Elya menghempaskan tangan Bram begitu mereka memasuki kamar penginapan. Sepanjang jalan tadi Bram terus menggandeng tangannya erat, mungkin takut dia kabur.
Pertemuan tadi siang berjalan lancar. Baik Elya maupun Bram bisa berlaku profesional. Mereka membicarakan banyak hal, termasuk langkah dan strategi ke depan mengenai keberlangsungan kerjasama mereka terkait dengan adanya penemuan tambang emas di sana."Luar biasa, Elya." Bram langsung mendekati Elya. Dia mencengkeram bahu istrinya yang sudah terpojok ke dinding kamar."Kau senang selama ini berhasil membohongiku, hah?" Bram mengguncang bahu Elya."Bagaimana rasanya dibohongi? Sakit? Begitu juga dengan yang ku rasakan, Mas!" Elya membalas tatapan Bram."Aku tidak merugikan siapapun dengan membohongimu, Elya. Tapi KAU! Kau mempertaruhkan perusahaan keluarga yang sangat kujaga, karena kau juga, ribuan karyawan bisa kehilangan pekerjaan. Keluarga mereka bisa mati kelaparan karena kehilang"Beberapa hari yang lalu, waktu aku mampir ke kantor. Ada petugas kebersihan yang sedang membersihkan ruangan, Mas. Kulihat dia memasukkan obat ke dalam gelas minuman. Saat kutanya, katanya itu suplemen yang Mas Bram titipkan padanya untuk disiapkan setiap hari." Elya menjelaskan panjang lebar. Tangannya meremas bahu Bram pelan.Suaminya itu menatap Elya bingung. Bram masih berusaha mencerna setiap ucapan yang keluar dari bibir merah menantang milik istrinya."Mas sedang melakukan pengobatan? Atau terapi kesuburan?" Elya bertanya hati-hati.Bram masih terdiam. Seketika otaknya buntu."Sebegitu kuatkah daya tarik Rossa, Mas? Sehingga baru beberapa hari menjadi istrimu, dia berhasil membuat Mas mau melakukan terapi. Sementara aku, bertahun-tahun membujukmu, tetapi …" Elya terisak. Hatinya perih akhirnya harus membawa nama Rossa dalam pembicaraan mereka."El, aku –"Dering ponsel Elya memotong ucapan Bram. Elya bergegas melihat siap
"Bisa minta waktu sebentar Kakek, Om, Tante semua?" Rossa mengangkat tangan sambil sedikit menggoyangkannya.Ruangan itu mendadak hening. Percakapan-percakapan terhenti. Ini acara kumpul keluarga besar pertama sejak pernikahan Bram dan Rossa, sepulang bulan madu mereka."Ada apa, Ros?" Kakek Harimurti berdehem. Cucu mantunya yang satu ini memang kadang sedikit suka mencari perhatian.Rossa berdiri dengan anggun. Wajahnya tersenyum sumringah. Tangannya pelan mengambil sesuatu dari dalam tas. Kertas berukuran 10 x 8 cm itu diangkatnya."Taraaaaaaa, surprise." Wajah Rossa sumringah memperlihatkan kertas itu.Hasil USG.Tante Adisti yang duduk di sampingnya segera menyambar kertas yang dipegang Rossa. Tertera nama Ny. Rossa Velisha Wiratama."Kamu hamil, Ros?" Wajah Tante Adisti terlihat kaget sekaligus sumringah.Rossa mengangguk cepat sambil mengulum senyum.Ramailah ruangan itu. Suara-suara berputar memenuhi langit-langit. Ucapan selamat bergema. Wajah bahagia Rossa. Wajah kaget Mama V
"Elya, aku sungguh tidak mengerti dengan apa yang kau bicarakan. Tapi yang harus kau tahu, aku tidak terlibat sedikitpun dengan masalah kemandulan Bram." Lelaki itu memegang bahu sebelah kanan Elya. Berusaha menghentikan langkah wanita cantik itu."Lalu?" Cepat Elya menepis tangan Om Ridho di bahunya."Kau benar aku mengetahui Bram mandul, tetapi kau salah kalau mengira aku terlibat dalam prosesnya. Kenapa aku mengatakannya padamu? Karena aku tahu sepak terjangmu, El." Mata mereka bertatapan."Lalu kenapa diam saja? Bukankah dengan ikut menutupi kebenaran Om sama saja dengan turut andil membantu pelakunya?""Ada alasan tersendiri kenapa aku menutupinya." Om Ridho menarik napas panjang."Lalu, Om pikir apa gunanya mengatakan semua ini sementara Om tetap menyembunyikan nama pelakunya?""Aku hanya tidak ingin kau salah langkah karena menuduh orang yang salah, Elya.""Terima kasih." Elya tersenyum tipis dan melangkah lebih cepat menuju tempat mobilnya terparkir.Pikiran Elya terus berputa
