"Jika kamu memang benar-benar menyayangi Ibu, hancurkan rumah tangga Malik dan Isna, melalui Wildan. Bukankah, Wildan itu adalah mantan kekasih Isna?"Vanilla tertegun dengan tatapannya yang tak lepas dari Kenari."Ibu? Vanilla mencintai Wil...""Cukup Vanilla!" Hardik Kenari memotong kalimat sang putri. Tatapannya nyalang dan berapi-api. "Apa kamu masih berpikir bahwa Wildan itu benar-benar mencintai kamu?" Tanya Kenari yang saat ini sudah berdiri di sisi brankar yang ditempati Vanilla."Apa kamu tidak pernah berpikir jika Wildan hanya berpura-pura mendekati kamu karena dia memang ingin kembali dekat dengan Isna? Dan mengenai Malik... Ibu yakin, tak ada satu pun perempuan di dunia ini yang memiliki rasa cinta untuk Malik, sedemikian besar layaknya perasaan yang Ibu miliki untuknya. Bahkan Ibu yakin, cinta Isna sendiri tidak akan bisa menandingi cinta Ibu untuk Papamu," kali ini Kenari mulai menangis."Jika suatu hari nanti, Wildan dan Isna berkhianat di belakangmu dan Papamu, maka Ib
"Apa yang sebenarnya terjadi dengan Papa?" Tanya Vanessa ketika kini dirinya sudah berada berhadapan dengan Aji di lapas.Sepulang dirinya dari rumah sakit tempat Vanilla dirawat, Vanessa langsung menuju lapas untuk bertemu sang Papa angkat yang selama ini mengurus dan membesarkannya.Kelopak mata Vanessa sudah penuh oleh air mata ketika dilihatnya keadaan Aji yang cukup mengenaskan di dalam penjara.Sebagai seorang anak, meski dirinya bukan anak kandung Aji, tapi kebaikan Aji sejauh ini terhadap dirinya cukup membekas di hati Vanessa dan mendapati kondisi Aji sekarang, hati Vanessa benar-benar sedih.Terlebih, dia kecewa."Justru harusnya Papa yang tanya ke kamu, kenapa kamu memutuskan untuk pergi dari Indonesia tanpa memberitahu Papa dulu?" Balas Aji dengan amarah yang tercetak jelas di wajahnya.Keduanya kini duduk berhadapan di atas kursi besi di dalam ruang jenguk tahanan."Vanessa pergi ke Paris untuk cari uang Pa, untuk Papa juga," balas Vanessa saat itu. Air matanya tak sanggu
Baik Malik mau pun Wildan, keduanya tak mau lagi menunggu untuk melangsungkan pernikahan Wildan dan Vanilla setelah Vanilla telah dinyatakan sembuh total dari luka tembaknya.Sejak Vanilla keluar dari rumah sakit, Malik sempat mengajak sang anak untuk tinggal bersama di kediamannya, tapi saat itu Kenari justru menolak, membuat Vanilla benar-benar bingung dan tak habis pikir dengan apa yang sebenarnya diinginkan oleh Kenari.Kadang, Vanilla melihat adanya kebahagiaan dalam binar sendu mata indah sang Ibu ketika memandang kebahagiaan Malik bersama sang Istri yang kini tengah mengandung. Namun tatapan yang lebih sering di tangkap Vanilla setelahnya, adalah tatapan menusuk, penuh kebencian.Kadang, terbersit sekelebat pikiran untuk membawa sang Ibu pada seorang psikiater, tapi Vanilla tak ingin menyinggung perasaan Kenari jika dia sampai melakukan hal itu.Hingga akhirnya, tibalah hari itu.Hari di mana kini Vanilla akan kembali bersanding dengan Wildan di pelaminan.Bedanya, jika sebelum
