Mira.“Iya, insyaallah saya akan bersikap sebaik mungkin.” Mira tersenyum lebar, berpikir jika mungkin ini adalah awal baginya untuk memulai sesuatu yang baru.Mira lantas segera kembali ke kontrakannya. Setelah mengecek semua kesiapan untuk jualan besok, ia juga tak lupa mengambil meja pembe