"Kau yakin anakmu itu akan mendapatkan hak waris? Bukankah hampir semua anggota keluarga Harimurti meragukan itu anak Mas Bram?"
"Kakek Harimurti sudah menjanjikan padaku, dia akan mengatakan ini anak Mas Bram pada yang lainnya." Rossa tersenyum penuh kemenangan."Jadi Kakek Harimurti sudah tahu itu bukan anak Mas bram?""Tadi malam aku memberitahunya. Saat dia menawarkan bayaran, aku meminta itu sebagai bayaran." Rossa menyilangkan kedua tangannya di dada."Jadi kau menjadi perusuh di perusahaanku hanya dengan bayaran sepotong janji itu?""Ayolah, Elya. Aku merindukan pertarungan-pertarungan kita dulu. Apa lagi saat ini aku mempunyai amunisi yang sangat kuat untuk mengalahkanmu. Aku menjadi semakin bersemangat." Rossa kembali menggoyangkan badannya.Elya menepuk kening melihat kelakuan Rossa. Wanita di hadapannya ini benar-benar bodoh."Ros, kau tahu, kan Kakek Harimurti mati-matian mempertahankan perusahaan itu? Sampai"Apa syaratnya?" Bram tersenyum tanggung. Mengusap tengkuknya salah tingkah.Elya tertawa renyah. Pelan menjelaskan semua syarat yang dia inginkan."Pertama, aku menginginkan hak penuh atas kepemilikan tambang emas di daerah bersalju itu, berikut dengan seratus persen keuntungan yang didapatkan dari sana.""Maksudmu? Kau mau aku menyerahkan tambang itu?" Cepat saja Bram menangkap arah pembicaraan Elya."Ayolah, Mas. Tambang itu tidak berarti apa-apa bagi Harimurti Grup. Sementara aku, aku membutuhkan modal yang besar agar bisa masuk dalam jajaran lima perusahaan paling berpengaruh.""Kenapa kau sangat berambisi masuk ke sana?""Karena dengan masuk ke sana, semua mata akan tertuju padaku. Perusahaan yang bahkan belum genap berusia sewindu, mampu berdiri sejajar dengan perusahaan yang telah puluhan tahun berdiri.""Sulit, El. Akan membutuhkan banyak tanda tangan agar kepemilikannya proyek tambang itu bisa dipindahtangankan
"Pa …." Bram menyapa Papa Lin yang sedang serius memperhatikan sesuatu di ponselnya."Bram, kapan sampai?" Papa Lin melepas kacamatanya begitu melihat Bram. Wajahnya yang tadi berkerut mendadak cerah melihat anak laki-lakinya itu datang."Barusan." Bram meletakkan kunci mobil di meja. Dia kemudian duduk di samping Papa Lin.Lelaki itu memperhatikan Bram yang menyandarkan punggungnya di sandaran kursi. Kakinya diluruskan, sementara kedua tangan diletakkan menyilang pada kening.Papa Lin menghembuskan napas pelan. Melihat posisi Bram, anak laki-lakinya itu sepertinya sedang tidak baik-baik saja."Bagaimana pengobatanmu, Bram?""Residu obat s*alan itu sudah tidak ada dalam darah, Pa. Tadi dokter Lucky sudah mulai meresepkan obat untuk terapi hormon. Ya semoga saja semua belum terlambat untuk diobati." Bram menunduk."Lalu?""Apanya yang lalu?" Bram mengerutkan kening. Menatap Papa Lin bingung."Lalu kenapa
Mereka mendapat bagian hanya karena Papa Lin sudah menganggap mereka sebagai saudara. Tapi ternyata tidak dengan mereka. Bagi keluarga Harimurti, darah jauh lebih kental daripada air. Namun, bukankah tidak seharusnya mereka menginginkan yang bukan haknya?Lebih parahnya, justru dalang dari semua ini adalah Kakek Harimurti. Orang yang paling mereka hormati dan hargai. Lelaki tua itu otak dari semua kekacauan yang terjadi pada hidup Bram.Kesalahan dan penyesalan terbesar yang dilakukan Papa Lin, adalah membiarkan nama Harimurti tersemat di sana. "Andai saja dulu nama perusahaan ini bukan Harimurti.""Pa, sudah lah.""Andai saja Papa tidak terlalu naif, dengan gampangnya menyetujui pembagian saham perusahaan secara rata. Papa dengan mudahnya, percaya begitu saja pada orang yang mengaku saudara. Padahal mereka bagaikan serigala berbulu domba.""Pa ….""Maafkan Papa, Bram. Karena Papa yang menyebabkan semua kesusa