Acara resepsi baru saja selesai.Kediaman Wildan sudah sepi.Tersisa beberapa pekerja yang tampak membersihkan rumah mewah itu.Sepasang pengantin sudah masuk ke dalam kamar pengantin mereka."Kamu mau mandi duluan?" Tanya Vanilla saat itu, ketika para penata rias baru saja keluar selepas membantu Vanilla membuka riasan pengantin yang dikenakannya."Terserah," jawab Wildan seraya melepas jas dan juga kemejanya.Lelaki itu menatap Vanilla yang masih sibuk membersihkan make up di depan meja rias.Setelah melepas sepatu, Wildan mendekati sang istri dan mendaratkan sebuah kecupan manis di kening Vanilla. Kedua bahu Vanilla dijadikan tumpuan telapak tangannya. Lelaki itu menatap wajah Vanilla dari balik cermin."Apa kamu bahagia Vanilla?" Tanya Wildan saat itu.Vanilla menangkap jemari Wildan di bahunya dan mengelusnya pelan. "Memang kamu liatnya gimana?" Tanya Vanilla balik.Wildan mengedikkan bahu. Dia menarik tangan Vanilla untuk bangkit dari kursi dan mengajaknya duduk di tepi ranjang
"Aku masih di rumah Bosku sayang, rencananya nanti aku akan dapat cuti kalau Bosku sudah berangkat bulan madu ke Swiss. Aku janji akan meluangkan waktu untukmu, sabar ya..." Ucapan Raga di telepon terputus saat dilihatnya Wildan datang menghampirinya di depan teras kediaman Wildan."Udah dulu ya sayang, nanti aku telepon lagi," ucap Raga segera menyudahi percakapannya di telepon dengan sang kekasih. Raga menatap bingung Wildan yang saat itu sudah berdiri di sisinya."Loh Bos, kok...""Siapkan mobil Raga, aku ingin keluar," perintah Wildan pada sang asisten.Tanpa banyak bicara, Raga pun bergegas menyiapkan mobil.Sepuluh menit kemudian, Raga dan Wildan sudah berada di dalam mobil. Wildan duduk di jok belakang dengan Raga yang mengendarai mobil.Tatapan Wildan terus tertuju ke arah ruas jalan saat itu, bahkan saking seriusnya lelaki itu melamun, dia sampai tak mendengar jika sejak tadi Raga sudah beberapa kali bertanya tentang kemana lokasi yang hendak dituju Wildan dalam perjalanan me
Malam itu Wildan tidak pulang.Lelaki itu menginap di apartemen Raga dan menghabiskan sepanjang hari di dalam apartemen Raga hingga sore harinya lelaki itu berniat untuk menemui Malik ke Restoran sang Ayah Mertua, namun Malik bilang saat ini dia sedang menjalani syuting di luar kota selama beberapa hari. Itulah sebabnya Wildan akhirnya memutuskan untuk pulang meski dalam hati dia enggan melakukannya.Kepulangan Wildan saat itu disambut oleh tatapan marah Kenari.Kenari yang langsung meluapkan kekesalannya pada Wildan yang sudah membuat Vanilla menunggunya seharian tanpa kabar."Ingat ya Wildan, kamu yang memohon padaku untuk merestui hubunganmu dengan Vanilla, tapi lihat, bahkan belum 24 jam kalian menikah, kamu sudah membuat anakku menangis semalaman? Ada apa sebenarnya? Apa salah Vanilla?" Cecar Kenali memarahi Wildan.Wildan hanya diam dengan menundukkan kepalanya. Dia sedang tidak ingin menjelaskan apapun saat ini. Lagipula jika memang Kenari ingin mengetahui alasan mengapa diriny
"Good Morning..." Ucap Vanilla dengan senyuman lebar.Pagi ini dia memasak sarapan khusus untuk Wildan setelah sebelumnya dia menyiapkan pakaian untuk Wildan kenakan ke kantor."Sarapannya udah siap, Tuan Wildan. Mau sarapan di bawah apa di sini?" Tanya Vanilla bak pelayan yang masih menggunakan apron dengan lap tangan yang tersampir di bahunya. Sejak hari masih gelap, sebelum waktu shubuh tiba, Vanilla sudah bangun karena dia memang berniat ingin membuatkan Wildan sarapan.Meski, pada akhirnya Vanilla tetap meminta bantuan Kenari agar bisa menyajikan sarapan yang enak.Wildan yang saat itu sedang menggunakan dasi jadi menoleh. Lelaki itu tertawa melihat penampilan Vanilla yang kucel."Aku makan di kantor saja, sekretarisku bilang, dia mau membawakan aku bekal untuk sarapan hari ini," ucap Wildan saat itu. Melalui pantulan diri Vanilla di cermin, Wildan mencuri-curi pandang ke arah istrinya itu yang kini berdiri di belakangnya. Sekadar ingin tahu bagaimana reaksi Vanilla saat itu. Apa
