90
Pagi ini akhirnya kami pulang. Aku terpaksa masih memapah Nino dibantu papa, karena dia belum lancar berjalan. Masih sering meringis.
Dengan mobil apapa kami berempat pulang. Nino terus saja menyandarkan kepalanya di pundakku. Sepertinya sengaja bermanja di depan Papa.
"Dielus dong yang sakitnya," pintanya manja saat kami perjalanan pulang. Tangannya menarik tanganku lalu ditempelkan di pinggangnya. Semula aku menepis tangannya. Namun dari depan, Papa berdehem keras.
"Suami sakit harus diurus, Pris," tuh kan, Papa pasti membelanya.
"Iya!" jawabku ketus. Lalu mengusap pinggang Nino gemas. Namun, dia malah mengaduh lumayan keras. Aku melotot.
"Jangan begitu, Pris, harus disayang-sayang, dong. Harus lemah lembut sama suami," ujar Papa lagi. Aku masih melototi Nino yang wajahnya mengiba.
"Kayak Papa kema
91"Aku harus memantaskan diri dong. Masa mau melamar anak bos, aku belum punya apa-apa. Malu sama papamu, takut ditolak juga, sih," ucapnya lagi."Makanya, aku bekerja keras siang malam. Karena aku bertekad setelah punya rumah akan memintamu sama papamu. Aku mau setelah kita menikah langsung membawamu ke rumah kita. Aku tidak mau menitipkan istriku di rumah orang tuanya apalagi di rumah orang tuaku yang sudah sepuh. Karena bagiku, istriku tanggung jawabku sendiri. Aku ingin mempersembahkan yang terbaik sesuai kemampuanku, tapi setelah berusaha maksimal."Tiba-tiba sesuatu yang hangat menyelinap ke dalam hatiku, lalu perlahan menyebar ke seluruh tubuh lewat aliran darah, mendengar penuturan Nino. Sungguh, aku merasa sangat tersanjung dengan semua yang Nino ucapkan. Aku merasa menjadi orang yang penting, yang jadi tujuan hidup seseorang. Aku merasa diprioritaskan.Untuk pertama kali dalam hidup, aku merasa begitu disanjung dan dipentingkan. Dan itu dilakukan oleh seseorang yang sudah b
92Setelah tiga hari menikmati waktu berdua, Nino pun kembali masuk bekerja.Tiga hari ini betul-betul kami gunakan untuk menikmati masa-masa pengantin baru. Aktivitas kami hanya makan, bercinta, tidur, makan lagi, bercinta lagi, tidur lagi, begitu seterusnya. Sampai badanku ngilu-ngilu semua.Nino bilang itu untuk menebus hutangnya beberapa hari kemarin karena dia sakit. Padahal bilang aja doyan. Tidak dosa juga kalau bilang doyan sama istri sendiri.Aku tidak boleh melakukan aktivitas lain, nanti tenaganya berkurang katanya. Untuk makan pun karena belum punya persediaan bahan makanan, kami pesan jasa antar online saja.Sungguh dunia serasa milik berdua. Tak sedetik pun kami berpisah selain untuk buang air.Bahkan mandi pun kami lakukan bareng, dan bisa ditebak bukan hanya sekedar mandi karena akan berlanjut aktivitas lainnya.Pantaslah kemarin Nino menyuruhku membawa beberapa baju ganti. Tadinya kukira kita mau ke rumah orang tuanya.Hari ini aku akan mengambil barang-barang di ruma
93"Kamu mau menculik anak saya, kan? Ngaku deh, dari tadi aku cariin anakku, tahunya di sini sama kamu," cerocos wanita itu lagi tanpa memberi Alvina kesempatan bicara.Aku yang semakin gemas dengan pemandangan ini, gegas menghampiri mereka, dan langsung berdiri di depan wanita itu, menghalangi tubuh ibu sambungku yang masih saja melongo."Heh, jaga mulut lu, ya. Lu nuduh-nuduh orang mau nyulik anak lu. Padahal lu sendiri yang udah nelantarin anak. Lu tahu nggak, dari tadi anak itu nangis sendiri di sini. Dan dia bahkan baru berhenti nangis saat ibu gue ini yang bujuk!" makiku kasar di depan wajahnya. Aku tidak peduli beberapa orang yang lewat melirik kami heran. Malah ada yang sengaja menonton."Alah, itu pasti modus. Kalian sindikat, kan?" tuduhnya lagi sambil menggendong anaknya yang terus menangis. Wanita itu bahkan mengambil paksa loli di tangan anaknya, lalu membantingnya ke lantai."Dan ini, kalian sengaja kan, mau meracuni anak saya dengan memberinya permen, padahal ini suda
