22Om Pandu berusaha melepaskan pelukanku, tetapi aku bertahan dan semakin mempereratnya. Aku tidak mau diabaikan. Titik. "Iya, sudah Om maafkan. Om ngerti kamu belum siap. Sekarang lepaskan, ya, Om mau mandi dulu," jawabnya pelan, setelah menarik napas panjang untuk ke sekian kalinya.Aku menggeleng lagi dan lebih menempelkan kepala di punggungnya yang basah. Aku bahkan tidak peduli sebagian rambut dan wajahku ikut basah. "Om, bohong. Pasti masih marah," rajukku manja. "Benar, Al, Om sudah maafin kamu sejak semalam. Sekarang lepasin dulu, badan Om lengket mau mandi dulu," ucapnya lagi, tangannya berusaha melepaskan lagi pelukanku. "Kalau sudah maafin, kenapa nggak bangunin aku salat? Emang Om nggak salat Subuh?" rajukku lagi, tetap bertahan memeluknya. "Om salat di musala," ucapnya lagi semakin pelan. "Tuh, kan. Om belum maafin aku. Pokoknya aku nggak bakal lepasin sebelum dimaafin!" Om Pandu menarik napas lagi sebelum berkata, " Kamu mau apa, Al?" tanyanya tegas.Apa dia mara
23Sinar matahari pagi yang menerobos lewat ventilasi di atas jendela dan gorden yang agak tersibak, menjadi saksi bersatunya dua jiwa raga dalam ikatan yang suci ini. Dan kami sekaligus mematahkan kebiasaan malam pertama yang harus dilakukan di malam hari. Kami bahkan melakukannya saat orang-orang mulai melakukan aktivitas mereka. Itu, tidak sedikit pun mengurangi kekhususan. Dan yang pasti rasanya tetap sama. Rasanya itu ... ah, pokonya tidak bisa dilukiskan dengan kata-kata.Aku menatap lelaki berpeluh itu dengan tatapan penuh cinta. Dia telentang dengan mata terpejam. Dadanya masih turun naik dengan cepat pertanda napasnya belum stabil setelah aktivitas intim kami. Matanya masih terpejam dengan mulut sedikit menganga, napasnya masih memburu.Aku ingin mengatakan sesuatu untuk mengungkapkan kebahagiaan yang membuncah di dada, tetapi tidak tahu harus berkata apa. Apa aku harus bilang terima kasih? Atau apa? Ah, malu. Alhasil, aku hanya bisa menatapnya. Sepertinya dia sadar sedang
24Saat masih menunggu si abang rujak membuatkan pesanananku, kulihat pagar rumah seberang jalan terbuka, lalu muncul tante genit itu dari sana. Dia menuju ke mari. Dengan berjalan lenggak-lenggok laksana peragawati papan jati. Eh, papan atas. Melirik sinis padaku, dia menggerak-gerakkan bibir merah menyalanya mlenyok kiri mlenyok kanan. Aku hanya diam memerhatikannya. Merasa tidak punya masalah. "Rujaknya, Bang. Bikinin yang pedes banget, ya. Lagi pengen makan orang, nih," ucapnya dengan tetap melirik sinis padaku. Sebenarnya kenapa orang ini? Karena merasa tidak ada masalah sama dia, aku diam saja. "Apa menariknya, sih, bocah ingusan kayak gitu? Muka pas-pasan, body lurus nggak ada bentuk-bentuknya. Jauh ke mana-mana sama aku," cerocos wanita itu dengan masih terus melirikku. "Heran sama laki-laki, yang begitu, kok, dipilih. Padahal sudah ada yang menarik di depan mata, tapi dicuekin" lanjutnya lagi membuat alisku bertaut. Apa maksudnya coba? Apa dia sedang menyindirku dan su