"Jadi, Vanilla berpikir kalau Anda masih mencintai Nona Isna? Begitu?" Ucap Raga di kantor setelah Wildan baru saja menceritakan tentang keanehan demi keanehan yang terjadi di rumahnya, lebih tepatnya keanehan sikap Vanilla dan sang Ibu mertua.Wildan mengangguk. Dia masih tidak paham dengan apa yang sebenarnya terjadi dengan Vanilla. Hal apa yang membuat Vanilla bisa sampai berpikir seperti itu? Padahal selama ini, Wildan sama sekali tidak pernah membahas tentang Isna atau pun kisah masa lalunya bersama Isna pada Vanilla?Lagipula, intensitas pertemuan mereka pun sangat jarang dan harusnya Vanilla pun paham bahwa dunia Isna kini sudah berbeda. Isna sudah menjadi istri Malik terlebih wanita itu pun kini sedang mengandung anak kedua mereka. Kenapa Vanilla ini tidak bisa berpikir dewasa?"Selain itu juga, Vanilla bilang dia sedang berusaha mewujudkan permintaan Ibunya, impian Ibunya untuk bisa bersatu dengan Malik, apa maksudnya?" Ucap Wildan lagi."Apa mungkin, Nyonya Kenari itu mengi
"Mahessa mau ajak Wildan untuk bertukar pasangan malam ini dan dia bilang kalau kamu sudah menyetujuinya, benar begitu Nil?" tanya Vanessa yang langsung mengkonfirmasi ucapan Mahessa padanya tadi pagi setelah dia mendapat kesempatan untuk berbincang secara empat mata dengan Vanilla.Saat itu, sepasang wanita kembar tersebut sedang berada di salah satu area permainan ski di St.Moritz.Vanilla yang sedang menyesap cokelat panasnya seketika terbatuk mendengar ucapan Vanessa.Buru-buru dia meraih tissue untuk mengelap sudut bibirnya yang terkena coklat."Aku nggak salah dengerkan? Bertukar pasangan?" ucap Vanilla yang malah tertawa seolah apa yang diucapkan Vanessa hanyalah lelucon."Iya," jawab Vanessa mengangguk cepat.Lagi, Vanilla malah tertawa. "Kamu kenapa sih Nes? Dari kemarin kok ngomongnya ngaco terus?"Seketika kerutan di kening Vanessa menjelas. "Ngaco bagaimana?" tanyanya bingung. Tak habis pikir dengan sikap santai Vanilla yang kelihatan begitu tenang. Padahal jelas-jelas, Van
"Aku benci ibuku! Aku benci perempuan seperti dia! Karena dia Ayah dipenjara dan tidak lagi menyayangiku! Aku benci ibuku, Vi!" ucap seorang bocah lelaki pada seorang bocah perempuan di teras sebuah tempat ibadah di lapas tahanan khusus pria.Bocah lelaki itu menangis meski tanpa isakan, hingga sebuah tangan mungil terjulur membelai pipinya untuk mengusap air mata yang menetes."Nasib kita sama ya Yas? Aku juga benci sama Ibuku. Karena dia lebih menyayangi saudaraku daripada aku!" ujar si bocah perempuan yang dipanggil Vi tadi.Sang bocah lelaki yang bernama Yasa itu mendongak menatap polos ke arah Vi."Apa mungkin, Tuhan mempertemukan kita karena kita memang berjodoh?" tanya Yasa saat itu.Vi tertawa kecil dengan wajah tersipu dan menjadi terkejut saat tiba-tiba Yasa mengaitkan jari kelingking mereka."Kamu maukan janji sama aku, Vi?" tanya Yasa saat itu."Janji apa?""Kalau kamu sudah besar nanti, jaga dirimu baik-baik ya. Jangan menjadi perempuan seperti ibuku, nanti aku akan membe
