97Tunggu, bukankah dia pernah menikah dengan perempuan lain. Lalu apa poto-potoku ini tetap tergantung di sini saat mereka menikah dulu?Kalau iya, bagaimana perasaan mantan istrinya dulu saat mendapati ada poto-poto wanita lain di kamar suaminya? Jangan-jangan mereka bercerai karena .... Ah sudahlah, kalaupun iya, itu bukan salahku. Aku bahkan baru tahu kalau Nino menyukaiku sejak lama. Aku masih menyusuri gambar-gambar wajahku itu yang disatukan dalam satu bingkai besar dengan hati terharu dan penuh bunga. Di bawah poto-poto itu, masih di dalam bingkai yang sama, ada tulisan mencolok 'masa depanku'. Ya ampun Nino, kamu begitu percaya dirinya kalau aku akan menjadi masa depanmu. Tak terasa bibirku menyunggingkan seulas senyum. Senyum haru dan penuh bahagia. Merasa begitu dipuja dan dicintai. Adakah yang lebih membahagiakan, selain tahu ternyata diam-diam kita begitu dicintai?Kedua sudut mata mengalirkan sungai keharuan tanpa bisa dicegah. Menemani senyum bahagia yang terus mer
98Aku mengerjap beberapa kali, air mata meluncur deras di pipi disertai sesak yang begitu menghimpit di dada. Kejadian mengerikan itu, entah sudah berapa kali selalu saja melintas, walaupun sudah kubuang jauh. Apalagi saat bertemu seseorang yang mengingatkanku pada si durjana itu, seperti tadi saat melihat Mas Ruri.Suara deru motor suamiku terdengar behenti di halaman. Aku terhenyak bahagia. Gegas membuka pintu kamar yang sedari tadi terkunci rapat. Setengah berlari menuju teras. Namun, langkahku terhenti di belakang pintu saat kudengar percakapannya dengan Mas Ruri. "Baru pulang, Nin?""Ada apa ke sini, Mas?""Oh, wow, adikku bertanya, kenapa aku ke sini? Bukankah ini rumah ayahku? Apa salah aku mengunjungi ayahku?""Mas pasti tahu, ayah tidak di rumah jam segini, kan?""Apa aku juga tidak boleh mengunjungi wanita yang sudah membesarkanku?""Syukurlah kalau kau ingat, ibukulah yang sudah membesarknamu.""Kamu kenapa sih, Nin, sinis banget. Jangan bilang kamu takut istrimu berpalin
99"Sayang, bangun, sudah hampir magrib. Kita pulang." Terdengar suara lembut yang sangat dekat, disertai belaian di pipi. Perlahan kubuka mata yang terasa berat. Seraut wajah lelah langsung tertangkap netraku. Namun, ada senyum di sana, senyum yang sangat dipaksakan. "Pulang yuk," ucapnya lagi seraya menyodorkan kedua tangan agar aku bisa berpegangan. Aku hanya mengangguk, kemudian menyambut tangannya tanpa bicara. Aku tidak tahu harus bicara apa. Padahal tadi siang ada banyak hal yang ingin aku bicarakan setelah melihat kamarnya. Aku ingin menggodanya habis-habisan. Namun, kedatangan mantan istrinya membuyarkan, semuanya. Kami pulang setelah pamitan dengan ibu juga ayah yang baru pulang kerja. Mertuaku itu memeluk dan menciumiku lama. Seolah ingin memberiku kekuatan. Dua orang laninnya sudah tak nampak, mungkin sudah pulang. Aku juga tidak peduli. Selama perjalanan pulang, aku tidak bicara sepatah katapun, walaupun Nino berusaha mencairkan suasana. Aku bahkan tak memeluk atau