25 Hari-hari bahagia sebagai istri Mas Pandu tengah kunikmati. Rasanya itu seperti ... ah, tidak bisa dilukiskan dengan kata-kata. Kalau tahu pernikahan akan seindah ini, mungkin bukan hanya dimajukan seminggu, tetapi aku akan meminta dihalalkan hari itu juga. Eh! Mas Pandu benar-benar suami idaman. Selain romantis dan memperlakukanku bak ratu, dia juga begitu sabar menghadapi sifat kekanak-kanakanku. Dia tidak pernah mempermasalahkan aku yang tidak bisa masak, belum pandai mengurus rumah tangga, selalu susah dibangunkan dan segala kebiasaan buruk lainnya. Katanya semua itu butuh proses, dan dia yakin aku akan berubah lebih baik asal mau berusaha. Untuk urusan perut dia tidak mempermasalahkan, toh dia punya rumah makan. Kami bertiga bisa makan di sana atau sesekali dia yang mengajariku dan Prisa masak. Padahal, sih, bukan mengajari, lebih tepatnya dia yang memasakkan untuk kami. Kadang aku berpikir untuk apa dia menikah lagi, kalau toh hidupnya sudah bahagia sebelum diri ini masuk
26 Kelebihan nikah sama ayahnya sahabat salah satunya adalah, aku langsung masuk ke rumah yang sudah sangat familiar sejak lama. Tidak harus beradaptasi dengan anak tiri, karena dia sahabatku sejak lama. Tidak harus repot mengurusi keperluan anak tiri, karena dia sudah dewasa dan bisa mengurus dirinya sendiri. Kami malah semakin solid, walau kadang Prisa tidak bisa menempatkan diri. Padahal selain sahabatnya, aku tetaplah istri dari ayahnya yang harus dia hormati. Tapi its ok, selama masih wajar, tak perlu dipermasalahkan. Kami sedang menikmati sore dengan menonton televisi. Aku duduk berselonjor di atas karpet, lalu Mas Pandu merebahkan kepalanya di pangkuanku. Satu stoples kuaci menemani kami. Beberapa biji kumakan dan beberapa lainnya kusuapkan pada suami. So sweet, kan, kami? Seperti biasa Prisa yang cemburu selalu mengganggu kami. Dengan cemberut dia ikut merebahkan kepalanya di atas pahaku dengan posisi kepala saling berlawanan dengan papanya. "Dua-duaan terus, sih, kalian.
27"Mas akan melepaskanmu kalau kamu berjanji tidak akan histeris lagi. Kamu duduk tenang dan biarkan Mas selesaikan ini dengan Mira," bisiknya di telingaku yang masih meronta. "Apa? Aku harus duduk tenang setelah dia bilang kamu mau menikahi dia juga?" teriakku lagi tak terima. "Lepaskan aku dan biarkan aku menghajar perempuan jalang itu, Mas!" Aku terus meronta. "Oh, ternyata istri kecilmu itu galak juga, ya. Uuuh ... takut ...." cibir wanita itu berniat mengolok, membuat darahku semakin mendidih. "Ternyata yang kau nikahi itu hanya gadis bau kencur yang bukan hanya tampangnya biasa banget. Tapi juga gadis kecil yang temperamental, emosian, galak. Nggak elegan banget. Kok, kamu bisa sebuta itu sih, Mas? Apa kamu tidak bisa mencari istri yang lebih baik? Apa sebenarnya yang kamu lihat dari–"Plak!Sebuah tamparan keras mendarat di pipi perempuan itu, disusul teriakkannya menahan sakit karena rambutnya ditarik paksa. Aku dan Mas Pandu terpana. Di depan sana Prisa sedang menarik-na
28"Jadi, bagaimana bisa kacamata itu sampai di tangannya?" tanyaku seraya menatap mata Mas Pandu, mencari kebenaran di sana. Kami berdua berbaring saling berhadapan di atas tempat tidur setelah aktivitas menguras tenaga di kamar mandi tadi. Mas Pandu menghela napas kasar sebelum menjawab. "Entahlah, Mas juga tidak tahu. Tapi, tadi siang dia datang ke rumah makan," jawabnya santai. Tangannya tak henti membelai rambutku. Aku mengerutkan kening. "Ngapain?" Dua sudut bibir Mas Pandu tertarik ke atas. Membentuk lengkungan senyum yang begitu manis. Dan rasanya aku ingin terus menikmatinya sampai nanti harus menutup mata. "Pasti bukan sekadar mau makan." Aku cemberut membayangkan dia ke sana hanya untuk menemui suamiku. "Ya, dia memang ingin bicara sama Mas. Katanya dia tidak tahu harus bicara dengan siapa. Tidak ada sanak saudara. Di sini hanya kenal Mas.""Memangnya mau bicara apa?" potongku lagi masih dengan bibir cemberut."Orang tuanya di kampung sudah sepuh, sudah sakit-sakitan,
