15Akhirnya, setelah beberapa kali menarik napas panjang, kubuka juga pintu kamar mandi. Wajah merengut Om Pandu langsung menyambut. Dia memindaiku dari ujung rambut hingga ujung kaki. Keningnya berkerut. "Kamu mau ke mana, Al?" tanyanya heran. "Mau jalan-jalan, Om," jawabku asal. "Jalan-jalan ke mana?""Ke alam mimpi." Aku berlalu meninggalkannya yang masih terbengong-bengong. Namun, langkahku terhenti di dekat tempat tidur. Aku bingung sendiri, apa yang harus aku lakukan. Haruskah langsung merebahkan diri di atas kasur yang sudah seperti kuburan ini? Taburan bunga di mana-mana. "Al, haruskah tidur dengan pakaian seperti itu?" tanya Om Pandu menyusulku."Kenapa, Om? Ada masalah? Badan-badan aku yang pake. Kenapa Om yang repot?" Aku pura-pura berani. Padahal hati sudah tidak tahu bentuknya seperti apa. Saking gugup dan takut.Om Pandu terlihat garuk-garuk kepala yang aku yakin tidak gatal. Aku mulai mengumpulkan kelopak-kelopak mawar yang terserak di atas ranjang untuk disingkirk
16Jadi, itu berarti ... aku yang menjajah? Aku yang nyamperin Om Pandu? Aku yang meluk-meluk dia?Tidak. Itu tidak mungkin. Ini pasti akal-akalan Om Pandu saja. Akan tetapi, kalau mengingat kebiasaanku yang tidur jabrah, tidak bisa diam, mungkin juga aku yang menjajah Om Pandu. Lagi pula Om Pandu masih tidur di tempatnya semula, bukan? Kenapa, sih, aku pakai ngigau segala? Pakai acara nyamper-nyamperin Om Pandu? Terus tidur di atas tubuhnya. Peluk-peluk lagi. Dasar tangan tidak ada akhlak. Kalau sudah begini aku malu bukan kepalang. Mana sudah marah-marah menyalahkannya. Ish, malu, malu, malu!Kulirik Om Pandu, dia sudah terpejam lagi seolah tidak terjadi apa-apa. Padahal jantungku hampir loncat karena kaget mendapati kami tidur saling bertumpuk.Aku memejam. Kalau sudah begini mau bagaimana? Om Pandu memang tidak mempermalukanku, tetapi akum aku sendiri. Ah, ya, mendingan aku tidur di sofa saja. Daripada kejadian sama terulang. Bagaimaan kalau aku kembali menjajah Om Pandu? Kan, ma
17Kukira setelah salat Subuh, aku bisa tidur lagi. Atau paling tidak bisa bersantai duduk-duduk menikmati camilan sambil nonton TV. Ternyata aku salah, Om Pandu memaksaku ikut jogging. "Aku tidak biasa jogging, Om. Apalagi pagi-pagi buta begini," tolakku dengan bibir mengerucut. "Mulai dibiasakan dari sekarang. Biar sehat, bugar, awet muda, dan bisa bertahan lama," katanya setengah berbisik di ujung kalimatnya. Kemudian terbahak. Aku mendelik. Apa maksudnya coba?"Aku memang masih muda. Belum setua Om," tukasku tak terima."Iya, Om percaya kamu masih muda. Walaupun belum icip-icip. Tapi lebih bagus dari usia muda dibiasakan berolah raga. Agar setelah setua Om nanti, kamu tetap bugar dan cantik. Ayolah jangan malas. Kita keliling kompleks aja. Nanti pulangnya boleh jajan." Nada bicara Om Pandu terdengar seperti seorang ayah yang sedang membujuk anaknya. Akhirnya, dengan berat hati aku mengikutinya jogging pagi ini. Bahkan Prisa pun belum keluar dari kamarnya. Aku mengerti sekaran