94Malam ini kami sedang bersantai dengan tiduran tengkurap di depan TV. Menonton acara TV yang sebenarnya tidak menarik sama sekali. Bukan kami nonton TV, lebih tepatnya TV yang nonton kami. Karena dari tadi banyak adegan dewasa yang kami lakukan yang kalau di TV pasti kena sensor. "Nin," panggilku ragu, ada yang ingin aku tanyakan, tetapi takut tidak berkenan. "Itu panggilan kapan diganti?" tanyanya serius. Aku tersipu, iya sebenarnya tidak sopan tetap memanggil namanya. Namun, sudah kucoba memanggil 'Mas', aku malu sendiri. Mungkin karena belum biasa kali, ya. Usia Nino empat tahun lebih tua. Dan sudah sepantasnya juga memang menggunakan panggilan lebih sopan kepada suami. "Aku harus panggil apa?" tanyaku bingung. "Terserah, mau cinta, sayang, bebeb, darling, dear...."Aku mencubit pelan pinggangnya. Dia pura-pura meringis."Aku boleh nanya nggak?" tanyaku ragu. "Tanya apa? Kenapa aku ganteng? Kalau itu udah dari lahir. Tapi kamu baru sadar sekarang," jawabnya sambil mencibir
95Pagi ini aku masih juga kepikiran penelepon semalam. Tidak bisa menebak siapa dia. Selain karena tidak ada di list kontaknya, aku juga belum begitu dalam mengetahui kehidupan Nino. Kurang dari tiga bulan semenjak Nino intens mendekatiku, kami sudah langsung menikah. Aku belum tahu jelas bagaimana masa lalunya. Aku hanya tahu dia duda cerai tanpa anak. Dia juga belum pernah cerita bagaimana kehidupan pernikahannya dulu. Aku tidak tahu siapa dan bagaimana mantan istrinya. Nino juga cenderung tertutup kepada siapa pun, susah sekali mengorek keterangan darinya langsung. Dia selalu mengatakan, tidak mau lagi mengenang masa lalu. Hanya ingin menatap dan merajut masa depan bersamaku. Aku tidak tahu kenapa begitu cepat mengambil keputusan menerima lamarannya. Yang pasti saat itu bahagia ada seseorang yang begitu perhatian, dan bonus ibu mertua yang laksana ibu kandung.Saat itu, saat di mana aku begitu terpuruk setelah hampir kehilangan nyawa juga kehormatan. Saat aku hanya punya Papa d
96"Regina itu calon istrinya Ruri. Dan mereka sudah akan menikah, saat Anita datang mengaku tengah mengandung anaknya Ruri. Dia tengah hamil lima bulan. Kami tentu sangat terkejut. Dan parahnya Ruri mengaku kalau itu memang anak hasil hubungannya dengan wanita itu. Akhirnya mau tidak mau Ruri menikahi Anita. Dan pernikahannya dengan Regina batal. Keluarga Regina tentu tidak terima dipermalukan seperti itu. Mereka menuntut ganti rugi dengan nominal besar atas kerugian yang sudah mereka keluarkan untuk biaya pernikahan. Atau kalau tidak mereka akan melaporkan Ruri atas tuduhan penipuan dan pencemaran nama baik. Kami tentu saja panik. Dalam keadaan seperti itu, menggantikan Ruri dengan Nino kami anggap jalan keluar terbaik."Suara ibu semakin pelan dan tersendat setelah pemaparan panjangnya. Sementara mata dan mulutku terbuka lebar bersamaan, saat menyimaknya. "Keputusan yang belakangan kami sesali, karena sudah mengorbankan Nino, anak yang sangat Ibu sayangi, demi anak yang tidak lahi