100Wanita itu berjalan dengan anggunnya menuju ke arah kami. Satu tangannya menuntun bocah lelaki, dan tangan lainnya menyeret koper. Senyum mengembang di wajahnya. Aneh menurutku. Mau berpisah dengan anak sendiri segitu bahagianya. Saat hampir dekat, dia merunduk. Mensejajarkan dirinya dengan anak laki-laki yang kulihat menangis di mall tempo hari. "Darren, itu papa kamu sayang," bisiknya pada bocah yang mendadak semringah melihat Nino. Ya, gayanya sih berbisik, tetapi siapa pun dapat mendengar suaranya dengan jelas. "Ayo, sapa papa kamu," lanjut wanita itu seraya agak mendorong tubuh mungil itu. Anak kecil yang dipanggil Darren, berjalan ragu ke arah Nino. Namun, wajahnya begitu menyiratkan kerinduan. Lama-lama kaki kecilnya bergerak cepat dari sekedar berjalan, ia berlari ke arah Nino yang masih mematung di dekat motornya. "Papa...." Kaki mungilnya terus berlari, tangannya terentang lebar, wajahnya begitu bahagia, terlihat dari bola mata beningnya yang menyiratkan kerinduan
101"Darren, itu Tante Prisa, istrinya papa. Nanti kita bertiga tinggal di sini sama-sama." Nino memperkenalkan Darren kepadaku. Bagus, mereka langsung saja akrab tanpa merasa curiga sama sekali. Aku membalikkan badan menghadap mereka. Kulipat kedua tangan di dada. "Mas, mau kau apakan anak itu selama kamu kerja? Maaf, aku tidak bisa mengurusnya," ucapku ketus tanpa basa-basi. Nino tampak diam saja, sepertinya dia ingin bicara tetapi sungkan. "Apa kamu tidak bisa menjaganya hari ini saja, sayang? Sekarang sudah terlalu siang kalau harus ke rumah ibu.""Maaf, aku sudah bilang tidak bisa," ucapku tegas. Apa Nino tidak memikirkn perasaanku? Wajahnya terlihat murung. Terlihat sangat bingung. "Darren, tunggu di sini sebentar sama Tante Prisa ya, Papa masukin motor dulu." Nino mendudukkan anak itu di sofa, dan dia sendiri keluar. Entah apa yang akan dilakukannya. Aku tidak peduli. Saat Nino keluar, tanpa diduga anak itu turun lalu mendekatiku. Mau apa anak itu? Dia terus berjalan mend
102Ya, dia benar. Ibunya hanya menceritakan yang baik-baik saja, itu benar. Dan mana ada ibu yang akan menjelekkan anaknya. Mas Ruri benar. Dan, bukankah aku memang ingin tahu lebih banyak tentang Nino?"Ayo, Dek. Buka sebentar saja pintunya, ya. Tidak apa-apa kok, kita kan saudara." Lebih lembut dari tadi suara yang kudengar. Ya, itu benar, Mas Ruri kakaknya Nino. Masa dia mau numpang ke kamar mandi saja, aku tidak bukain pintu. Adik ipar macam apa aku ini. Lagian Mas Ruri juga terdengar jujur. Kenapa aku sangat ketakutan? Dia kakak iparku, jarak usia kami sangat jauh. Tidak mungkin dia macam-macam padaku. Tanganku mulai terulur pelan meraih anak kunci yang tergantung. Ragu, sebentar turun, sebentar lagi terulur. Tidak ada salahnya aku membiarkan dia masuk, toh aku juga ingin banyak dengar info dari orang lain selain ibunya. Ya, aku putuskan membuka pintu, tidak ada salahnya memberi tumpangan ke kamar mandi, sekalian mengorek informasi. Klik. Anak kunci kuputar ke bawah. Lalu p
103Aku mengerjap, waktu sudah hampir magrib, sebentar lagi Nino pulang. Aku segera merapikan diri, merias wajah walaupun tipis-tipis lalu menyemprotkan sedikit wewangian. Aku ingin menyambut suami dengan sedikit istimewa. Aku ingin menebus kesalahan tadi siang. Rasa bersalah tentu sangat mengganggu, aku tidak menurutinya. Aku gegas ke depan setengah berlari saat terdengar suara mobil berhenti di halaman. Itu pasti taxi yang membawa Nino. Karena dia tidak membawa motor. Kubuka pintu dengan semangat, rasa rindu sudah membuncah di dada. Ternyata, begini rasanya rindu menunggu suami pulang kerja. Padahal kami hanya terpisah beberapa jam saja. Pantaslah dulu selalu kulihat Alvina sangat bahagia menunggu Papa pulang kerja, dan dia akan bertingkah kekanakan dan sangat lebay saat Papa sampai rumah. Ternyata itu wujud ekspresi kebahagiaan seorang istri menyambut suami pulang kerja. Aku pun begitu, sudah tidak sabar bertemu suamiku. Aku ingin segera menghambur dalam pelukannya. Aku ingin me