18Prisa membawa cangkir tehnya yang masih panas. Lalu, duduk di sebelahku. "Gimana semalam?" tanyanya sambil menyeringai. "Apanya yang gimana?" tanyaku balik dengan kening mengerut. "Udah jalan-jalan ke surga? Udah ketemu belum surga dunianya? Udah sampai langit berapa?"Aku mengernyit tak mengerti. Dia ngomong apa, sih?"Papaku pasti hebat, ya, secara dia gila banget olahraga. Pasti kuat banget," lanjutnya lagi berbisik di depan telingaku, membuatku merinding. Aku menjauhkan kepala dari wajahnya. "Pris, jangan digodain terus mama kecilnya. Nanti kalau dia cerita, malah jiwa jomlo kamu yang teraniaya," sela Om Pandu tiba-tiba sambil duduk merapat padaku. Tangannya menyodorkan segelas susu yang baru dia buat. Sekarang posisi dudukku diapit Prisa dan Om Pandu. Dua-duanya merapat padaku. Membuatku tidak bisa bergerak bebas. Bahkan sulit untuk sekadar bernapas. "Ada banyak kursi di ruangan ini. Harus banget, ya, mepetin aku begini? Baru satu hari di rumah ini, tapi sudah teraniaya
19Om Pandu? Dia begitu terampil. Dan dalam keadaan seperti itu, dia jadi terlihat sangat ... seksi. Ya, suamiku seksi sekali kalau sedang masak begitu. Lihat punggungnya, bergerak-gerak seiring gerakan kedua tangannya. Duh .... Kok, tiba-tiba jadi pengen meluk dia dari belakang, ya? Terus bersandar di punggung kokohnya. Menghidu aroma tubuhnya dalam-dalam dan ... husss! Mikir apa kamu, Alvina! Sepertinya otakmu sudah terkontaminasi keomesannya."Silakan, My Queen, makan siang sudah siap ...." Tanpa sadar Om Pandu sudah selesai masak dan menyajikan langsung masakan yang masih mengepulkan asap di depanku. Aku menatap nanar masakan yang entah apa namanya, yang pasti ada fillet dada ayam campur sayuran segar di sana. Mungkin menu spesial rumah makan ini. Rasa haru tiba-tiba menyeruak. Om Pandu memperlakukanku sedemikian rupa seperti panggilannya tadi, 'My Queen'. Aku benar-benar tersanjung. Dia bahkan tidak malu memasak di depan para karyawannya. Padahal kalau dia mau, bisa menyuruh
20Aku dan Prisa duduk sebelahan sambil selonjoran di atas karpet bulu dengan menikmati camilan. Layar televisi di depan kami sedang menayangkan drakor kesayangan. Sebenarnya Prisa sudah beberapa kali menguap. Sepertinya kantuk sudah menyerangnya, karena hari sudah malam. Namun, dia seperti tak enak hati meninggalkanku sendiri di sini. "Kamu lapar apa doyan, sih? Itu keripik udah mau abis setoples?" Prisa menunjuk toples keripik pisang yang dari tadi kupeluk. "Dua-duanya," jawabku cuek. Sebenarnya bukan masalah lapar, tetapi aku masih marah dengan Om Pandu. Si bocah tua nakal itu. Sudah tua, tetapi kelakuannya seperti bocah. Cemburu buta digedein. Orang bilang cemburu itu tanda cinta. Harusnya bangga dicemburuin sama pasangan, berarti dia benar-benar cinta. Akan tetapi, kalau cemburunya macam Om Pandu begitu, aku jamin dibayar berapa pun tidak akan ada yang mau. Kecuali dibayarnya pakai dollar yang banyak. Hais.Seram. Matanya sampai berkilat-kilat. Wajah merah padam dengan rahang
21Om Pandu berdiri, setelah sebelumnya mengembus napas kasar berulang kali. Dia tidak berkata apa-apa. Dari gestur tubuhnya aku tahu dia sangat kecewa. Rasa bersalah menyeruak dalam hati. Sungguh, aku belum siap malam ini. Aku masih takut. Maaf, Om Pandu. Maaf, Ya Allah. Maafkan hambamu ini. Om Pandu pergi keluar kamar kami, entah ke mana. Dia pergi membawa kekecewaan. Apa aku harus menyusulnya? Mau bicara apa? Minta maaf karena aku masih belum siap juga? Ah, sepertinya basi.Akhirnya, aku hanya berdiam merutuki diri. Apakah malaikat melaknatku malam ini? Ya Allah, aku harus bagaimana? Apakah harus memaksakan diri siap malam ini? Maafkan aku, Ya Allah. Maafkan aku, suamiku. Aku hanya bisa menangis menyesali diri, sampai akhirnya tertidur karena lelah menangis. ***Entah jam berapa ini, kerongkongan terasa kering. Mungkin karena sebelum tidur, aku terus menangis. Kupaksa membuka mata, lalu bangkit dari tempat tidur. Aku terkejut, tempat yang biasa Om Pandu tiduri, kosong. Ke man
