"Ma, Pa …." Elya menyapa Mama Vania dan Papa Lin yang sudah lebih dulu duduk di meja makan. Wanita itu tersenyum lebar pada Mama mertuanya yang mengelus bahunya pelan.Seperti biasa, sudah menjadi aturan tidak tertulis dalam keluarga Lin Harimurti. Setiap ada anak yang baru menikah, maka semua anggota keluarga wajib menginap selama satu minggu di rumah Papa Lin dan Mama Vania. Alasannya agar mereka bisa berkumpul bersama, sebelum mulai sibuk lagi dengan kehidupan masing-masing."Hei, Cantik." Mama Vania tersenyum lebar menyapa menantu kesayangannya itu."Rapi sekali, mau kemana?" Mama Vania memperhatikan penampilan Elya yang terlihat formal namun masih terkesan santai."Seperti melihat Elya muda sekian tahun yang lalu, saat pertama kali Bram memperkenalkannya pada kita." Papa Lin ikut bersuara."Jadi maksud Papa, Elya sekarang sudah tua, begitu?" Elya memajukan bibirnya, pura-pura merajuk.Meja makan itu dipenuhi oleh tawa. Elya
"Bram mana?" Papa Lin bertanya pada Rossa yang sedang merapikan handuk di kepalanya."Tadi baru selesai mandi, Pa, mungkin sebentar lagi menyusul kemari." Rossa menjawab sambil mulai menyendok nasi."Elya duluan Pa, Ma …." Elya berdiri setelah menyelesaikan sarapan paginya.Bergegas dia berjalan meninggalkan meja makan sebelum Rossa kembali bersuara. Malas sekali rasanya dia harus satu meja dengan perempuan murahan itu. Selain murahan, Rossa ternyata tukang halu juga. Elya terus membatin sepanjang jalan menuju kamarnya."Mas Bram minta nambah katanya. Minta nambah apanya?" Elya menggelengkan kepala. Jam lima tadi Elya terkejut saat bangun tidur, dilihatnya Bram sedang berbaring di samping sambil memeluk pinggangnya. Justru Elya yang mengusir Bram agar segera pindah ke kamar Rossa. Setengah sadar lelaki itu berjalan terhuyung-huyung pindah kamar."Mau kemana?" Bram mencegat Elya yang baru keluar dari pintu utama."Keluar." Elya me
Dua burung besi itu melesat membelah angkasa. Yang satu pergi seorang diri dengan perasaan ramai di hati, sementara yang lainnya pergi berdua namun sepi tetap menggayuti.Elya, wanita muda dengan segala kesempurnaannya itu pergi menyeberangi samudera. Jauh di dalam sana, hatinya berdarah-darah. Belum kering luka karena dibohongi orang yang paling dia percaya selama bertahun-tahun, kini luka itu semakin menganga dengan adanya pernikahan kedua dari orang yang pernah sangat dia cinta.Apa yang dilakukan Bram dan Rossa di sana? Dua minggu bersama? Dadanya nyeri mengingat tubuh dan hati Bram kini bukan hanya miliknya. Elya juga tidak bisa membayangkan jika nanti Bram meminta, apakah dia masih mau melayaninya dengan rela? Elya jijik memikirkan entah sudah berapa banyak pria yang menikmati istri kedua suaminya itu."... In a few moments, the flight attendants will be passing around the cabin to offer you drink and snack …."Pengumuman dari dalam pes
