Seperti apa yang telah diperintahkan Wildan kepadanya untuk membersihkan diri dan mengenakan lingerie super seksi dan transparan di kamar mandi, Vanilla pun melakukan semua itu, tanpa harus dia merasa malu di hadapan orang buta seperti Wildan.Jika memang lelaki itu menginginkan Vanilla melayani dirinya malam ini, maka Vanilla akan melayaninya dengan senang hati.Vanilla keluar dari kamar mandi, melangkah pelan meski dalam hati dia setengah ragu, tapi Vanilla mencoba rileks dan meyakinkan diri bahwa tak akan terjadi apapun antara dirinya dengan Wildan malam ini.Meski dia sudah dibayar mahal oleh Vanessa, tapi jika harus melepaskan kesuciannya untuk lelaki angkuh macam Wildan, Vanilla jelas tidak rela.Oleh sebab itulah, Vanilla akan menghalalkan segala cara demi mempertahankan segel keperawanannya tanpa harus Wildan merusaknya meski mereka sudah menikah.Vanila tahu, ini hal yang mustahil jika dia mengingat bagaimana watak lelaki itu yang sepertinya maniak.Tapi, dengan keterbatasan
"Ini Bos," ucap seorang lelaki bertato dengan penampilannya yang seperti preman. Dia menyodorkan beberapa gambar hasil jepretan kamera ponsel yang dia ambil beberapa hari yang lalu di sebuah pasar tradisional."Jadi benar Kenari masih hidup?" Tanya lelaki lain yang mengenakan seragam narapidana."Benar Bos, bukan hanya Kenari saja tapi anaknya yang bernama Vanilla juga masih hidup," ucap lelaki bertato itu.Lelaki yang dipanggil Bos itu terlihat menghela napas berat. Dia menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi di taman sebuah rumah sakit jiwa yang khusus menampung para narapidana dengan gangguan mental. Dia mengusap wajahnya gusar."Syukurlah kalau memang Vanilla masih hidup. Setidaknya, perasaan bersalahku pada Malik bisa sedikit berkurang. Kirimkan foto-foto ini ke kediaman Malik dengan sebuah catatan kecil namaku di dalamnya, aku ingin Malik datang menemuiku di sini. Ada sesuatu yang harus Malik ketahui tentang Kenari...""Baik Bos,"*****Wildan sedang duduk termenung di taman bel
"To-tolong... Wil... Dan... To-tolong..."Wildan masih di sana, berdiri di balik kaca besar kamar yang menghadap langsung ke arah kolam renang di belakang rumahnya, menyaksikan dengan jelas bagaimana Vanilla berteriak meminta pertolongan.Awalnya, lelaki itu tak menghiraukan teriakan Vanilla karena Wildan berpikir Vanilla hanya akting saja seperti yang tadi perempuan itu lakukan.Meski setelahnya, semakin Wildan perhatikan, semakin jelas terlihat bahwa saat itu Vanilla benar-benar membutuhkan pertolongan betulan.Sial!Tak ingin membuang waktu, Wildan langsung bergegas keluar kamar, menuruni tangga dengan setengah berlari. Lelaki itu melepas kausnya dan melemparnya begitu saja sebelum dia menceburkan diri ke kolam renang untuk menyelamatkan Vanilla.Vanilla yang saat itu sudah hampir pingsan dan tak lagi berteriak. Bahkan tubuh gadis itu sudah hampir setengah tenggelam.Setelah susah payah berusaha membawa tubuh Vanilla yang ternyata sangat berat itu, akhirnya Wildan pun berhasil samp