"Kalau bukan Om Ridho lalu siapa? Atau ini hanya akal-akalan Om Ridho karena aku sudah memergoki Diar? Apa petugas kebersihan itu sudah melapor kalau saat itu aku melihat dia mencampurkan obat itu pada minuman Mas Bram?" Pikiran Elya terus berputar."Pasti Diar, petugas kebersihan itu tidak akan memberitahu siapa yang menyuruhnya. Aku harus menjebaknya jika ingin mengetahui siapa dalang dibalik semua ini. Tapi bagaimana caranya?" Elya menggigit bibir. Akhirnya tadi Elya memutuskan pulang dengan menggunakan taksi. Selain karena tidak ingin ketahuan telah mendengar semua pembicaraan Bram dan Rossa, pikirannya juga sedang kalut, sehingga dia merasa sulit untuk mengemudi.Kening Elya mengernyit saat sampai di rumah lampu dalam keadaan menyala. Bram pulang? Bukankah seharusnya dia di tempat Rossa?"El …." Bram langsung berdiri saat melihat Elya memasuki kamar. Lelaki itu berjalan menuju ke arah Elya.Secara tiba-tiba Bram memeluk Elya. Erat. Sangat erat. Elya terpana. Entah kenapa, hatiny
"Tahu apa kau tentang sesuatu yang sangat dirahasiakan oleh Bram, El? Baginya kau tidak lebih dari pajangan. Boneka cantik yang bisa dijadikan bahan untuk pamer."Elya mengulum senyum melihat Rossa yang begitu berapi-api. Wajah manis wanita itu terlihat memerah. Pelipisnya dipenuhi oleh keringat, padahal pendingin ruangan menyala dalam kondisi maksimal.Rossa cemburu? Atau hanya takut kalah lagi dengannya? Elya tersenyum samar."Aku tahu Bram mandul." Datar saja wajah Elya saat mengatakannya.Rossa menatap Elya tek percaya. Jadi madunya itu tahu?"Tentu saja aku tahu." Elya tertawa kecil."Bram menikah denganmu juga atas seizinku. Andai aku tidak mengizinkan, pasti dia tidak akan melakukannya." Kening Bram berkerut mendengar perkataan Elya. Kapan mereka pernah membicarakan masalah itu? Namun, lelaki itu memilih diam. Dia lelah dengan perseteruan kedua istrinya itu."Jadi, jangan terlalu berbangga diri, Ros. Andai kukatakan pada Kakek Harimurti seperti apa masa lalumu, hampir bisa dipa
"Rapat hari ini diagendakan jam sepuluh, El. Kau datang sendiri? Atau diwakilkan Hendy?" Bram menoleh pada Elya yang sedang mengunyah nasi goreng di sampingnya."Membahas tentang kelanjutan kerja sama ya?" Elya bertanya sambil mengambil air putih hangat. Dia meneguknya perlahan. Elya memang lebih menyukai air putih hangat untuk minumannya di pagi hari."He'em." Bram menjawab dengan dehaman. Mulutnya penuh berisi nasi goreng. Tadi sesendok besar dia suapkan ke dalam mulutnya. Masakan Elya memang selalu juara."Lihat nanti, Mas. Inti pembicaraan sebenarnya sama saja dengan poin-poin yang sudah kita sepakati sewaktu di daerah bersalju kemarin, kan?" Elya meletakkan sendok. Sarapannya sudah selesai."Kurang lebih. Hei! Aku tidak berminat membahas masalah pekerjaan di meja makan." Bram tersenyum lebar, yang disambut tawa riang dari Elya."Bagaimana hasil pemeriksaan dokter Lucky kemarin?" Elya mengalihkan topik pembicaraan.Bram menar