22Om Pandu berusaha melepaskan pelukanku, tetapi aku bertahan dan semakin mempereratnya. Aku tidak mau diabaikan. Titik. "Iya, sudah Om maafkan. Om ngerti kamu belum siap. Sekarang lepaskan, ya, Om mau mandi dulu," jawabnya pelan, setelah menarik napas panjang untuk ke sekian kalinya.Aku menggeleng lagi dan lebih menempelkan kepala di punggungnya yang basah. Aku bahkan tidak peduli sebagian rambut dan wajahku ikut basah. "Om, bohong. Pasti masih marah," rajukku manja. "Benar, Al, Om sudah maafin kamu sejak semalam. Sekarang lepasin dulu, badan Om lengket mau mandi dulu," ucapnya lagi, tangannya berusaha melepaskan lagi pelukanku. "Kalau sudah maafin, kenapa nggak bangunin aku salat? Emang Om nggak salat Subuh?" rajukku lagi, tetap bertahan memeluknya. "Om salat di musala," ucapnya lagi semakin pelan. "Tuh, kan. Om belum maafin aku. Pokoknya aku nggak bakal lepasin sebelum dimaafin!" Om Pandu menarik napas lagi sebelum berkata, " Kamu mau apa, Al?" tanyanya tegas.Apa dia mara
Ruangan itu terasa sesak. Mesin pemantau detak jantung masih berdetak tenang, tapi jantung di dada mereka tak demikian. Alvina menggenggam tangan Sadewa erat, matanya basah menahan gejolak. Pandu berdiri kaku di sisi lain, sementara Prisa dan Nino saling berpandangan di dekat pintu, seolah menimbang waktu yang tepat untuk pergi—atau menyampaikan kenyataan paling pahit itu.“Inggit mana?” Suara Sadewa kembali terdengar. Kali ini lebih jelas, lebih kuat, tapi justru membuat ruangan makin sunyi.Alvina mengusap kening Sadewa dengan gemetar. “Sayang… tenang dulu, ya. Kamu baru sadar, masih butuh istirahat. Kamu minum dulu, ya. Atau mau Bunda suapi makan sekalian? Kamu pasti lapar, ya, Nak?” Sambil berdiri, Alvina membujuk.“Tapi Inggit di mana, Bun?!” Sadewa terus mendesak, tak menghiraukan tangan sang ibu yang mengasongkan botol minum. “Tadi aku... kami... kecelakaan, kan? Aku ingat! Mobil... truk... suara keras... terus gelap! Tapi Inggit ada di sebelahku! Di mana dia sekarang? Kenapa d
Jalanan itu ramai. Terlalu ramai bagi Pandu dan Alvina yang baru saja turun dari mobil dalam keadaan panik. Suara sirene, bisik-bisik warga, lampu rotator polisi dan ambulans yang berkedip-kedip, semuanya menambah sesak di dada mereka. Alvina masih mengenakan kebaya pastel dengan sepatu hak rendah yang kini terasa seperti jerat. Napasnya memburu, matanya liar mencari.“Permisi! Maaf ... anak saya ... Sadewa!” Pandu mendorong pelan barisan warga yang berkerumun di balik garis polisi.“Bapak tidak bisa masuk. Ini area evakuasi—” seorang polisi menahan mereka.“Saya ayah korban! Anak saya dan istrinya … mereka …! Saya mohon ... izinkan saya masuk!” Suara Pandu serak, tapi penuh desakan.Polisi itu sempat ragu, namun melihat raut wajah Alvina yang hampir pingsan, dia akhirnya memberi isyarat ke rekannya. “Oke, tapi jangan halangi proses evakuasi. Hati-hati, Bu.”Mereka melewati garis polisi. Aroma besi, asap, dan darah memenuhi udara. Mobil sedan biru yang membawa Sadewa dan Inggit ringse