"Kau kenal Elya?" Wajah Bram dingin bertanya pada wanita muda di seberang samudra sana. Matanya menyipit memperhatikan perubahan raut wajah Elin."Istri Bapak, kan?" Elin bertanya hati-hati."Elin, kau orang kepercayaanku. Kau tentu paham sekali bagaimana tabiatku. Aku benci dikhianati." Wajah Elin pias mendengar surat berat Bram."Kuulangi pertanyaanku. Kau kenal Elya?" Bram menatap tajam wajah Elin yang terpampang jelas di ponselnya."Kami bersahabat baik sejak kuliah, sampai detik ini." Elin menarik napas panjang.Dalam waktu singkat wanita berambut lurus itu berhitung dengan situasi, memilih menjawab jujur pertanyaan orang yang telah memberikan kepercayaan penuh padanya selama bertahun-tahun ini. Wanita dengan mata sipit itu paham betul tabiat Bram, dia sangat membenci pengkhianatan."Saya tidak tahu Bu Elya adalah istri Bapak, sampai saya ditugaskan untuk berkoordinasi dengan Pak Hendy beberapa tahun lalu." Tarikan napas Elin terdengar jelas."K
"Apa maksudmu, Bram?" Wajah Rossa memerah saat mendengar Bram akan berangkat nanti sore.Rossa terbangun dari tidur nyenyaknya saat matahari sudah tinggi. Jam delapan pagi waktu setempat.Wanita berwajah manis itu mengernyitkan kening melihat Bram sedang sibuk memisahkan pakaian mereka yang diletakkan berbarengan dalam beberapa koper."Ada pekerjaan mendesak yang tidak bisa kutinggalkan, Ros. Aku mohon, mengertilah." Bram menghampiri Rossa. Dia meninggalkan sejenak kesibukannya memisahkan pakaian. Ikut duduk di sebelah wanita yang baru saja bangun tidur itu."Pekerjaan apa? Kau pemilik perusahaan, Bram! Nikmatilah sedikit waktumu. Kau bisa sesukamu masuk kerja atau tidak." Rossa memukul kasur tempat mereka duduk. Membuat kasur empuk itu sedikit bergoyang."Ros, justru karena pemilik perusahaan aku harus bekerja lebih giat. Aku mempunyai tanggung jawab yang besar untuk kelangsungan perusahaan. Tanggung jawab pada keluarga dan pada karyawan
Bram tersenyum sinis. Menertawakan kebodohannya dalam hati. Bagaimana mungkin dia bisa lupa sepak terjang Elya sebelum menjadi istrinya? Reputasi wanita itu mengerikan. Dia terkenal cerdas, berani dan mempunyai kemampuan mengendalikan. Dalam waktu semalam, dia bisa membuat rekan dan lawan bisnisnya berubah pikiran seratus delapan puluh derajat. Bram mengeluh tertahan. Tak disangka, kini dia harus berhadapan dengan istri cantiknya itu. Padahal dulu perusahaan mereka adalah rekanan bisnis selama bertahun-tahun. Tak dipungkiri, karena kelihaian Elya dalam membaca peluanglah, bisnis keluarga mereka bisa meraup keuntungan yang sangat besar kala itu.Bram menghentikan kegiatan saat ponselnya bergetar. Rima, sekretarisnya menelepon. Pasti Elin sudah memberitahukan pada Rima mengenai tugas yang dia berikan. Itulah kenapa Bram memutuskan memberi kesempatan pada Elin, memaafkannya. Wanita berwajah keturunan itu bisa diandalkan. Kerjanya rapi dan cepat. Tidak pernah mengecew
Elya menghempaskan tangan Bram begitu mereka memasuki kamar penginapan. Sepanjang jalan tadi Bram terus menggandeng tangannya erat, mungkin takut dia kabur.Pertemuan tadi siang berjalan lancar. Baik Elya maupun Bram bisa berlaku profesional. Mereka membicarakan banyak hal, termasuk langkah dan strategi ke depan mengenai keberlangsungan kerjasama mereka terkait dengan adanya penemuan tambang emas di sana."Luar biasa, Elya." Bram langsung mendekati Elya. Dia mencengkeram bahu istrinya yang sudah terpojok ke dinding kamar."Kau senang selama ini berhasil membohongiku, hah?" Bram mengguncang bahu Elya."Bagaimana rasanya dibohongi? Sakit? Begitu juga dengan yang ku rasakan, Mas!" Elya membalas tatapan Bram."Aku tidak merugikan siapapun dengan membohongimu, Elya. Tapi KAU! Kau mempertaruhkan perusahaan keluarga yang sangat kujaga, karena kau juga, ribuan karyawan bisa kehilangan pekerjaan. Keluarga mereka bisa mati kelaparan karena kehilang