"Harimurti!" Elya memukul kemudinya dengan kencang. Napasnya mendengus. Tidak pernah wanita cantik itu terlihat sekacau ini.Baru saja Hendy meneleponnya. Mengabarkan Pak Muhari akan meninjau ulang kerjasama mereka.Gila! Elya sudah setengah perjalanan menuju tempat pertemuan dengan Pak Muhari, rekanan bisnis mereka. Lalu secara mendadak rekannya itu mengatakan akan meninjau ulang? Bukankah kemarin sudah kelar semua dan tinggal tanda tangan perjanjian sebagai simbolis? Lalu kenapa tiba-tiba tidak jadi?"Dasar laki-laki tua bre*gsek!" Sekali lagi Elya memukul kemudi kencang. Membuat bunyi klakson melengking dengan keras. Meningkahi padatnya kemacetan jalanan ibu kota."Pasti ini ulah Kakek renta itu lagi! Sebenarnya apa yang dilakukan Mas Bram?! Kenapa semua seperti masih dikendalikan Harimurti? Ck!" Elya berdecak sebal.Ini proyek keempat Lakhsita yang diserobot Harimurti dalam satu bulan belakangan. Janji percepatan izin itu benar-benar efektif menarik minat investor.Elya bukannya t
Elya membeku. Siapa orang ini? Apakah dia mengenal orangtuanya?"Kau sama saja dengan ayahmu, El. Sombong!"Kening Elya berkerut mendengar omongan lelaki di seberang sana.Kemacetan yang mulai bergerak membuatnya tidak terlalu konsen menyimak.Elya memilih menepi setelah berhasil keluar dari jebakan lautan kendaraan. Penelpon ini tidak main-main. Siapapun dia, nada bicaranya penuh dengan ancaman."Kau mengenal ayahku?" Elya bertanya penuh penekanan."Tentu." Lelaki di seberang sana menjawab singkat."Seberapa kenal kau dengan orangtuaku?""Aku bahkan mengenal baik seluruh anggota keluargamu, El.""Ada perlu apa menghubungiku?" Suara Elya terdengar dingin. Wanita itu tidak suka berada dalam situasi ini. Dia tidak mengetahui siapa yang meneleponnya. Apakah lawan ataukah kawan?"Jangan terlalu sombong!""Maksudmu?""Kau harus tahu, El. Kesombongan lah yang membungkam ayahmu! Jangan sampai kau mengikuti jejaknya." Suara di seberang sana terdengar sangat penuh dengan ancaman."Terima kasih
Mobil Elya berhenti mulus di parkiran salah satu gedung pencakar langit. Wanita itu memutuskan tetap menemui rekanan bisnisnya, Pak Muhari. Dia tidak menyangka, laki-laki yang memasuki umur lima puluh tahun itu ternyata mudah goyang juga.Awalnya dia menaruh respect yang tinggi pada Pak Muhari. Beberapa kali mereka sempat bekerjasama dalam tujuh tahun terakhir. Elya sama sekali tidak menyangka, pengusaha yang tegas dan cerdas itu ternyata mudah saja dipengaruhi.Elya meremas kemudi mobilnya dengan kencang. Siapa pula pengusaha yang tidak tertarik dengan janji pasti keluar izin besok sore? Duh! Harimurti benar-benar membuatnya pusing!Elya mengambil ponselnya. Mencoba menghubungi Bram sekali lagi. Nihil! Ponsel lelaki itu masih tetap mati.Wanita itu menghembuskan napas kesal. Apa saja yang dilakukan Mas Bram sebenarnya? Kenapa Kakek Harimurti seolah masih menjadi pengendali perusahaan?! Bukankah semua keputusan harus atas seizin suaminya?Hih!Apa jangan-jangan lelaki itu justru meny
