Vanilla baru saja mendapat kabar dari Asih bahwa kini Kenari dilarikan ke Rumah Sakit karena mengalami pendarahan di area kepalanya yang terluka.Malam itu, Vanilla baru saja dimarahi Wildan karena aksinya yang mengunci pintu tadi.Alhasil, kini kunci pintu kamar di pegang Wildan dan kamar itu di kunci oleh Wildan dari luar.Vanilla tidak bisa berkutik.Dia kebingungan di dalam kamar karena tak bisa keluar."Wildan! Buka pintunya!" Teriak Vanilla seraya menggedor-gedor pintu. Sayangnya hal itu percuma dia lakukan, hanya menghabiskan energi karena Wildan pasti tidak akan perduli."Dasar suami brengsek! Nggak punya akhlak! Nggak punya hati! Awas kamu ya! Ihk!" Lagi, Vanilla hanya bisa mencaci maki Wildan hingga melampiaskan amarahnya pada pintu dengan menendangnya.Meski setelah itu jari kakinya yang malah kesakitan.Vanilla kembali berpikir, dia harus keluar untuk segera pergi ke rumah sakit, pokoknya Vanilla tidak akan memaafkan Wildan kalau sampai terjadi apa-apa dengan ibunya.Modal
"Kamu baik-baik saja Nessa?" Tanya Argan ketika Vanilla keluar dari ruangan rawat sang Ibu. Saat itu Argan tidak ikut masuk karena Vanilla yang melarangnya."Aku nggak apa-apa. Sekarang, aku harus pulang. Wildan pasti mencariku," kata Vanilla seraya menyeka air matanya.Seharian ini dia berada di rumah sakit dan Argan dengan sabar menemaninya. Bahkan saat Vanilla meminta Argan untuk pulang saja, lelaki itu tidak mau. Katanya, dia mengkhawatirkan keadaan Vanilla yang dia pikir adalah Vanessa.Meski sebenarnya, Argan sudah mulai menaruh curiga. Hanya saja, melihat kesedihan di wajah Vanilla, Argan tidak mau terlalu banyak bertanya soal apapun, mungkin untuk saat ini."Apa kamu nggak berniat untuk melaporkan kasus pembegalan yang kamu alami semalam ke kantor polisi?" Tanyanya lagi.Vanilla menggeleng. "Nggak perlu. Biarkan saja. Aku nggak mau Wildan tau tentang hal itu. Aku pulang sekarang ya,""Aku antar kamu pulang ya?"Vanilla kembali menggeleng. Bisa bahaya jika sampai Argan menganta
"Jadi, kamu bukan Vanessa?" Tanya Wildan saat kini dirinya sudah duduk berhadapan dengan Vanilla di ruang keluarga.Ditemani Raga, Wildan hendak menginterogasi Vanilla.Vanilla mengangguk masih dengan kepalanya yang menunduk."Siapa namamu dan apa hubunganmu dengan Vanessa?" Tanya Wildan "Namaku Vanilla...""Jawab lebih keras!" Potong Wildan setengah membentak membuat Vanilla tersentak kaget."Vanilla Larasati, aku saudara kembar Vanessa," jawab Vanilla lantang."Vanilla Larasati? Bukankah sebelumnya kamu itu dikabarkan sudah meninggal?" Tanya Wildan kemudian."Aku berhasil diselamatkan oleh seorang polisi yang selama ini bertugas di lapas. Dia mencintai Ibuku dan dia juga yang telah menyelamatkan Ibuku dari insiden kebakaran itu," jawab Vanilla cepat, tepat dan padat."Oke," Wildan mengangguk-anggukkan kepalanya tanda mengerti. Meski saat itu tatapannya tak lepas dari wajah Innocent Vanilla."Apa alasan yang membuatmu dan Vanessa memutuskan untuk bertukar tempat? Apa karena uang?" T