"Beberapa hari yang lalu, waktu aku mampir ke kantor. Ada petugas kebersihan yang sedang membersihkan ruangan, Mas. Kulihat dia memasukkan obat ke dalam gelas minuman. Saat kutanya, katanya itu suplemen yang Mas Bram titipkan padanya untuk disiapkan setiap hari." Elya menjelaskan panjang lebar. Tangannya meremas bahu Bram pelan.Suaminya itu menatap Elya bingung. Bram masih berusaha mencerna setiap ucapan yang keluar dari bibir merah menantang milik istrinya."Mas sedang melakukan pengobatan? Atau terapi kesuburan?" Elya bertanya hati-hati.Bram masih terdiam. Seketika otaknya buntu."Sebegitu kuatkah daya tarik Rossa, Mas? Sehingga baru beberapa hari menjadi istrimu, dia berhasil membuat Mas mau melakukan terapi. Sementara aku, bertahun-tahun membujukmu, tetapi …" Elya terisak. Hatinya perih akhirnya harus membawa nama Rossa dalam pembicaraan mereka."El, aku –"Dering ponsel Elya memotong ucapan Bram. Elya bergegas melihat siap
"Apa kabar Rossa?" Elya akhirnya kembali bertanya setelah mereka terdiam cukup lama."Ah iya. Dia sehat, anaknya juga sudah bertambah besar. Sedang dalam tahap merangkak ke sana kemari. Rossa titip salam untukmu."Elya tertawa kecil. Mengangguk. Salam balik untuk Rossa maksudnya. "Dia sangat berterima kasih padamu, El. Boleh tahu kenapa?""Hei! Kau mau tahu saja. Itu rahasia antara para wanita." Elya tertawa sambil mengedipkan mata.Elya menarik napas. Ingatannya melayang pada siang itu, saat dia dan Rossa akhirnya setuju untuk bersepakat. "Apa yang mau kau bicarakan, El?""Aku ingin menawarkan kerjasama.""Kerjasama?" Rossa tertawa kecil."Hei! Ingat berapa kali kau menolak tawaranku? Dua kali!" Wanita yang tengah berbadan dua itu berteriak."Lalu, apa menurutmu aku akan menerima begitu saja tawaran darimu setelah saat ini aku berada di atas angin, hah?!" Napas Rossa menderu."Tena
Bram tersenyum melihat Elya yang sedang duduk di mobil dengan pintu terbuka. Dia tahu wanita itu sedang menunggunya. Tadi mereka berjanji akan makan siang bersama setelah semua urusan selesai.Bram menarik napas panjang. Bahkan dari kejauhan, kecantikan Elya masih terlihat sangat jelas. Di usianya yang menjelang pertengahan kepala tiga, Elya tampil sebagai wanita matang dengan segala kesempurnaanya. Lelaki itu kembali menarik napas panjang. Andai dulu dia jujur pada Elya tentang hasil pemeriksaan, akankah kisah mereka tetap berakhir seperti ini?"Bram." Satu suara menyapa Bram.Lelaki berkaos putih itu menoleh ke arah sumber suara."Pa ….""Kata Elya kalian ada acara?""Iya, Pa. Kami mau makan siang di luar. Nostalgia, di resto dulu tempat aku melamar Elya." Bram tersenyum malu-malu."Pergilah, Bram. Melihat dari sikap Elya, Papa yakin masih ada kesempatan bagimu untuk memenangkan hatinya." Papa Lin menepuk bah