97Tunggu, bukankah dia pernah menikah dengan perempuan lain. Lalu apa poto-potoku ini tetap tergantung di sini saat mereka menikah dulu?Kalau iya, bagaimana perasaan mantan istrinya dulu saat mendapati ada poto-poto wanita lain di kamar suaminya? Jangan-jangan mereka bercerai karena .... Ah sudahlah, kalaupun iya, itu bukan salahku. Aku bahkan baru tahu kalau Nino menyukaiku sejak lama. Aku masih menyusuri gambar-gambar wajahku itu yang disatukan dalam satu bingkai besar dengan hati terharu dan penuh bunga. Di bawah poto-poto itu, masih di dalam bingkai yang sama, ada tulisan mencolok 'masa depanku'. Ya ampun Nino, kamu begitu percaya dirinya kalau aku akan menjadi masa depanmu. Tak terasa bibirku menyunggingkan seulas senyum. Senyum haru dan penuh bahagia. Merasa begitu dipuja dan dicintai. Adakah yang lebih membahagiakan, selain tahu ternyata diam-diam kita begitu dicintai?Kedua sudut mata mengalirkan sungai keharuan tanpa bisa dicegah. Menemani senyum bahagia yang terus mer
98Aku mengerjap beberapa kali, air mata meluncur deras di pipi disertai sesak yang begitu menghimpit di dada. Kejadian mengerikan itu, entah sudah berapa kali selalu saja melintas, walaupun sudah kubuang jauh. Apalagi saat bertemu seseorang yang mengingatkanku pada si durjana itu, seperti tadi saat melihat Mas Ruri.Suara deru motor suamiku terdengar behenti di halaman. Aku terhenyak bahagia. Gegas membuka pintu kamar yang sedari tadi terkunci rapat. Setengah berlari menuju teras. Namun, langkahku terhenti di belakang pintu saat kudengar percakapannya dengan Mas Ruri. "Baru pulang, Nin?""Ada apa ke sini, Mas?""Oh, wow, adikku bertanya, kenapa aku ke sini? Bukankah ini rumah ayahku? Apa salah aku mengunjungi ayahku?""Mas pasti tahu, ayah tidak di rumah jam segini, kan?""Apa aku juga tidak boleh mengunjungi wanita yang sudah membesarkanku?""Syukurlah kalau kau ingat, ibukulah yang sudah membesarknamu.""Kamu kenapa sih, Nin, sinis banget. Jangan bilang kamu takut istrimu berpalin
190Hening. Ruangan luas itu menjadi sangat senyap. Wajah-wajah tegang menghiasi, sebelum akhirnya tawa Nakula membahana memenuhi seluruh ruangan.Pemuda itu tertawa terpingkal-pingkal hingga membuat tiga orang di ruangan itu saling melempar pandang. Tatapan heran tak bisa mereka sembunyikan.Ketiganya menunggu hingga sang pemuda mengabiskan sisa tawanya seorang diri. Entah apa yang lucu.“Aku serius, Mas. Aku ini sudah tua.” Dinda tidak sabar. Mungkin Nakula tidak percaya ucapannya hingga tertawa seperti itu. Gadis itu membuka tas, lalu mencari sesuatu di sana. Tangannya terulur memegangi sebuah kartu. Namun, saat ingin menyodorkan kartu itu, tangan Nakula menahannya.“Kamu simpan saja, bukankah kita harus segera menyiapkan berkas untuk ke KUA?” ujarnya saat melihat Dinda menyodorkan kartu identitasnya.“Maksudnya?” Kening Dinda berkerut dalam.Kembali Nakula menghabiskan sisa tawa yang tidak habis-habis.“Aku mengaku sudah tua, tapi belum setua Bundaku, kan?” tanya pemuda itu lagi d
189Dinda menatap nanar pemuda yang menggeret koper bajunya dengan bersemangat. Sebelah tangan sang pemuda menggeret koper, sedangkan tangan yang lain menggandeng tangannya.Sang pemuda memelankan langkah saat merasa gadis yang ia gandeng langkahnya pelan hingga agak tertinggal.“Mau aku antar ke mana?” tanya sang pemuda seraya menyunggingkan senyum. Senyum yang ia harap bisa meyakinkan gadis itu jika keputusannya untuk tinggal tidak akan disesalinya.Sang gadis tidak menjawab. Jujur hatinya masih ragu. Apa keputusannya membatalkan kepergian sudah benar atau tidak?Apa benar pemuda yang sekarang menggandengnya tidak akan mengecewakannya lagi? Bagaimana jika di kemudian hari lagi-lagi ia kecewa?Selama ini terlalu banyak ia dikecewakan orang-orang sekitar higga sulit untuknya percaya lagi terhadap mereka yang berjanji.Pemuda yang tidak lain Nakula menarik napas panjang dan mengembusnya kuat. Ia sangat mengerti kondisi Dinda saat ini. Ia pun termasuk laki-laki yang berkali-kali mengece