Hari sudah hampir tengah malam, tapi Mahessa belum juga pulang.Entah kenapa, kekhawatiran menggelayuti benak Vanessa saat itu, bahkan saat dia menanyakan keberadaan Mahessa pada supir pribadi lelaki itu, tapi Pieter mengatakan bahwa sejak sore tadi, majikannya itu sama sekali tidak menghubunginya untuk meminta dijemput, jadi, dia tidak tahu menahu di mana Mahessa berada saat ini."Kamu belum tidur, Nessa?" sapa Wildan yang kebetulan berpapasan dengan Vanessa di tangga.Saat itu, Wildan hendak ke dapur untuk membuatkan Vanilla susu.Vanessa tersenyum tipis seraya menggeleng. "Aku tidak bisa tidur," jawabnya pelan."Loh, kenapa? Bukannya tadi kamu bilang hari ini sangat melelahkan? Apa kamu sakit?" tanya Wildan lagi.Belum sempat Vanessa menjawab, Pieter datang tergesa dari arah luar memasuki rumah besar itu.Langkah lelaki berkumis tipis itu berhenti tepat di bawah tangga."Nona Vanessa, saya baru saja mendapat telepon dari pemilik salah satu Club malam di Zurich, katanya, Tuan Mahess
Seharian ini, kedua pasang pengantin baru itu puas berkeliling kota Zurich.Di pagi hari, mereka menaiki kapal mengelilingi Danau Zurich, lalu berkunjung ke sisi utara danau sambil melihat sejumlah perumahan dan villa menarik.Vanilla tak hentinya berdecak kagum saat menikmati indahnya suasana sekitar dengan pancaran sinar matahari di tengah hawa sejuk sekeliling danau.Siang harinya, usai makan siang bersama di sebuah restoran ternama di Zurich, mereka berkunjung ke Rapperswill, yang dikenal sebagai kota bunga mawar.Rapperswill terletak di ujung timur Danau Zurich. Sebutan tersebut disematkan lantaran kebun-kebun publik di sana memiliki lebih dari lima belas ribu bunga mawar.Dari jumlah tersebut, sebanyak enam ratus jenis bunga mawar dapat mereka temui di sepanjang jalan kota tua abad pertengahan tersebut.Terakhir, Vanilla mengajak Wildan, untuk menaiki Tuk tuk.Tuk tuk merupakan transportasi sejenis bajaj yang kerap terlihat di Thailand.Selama berada di Zurich, para wisatawan as
Wildan terbangun saat sorot matahari sudah terang benderang.Angin sepoi-sepoi masuk melalui jendela yang terbuka dan mengayun-ayun tirai putih tipis yang menghalanginya.Suara gemericik air dari aliran sungai Geneva terdengar samar.Menatap ke sekeliling, kening lelaki berpiyama abu-abu itu seketika mengernyit.Kenapa aku ada di sini?Pikir Wildan membatin saat menyadari keberadaannya di dalam kamar pribadinya bersama Vanilla.Wildan meremas kepalanya sekilas, mencoba mengais kembali ingatan tadi malam.Sialnya, Wildan tak mengingat apapun kecuali dirinya yang mendengar suara Mahessa berbicara untuk pertama kalinya dengan Vanilla di kebun belakang itu."Sebenarnya, sejak awal aku sudah tahu bahwa Vi yang asli adalah Vanessa, bukan kamu."Ya, hanya sederet kalimat itulah yang berhasil Wildan ingat, karena setelahnya, yang dia ketahui, dia merasa seperti ada seseorang yang membekapnya dari arah belakang hingga membuatnya tak sadarkan diri.Apa mungkin dia berhalusinasi?Tapi rasanya ti
Malam itu, akhirnya Vanilla menemui Mahessa setelah berembuk cukup lama bersama sang suami.Meski awalnya Wildan melarang keras sang istri untuk pergi, namun, setelah Vanilla memberikan pengertian pada sang suami dan meyakinkan Wildan bahwa semua akan baik-baik saja, akhirnya Wildan pun pasrah dan membiarkan sang istri pergi, dengan catatan, Vanilla harus merekam seluruh percakapannya dengan Mahessa di kebun belakang agar Wildan tahu apa yang Mahessa ingin bicarakan dengan istrinya malam ini.Rasa kantuk yang awalnya dirasakan Wildan menguap begitu saja begitu Vanilla sudah keluar dari kamar.Lelaki itu menggeram tertahan sambil menepuk sisi tempat tidur lalu meremas kepala frustasi.Menatap kembali daun pintu kamar, Wildan yang tak mau ambil resiko jika Mahessa akan berbuat hal yang tidak-tidak terhadap Vanilla pun akhirnya memutuskan untuk menguntit kepergian Vanilla dan menguping langsung pembicaraan sang Kakak Ipar dan istrinya itu.Saat itu, Wildan menangkap sosok Mahessa dan Van