"Aku tidak berminat bekerjasama dengan kalian." Susah payah Elya membujuk suaranya agar keluar.Wanita itu memejamkan mata. Menarik napas panjang. Dia harus bisa mengendalikan diri dan memutar balikkan situasi."Kalau begitu jangan ganggu kami!""Kapan aku mengganggu kalian?""Tinggalkan Pak Muhari!""Kenapa? Aku yang lebih dulu menjalin kerjasama dengan mereka, dan selama ini kalian tidak pernah memperingatkanku. Kenapa baru sekarang?" Elya berkata dingin. Susah payah dia mengendalikan suaranya agar tidak terdengar bergetar."Tinggalkan Pak Muhari! Atau selangkah saja kau keluar dari mobil, kau akan menerima akibatnya!""Pengecut! Hei …."Telepon ditutup secara sepihak dari seberang sana. Elya membanting ponselnya kesal.Selama ini dia aman-aman saja dalam berbisnis. Kenapa sekarang justru baru muncul hal-hal seperti ini? Pasti ini ulah Harimurti. Semenjak dia mengibarkan bendera perang pada Harimurti Grup, hal ini baru terjadi."Kakek tua bangka s*alan! Hei malaikat maut, kapan kau
"Bu Elya." Pak Muhari langsung tersenyum lebar saat melihat Elya memasuki ruangannya."Pak Muhari." Elya mengangguk sopan. Tangannya menyambut uluran tangan Pak Muhari."Hendy sudah mengabari saya tadi kalau Bapak minta waktu untuk meninjau ulang kerjasama kita." Elya tersenyum. Memilih posisi menyerang daripada bertahan.Pak Muhari berdehem."Kepalang tanggung, saya sudah setengah perjalanan kemari. Ya sudah mampir saja." Elya tertawa kecil."Siapa tahu ada yang Pak Muhari mau tanyakan terkait kerjasama. Rasa-rasanya, beberapa kali kita bekerjasama dalam tujuh tahun terakhir, proyek yang kita garap selalu sukses."Pak Muhari tampak berpikir sejenak. Seperti sedang memilah-milah kata yang tepat."Begini Bu Elya." Lelaki itu menarik napas sebelum melanjutkan kalimatnya."Ada selentingan kabar, Bu Elya melakukan cara-cara yang tidak baik untuk bisa mencapai posisi saat ini.""Posisi apa, Pak?" Elya menger
"Apa kabar Rossa?" Elya akhirnya kembali bertanya setelah mereka terdiam cukup lama."Ah iya. Dia sehat, anaknya juga sudah bertambah besar. Sedang dalam tahap merangkak ke sana kemari. Rossa titip salam untukmu."Elya tertawa kecil. Mengangguk. Salam balik untuk Rossa maksudnya. "Dia sangat berterima kasih padamu, El. Boleh tahu kenapa?""Hei! Kau mau tahu saja. Itu rahasia antara para wanita." Elya tertawa sambil mengedipkan mata.Elya menarik napas. Ingatannya melayang pada siang itu, saat dia dan Rossa akhirnya setuju untuk bersepakat. "Apa yang mau kau bicarakan, El?""Aku ingin menawarkan kerjasama.""Kerjasama?" Rossa tertawa kecil."Hei! Ingat berapa kali kau menolak tawaranku? Dua kali!" Wanita yang tengah berbadan dua itu berteriak."Lalu, apa menurutmu aku akan menerima begitu saja tawaran darimu setelah saat ini aku berada di atas angin, hah?!" Napas Rossa menderu."Tena
Bram tersenyum melihat Elya yang sedang duduk di mobil dengan pintu terbuka. Dia tahu wanita itu sedang menunggunya. Tadi mereka berjanji akan makan siang bersama setelah semua urusan selesai.Bram menarik napas panjang. Bahkan dari kejauhan, kecantikan Elya masih terlihat sangat jelas. Di usianya yang menjelang pertengahan kepala tiga, Elya tampil sebagai wanita matang dengan segala kesempurnaanya. Lelaki itu kembali menarik napas panjang. Andai dulu dia jujur pada Elya tentang hasil pemeriksaan, akankah kisah mereka tetap berakhir seperti ini?"Bram." Satu suara menyapa Bram.Lelaki berkaos putih itu menoleh ke arah sumber suara."Pa ….""Kata Elya kalian ada acara?""Iya, Pa. Kami mau makan siang di luar. Nostalgia, di resto dulu tempat aku melamar Elya." Bram tersenyum malu-malu."Pergilah, Bram. Melihat dari sikap Elya, Papa yakin masih ada kesempatan bagimu untuk memenangkan hatinya." Papa Lin menepuk bah