Enam bulan setelah penangkapan Kakek Harimurti."Selamat Siang, pemirsa Berita Dalam Negeri.Setelah melalui proses sidang yang alot karena Harimurti melakukan perlawanan yang cukup kuat. Hari ini akhirnya keputusan banding resmi ditolak.Harimurti dijerat dengan pasal berlapis. Pertama penyalahgunaan obat sehingga membahayakan keselamatan orang lain pasal 1 UU No. 36 tahun 2009 tentang kesehatan.Kedua pencemaran nama baik terhadap perusahaan Lakhsita pasal 27 ayat 3 dan pasal 45 ayat 1 UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).Ketiga pengancaman akan menghabisi nyawa orang lain pasal 368 KUHP.Dengan adanya tuntutan pasal berlapis, Harimurti dijatuhi hukuman denda yang sangat banyak dan hukuman kurungan dalam jangka waktu yang lama.Sangat disayangkan. Di masa-masa akhir menuju tutup usia, Harimurti harus kehilangan semua kekayaan dan kehormatannya. Harimurti bahkan ditangkap di kantor pusat Harimurti Grup, tempat ya
Papa Lin tersenyum puas menatap Elya. Menantunya itu memang layak dikagumi. Jika menuntut Harimurti dengan jalan biasa, pasti lelaki tua itu akan bebas dengan mudah.Dengan melakukan semua ini, mereka bisa mendapatkan dukungan yang sangat besar dari masyarakat. Apa lagi jika memanfaatkan kisah rumah tangga Elya dan Bram yang selama sepuluh tahun belum dikaruniai keturunan. Pasti emosi publik akan semakin meledak.Elya tersenyum menatap Kakek Harimurti yang mematung. Lelaki tua itu melihat dirinya dengan tatapan kosong."Kau terlalu angkuh Harimurti! Seolah bisa menyelesaikan semua dengan uang dan relasi yang kau miliki, kau lupa tidak semua hal bisa dibeli. Salah satunya harga diri. Kini, kau bukan siapa-siapa lagi di negeri ini." Lembut suara Elya terdengar, membuat Kakek Harimurti terdiam."Seorang pemilik imperium bisnis ternama, kini hanya seorang calon pesakitan yang akan menghabiskan sisa waktunya dalam keadaan hina! Semua itu karena nafsu
"Lepas!" Elya berteriak sambil memberontak."Bagaimana, Elya?" Kakek Harimurti terkekeh melihat wajah Elya yang memerah.Elya tidak gentar sedikit pun dengan keadaan di sini. Dia pernah melihat hal yang lebih keji. Kedua orangtuanya mati terbakar dan menjadi abu di depan matanya sendiri."Ternyata selama ini kalian telah mengetahui aku yang telah membuat Bram mandul, hah?!" Kakek Harimurti berdiri tegak di hadapan Elya yang dipegang oleh dua orang suruhannya.Kakek Harimurti tertawa terbahak-bahak. "Kau betul, Elya! Aku memang telah memberikan obat itu selama lebih dari tiga puluh tahun. Cucu dari jalan darahku lebih pantas memimpin perusahaan ini dibandingkan dengan keturunan Lin s*alan itu!""KRIMINAL!" Elya berteriak kencang sambil memberontak.Kakek Harimurti kembali tertawa terbahak-bahak. "Kriminal? Tidak ada yang kriminal di negeri ini selama kau punya uang dan relasi!" Kakek Harimurti menatap Elya ding
"Jelaskan!" Bentakan Kakek Harimurti memenuhi lantai paling atas kantor pusat Harimurti Grup. Suara serak itu gemetar menahan amarah.Papa Lin menarik napas panjang. Lelaki tua di hadapannya ini terlihat sangat marah. Hilang sudah rasa hormatnya selama ini. Orang yang dianggapnya sudah seperti ayah kandung sendiri, ternyata musuh yang menikam dari belakang."Tenanglah dulu, Pa.""Jelaskan maksud semuanya, Lin.""Maksud yang mana?""Kenapa kau melakukan konferensi pers?!" Kakek Harimurti berteriak kencang. Giginya bergemeletuk melihat Papa Lin yang tampak tenang-tenang saja."Kenapa tidak?" Papa Lin tersenyum. Matanya menatap dua orang bodyguard berbadan atletis yang berdiri tegap menjaga pintu. Dia yakin sekali, pasti di luar ruangan jumlah mereka lebih banyak lagi."Lin!" Kakek Harimurti menggebrak meja."Apa masalahnya, Pa?" Papa Lin menatap Kakek Harimurti dengan ekspresi pura-pura bingung.Kakek Ha