Setengah jam berlalu. Elya akhirnya dengan bebas tanpa hambatan melajukan kendaraannya. Sedang saja, tidak terlalu cepat tidak pula terlalu lambat."Rim …." Elya langsung menyapa sekretaris Bram begitu dia sampai di kantor."Bu Elya." Rima mengangguk sopan."Bapak masih rapat?" Elya meletakkan tas tangannya di meja kerja Rima."Masih, Bu. Baru mulai sekitar sejam yang lalu." Elya melihat jam di tangannya."Ada berapa orang yang ikut pembahasan mengenai kelanjutan kerjasama?""Tim lengkap, Bu. Ada sekitar empat perusahaan yang akan bergabung. Masing-masih perusahaan mengirimkan dua orang perwakilan." Rima sejenak membuka buku catatannya.Elya mengangguk. "Diar ada?""Diar? Petugas kebersihan itu?" Rima memastikan. Sedikit terkejut kenapa Elya tiba-tiba menanyakan petugas kebersihan yang sudah bekerja di sana selama lebih dari lima tahun itu.Elya mengangguk."Ada, Bu. Sepertinya sedang
Ketukan di pintu membuat Elya sejenak menghentikan kesibukannya."Masuk," perintah Elya pada yang mengetuk pintu."Maaf, Bu. Di depan ada tamu yang memaksa ingin menemui Ibu." Liontin, sekretaris Hendy yang kini menjadi sekretarisnya juga, langsung berbicara saat sampai di depan meja Elya."Siapa?" Kening Elya berkerut."Katanya dari rekanan bisnis, Bu.""Dari perusahaan mana? Arahkan dia menemui Pak Hendy." Pikiran Elya langsung menebak-nebak siapa yang datang. Tidak banyak yang tahu posisinya. Rekanan bisnis itu hanya tahu kalau Hendy lah pemilik sekaligus pemimpin perusahaan ini."Dia tidak mau, Bu. Memaksa bertemu Ibu. Katanya dari pemilik perusahaan Harimurti Grup.""Pak Bram?" Elya bertanya penasaran."Bukan, Bu. Sudah tua." Liontin menggeleng."Tua?" Elya mengulangi tanya.Pikiran Elya langsung menebak satu nama. Senyum itu terbit di bibir sensual Elya. Pasti Diar sudah melaporkan kejadi
"Apa kabar Rossa?" Elya akhirnya kembali bertanya setelah mereka terdiam cukup lama."Ah iya. Dia sehat, anaknya juga sudah bertambah besar. Sedang dalam tahap merangkak ke sana kemari. Rossa titip salam untukmu."Elya tertawa kecil. Mengangguk. Salam balik untuk Rossa maksudnya. "Dia sangat berterima kasih padamu, El. Boleh tahu kenapa?""Hei! Kau mau tahu saja. Itu rahasia antara para wanita." Elya tertawa sambil mengedipkan mata.Elya menarik napas. Ingatannya melayang pada siang itu, saat dia dan Rossa akhirnya setuju untuk bersepakat. "Apa yang mau kau bicarakan, El?""Aku ingin menawarkan kerjasama.""Kerjasama?" Rossa tertawa kecil."Hei! Ingat berapa kali kau menolak tawaranku? Dua kali!" Wanita yang tengah berbadan dua itu berteriak."Lalu, apa menurutmu aku akan menerima begitu saja tawaran darimu setelah saat ini aku berada di atas angin, hah?!" Napas Rossa menderu."Tena
Bram tersenyum melihat Elya yang sedang duduk di mobil dengan pintu terbuka. Dia tahu wanita itu sedang menunggunya. Tadi mereka berjanji akan makan siang bersama setelah semua urusan selesai.Bram menarik napas panjang. Bahkan dari kejauhan, kecantikan Elya masih terlihat sangat jelas. Di usianya yang menjelang pertengahan kepala tiga, Elya tampil sebagai wanita matang dengan segala kesempurnaanya. Lelaki itu kembali menarik napas panjang. Andai dulu dia jujur pada Elya tentang hasil pemeriksaan, akankah kisah mereka tetap berakhir seperti ini?"Bram." Satu suara menyapa Bram.Lelaki berkaos putih itu menoleh ke arah sumber suara."Pa ….""Kata Elya kalian ada acara?""Iya, Pa. Kami mau makan siang di luar. Nostalgia, di resto dulu tempat aku melamar Elya." Bram tersenyum malu-malu."Pergilah, Bram. Melihat dari sikap Elya, Papa yakin masih ada kesempatan bagimu untuk memenangkan hatinya." Papa Lin menepuk bah