188“Apa yang kau lakukan? Lepasss…!” Dinda mendesis seraya mencoba melepaskan tangan yang mencekalnya. Ia ingin berteriak, tetapi tak ingin mengundang perhatian karena sadar tengah berada di mana.“Lita, kamu mau ke mana? Kau pikir bisa jauh-jauh dariku?” Lelaki itu menarik kupluk hoodie Dinda hingga terbuka dan menyisakan rambut sang gadis yang berantakan.“Kita dekat bertahun-tahun, kamu tidak akan akan bisa mengelabuiku hanya dengan pakaian seperti ini.”“Ya, kita dekat bertahun-tahun. Dan kau menghancurkan hidupku hanya dalam sekedip mata.”“Bukankah Abang sudah meminta maaf? Sungguh Abang tidak tahu jika ibu tirimu sudah menghasut Abang. Lita, Abang menyesali semuanya. Andai Abang tahu itu hanya hasutan, tentu Abang tidak akan melakukan ini.”“Seharusnya Abang mencari tahu dulu kebenaran sebuah berita sebelum mengambil keputusan besar. Jangan menerima mentah-mentah berita begitu saja.”“Abang menyesal Lita. Demi Tuhan Abang sangat menyesal. Kamu tahu seberapa besar cinta Abang s
187Nakula maju. Ia sudah memutuskan tak ingin mengalah lagi. Sudah cukup selama ini selalu membiarkan saudara kembarnya mendapatkan apa yang diinginkannya dengan mengorbankan perasaannya. Kini tak akan ia membiarkan sang saudara menyalahkan dirinya, apalagi untuk sesuatu yang tidak dilakukannya.Karena terburu-buru dan tidak fokus, ia menabrak Inggit yang sepertinya ingin naik tangga. Bodohnya dirinya yang lupa jika di rumah itu ada penghuni baru, langsung mengulurkan tangan untuk membantu orang yang ia tabrak bangun. Semua ia lakukan karena rasa bersalahnya yang kurang hati-hati.Siapa sangka di saat ingin membantu Inggit berdiri itu Sadewa yang tengah bucin-bucinnya terhadapa istrinya itu datang. Salah faham pun tak bisa dihindarkan. Sadewa mengira jika saudara kembarnya ingin menggoda istrinya. Terlebih melihat kondisi pakaian sang istri yang tersibak.“Apa yang kamu lakukan pada istriku, N
186 Nakula setengah berlari menuju tangga penghubung lantai dua dan lantai bawah. Sebenarnya kamar orang tuanya ada di lantai bawah, hanya saja ia ingat harus mengambil sesuatu di kamarnya dulu sebelum pergi. “Dinda meminta disampaikan maaf yang sebesar-besarnya. Maaf katanya tidak jujur sejak awal jika ia wanita bersuami.” Kalimat sang ayah selepas pemutaran video itu terus berputar-putar di kepala Nakula. “Sama sekali tidak ada maksud menipumu, Naku. Ia memang pernah menikah, tapi hari itu juga menjadi janda. Dan kemarin, pengadilan agama mensahkan statusnya itu setelah sebelumnya proses perceraiannya dipersulit. Mantan suaminya ingin rujuk, melakukan berbagai cara agar gugatan cerai Dinda tidak dikabulkan. Syukurlah nasib baik masih berpihak padanya.” Sang ayah menjeda penjelasannya. “Kemarin Dinda akhirnya menerima akta cerai, karenanya hari ini langsung terbang.” “Terbang?” Nakula terperanjat. “Ke-mana?” Pandu menarik napas panjang. Tatapannya sendu. “Dinda memutuskan meng