29Sebenarnya aku ragu. Kata-kata Mas Pandu, lebih tepatnya larangannya tadi malam masih terngiang. Kami tidak boleh lagi berurusan dengan tetangga depan rumah itu. Aku juga teringat nasihat Ayah Ibu yang selalu bilang kalau seorang istri harus menuruti perkataan suaminya. Namun, Prisa terus saja memaksaku, katanya hanya memberi Tante Mira sedikit shock teraphy agar dia kapok dan tidak mengganggu kami lagi. Akhirnya, dengan setengah hati, aku mengikuti Prisa mencari kucing jalanan yang akan kami masukkan ke dalam rumah Tante Mira. Menurut Prisa, wanita itu sangat fobia kucing, apalagi kucing jalanan yang dekil. Kami mencari kucing di jalanan kompleks. Cukup mudah ternyata. Banyak kucing tak bertuan yang sedang mencari makan. Mengais-ngais tempat sampah mencari sisa makan manusia. Setelah dapat, kami membawa masing-masing dua ekor kucing. Kemudian Prisa mulai mengintip rumah Tante Mira lewat celah pagarnya. Dari balik pagar rumahnya terlihat wanita itu sedang menyirami tanaman bung
190Hening. Ruangan luas itu menjadi sangat senyap. Wajah-wajah tegang menghiasi, sebelum akhirnya tawa Nakula membahana memenuhi seluruh ruangan.Pemuda itu tertawa terpingkal-pingkal hingga membuat tiga orang di ruangan itu saling melempar pandang. Tatapan heran tak bisa mereka sembunyikan.Ketiganya menunggu hingga sang pemuda mengabiskan sisa tawanya seorang diri. Entah apa yang lucu.“Aku serius, Mas. Aku ini sudah tua.” Dinda tidak sabar. Mungkin Nakula tidak percaya ucapannya hingga tertawa seperti itu. Gadis itu membuka tas, lalu mencari sesuatu di sana. Tangannya terulur memegangi sebuah kartu. Namun, saat ingin menyodorkan kartu itu, tangan Nakula menahannya.“Kamu simpan saja, bukankah kita harus segera menyiapkan berkas untuk ke KUA?” ujarnya saat melihat Dinda menyodorkan kartu identitasnya.“Maksudnya?” Kening Dinda berkerut dalam.Kembali Nakula menghabiskan sisa tawa yang tidak habis-habis.“Aku mengaku sudah tua, tapi belum setua Bundaku, kan?” tanya pemuda itu lagi d
189Dinda menatap nanar pemuda yang menggeret koper bajunya dengan bersemangat. Sebelah tangan sang pemuda menggeret koper, sedangkan tangan yang lain menggandeng tangannya.Sang pemuda memelankan langkah saat merasa gadis yang ia gandeng langkahnya pelan hingga agak tertinggal.“Mau aku antar ke mana?” tanya sang pemuda seraya menyunggingkan senyum. Senyum yang ia harap bisa meyakinkan gadis itu jika keputusannya untuk tinggal tidak akan disesalinya.Sang gadis tidak menjawab. Jujur hatinya masih ragu. Apa keputusannya membatalkan kepergian sudah benar atau tidak?Apa benar pemuda yang sekarang menggandengnya tidak akan mengecewakannya lagi? Bagaimana jika di kemudian hari lagi-lagi ia kecewa?Selama ini terlalu banyak ia dikecewakan orang-orang sekitar higga sulit untuknya percaya lagi terhadap mereka yang berjanji.Pemuda yang tidak lain Nakula menarik napas panjang dan mengembusnya kuat. Ia sangat mengerti kondisi Dinda saat ini. Ia pun termasuk laki-laki yang berkali-kali mengece