Hari ini pengunjung resto ramai.Malik selaku cheff sekaligus pemilik resto baru saja bisa mengecek ke sana seusai dirinya syuting seharian.Malam hari Malik masih harus wara-wiri di resto mengurus beberapa hal yang memang biasa dia tangani tanpa bantuan karyawannya.Sekitar pukul delapan malam, Malik baru saja selesai dengan pekerjaannya di dapur. Dia melepas apronnya dan masuk ke dalam ruangan kantor pribadinya.Dia hendak menelepon sang istri di rumah sekadar bertanya apakah Isna sudah makan atau belum, sebab biasanya Isna sering meminta dibawakan makanan jika Malik bekerja lembur seperti hari ini."Halo sayang, kamu lagi apa?" Tanya Malik sumringah. Lelaki itu menjatuhkan dirinya ke sofa empuk seraya merebahkan tubuhnya yang letih."Baru aja habis nemenin Jhio tidur," jawab suara Isna di seberang. "Kamu kapan pulang? Tumben malem banget?" Tambah sang bumil."Iya, tadi syuting kelarnya ngaret terus aku mampir ke resto dulu. Nih baru kelar, aku istirahat sebentar nanti habis itu bar
"Papa sudah bicarakan dengan Om Aji tentang rencana kita?" Tanya seorang lelaki berpakaian kantor lengkap dan terlihat rapi.Dia duduk di sebuah sofa empuk di dalam ruang direktur utama Perusahaan Adijaya Grup.Ruangan yang sebelumnya dihuni oleh Wildan dan kini berpindah tangan kepada Haris Adijaya yang merupakan anak angkat di keluarga Adijaya, terhitung sejak Wildan mengalami kecelakaan."Belum, biarkan mereka bersenang-senang dulu. Papa tidak ingin mengganggu Wildan dan Vanessa setidaknya sampai Wildan bisa kembali masuk ke kantor," jawab Haris seraya menyesap kopi hangatnya."Lalu sampai kapan kita akan terus hidup jadi kacungnya Wildan Pa? Padahal selama ini, tanpa bantuan Papa dan aku, Wildan nggak mungkin bisa mengurus perusahaan ini hingga sebesar dan sesukses sekarang sendirian! Ini sudah lewat lima tahun sejak Om Haidar meninggal, tapi hidup kita tetap saja begini-begini terus," keluh Argan, lelaki berusia 28 Tahun yang merupakan anak kandung Haris."Yasudah, kalau kamu mem
Kejadian masa lalu itu seakan kembali merasuk ke dalam benak Malik dan mengganggu pikirannya.Bahkan setelah sekian lama Malik tidak lagi memikirkan hal ini.Sayangnya, kenapa sekarang dia harus kembali dihadapkan dengan sesuatu yang bersangkutan dengan masa lalu itu?Perselingkuhan Kinara dengan Linggar.Kinara yang meminta Kenari bertukar posisi untuk mengelabui Malik sementara Kinara pergi dengan selingkuhannya padahal saat itu posisi Kinara dengan Malik sudah menikah.Hingga pada insiden mengerikan yang terjadi menimpa Kinara.Kematian Kinara yang tragis hingga membawa nama Kenari sebagai tersangka atas semua kejadian itu, padahal sebenarnya Kenari tidak bersalah.Kenari hanya menjadi korban kekejaman Linggar di bawah ancaman lelaki itu yang akan membunuh orang-orang yang dicintainya jika tidak mau mengikuti apa yang Linggar katakan.Kenari yang lemah, yang pada akhirnya menjadi korban atas kejahatan Linggar.Bahkan tidak sampai disitu, karena Linggar pula, kini Malik harus rela k
"Vanessa?" Sapa Argan seraya menghampiri Vanessa yang terduduk di trotoar jalanan dengan tubuhnya yang lecet dan terluka.Saat itu perempuan yang dipanggil Vanessa oleh Argan itu terlihat bingung. Menatap sosok Argan dengan tatapan aneh."Tumben kamu bawa motor? Kamu mau kemana?" Tanya Argan lagi."A-aku mau pulang," jawabnya terbata."Maaf Pak-Bu, dia saudara saya. Terima kasih sudah membantu ya," ucap Argan dengan ramah pada beberapa warga yang saat itu baru saja membantu Vanessa.Kerumunan itu bubar seiring kepergian Vanessa yang diajak Argan menaiki mobil sementara Argan sudah menelepon pihak bengkel langganannya untuk mengurus motor yang dibawa Vanessa.Selama diperjalanan, Vanessa terus diam. Entah karena dia menahan sakit atau apa, Argan sendiri tidak tahu. Bahkan wajah perempuan itu terus saja menunduk."Kamu baik-baik aja Nessa? Aku antar kamu ke klinik ya? Lukamu banyak," ucap Argan dengan penuh perhatian."Eh nggak usah. Antar aku pulang aja,""Nggak, kita harus ke klinik,