Hari ini untuk pertama kalinya, Wildan kembali ke kantor setelah dia melewati masa liburan panjang bulan madunya dengan Vanessa.Seperti biasa, Edwin sudah siap menjemput Wildan untuk kemudian mengantar sang Atasan menuju kantor dengan mobil pribadi Wildan, sementara Raga masih terus memperhatikan dan mengawasi keselamatan Wildan dari kejauhan.Bahkan di kantor, Raga sudah menyebar beberapa anak buahnya yang menyamar sebagai Cleaning service dan karyawan untuk menjaga Wildan.Saat itu, Edwin mengantar Wildan ke ruangan yang biasa di huni oleh Wildan.Di dalam ruangan itu jelas-jelas Wildan melihat keberadaan Haris dan Argan di sana. Argan yang sedang duduk berleha di atas kursi kebesaran Wildan, sementara Haris sedang duduk di sofa mengutak atik laptop."Apa Om Haris sudah datang?" Tanya Wildan saat itu pada Edwin.Edwin yang memang bersekongkol dengan Haris langsung menoleh ke arah Haris sementara Argan langsung menyingkir dari kursi Direktur utama saat Wildan hendak duduk."Hari ini
Seharian ini Argan terus mendekati Vanilla, membuat Vanilla kesal.Bahkan saat Vanilla hendak pulang, berani-beraninya Argan mengikuti Vanilla masuk ke dalam toilet umum di kantor.Vanilla yang terkejut bukan main hendak berteriak, tapi Argan sudah lebih dulu membungkam mulutnya dengan tangan."Diam Nessa, jangan sampai Wildan mendengar," bisik Argan yang kembali mendorong Vanilla masuk ke dalam salah satu bilik toilet. Lelaki itu mengunci tubuh Vanilla dengan cukup kuat. Membuat Vanilla tidak bisa berkutik."Kamu mau apa?" Bisik Vanilla dengan perasaan cemas luar biasa. Dari sikapnya yang semakin lama semakin berani, Vanilla bisa menebak tipikal seperti apa lelaki bernama Argan ini sebenarnya dan sejauh apa hubungan yang telah dilakukan Argan dengan Vanessa sebelumnya.Mereka pasti sudah sering tidur bersama dan sudah pasti lelaki ini berselingkuh hingga membuat Vanessa benci padanya.Terka Vanilla dengan segala asumsinya tentang laki-laki sejauh ini."Aku merindukanmu, Nessa. Kamu s
"Buka pakaianmu di kamar mandi jangan di hadapanku!" Teriak Wildan dengan perasaan jengah luar biasa.Kelakuan Vanilla benar-benar membuatnya jadi salah tingkah.Wildan ingin marah tapi saat Vanilla terus membuka satu persatu pakaian di hadapannya, fokus lelaki itu jelas terpecah.Tubuh indah Vanilla yang terpampang begitu jelas dan begitu dekat membuat Wildan gagal fokus hingga tanpa sadar dia malah berkata sesuatu yang seharusnya tidak dia ucapkan di hadapan Vanilla.Yakni menyuruh perempuan itu melanjutkan aktifitasnya membuka pakaian di dalam kamar mandi.Wildan tahu Vanilla sempat tertegun, sepertinya kaget hingga setelahnya, perempuan itu meraih handuk di lemari untuk menutupi tubuhnya.Sialnya, bukannya masuk ke kamar mandi, Vanilla malah berjalan menghampiri Wildan yang masih duduk di tepi ranjang saat itu."Kamu bisa lihat aku buka pakaian?" Tanya Vanilla sambil bertolak pinggang. Tubuh gadis itu membungkuk dengan tatapannya yang memicing dan wajah yang begitu dekat dengan wa
"Wildan, sepertinya kamu melupakan tongkatmu sewaktu berlari tadi? Kenapa kamu muntah? Kupikir aroma masakanku sangat enak," ujar Vanilla tanpa rasa dosa.Sebuah gerakan secepat kilat dari Wildan membuat Vanilla tak bisa menghindar.Lelaki itu berbalik dan merapatkan tubuh Vanilla di dinding, menguncinya. Kedua tangan Vanilla ditahannya kuat menempel di sisi kepala gadis itu."Heh, kamu mau ngapain?" Jerit Vanilla saat wajah Wildan yang terlihat mengerikan itu berada begitu dekat dengan wajahnya. Bahkan hembusan napas lelaki itu terasa menerpa kulit wajahnya."Apa maksud kamu menaruh belatung-belatung itu di atas makananku? Kamu mau meracuniku hah? Iya? Apa ini salah satu rencanamu dengan Argan? JAWAB!" Tegas Wildan dengan gertakan rahangnya yang mengeras. Wildan semakin menekan tubuh Vanilla ke dinding membuat Vanilla kesakitan dan sesak napas."Lepas!" Ucap Vanilla berontak dan berusaha melepaskan diri, tapi sialnya tenaga Wildan saat itu benar-benar kuat. "Aku cuma mau membuktikan