188“Apa yang kau lakukan? Lepasss…!” Dinda mendesis seraya mencoba melepaskan tangan yang mencekalnya. Ia ingin berteriak, tetapi tak ingin mengundang perhatian karena sadar tengah berada di mana.“Lita, kamu mau ke mana? Kau pikir bisa jauh-jauh dariku?” Lelaki itu menarik kupluk hoodie Dinda hingga terbuka dan menyisakan rambut sang gadis yang berantakan.“Kita dekat bertahun-tahun, kamu tidak akan akan bisa mengelabuiku hanya dengan pakaian seperti ini.”“Ya, kita dekat bertahun-tahun. Dan kau menghancurkan hidupku hanya dalam sekedip mata.”“Bukankah Abang sudah meminta maaf? Sungguh Abang tidak tahu jika ibu tirimu sudah menghasut Abang. Lita, Abang menyesali semuanya. Andai Abang tahu itu hanya hasutan, tentu Abang tidak akan melakukan ini.”“Seharusnya Abang mencari tahu dulu kebenaran sebuah berita sebelum mengambil keputusan besar. Jangan menerima mentah-mentah berita begitu saja.”“Abang menyesal Lita. Demi Tuhan Abang sangat menyesal. Kamu tahu seberapa besar cinta Abang s
187Nakula maju. Ia sudah memutuskan tak ingin mengalah lagi. Sudah cukup selama ini selalu membiarkan saudara kembarnya mendapatkan apa yang diinginkannya dengan mengorbankan perasaannya. Kini tak akan ia membiarkan sang saudara menyalahkan dirinya, apalagi untuk sesuatu yang tidak dilakukannya.Karena terburu-buru dan tidak fokus, ia menabrak Inggit yang sepertinya ingin naik tangga. Bodohnya dirinya yang lupa jika di rumah itu ada penghuni baru, langsung mengulurkan tangan untuk membantu orang yang ia tabrak bangun. Semua ia lakukan karena rasa bersalahnya yang kurang hati-hati.Siapa sangka di saat ingin membantu Inggit berdiri itu Sadewa yang tengah bucin-bucinnya terhadapa istrinya itu datang. Salah faham pun tak bisa dihindarkan. Sadewa mengira jika saudara kembarnya ingin menggoda istrinya. Terlebih melihat kondisi pakaian sang istri yang tersibak.“Apa yang kamu lakukan pada istriku, N
186 Nakula setengah berlari menuju tangga penghubung lantai dua dan lantai bawah. Sebenarnya kamar orang tuanya ada di lantai bawah, hanya saja ia ingat harus mengambil sesuatu di kamarnya dulu sebelum pergi. “Dinda meminta disampaikan maaf yang sebesar-besarnya. Maaf katanya tidak jujur sejak awal jika ia wanita bersuami.” Kalimat sang ayah selepas pemutaran video itu terus berputar-putar di kepala Nakula. “Sama sekali tidak ada maksud menipumu, Naku. Ia memang pernah menikah, tapi hari itu juga menjadi janda. Dan kemarin, pengadilan agama mensahkan statusnya itu setelah sebelumnya proses perceraiannya dipersulit. Mantan suaminya ingin rujuk, melakukan berbagai cara agar gugatan cerai Dinda tidak dikabulkan. Syukurlah nasib baik masih berpihak padanya.” Sang ayah menjeda penjelasannya. “Kemarin Dinda akhirnya menerima akta cerai, karenanya hari ini langsung terbang.” “Terbang?” Nakula terperanjat. “Ke-mana?” Pandu menarik napas panjang. Tatapannya sendu. “Dinda memutuskan meng
185 “Lihat dulu ini sampai selesai, lalu silakan berkomentar.” Pria usia enam puluhan menyalakan laptop, lalu menyerahkan benda itu ke hadapan laki-laki muda yang duduk di tepi ranjang. Sang pemuda membuang muka. Ini alasan kenapa ia malas pulang. Bertemu ayah dan saudara kembar yang sudah mengecewakannya. Sang pemuda ingin bangkit, tetapi sebuah tangan menahan pergelangan tangannya. Ia pun memejam sebelum meloneh pemilik tangan yang masih terasa hangat itu. “Bunda sebaiknya istirahat saja, ya. Badannya juga masih anget. Biar cepat sembuh. Aku pamit dulu,” ucapnya lembut seraya menggenggam tangan sang sang ibu yang mencekal pergelangannya. Wanita berwajah pucat yang memakai baju tebal dan duduk bersandar ke kepala ranjang menggeleng. Tatapan nanarnya sudah diliputi embun tebal. Terlihat sangat berat melepas putranya pergi. “Naku Sayang, percayalah tidak ada orang tua yang ingin menjerumuskan anaknya sendiri.” Nakula menarik napas yang begitu berat, ingin rasanya menyangkal ucapa