Setelah seharian ini puas menikmati suasana di dalam mansion mewah milik Mahessa, Vanilla dan Wildan yang baru saja selesai menyantap makan malam bersama dengan Mahessa dan juga Vanessa tampak memasuki kamar pribadi yang disiapkan khusus untuk mereka beristirahat.Sadar ada yang berbeda dari sikap sang suami, begitu dirinya dan Wildan sudah merebahkan diri bersama di tempat tidur, Vanilla pun merangsek memepet tubuh sang suami untuk memeluknya."Wil?" panggil Vanilla ketika Wildan baru saja mematikan lampu nakas."Hm?""Kamu kenapa? Kok seharian ini banyakan diemnya sih? Biasanya juga bawel," tanya Vanilla sambil mengerucutkan bibir.Helaan berat napas Wildan membuktikan bahwa lelaki itu memang sedang dilanda sesuatu yang membebani pikirannya dan hal tersebut jelas membuat Vanilla jadi khawatir."Apa, ini ada sangkut pautnya sama Mahessa?" tanya Vanilla lagi karena Wildan tak juga angkat bicara."Boleh aku tanya sesuatu sama kamu?" ucap Wildan kemudian.Vanilla sedikit mendongak menat
Keesokan harinya, setelah sarapan pagi lalu check out dari hotel tempat mereka singgah, sebuah Limousine mewah sudah menunggu kedatangan dua pasang pengantin baru itu di depan lobi hotel.Tak perlu ditanya lagi siapa pemilik mobil super mewah itu, karena Wildan dan yang lain sudah bisa menebak bahwa Mahessa lah orangnya.Ya, siapa lagi?Toh setelah ini pun mereka akan pergi ke mansion mewah milik Mahessa yang berada tepat di tepi Danau Geneva.Memasuki kendaraan mewah itu, manik hitam Vanilla seolah tak mampu berkedip, saking terkesima dengan apa yang dia lihat di bagian dalam mobil tersebut."Bagus banget mobilnya, Wil!" seru Vanilla berbisik di telinga sang suami. Namun, akibat keheningan di dalam mobil, jadilah bisikan tersebut mampu tertangkap oleh yang lain. Dan hal tersebut sukses membuat Wildan merasa malu."Kamu kan udah sering naik mobil bagus di Jakarta, jangan norak deh!" balas Wildan yang juga jadi berbisik sambil sesekali melempar senyum ke arah Mahessa dan Vanessa di had
"Kamu tau Nessa? Apa alasan utamaku mengajakmu dan Vanilla ke Switzerland?" ucap Mahessa kemudian.Vanessa tak menjawab karena masih terlalu sesak dengan tangisannya."Karena aku ingin menyelamatkan kalian dari Aro!" lanjut Mahessa lagi, memberitahu.Vanessa menyeka air matanya, menatap Mahessa bingung. "Apa maksudmu?" tanyanya tak mengerti.Mahessa menghela napas berat seraya menyandarkan kepalanya ke sofa. Memejamkan mata seolah dirinya hendak melepas penat.Hal itu dia lakukan dalam beberapa menit sebelum akhirnya sepasang mata hitam itu kembali terbuka dan menatap ke arah Vanessa yang masih menunggu jawaban atas pertanyaannya."Saat ini, Aro dan komplotannya sedang berada di Indonesia--""APA?" pekik Vanessa dengan wajah yang teramat sangat terkejut. Bahkan belum sempat Mahessa menyelesaikan ucapannya, Vanessa sudah lebih dulu memotongnya.Menatap lekat sosok Vanessa, sebuah senyum miring terbit di wajah Mahessa. "Apa kamu takut?" tanya lelaki itu kemudian.Perasaan was-was kian m