"Ini!"Vanilla memberikan sederetan persyaratan yang baru saja dia tulis di atas sebuah kertas HVS.Sederetan persyaratan yang harus Wildan penuhi jika lelaki itu tidak mau Vanilla memutuskan untuk kembali bertukar tempat dengan Vanessa."Aku pastikan sekali lagi, bahwa aku sama sekali nggak ada sangkut pautnya dengan rencana busuk Om Haris dan Argan untuk menghancurkanmu. Hubunganku hanya sebatas dengan Vanessa saja. Dan mengenai masalah apakah Vanessa terlibat dengan rencana yang Om Haris dan Argan susun, aku sendiri nggak tahu menahu dan sama sekali nggak berniat untuk mengetahuinya karena hal itu nggak penting! Jadi, jika kamu mau melaporkan aku ke polisi karena tuduhan penipuan, itu artinya mau nggak mau kamu harus menerima Vanessa kembali, apa itu yang kamu mau Tuan Wildan yang terhormat?" Tanya Vanilla dengan rasa percaya dirinya yang teramat sangat. Vanilla tahu bahwa dirinya kini mulai bisa menguasai keadaan. Terlebih saat Wildan yang terus memohon padanya untuk tidak menghub
"Mahessa mau ajak Wildan untuk bertukar pasangan malam ini dan dia bilang kalau kamu sudah menyetujuinya, benar begitu Nil?" tanya Vanessa yang langsung mengkonfirmasi ucapan Mahessa padanya tadi pagi setelah dia mendapat kesempatan untuk berbincang secara empat mata dengan Vanilla.Saat itu, sepasang wanita kembar tersebut sedang berada di salah satu area permainan ski di St.Moritz.Vanilla yang sedang menyesap cokelat panasnya seketika terbatuk mendengar ucapan Vanessa.Buru-buru dia meraih tissue untuk mengelap sudut bibirnya yang terkena coklat."Aku nggak salah dengerkan? Bertukar pasangan?" ucap Vanilla yang malah tertawa seolah apa yang diucapkan Vanessa hanyalah lelucon."Iya," jawab Vanessa mengangguk cepat.Lagi, Vanilla malah tertawa. "Kamu kenapa sih Nes? Dari kemarin kok ngomongnya ngaco terus?"Seketika kerutan di kening Vanessa menjelas. "Ngaco bagaimana?" tanyanya bingung. Tak habis pikir dengan sikap santai Vanilla yang kelihatan begitu tenang. Padahal jelas-jelas, Van
"Aku benci ibuku! Aku benci perempuan seperti dia! Karena dia Ayah dipenjara dan tidak lagi menyayangiku! Aku benci ibuku, Vi!" ucap seorang bocah lelaki pada seorang bocah perempuan di teras sebuah tempat ibadah di lapas tahanan khusus pria.Bocah lelaki itu menangis meski tanpa isakan, hingga sebuah tangan mungil terjulur membelai pipinya untuk mengusap air mata yang menetes."Nasib kita sama ya Yas? Aku juga benci sama Ibuku. Karena dia lebih menyayangi saudaraku daripada aku!" ujar si bocah perempuan yang dipanggil Vi tadi.Sang bocah lelaki yang bernama Yasa itu mendongak menatap polos ke arah Vi."Apa mungkin, Tuhan mempertemukan kita karena kita memang berjodoh?" tanya Yasa saat itu.Vi tertawa kecil dengan wajah tersipu dan menjadi terkejut saat tiba-tiba Yasa mengaitkan jari kelingking mereka."Kamu maukan janji sama aku, Vi?" tanya Yasa saat itu."Janji apa?""Kalau kamu sudah besar nanti, jaga dirimu baik-baik ya. Jangan menjadi perempuan seperti ibuku, nanti aku akan membe