Vanilla baru saja mendapat kabar dari Asih bahwa kini Kenari dilarikan ke Rumah Sakit karena mengalami pendarahan di area kepalanya yang terluka.Malam itu, Vanilla baru saja dimarahi Wildan karena aksinya yang mengunci pintu tadi.Alhasil, kini kunci pintu kamar di pegang Wildan dan kamar itu di kunci oleh Wildan dari luar.Vanilla tidak bisa berkutik.Dia kebingungan di dalam kamar karena tak bisa keluar."Wildan! Buka pintunya!" Teriak Vanilla seraya menggedor-gedor pintu. Sayangnya hal itu percuma dia lakukan, hanya menghabiskan energi karena Wildan pasti tidak akan perduli."Dasar suami brengsek! Nggak punya akhlak! Nggak punya hati! Awas kamu ya! Ihk!" Lagi, Vanilla hanya bisa mencaci maki Wildan hingga melampiaskan amarahnya pada pintu dengan menendangnya.Meski setelah itu jari kakinya yang malah kesakitan.Vanilla kembali berpikir, dia harus keluar untuk segera pergi ke rumah sakit, pokoknya Vanilla tidak akan memaafkan Wildan kalau sampai terjadi apa-apa dengan ibunya.Modal
"Mahessa mau ajak Wildan untuk bertukar pasangan malam ini dan dia bilang kalau kamu sudah menyetujuinya, benar begitu Nil?" tanya Vanessa yang langsung mengkonfirmasi ucapan Mahessa padanya tadi pagi setelah dia mendapat kesempatan untuk berbincang secara empat mata dengan Vanilla.Saat itu, sepasang wanita kembar tersebut sedang berada di salah satu area permainan ski di St.Moritz.Vanilla yang sedang menyesap cokelat panasnya seketika terbatuk mendengar ucapan Vanessa.Buru-buru dia meraih tissue untuk mengelap sudut bibirnya yang terkena coklat."Aku nggak salah dengerkan? Bertukar pasangan?" ucap Vanilla yang malah tertawa seolah apa yang diucapkan Vanessa hanyalah lelucon."Iya," jawab Vanessa mengangguk cepat.Lagi, Vanilla malah tertawa. "Kamu kenapa sih Nes? Dari kemarin kok ngomongnya ngaco terus?"Seketika kerutan di kening Vanessa menjelas. "Ngaco bagaimana?" tanyanya bingung. Tak habis pikir dengan sikap santai Vanilla yang kelihatan begitu tenang. Padahal jelas-jelas, Van
"Aku benci ibuku! Aku benci perempuan seperti dia! Karena dia Ayah dipenjara dan tidak lagi menyayangiku! Aku benci ibuku, Vi!" ucap seorang bocah lelaki pada seorang bocah perempuan di teras sebuah tempat ibadah di lapas tahanan khusus pria.Bocah lelaki itu menangis meski tanpa isakan, hingga sebuah tangan mungil terjulur membelai pipinya untuk mengusap air mata yang menetes."Nasib kita sama ya Yas? Aku juga benci sama Ibuku. Karena dia lebih menyayangi saudaraku daripada aku!" ujar si bocah perempuan yang dipanggil Vi tadi.Sang bocah lelaki yang bernama Yasa itu mendongak menatap polos ke arah Vi."Apa mungkin, Tuhan mempertemukan kita karena kita memang berjodoh?" tanya Yasa saat itu.Vi tertawa kecil dengan wajah tersipu dan menjadi terkejut saat tiba-tiba Yasa mengaitkan jari kelingking mereka."Kamu maukan janji sama aku, Vi?" tanya Yasa saat itu."Janji apa?""Kalau kamu sudah besar nanti, jaga dirimu baik-baik ya. Jangan menjadi perempuan seperti ibuku, nanti aku akan membe