184 Nakula berbaring di kamar minimalisnya. Tatapannya lurus menyapu langit-langit kamar yang menampilan bayangan bagaimana pertemuan awalnya dengan Dinda. Bagaimana ia kesal terhadap gadis itu hingga akhirnya tergila-gila. Sayang seribu kali sayang jika semua yang terjadi antara dirinya dan Dinda yang ia anggap tulus, hanya fatamorgana. Hubungan mereka yang begitu manis ternyata hanya settingan semata. Settingan sang ayah dengan wanita bersuami itu. Sudah beberapa hari tinggal lagi di galeri, Nakula tidak pernah lagi melihat Dinda. Entah dimutasi lagi atau memang tidak menampakkan diri lagi di depannya, yang pasti ia sudah tidak pernah melihat sosoknya. Baguslah jika dimutasi, itu artinya ia bisa segera melupakan rasa sakitnya. Nakula bangkit, lalu beranjak menuju meja kecil yang biasa ia gunakan untuk makan. Sekotak makanan yang ia beli via jasa antar online sudah tersedia di sana. Dibukanya dengan malas kotak makanan itu. Sungguh, ia sebenarnya tak berselera makan. Jika tak mem
183 Hari ini Nakula kembali ke galeri. Kondisinya jauh lebih baik setelah tiga hari menginap di rumah sang kakak. Meski suami istri Prisa dan Nino tidak mau memberitahu di mana Nadira saat ini, setidaknya di sana Nakula punya teman bicara, si imut Nindy selalu membuat harinya terasa menyenangkan. Terlebih saat minta diantar ke taman bermain dan outbond kecil-kecilan di dalam kota. Keceriaan gadis SMA itu, juga dirinya yang ikut mencoba berbagai wahana membuatnya bisa berteriak kencang melepaskan ganjalan di dada. Seolah sedang mencari pelampiasan, Nakula terus mengajak Nindy naik wahana yang lebih menantang agar ia bisa berteriak lebih keras. Seperti orang gila Nakula saat itu. Tapi ia benar-benar bisa melepaskan beban yang sudah bersemayam di dadanya. Satu yang ia sesali. Kenapa malam itu ia harus pergi ke club dan mabuk, hingga berujung Nadira yang diungsikan entah ke mana oleh kedua orang tuanya. Kenapa ia tidak pergi ke tempat seperti taman bermain saja, agar bisa meluapkan gan
182Nakula mengerjap berkali-kali hingga matanya dapat terbuka. Rasa pusing di kepalanya masih sangat menyiksa, tetapi ia terus berusaha membuka matanya. Berbaring dalam waktu lama membuat tubuhnya pegal-pegal.Perlahan, walau samar, matanya dapat menangkap sesuatu di depannya. Hingga akhirnya wajah imut seorang gadis yang tengah tersenyum tersaji di depan matanya.“Sudah bangun, Om?” tanya gadis imut seraya menghampiri dan duduk di tepi ranjang. Sepertinya ia sudah lama menunggu Nakula bangun.Nakula menggelengkan kepalanya berkali-kali untuk membuang rasa pusing. Lalu mencoba bangkit dari berbaringnya. Gadis imut membantunya duduk.Sang pemuda mengedarkan pandangan setelah kepalanya tidak begitu pusing. Cahaya terang dari jendela yang terbuka, membuatnya yakin jika ini siang hari.“Ini di rumah kami, Om.” Seolah mengerti dengan pikiran Nakula, gadis mungil menjelaskan.“Semalam Mami sama Papi bawa Om ke sini. Katanya Om sedang kurang enak badan. Aku sih, nggak tahu karena udah bobok