Langit sore itu menghamparkan warna jingga yang membara. Matahari mulai turun perlahan, seolah memberikan restu kepada sepasang kekasih yang berdiri di altar sederhana berlatarkan taman penuh bunga. Musik lembut mengalun mengiringi momen sakral itu.Ya, ini pesta resepsi pernikahan Nakula dan Dinda. Akhirnya, setelah perjalanan berliku dan penuh intrik, mereka bisa melenggang ke pelaminan. Pernikahan sengaja dipercepat oleh Pandu untuk menghindari banyak godaan yang mungkin berpeluang menimbulkan kesalahpahaman lagi.Toh, Nakula sudah memiliki penghasilan meski masih kuliah. Walaupun mungkin belum sebesar penghasilan Dinda sebagai seorang manajer resto, tetapi itu sama sekali bukan hal besar. Dinda bisa menerima.Nakula terlihat gagah dengan setelan jas putih tulang, rambutnya disisir rapi, senyumnya tak pernah lepas dari bibir sejak pagi. Di sisinya, Dinda berdiri anggun dalam balutan kebaya modern berwarna champagne. Tatapan mereka saling menyatu, seolah dunia hanya milik mereka ber
190Hening. Ruangan luas itu menjadi sangat senyap. Wajah-wajah tegang menghiasi, sebelum akhirnya tawa Nakula membahana memenuhi seluruh ruangan.Pemuda itu tertawa terpingkal-pingkal hingga membuat tiga orang di ruangan itu saling melempar pandang. Tatapan heran tak bisa mereka sembunyikan.Ketiganya menunggu hingga sang pemuda mengabiskan sisa tawanya seorang diri. Entah apa yang lucu.“Aku serius, Mas. Aku ini sudah tua.” Dinda tidak sabar. Mungkin Nakula tidak percaya ucapannya hingga tertawa seperti itu. Gadis itu membuka tas, lalu mencari sesuatu di sana. Tangannya terulur memegangi sebuah kartu. Namun, saat ingin menyodorkan kartu itu, tangan Nakula menahannya.“Kamu simpan saja, bukankah kita harus segera menyiapkan berkas untuk ke KUA?” ujarnya saat melihat Dinda menyodorkan kartu identitasnya.“Maksudnya?” Kening Dinda berkerut dalam.Kembali Nakula menghabiskan sisa tawa yang tidak habis-habis.“Aku mengaku sudah tua, tapi belum setua Bundaku, kan?” tanya pemuda itu lagi d
189Dinda menatap nanar pemuda yang menggeret koper bajunya dengan bersemangat. Sebelah tangan sang pemuda menggeret koper, sedangkan tangan yang lain menggandeng tangannya.Sang pemuda memelankan langkah saat merasa gadis yang ia gandeng langkahnya pelan hingga agak tertinggal.“Mau aku antar ke mana?” tanya sang pemuda seraya menyunggingkan senyum. Senyum yang ia harap bisa meyakinkan gadis itu jika keputusannya untuk tinggal tidak akan disesalinya.Sang gadis tidak menjawab. Jujur hatinya masih ragu. Apa keputusannya membatalkan kepergian sudah benar atau tidak?Apa benar pemuda yang sekarang menggandengnya tidak akan mengecewakannya lagi? Bagaimana jika di kemudian hari lagi-lagi ia kecewa?Selama ini terlalu banyak ia dikecewakan orang-orang sekitar higga sulit untuknya percaya lagi terhadap mereka yang berjanji.Pemuda yang tidak lain Nakula menarik napas panjang dan mengembusnya kuat. Ia sangat mengerti kondisi Dinda saat ini. Ia pun termasuk laki-laki yang berkali-kali mengece
188“Apa yang kau lakukan? Lepasss…!” Dinda mendesis seraya mencoba melepaskan tangan yang mencekalnya. Ia ingin berteriak, tetapi tak ingin mengundang perhatian karena sadar tengah berada di mana.“Lita, kamu mau ke mana? Kau pikir bisa jauh-jauh dariku?” Lelaki itu menarik kupluk hoodie Dinda hingga terbuka dan menyisakan rambut sang gadis yang berantakan.“Kita dekat bertahun-tahun, kamu tidak akan akan bisa mengelabuiku hanya dengan pakaian seperti ini.”“Ya, kita dekat bertahun-tahun. Dan kau menghancurkan hidupku hanya dalam sekedip mata.”“Bukankah Abang sudah meminta maaf? Sungguh Abang tidak tahu jika ibu tirimu sudah menghasut Abang. Lita, Abang menyesali semuanya. Andai Abang tahu itu hanya hasutan, tentu Abang tidak akan melakukan ini.”“Seharusnya Abang mencari tahu dulu kebenaran sebuah berita sebelum mengambil keputusan besar. Jangan menerima mentah-mentah berita begitu saja.”“Abang menyesal Lita. Demi Tuhan Abang sangat menyesal. Kamu tahu seberapa besar cinta Abang s