Enam bulan setelah penangkapan Kakek Harimurti."Selamat Siang, pemirsa Berita Dalam Negeri.Setelah melalui proses sidang yang alot karena Harimurti melakukan perlawanan yang cukup kuat. Hari ini akhirnya keputusan banding resmi ditolak.Harimurti dijerat dengan pasal berlapis. Pertama penyalahgunaan obat sehingga membahayakan keselamatan orang lain pasal 1 UU No. 36 tahun 2009 tentang kesehatan.Kedua pencemaran nama baik terhadap perusahaan Lakhsita pasal 27 ayat 3 dan pasal 45 ayat 1 UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).Ketiga pengancaman akan menghabisi nyawa orang lain pasal 368 KUHP.Dengan adanya tuntutan pasal berlapis, Harimurti dijatuhi hukuman denda yang sangat banyak dan hukuman kurungan dalam jangka waktu yang lama.Sangat disayangkan. Di masa-masa akhir menuju tutup usia, Harimurti harus kehilangan semua kekayaan dan kehormatannya. Harimurti bahkan ditangkap di kantor pusat Harimurti Grup, tempat ya
Papa Lin tersenyum puas menatap Elya. Menantunya itu memang layak dikagumi. Jika menuntut Harimurti dengan jalan biasa, pasti lelaki tua itu akan bebas dengan mudah.Dengan melakukan semua ini, mereka bisa mendapatkan dukungan yang sangat besar dari masyarakat. Apa lagi jika memanfaatkan kisah rumah tangga Elya dan Bram yang selama sepuluh tahun belum dikaruniai keturunan. Pasti emosi publik akan semakin meledak.Elya tersenyum menatap Kakek Harimurti yang mematung. Lelaki tua itu melihat dirinya dengan tatapan kosong."Kau terlalu angkuh Harimurti! Seolah bisa menyelesaikan semua dengan uang dan relasi yang kau miliki, kau lupa tidak semua hal bisa dibeli. Salah satunya harga diri. Kini, kau bukan siapa-siapa lagi di negeri ini." Lembut suara Elya terdengar, membuat Kakek Harimurti terdiam."Seorang pemilik imperium bisnis ternama, kini hanya seorang calon pesakitan yang akan menghabiskan sisa waktunya dalam keadaan hina! Semua itu karena nafsu
"Lepas!" Elya berteriak sambil memberontak."Bagaimana, Elya?" Kakek Harimurti terkekeh melihat wajah Elya yang memerah.Elya tidak gentar sedikit pun dengan keadaan di sini. Dia pernah melihat hal yang lebih keji. Kedua orangtuanya mati terbakar dan menjadi abu di depan matanya sendiri."Ternyata selama ini kalian telah mengetahui aku yang telah membuat Bram mandul, hah?!" Kakek Harimurti berdiri tegak di hadapan Elya yang dipegang oleh dua orang suruhannya.Kakek Harimurti tertawa terbahak-bahak. "Kau betul, Elya! Aku memang telah memberikan obat itu selama lebih dari tiga puluh tahun. Cucu dari jalan darahku lebih pantas memimpin perusahaan ini dibandingkan dengan keturunan Lin s*alan itu!""KRIMINAL!" Elya berteriak kencang sambil memberontak.Kakek Harimurti kembali tertawa terbahak-bahak. "Kriminal? Tidak ada yang kriminal di negeri ini selama kau punya uang dan relasi!" Kakek Harimurti menatap Elya ding