Suara Papa Lin terdengar berwibawa."Saat ini. Saya hanya berdiri sebagai penengah, untuk rumor yang sangat simpang siur terjadi dalam dunia bisnis. Saya, mewakili Harimurti Grup merasa perlu angkat bicara, agar rumor tidak semakin berkembang dan menyesatkan kita semua.Saya diberikan mandat oleh anak saya, Bramantyo Harimurti. Karena menurutnya, saya lebih mumpuni dalam menyelesaikan rumor ini.Sepenuhnya kepemimpinan Harimurti Grup saat ini dipegang oleh Bram. Semua keputusan, walau hanya untuk membunuh seekor semut pun di dalam Harimurti Grup harus atas seizin Bram.Menjawab rumor yang beredar tentang perebutan kekuasan dalam lingkaran keluarga Harimurti, itu tidak benar sama sekali.Sebagai pemimpin perusahaan, Bram yang berhak menentukan arah perusahaan selanjutnya. Karena saya dan Ayahanda Harimurti sudah tidak memiliki kuasa apapun lagi dalam lingkar perusahaan.Selain itu, mengenai rumor kedua yang beredar, yakni tent
"Ini rangkaian terakhir, Bram. Setelah ini kita lakukan pengecekan secara keseluruhan, baik darah maupun sp*rma." Dokter Lucky menjelaskan sambil menyiapkan resep untuk Bram."Bagaimana, dok?""Apa yang bagaimana, El?" Dokter Lucky tersenyum sambil menatap Elya."Mas Bram." Elya mengulum senyum.Dokter Lucky tertawa melihat Elya yang salah tingkah."Kau ini seperti masih perawan saja, El. Malu-malu begitu."Bram ikut tertawa mendengar omongan dokter Lucky. Dadanya berdebar kencang. Takut hasilnya tidak sesuai dengan harapan."Sejauh ini hasilnya baik. Tapi harus saya pastikan lagi dengan hasil pengecekan terakhir nanti. Sudah tidak sabar menanti kehadiran buah hati ya?" Dokter Lucky mengedipkan sebelah mata.Elya dan Bram tertawa berbarengan."Ada lagi yang mau ditanyakan?""Cukup dok," jawab Bram sambil menerima resep yang diserahkan dokter Lucky.Setelah beberapa percakapan lagi, Ely
"Panggil Papa saja, El." Papa Lin tersenyum kecil saat tawanya reda."Papa apa kabar?" Elya tersenyum cerah. melihat cahaya di mata Papa Lin, dia tahu, dia sudah berhasil membangunkan singa tidur itu."Sehat, El. Kau sibuk sekali akhir-akhir ini sepertinya? Saat acara selamatan kelahiran anak Lira kemarin juga kita tidak sempat bercakap-cakap."Percakapan mereka terhenti. Pramusaji mengantarkan pesanan yang telah lebih dulu Elya pesan saat reservasi tempat.Kebetulan sekali, restauran di rooftop gedung pencakar langit tertinggi itu sedang sepi malam ini. Hanya ada tiga pelanggan. Duduk mereka juga berjauhan, sehingga membuat obrolan mereka lebih bebas."Sibuk, Pa. Bagaimana tidak sibuk? Aku ingin menggulingkan salah satu pemilik perusahaan paling berpengaruh. Tentu banyak hal yang harus kulakukan." Elya tertawa kecil.Papa Lin tersenyum. Istri pertama Bram ini memang selalu berbicara langsung ke intinya."Bagaimana, El?" Papa Lin mulai memasukkan pot