187Nakula maju. Ia sudah memutuskan tak ingin mengalah lagi. Sudah cukup selama ini selalu membiarkan saudara kembarnya mendapatkan apa yang diinginkannya dengan mengorbankan perasaannya. Kini tak akan ia membiarkan sang saudara menyalahkan dirinya, apalagi untuk sesuatu yang tidak dilakukannya.Karena terburu-buru dan tidak fokus, ia menabrak Inggit yang sepertinya ingin naik tangga. Bodohnya dirinya yang lupa jika di rumah itu ada penghuni baru, langsung mengulurkan tangan untuk membantu orang yang ia tabrak bangun. Semua ia lakukan karena rasa bersalahnya yang kurang hati-hati.Siapa sangka di saat ingin membantu Inggit berdiri itu Sadewa yang tengah bucin-bucinnya terhadapa istrinya itu datang. Salah faham pun tak bisa dihindarkan. Sadewa mengira jika saudara kembarnya ingin menggoda istrinya. Terlebih melihat kondisi pakaian sang istri yang tersibak.“Apa yang kamu lakukan pada istriku, N
186 Nakula setengah berlari menuju tangga penghubung lantai dua dan lantai bawah. Sebenarnya kamar orang tuanya ada di lantai bawah, hanya saja ia ingat harus mengambil sesuatu di kamarnya dulu sebelum pergi. “Dinda meminta disampaikan maaf yang sebesar-besarnya. Maaf katanya tidak jujur sejak awal jika ia wanita bersuami.” Kalimat sang ayah selepas pemutaran video itu terus berputar-putar di kepala Nakula. “Sama sekali tidak ada maksud menipumu, Naku. Ia memang pernah menikah, tapi hari itu juga menjadi janda. Dan kemarin, pengadilan agama mensahkan statusnya itu setelah sebelumnya proses perceraiannya dipersulit. Mantan suaminya ingin rujuk, melakukan berbagai cara agar gugatan cerai Dinda tidak dikabulkan. Syukurlah nasib baik masih berpihak padanya.” Sang ayah menjeda penjelasannya. “Kemarin Dinda akhirnya menerima akta cerai, karenanya hari ini langsung terbang.” “Terbang?” Nakula terperanjat. “Ke-mana?” Pandu menarik napas panjang. Tatapannya sendu. “Dinda memutuskan meng
185 “Lihat dulu ini sampai selesai, lalu silakan berkomentar.” Pria usia enam puluhan menyalakan laptop, lalu menyerahkan benda itu ke hadapan laki-laki muda yang duduk di tepi ranjang. Sang pemuda membuang muka. Ini alasan kenapa ia malas pulang. Bertemu ayah dan saudara kembar yang sudah mengecewakannya. Sang pemuda ingin bangkit, tetapi sebuah tangan menahan pergelangan tangannya. Ia pun memejam sebelum meloneh pemilik tangan yang masih terasa hangat itu. “Bunda sebaiknya istirahat saja, ya. Badannya juga masih anget. Biar cepat sembuh. Aku pamit dulu,” ucapnya lembut seraya menggenggam tangan sang sang ibu yang mencekal pergelangannya. Wanita berwajah pucat yang memakai baju tebal dan duduk bersandar ke kepala ranjang menggeleng. Tatapan nanarnya sudah diliputi embun tebal. Terlihat sangat berat melepas putranya pergi. “Naku Sayang, percayalah tidak ada orang tua yang ingin menjerumuskan anaknya sendiri.” Nakula menarik napas yang begitu berat, ingin rasanya menyangkal ucapa