Enam bulan setelah penangkapan Kakek Harimurti."Selamat Siang, pemirsa Berita Dalam Negeri.Setelah melalui proses sidang yang alot karena Harimurti melakukan perlawanan yang cukup kuat. Hari ini akhirnya keputusan banding resmi ditolak.Harimurti dijerat dengan pasal berlapis. Pertama penyalahgunaan obat sehingga membahayakan keselamatan orang lain pasal 1 UU No. 36 tahun 2009 tentang kesehatan.Kedua pencemaran nama baik terhadap perusahaan Lakhsita pasal 27 ayat 3 dan pasal 45 ayat 1 UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).Ketiga pengancaman akan menghabisi nyawa orang lain pasal 368 KUHP.Dengan adanya tuntutan pasal berlapis, Harimurti dijatuhi hukuman denda yang sangat banyak dan hukuman kurungan dalam jangka waktu yang lama.Sangat disayangkan. Di masa-masa akhir menuju tutup usia, Harimurti harus kehilangan semua kekayaan dan kehormatannya. Harimurti bahkan ditangkap di kantor pusat Harimurti Grup, tempat ya
Papa Lin tersenyum puas menatap Elya. Menantunya itu memang layak dikagumi. Jika menuntut Harimurti dengan jalan biasa, pasti lelaki tua itu akan bebas dengan mudah.Dengan melakukan semua ini, mereka bisa mendapatkan dukungan yang sangat besar dari masyarakat. Apa lagi jika memanfaatkan kisah rumah tangga Elya dan Bram yang selama sepuluh tahun belum dikaruniai keturunan. Pasti emosi publik akan semakin meledak.Elya tersenyum menatap Kakek Harimurti yang mematung. Lelaki tua itu melihat dirinya dengan tatapan kosong."Kau terlalu angkuh Harimurti! Seolah bisa menyelesaikan semua dengan uang dan relasi yang kau miliki, kau lupa tidak semua hal bisa dibeli. Salah satunya harga diri. Kini, kau bukan siapa-siapa lagi di negeri ini." Lembut suara Elya terdengar, membuat Kakek Harimurti terdiam."Seorang pemilik imperium bisnis ternama, kini hanya seorang calon pesakitan yang akan menghabiskan sisa waktunya dalam keadaan hina! Semua itu karena nafsu
"Lepas!" Elya berteriak sambil memberontak."Bagaimana, Elya?" Kakek Harimurti terkekeh melihat wajah Elya yang memerah.Elya tidak gentar sedikit pun dengan keadaan di sini. Dia pernah melihat hal yang lebih keji. Kedua orangtuanya mati terbakar dan menjadi abu di depan matanya sendiri."Ternyata selama ini kalian telah mengetahui aku yang telah membuat Bram mandul, hah?!" Kakek Harimurti berdiri tegak di hadapan Elya yang dipegang oleh dua orang suruhannya.Kakek Harimurti tertawa terbahak-bahak. "Kau betul, Elya! Aku memang telah memberikan obat itu selama lebih dari tiga puluh tahun. Cucu dari jalan darahku lebih pantas memimpin perusahaan ini dibandingkan dengan keturunan Lin s*alan itu!""KRIMINAL!" Elya berteriak kencang sambil memberontak.Kakek Harimurti kembali tertawa terbahak-bahak. "Kriminal? Tidak ada yang kriminal di negeri ini selama kau punya uang dan relasi!" Kakek Harimurti menatap Elya ding