Hari sudah hampir tengah malam, tapi Mahessa belum juga pulang.Entah kenapa, kekhawatiran menggelayuti benak Vanessa saat itu, bahkan saat dia menanyakan keberadaan Mahessa pada supir pribadi lelaki itu, tapi Pieter mengatakan bahwa sejak sore tadi, majikannya itu sama sekali tidak menghubunginya untuk meminta dijemput, jadi, dia tidak tahu menahu di mana Mahessa berada saat ini."Kamu belum tidur, Nessa?" sapa Wildan yang kebetulan berpapasan dengan Vanessa di tangga.Saat itu, Wildan hendak ke dapur untuk membuatkan Vanilla susu.Vanessa tersenyum tipis seraya menggeleng. "Aku tidak bisa tidur," jawabnya pelan."Loh, kenapa? Bukannya tadi kamu bilang hari ini sangat melelahkan? Apa kamu sakit?" tanya Wildan lagi.Belum sempat Vanessa menjawab, Pieter datang tergesa dari arah luar memasuki rumah besar itu.Langkah lelaki berkumis tipis itu berhenti tepat di bawah tangga."Nona Vanessa, saya baru saja mendapat telepon dari pemilik salah satu Club malam di Zurich, katanya, Tuan Mahess
Seharian ini, kedua pasang pengantin baru itu puas berkeliling kota Zurich.Di pagi hari, mereka menaiki kapal mengelilingi Danau Zurich, lalu berkunjung ke sisi utara danau sambil melihat sejumlah perumahan dan villa menarik.Vanilla tak hentinya berdecak kagum saat menikmati indahnya suasana sekitar dengan pancaran sinar matahari di tengah hawa sejuk sekeliling danau.Siang harinya, usai makan siang bersama di sebuah restoran ternama di Zurich, mereka berkunjung ke Rapperswill, yang dikenal sebagai kota bunga mawar.Rapperswill terletak di ujung timur Danau Zurich. Sebutan tersebut disematkan lantaran kebun-kebun publik di sana memiliki lebih dari lima belas ribu bunga mawar.Dari jumlah tersebut, sebanyak enam ratus jenis bunga mawar dapat mereka temui di sepanjang jalan kota tua abad pertengahan tersebut.Terakhir, Vanilla mengajak Wildan, untuk menaiki Tuk tuk.Tuk tuk merupakan transportasi sejenis bajaj yang kerap terlihat di Thailand.Selama berada di Zurich, para wisatawan as
Wildan terbangun saat sorot matahari sudah terang benderang.Angin sepoi-sepoi masuk melalui jendela yang terbuka dan mengayun-ayun tirai putih tipis yang menghalanginya.Suara gemericik air dari aliran sungai Geneva terdengar samar.Menatap ke sekeliling, kening lelaki berpiyama abu-abu itu seketika mengernyit.Kenapa aku ada di sini?Pikir Wildan membatin saat menyadari keberadaannya di dalam kamar pribadinya bersama Vanilla.Wildan meremas kepalanya sekilas, mencoba mengais kembali ingatan tadi malam.Sialnya, Wildan tak mengingat apapun kecuali dirinya yang mendengar suara Mahessa berbicara untuk pertama kalinya dengan Vanilla di kebun belakang itu."Sebenarnya, sejak awal aku sudah tahu bahwa Vi yang asli adalah Vanessa, bukan kamu."Ya, hanya sederet kalimat itulah yang berhasil Wildan ingat, karena setelahnya, yang dia ketahui, dia merasa seperti ada seseorang yang membekapnya dari arah belakang hingga membuatnya tak sadarkan diri.Apa mungkin dia berhalusinasi?Tapi rasanya ti
Malam itu, akhirnya Vanilla menemui Mahessa setelah berembuk cukup lama bersama sang suami.Meski awalnya Wildan melarang keras sang istri untuk pergi, namun, setelah Vanilla memberikan pengertian pada sang suami dan meyakinkan Wildan bahwa semua akan baik-baik saja, akhirnya Wildan pun pasrah dan membiarkan sang istri pergi, dengan catatan, Vanilla harus merekam seluruh percakapannya dengan Mahessa di kebun belakang agar Wildan tahu apa yang Mahessa ingin bicarakan dengan istrinya malam ini.Rasa kantuk yang awalnya dirasakan Wildan menguap begitu saja begitu Vanilla sudah keluar dari kamar.Lelaki itu menggeram tertahan sambil menepuk sisi tempat tidur lalu meremas kepala frustasi.Menatap kembali daun pintu kamar, Wildan yang tak mau ambil resiko jika Mahessa akan berbuat hal yang tidak-tidak terhadap Vanilla pun akhirnya memutuskan untuk menguntit kepergian Vanilla dan menguping langsung pembicaraan sang Kakak Ipar dan istrinya itu.Saat itu, Wildan menangkap sosok Mahessa dan Van