"Jelaskan!" Bentakan Kakek Harimurti memenuhi lantai paling atas kantor pusat Harimurti Grup. Suara serak itu gemetar menahan amarah.Papa Lin menarik napas panjang. Lelaki tua di hadapannya ini terlihat sangat marah. Hilang sudah rasa hormatnya selama ini. Orang yang dianggapnya sudah seperti ayah kandung sendiri, ternyata musuh yang menikam dari belakang."Tenanglah dulu, Pa.""Jelaskan maksud semuanya, Lin.""Maksud yang mana?""Kenapa kau melakukan konferensi pers?!" Kakek Harimurti berteriak kencang. Giginya bergemeletuk melihat Papa Lin yang tampak tenang-tenang saja."Kenapa tidak?" Papa Lin tersenyum. Matanya menatap dua orang bodyguard berbadan atletis yang berdiri tegap menjaga pintu. Dia yakin sekali, pasti di luar ruangan jumlah mereka lebih banyak lagi."Lin!" Kakek Harimurti menggebrak meja."Apa masalahnya, Pa?" Papa Lin menatap Kakek Harimurti dengan ekspresi pura-pura bingung.Kakek Ha
Suara Papa Lin terdengar berwibawa."Saat ini. Saya hanya berdiri sebagai penengah, untuk rumor yang sangat simpang siur terjadi dalam dunia bisnis. Saya, mewakili Harimurti Grup merasa perlu angkat bicara, agar rumor tidak semakin berkembang dan menyesatkan kita semua.Saya diberikan mandat oleh anak saya, Bramantyo Harimurti. Karena menurutnya, saya lebih mumpuni dalam menyelesaikan rumor ini.Sepenuhnya kepemimpinan Harimurti Grup saat ini dipegang oleh Bram. Semua keputusan, walau hanya untuk membunuh seekor semut pun di dalam Harimurti Grup harus atas seizin Bram.Menjawab rumor yang beredar tentang perebutan kekuasan dalam lingkaran keluarga Harimurti, itu tidak benar sama sekali.Sebagai pemimpin perusahaan, Bram yang berhak menentukan arah perusahaan selanjutnya. Karena saya dan Ayahanda Harimurti sudah tidak memiliki kuasa apapun lagi dalam lingkar perusahaan.Selain itu, mengenai rumor kedua yang beredar, yakni tent
"Ini rangkaian terakhir, Bram. Setelah ini kita lakukan pengecekan secara keseluruhan, baik darah maupun sp*rma." Dokter Lucky menjelaskan sambil menyiapkan resep untuk Bram."Bagaimana, dok?""Apa yang bagaimana, El?" Dokter Lucky tersenyum sambil menatap Elya."Mas Bram." Elya mengulum senyum.Dokter Lucky tertawa melihat Elya yang salah tingkah."Kau ini seperti masih perawan saja, El. Malu-malu begitu."Bram ikut tertawa mendengar omongan dokter Lucky. Dadanya berdebar kencang. Takut hasilnya tidak sesuai dengan harapan."Sejauh ini hasilnya baik. Tapi harus saya pastikan lagi dengan hasil pengecekan terakhir nanti. Sudah tidak sabar menanti kehadiran buah hati ya?" Dokter Lucky mengedipkan sebelah mata.Elya dan Bram tertawa berbarengan."Ada lagi yang mau ditanyakan?""Cukup dok," jawab Bram sambil menerima resep yang diserahkan dokter Lucky.Setelah beberapa percakapan lagi, Ely
"Panggil Papa saja, El." Papa Lin tersenyum kecil saat tawanya reda."Papa apa kabar?" Elya tersenyum cerah. melihat cahaya di mata Papa Lin, dia tahu, dia sudah berhasil membangunkan singa tidur itu."Sehat, El. Kau sibuk sekali akhir-akhir ini sepertinya? Saat acara selamatan kelahiran anak Lira kemarin juga kita tidak sempat bercakap-cakap."Percakapan mereka terhenti. Pramusaji mengantarkan pesanan yang telah lebih dulu Elya pesan saat reservasi tempat.Kebetulan sekali, restauran di rooftop gedung pencakar langit tertinggi itu sedang sepi malam ini. Hanya ada tiga pelanggan. Duduk mereka juga berjauhan, sehingga membuat obrolan mereka lebih bebas."Sibuk, Pa. Bagaimana tidak sibuk? Aku ingin menggulingkan salah satu pemilik perusahaan paling berpengaruh. Tentu banyak hal yang harus kulakukan." Elya tertawa kecil.Papa Lin tersenyum. Istri pertama Bram ini memang selalu berbicara langsung ke intinya."Bagaimana, El?" Papa Lin mulai memasukkan pot