Hari sudah hampir tengah malam, tapi Mahessa belum juga pulang.Entah kenapa, kekhawatiran menggelayuti benak Vanessa saat itu, bahkan saat dia menanyakan keberadaan Mahessa pada supir pribadi lelaki itu, tapi Pieter mengatakan bahwa sejak sore tadi, majikannya itu sama sekali tidak menghubunginya untuk meminta dijemput, jadi, dia tidak tahu menahu di mana Mahessa berada saat ini."Kamu belum tidur, Nessa?" sapa Wildan yang kebetulan berpapasan dengan Vanessa di tangga.Saat itu, Wildan hendak ke dapur untuk membuatkan Vanilla susu.Vanessa tersenyum tipis seraya menggeleng. "Aku tidak bisa tidur," jawabnya pelan."Loh, kenapa? Bukannya tadi kamu bilang hari ini sangat melelahkan? Apa kamu sakit?" tanya Wildan lagi.Belum sempat Vanessa menjawab, Pieter datang tergesa dari arah luar memasuki rumah besar itu.Langkah lelaki berkumis tipis itu berhenti tepat di bawah tangga."Nona Vanessa, saya baru saja mendapat telepon dari pemilik salah satu Club malam di Zurich, katanya, Tuan Mahess
Seharian ini, kedua pasang pengantin baru itu puas berkeliling kota Zurich.Di pagi hari, mereka menaiki kapal mengelilingi Danau Zurich, lalu berkunjung ke sisi utara danau sambil melihat sejumlah perumahan dan villa menarik.Vanilla tak hentinya berdecak kagum saat menikmati indahnya suasana sekitar dengan pancaran sinar matahari di tengah hawa sejuk sekeliling danau.Siang harinya, usai makan siang bersama di sebuah restoran ternama di Zurich, mereka berkunjung ke Rapperswill, yang dikenal sebagai kota bunga mawar.Rapperswill terletak di ujung timur Danau Zurich. Sebutan tersebut disematkan lantaran kebun-kebun publik di sana memiliki lebih dari lima belas ribu bunga mawar.Dari jumlah tersebut, sebanyak enam ratus jenis bunga mawar dapat mereka temui di sepanjang jalan kota tua abad pertengahan tersebut.Terakhir, Vanilla mengajak Wildan, untuk menaiki Tuk tuk.Tuk tuk merupakan transportasi sejenis bajaj yang kerap terlihat di Thailand.Selama berada di Zurich, para wisatawan as
Wildan terbangun saat sorot matahari sudah terang benderang.Angin sepoi-sepoi masuk melalui jendela yang terbuka dan mengayun-ayun tirai putih tipis yang menghalanginya.Suara gemericik air dari aliran sungai Geneva terdengar samar.Menatap ke sekeliling, kening lelaki berpiyama abu-abu itu seketika mengernyit.Kenapa aku ada di sini?Pikir Wildan membatin saat menyadari keberadaannya di dalam kamar pribadinya bersama Vanilla.Wildan meremas kepalanya sekilas, mencoba mengais kembali ingatan tadi malam.Sialnya, Wildan tak mengingat apapun kecuali dirinya yang mendengar suara Mahessa berbicara untuk pertama kalinya dengan Vanilla di kebun belakang itu."Sebenarnya, sejak awal aku sudah tahu bahwa Vi yang asli adalah Vanessa, bukan kamu."Ya, hanya sederet kalimat itulah yang berhasil Wildan ingat, karena setelahnya, yang dia ketahui, dia merasa seperti ada seseorang yang membekapnya dari arah belakang hingga membuatnya tak sadarkan diri.Apa mungkin dia berhalusinasi?Tapi rasanya ti
Malam itu, akhirnya Vanilla menemui Mahessa setelah berembuk cukup lama bersama sang suami.Meski awalnya Wildan melarang keras sang istri untuk pergi, namun, setelah Vanilla memberikan pengertian pada sang suami dan meyakinkan Wildan bahwa semua akan baik-baik saja, akhirnya Wildan pun pasrah dan membiarkan sang istri pergi, dengan catatan, Vanilla harus merekam seluruh percakapannya dengan Mahessa di kebun belakang agar Wildan tahu apa yang Mahessa ingin bicarakan dengan istrinya malam ini.Rasa kantuk yang awalnya dirasakan Wildan menguap begitu saja begitu Vanilla sudah keluar dari kamar.Lelaki itu menggeram tertahan sambil menepuk sisi tempat tidur lalu meremas kepala frustasi.Menatap kembali daun pintu kamar, Wildan yang tak mau ambil resiko jika Mahessa akan berbuat hal yang tidak-tidak terhadap Vanilla pun akhirnya memutuskan untuk menguntit kepergian Vanilla dan menguping langsung pembicaraan sang Kakak Ipar dan istrinya itu.Saat itu, Wildan menangkap sosok Mahessa dan Van