"Jelaskan!" Bentakan Kakek Harimurti memenuhi lantai paling atas kantor pusat Harimurti Grup. Suara serak itu gemetar menahan amarah.Papa Lin menarik napas panjang. Lelaki tua di hadapannya ini terlihat sangat marah. Hilang sudah rasa hormatnya selama ini. Orang yang dianggapnya sudah seperti ayah kandung sendiri, ternyata musuh yang menikam dari belakang."Tenanglah dulu, Pa.""Jelaskan maksud semuanya, Lin.""Maksud yang mana?""Kenapa kau melakukan konferensi pers?!" Kakek Harimurti berteriak kencang. Giginya bergemeletuk melihat Papa Lin yang tampak tenang-tenang saja."Kenapa tidak?" Papa Lin tersenyum. Matanya menatap dua orang bodyguard berbadan atletis yang berdiri tegap menjaga pintu. Dia yakin sekali, pasti di luar ruangan jumlah mereka lebih banyak lagi."Lin!" Kakek Harimurti menggebrak meja."Apa masalahnya, Pa?" Papa Lin menatap Kakek Harimurti dengan ekspresi pura-pura bingung.Kakek Ha
Suara Papa Lin terdengar berwibawa."Saat ini. Saya hanya berdiri sebagai penengah, untuk rumor yang sangat simpang siur terjadi dalam dunia bisnis. Saya, mewakili Harimurti Grup merasa perlu angkat bicara, agar rumor tidak semakin berkembang dan menyesatkan kita semua.Saya diberikan mandat oleh anak saya, Bramantyo Harimurti. Karena menurutnya, saya lebih mumpuni dalam menyelesaikan rumor ini.Sepenuhnya kepemimpinan Harimurti Grup saat ini dipegang oleh Bram. Semua keputusan, walau hanya untuk membunuh seekor semut pun di dalam Harimurti Grup harus atas seizin Bram.Menjawab rumor yang beredar tentang perebutan kekuasan dalam lingkaran keluarga Harimurti, itu tidak benar sama sekali.Sebagai pemimpin perusahaan, Bram yang berhak menentukan arah perusahaan selanjutnya. Karena saya dan Ayahanda Harimurti sudah tidak memiliki kuasa apapun lagi dalam lingkar perusahaan.Selain itu, mengenai rumor kedua yang beredar, yakni tent
"Ini rangkaian terakhir, Bram. Setelah ini kita lakukan pengecekan secara keseluruhan, baik darah maupun sp*rma." Dokter Lucky menjelaskan sambil menyiapkan resep untuk Bram."Bagaimana, dok?""Apa yang bagaimana, El?" Dokter Lucky tersenyum sambil menatap Elya."Mas Bram." Elya mengulum senyum.Dokter Lucky tertawa melihat Elya yang salah tingkah."Kau ini seperti masih perawan saja, El. Malu-malu begitu."Bram ikut tertawa mendengar omongan dokter Lucky. Dadanya berdebar kencang. Takut hasilnya tidak sesuai dengan harapan."Sejauh ini hasilnya baik. Tapi harus saya pastikan lagi dengan hasil pengecekan terakhir nanti. Sudah tidak sabar menanti kehadiran buah hati ya?" Dokter Lucky mengedipkan sebelah mata.Elya dan Bram tertawa berbarengan."Ada lagi yang mau ditanyakan?""Cukup dok," jawab Bram sambil menerima resep yang diserahkan dokter Lucky.Setelah beberapa percakapan lagi, Ely
"Panggil Papa saja, El." Papa Lin tersenyum kecil saat tawanya reda."Papa apa kabar?" Elya tersenyum cerah. melihat cahaya di mata Papa Lin, dia tahu, dia sudah berhasil membangunkan singa tidur itu."Sehat, El. Kau sibuk sekali akhir-akhir ini sepertinya? Saat acara selamatan kelahiran anak Lira kemarin juga kita tidak sempat bercakap-cakap."Percakapan mereka terhenti. Pramusaji mengantarkan pesanan yang telah lebih dulu Elya pesan saat reservasi tempat.Kebetulan sekali, restauran di rooftop gedung pencakar langit tertinggi itu sedang sepi malam ini. Hanya ada tiga pelanggan. Duduk mereka juga berjauhan, sehingga membuat obrolan mereka lebih bebas."Sibuk, Pa. Bagaimana tidak sibuk? Aku ingin menggulingkan salah satu pemilik perusahaan paling berpengaruh. Tentu banyak hal yang harus kulakukan." Elya tertawa kecil.Papa Lin tersenyum. Istri pertama Bram ini memang selalu berbicara langsung ke intinya."Bagaimana, El?" Papa Lin mulai memasukkan pot