Setelah seharian ini puas menikmati suasana di dalam mansion mewah milik Mahessa, Vanilla dan Wildan yang baru saja selesai menyantap makan malam bersama dengan Mahessa dan juga Vanessa tampak memasuki kamar pribadi yang disiapkan khusus untuk mereka beristirahat.Sadar ada yang berbeda dari sikap sang suami, begitu dirinya dan Wildan sudah merebahkan diri bersama di tempat tidur, Vanilla pun merangsek memepet tubuh sang suami untuk memeluknya."Wil?" panggil Vanilla ketika Wildan baru saja mematikan lampu nakas."Hm?""Kamu kenapa? Kok seharian ini banyakan diemnya sih? Biasanya juga bawel," tanya Vanilla sambil mengerucutkan bibir.Helaan berat napas Wildan membuktikan bahwa lelaki itu memang sedang dilanda sesuatu yang membebani pikirannya dan hal tersebut jelas membuat Vanilla jadi khawatir."Apa, ini ada sangkut pautnya sama Mahessa?" tanya Vanilla lagi karena Wildan tak juga angkat bicara."Boleh aku tanya sesuatu sama kamu?" ucap Wildan kemudian.Vanilla sedikit mendongak menat
Keesokan harinya, setelah sarapan pagi lalu check out dari hotel tempat mereka singgah, sebuah Limousine mewah sudah menunggu kedatangan dua pasang pengantin baru itu di depan lobi hotel.Tak perlu ditanya lagi siapa pemilik mobil super mewah itu, karena Wildan dan yang lain sudah bisa menebak bahwa Mahessa lah orangnya.Ya, siapa lagi?Toh setelah ini pun mereka akan pergi ke mansion mewah milik Mahessa yang berada tepat di tepi Danau Geneva.Memasuki kendaraan mewah itu, manik hitam Vanilla seolah tak mampu berkedip, saking terkesima dengan apa yang dia lihat di bagian dalam mobil tersebut."Bagus banget mobilnya, Wil!" seru Vanilla berbisik di telinga sang suami. Namun, akibat keheningan di dalam mobil, jadilah bisikan tersebut mampu tertangkap oleh yang lain. Dan hal tersebut sukses membuat Wildan merasa malu."Kamu kan udah sering naik mobil bagus di Jakarta, jangan norak deh!" balas Wildan yang juga jadi berbisik sambil sesekali melempar senyum ke arah Mahessa dan Vanessa di had
"Kamu tau Nessa? Apa alasan utamaku mengajakmu dan Vanilla ke Switzerland?" ucap Mahessa kemudian.Vanessa tak menjawab karena masih terlalu sesak dengan tangisannya."Karena aku ingin menyelamatkan kalian dari Aro!" lanjut Mahessa lagi, memberitahu.Vanessa menyeka air matanya, menatap Mahessa bingung. "Apa maksudmu?" tanyanya tak mengerti.Mahessa menghela napas berat seraya menyandarkan kepalanya ke sofa. Memejamkan mata seolah dirinya hendak melepas penat.Hal itu dia lakukan dalam beberapa menit sebelum akhirnya sepasang mata hitam itu kembali terbuka dan menatap ke arah Vanessa yang masih menunggu jawaban atas pertanyaannya."Saat ini, Aro dan komplotannya sedang berada di Indonesia--""APA?" pekik Vanessa dengan wajah yang teramat sangat terkejut. Bahkan belum sempat Mahessa menyelesaikan ucapannya, Vanessa sudah lebih dulu memotongnya.Menatap lekat sosok Vanessa, sebuah senyum miring terbit di wajah Mahessa. "Apa kamu takut?" tanya lelaki itu kemudian.Perasaan was-was kian m