Setelah seharian ini puas menikmati suasana di dalam mansion mewah milik Mahessa, Vanilla dan Wildan yang baru saja selesai menyantap makan malam bersama dengan Mahessa dan juga Vanessa tampak memasuki kamar pribadi yang disiapkan khusus untuk mereka beristirahat.Sadar ada yang berbeda dari sikap sang suami, begitu dirinya dan Wildan sudah merebahkan diri bersama di tempat tidur, Vanilla pun merangsek memepet tubuh sang suami untuk memeluknya."Wil?" panggil Vanilla ketika Wildan baru saja mematikan lampu nakas."Hm?""Kamu kenapa? Kok seharian ini banyakan diemnya sih? Biasanya juga bawel," tanya Vanilla sambil mengerucutkan bibir.Helaan berat napas Wildan membuktikan bahwa lelaki itu memang sedang dilanda sesuatu yang membebani pikirannya dan hal tersebut jelas membuat Vanilla jadi khawatir."Apa, ini ada sangkut pautnya sama Mahessa?" tanya Vanilla lagi karena Wildan tak juga angkat bicara."Boleh aku tanya sesuatu sama kamu?" ucap Wildan kemudian.Vanilla sedikit mendongak menat
Keesokan harinya, setelah sarapan pagi lalu check out dari hotel tempat mereka singgah, sebuah Limousine mewah sudah menunggu kedatangan dua pasang pengantin baru itu di depan lobi hotel.Tak perlu ditanya lagi siapa pemilik mobil super mewah itu, karena Wildan dan yang lain sudah bisa menebak bahwa Mahessa lah orangnya.Ya, siapa lagi?Toh setelah ini pun mereka akan pergi ke mansion mewah milik Mahessa yang berada tepat di tepi Danau Geneva.Memasuki kendaraan mewah itu, manik hitam Vanilla seolah tak mampu berkedip, saking terkesima dengan apa yang dia lihat di bagian dalam mobil tersebut."Bagus banget mobilnya, Wil!" seru Vanilla berbisik di telinga sang suami. Namun, akibat keheningan di dalam mobil, jadilah bisikan tersebut mampu tertangkap oleh yang lain. Dan hal tersebut sukses membuat Wildan merasa malu."Kamu kan udah sering naik mobil bagus di Jakarta, jangan norak deh!" balas Wildan yang juga jadi berbisik sambil sesekali melempar senyum ke arah Mahessa dan Vanessa di had
"Kamu tau Nessa? Apa alasan utamaku mengajakmu dan Vanilla ke Switzerland?" ucap Mahessa kemudian.Vanessa tak menjawab karena masih terlalu sesak dengan tangisannya."Karena aku ingin menyelamatkan kalian dari Aro!" lanjut Mahessa lagi, memberitahu.Vanessa menyeka air matanya, menatap Mahessa bingung. "Apa maksudmu?" tanyanya tak mengerti.Mahessa menghela napas berat seraya menyandarkan kepalanya ke sofa. Memejamkan mata seolah dirinya hendak melepas penat.Hal itu dia lakukan dalam beberapa menit sebelum akhirnya sepasang mata hitam itu kembali terbuka dan menatap ke arah Vanessa yang masih menunggu jawaban atas pertanyaannya."Saat ini, Aro dan komplotannya sedang berada di Indonesia--""APA?" pekik Vanessa dengan wajah yang teramat sangat terkejut. Bahkan belum sempat Mahessa menyelesaikan ucapannya, Vanessa sudah lebih dulu memotongnya.Menatap lekat sosok Vanessa, sebuah senyum miring terbit di wajah Mahessa. "Apa kamu takut?" tanya lelaki itu kemudian.Perasaan was-was kian m