185 “Lihat dulu ini sampai selesai, lalu silakan berkomentar.” Pria usia enam puluhan menyalakan laptop, lalu menyerahkan benda itu ke hadapan laki-laki muda yang duduk di tepi ranjang. Sang pemuda membuang muka. Ini alasan kenapa ia malas pulang. Bertemu ayah dan saudara kembar yang sudah mengecewakannya. Sang pemuda ingin bangkit, tetapi sebuah tangan menahan pergelangan tangannya. Ia pun memejam sebelum meloneh pemilik tangan yang masih terasa hangat itu. “Bunda sebaiknya istirahat saja, ya. Badannya juga masih anget. Biar cepat sembuh. Aku pamit dulu,” ucapnya lembut seraya menggenggam tangan sang sang ibu yang mencekal pergelangannya. Wanita berwajah pucat yang memakai baju tebal dan duduk bersandar ke kepala ranjang menggeleng. Tatapan nanarnya sudah diliputi embun tebal. Terlihat sangat berat melepas putranya pergi. “Naku Sayang, percayalah tidak ada orang tua yang ingin menjerumuskan anaknya sendiri.” Nakula menarik napas yang begitu berat, ingin rasanya menyangkal ucapa
184 Nakula berbaring di kamar minimalisnya. Tatapannya lurus menyapu langit-langit kamar yang menampilan bayangan bagaimana pertemuan awalnya dengan Dinda. Bagaimana ia kesal terhadap gadis itu hingga akhirnya tergila-gila. Sayang seribu kali sayang jika semua yang terjadi antara dirinya dan Dinda yang ia anggap tulus, hanya fatamorgana. Hubungan mereka yang begitu manis ternyata hanya settingan semata. Settingan sang ayah dengan wanita bersuami itu. Sudah beberapa hari tinggal lagi di galeri, Nakula tidak pernah lagi melihat Dinda. Entah dimutasi lagi atau memang tidak menampakkan diri lagi di depannya, yang pasti ia sudah tidak pernah melihat sosoknya. Baguslah jika dimutasi, itu artinya ia bisa segera melupakan rasa sakitnya. Nakula bangkit, lalu beranjak menuju meja kecil yang biasa ia gunakan untuk makan. Sekotak makanan yang ia beli via jasa antar online sudah tersedia di sana. Dibukanya dengan malas kotak makanan itu. Sungguh, ia sebenarnya tak berselera makan. Jika tak mem
183 Hari ini Nakula kembali ke galeri. Kondisinya jauh lebih baik setelah tiga hari menginap di rumah sang kakak. Meski suami istri Prisa dan Nino tidak mau memberitahu di mana Nadira saat ini, setidaknya di sana Nakula punya teman bicara, si imut Nindy selalu membuat harinya terasa menyenangkan. Terlebih saat minta diantar ke taman bermain dan outbond kecil-kecilan di dalam kota. Keceriaan gadis SMA itu, juga dirinya yang ikut mencoba berbagai wahana membuatnya bisa berteriak kencang melepaskan ganjalan di dada. Seolah sedang mencari pelampiasan, Nakula terus mengajak Nindy naik wahana yang lebih menantang agar ia bisa berteriak lebih keras. Seperti orang gila Nakula saat itu. Tapi ia benar-benar bisa melepaskan beban yang sudah bersemayam di dadanya. Satu yang ia sesali. Kenapa malam itu ia harus pergi ke club dan mabuk, hingga berujung Nadira yang diungsikan entah ke mana oleh kedua orang tuanya. Kenapa ia tidak pergi ke tempat seperti taman bermain saja, agar bisa meluapkan gan
182Nakula mengerjap berkali-kali hingga matanya dapat terbuka. Rasa pusing di kepalanya masih sangat menyiksa, tetapi ia terus berusaha membuka matanya. Berbaring dalam waktu lama membuat tubuhnya pegal-pegal.Perlahan, walau samar, matanya dapat menangkap sesuatu di depannya. Hingga akhirnya wajah imut seorang gadis yang tengah tersenyum tersaji di depan matanya.“Sudah bangun, Om?” tanya gadis imut seraya menghampiri dan duduk di tepi ranjang. Sepertinya ia sudah lama menunggu Nakula bangun.Nakula menggelengkan kepalanya berkali-kali untuk membuang rasa pusing. Lalu mencoba bangkit dari berbaringnya. Gadis imut membantunya duduk.Sang pemuda mengedarkan pandangan setelah kepalanya tidak begitu pusing. Cahaya terang dari jendela yang terbuka, membuatnya yakin jika ini siang hari.“Ini di rumah kami, Om.” Seolah mengerti dengan pikiran Nakula, gadis mungil menjelaskan.“Semalam Mami sama Papi bawa Om ke sini. Katanya Om sedang kurang enak badan. Aku sih, nggak tahu karena udah bobok