104Begitulah hari-hari Nino disibukkan mengurusi Darren, sebelum dan sepulang kerja. Hampir tidak punya waktu lagi untukku. Dia baru menyambangiku setelah dini hari, saat aku sudah tidak berselera untuk bercinta. Itu pun tak lama, karena biasanya Darren akan menangis bila tak mendapati Nino di sisinya.Lama-lama aku bosan menjalani pernikahan seperti ini. Untunglah minggu depan sudah mulai aktif kuliah. Aku akan menyibukkan diri di kampus saja, untuk membunuh kebosanan ini. "Mas, aku izin ke rumah Papa," pamitku pagi ini sebelum Nino berangkat kerja membawa Darren serta. "Ada apa?" tanyanya heran. "Senin depan aku sudah mulai masuk kuliah. Buku-bukuku semua di sana.""Oh, kapan?""Nanti siang," jawabku singkat. Nino nampak terdiam cukup lama. "Apa tidak sebaiknya nunggu aku pulang saja? Nanti kita ke sana sama-sama," ucapnya pelan dengan sorot mata nampak keberatan. "Tidak usah, Mas, kamu pasti capek. Aku berangkat sendiri saja naik ojek," jawabku cepat. Dia menatapku sejenak.
190Hening. Ruangan luas itu menjadi sangat senyap. Wajah-wajah tegang menghiasi, sebelum akhirnya tawa Nakula membahana memenuhi seluruh ruangan.Pemuda itu tertawa terpingkal-pingkal hingga membuat tiga orang di ruangan itu saling melempar pandang. Tatapan heran tak bisa mereka sembunyikan.Ketiganya menunggu hingga sang pemuda mengabiskan sisa tawanya seorang diri. Entah apa yang lucu.“Aku serius, Mas. Aku ini sudah tua.” Dinda tidak sabar. Mungkin Nakula tidak percaya ucapannya hingga tertawa seperti itu. Gadis itu membuka tas, lalu mencari sesuatu di sana. Tangannya terulur memegangi sebuah kartu. Namun, saat ingin menyodorkan kartu itu, tangan Nakula menahannya.“Kamu simpan saja, bukankah kita harus segera menyiapkan berkas untuk ke KUA?” ujarnya saat melihat Dinda menyodorkan kartu identitasnya.“Maksudnya?” Kening Dinda berkerut dalam.Kembali Nakula menghabiskan sisa tawa yang tidak habis-habis.“Aku mengaku sudah tua, tapi belum setua Bundaku, kan?” tanya pemuda itu lagi d
189Dinda menatap nanar pemuda yang menggeret koper bajunya dengan bersemangat. Sebelah tangan sang pemuda menggeret koper, sedangkan tangan yang lain menggandeng tangannya.Sang pemuda memelankan langkah saat merasa gadis yang ia gandeng langkahnya pelan hingga agak tertinggal.“Mau aku antar ke mana?” tanya sang pemuda seraya menyunggingkan senyum. Senyum yang ia harap bisa meyakinkan gadis itu jika keputusannya untuk tinggal tidak akan disesalinya.Sang gadis tidak menjawab. Jujur hatinya masih ragu. Apa keputusannya membatalkan kepergian sudah benar atau tidak?Apa benar pemuda yang sekarang menggandengnya tidak akan mengecewakannya lagi? Bagaimana jika di kemudian hari lagi-lagi ia kecewa?Selama ini terlalu banyak ia dikecewakan orang-orang sekitar higga sulit untuknya percaya lagi terhadap mereka yang berjanji.Pemuda yang tidak lain Nakula menarik napas panjang dan mengembusnya kuat. Ia sangat mengerti kondisi Dinda saat ini. Ia pun termasuk laki-laki yang berkali-kali mengece
188“Apa yang kau lakukan? Lepasss…!” Dinda mendesis seraya mencoba melepaskan tangan yang mencekalnya. Ia ingin berteriak, tetapi tak ingin mengundang perhatian karena sadar tengah berada di mana.“Lita, kamu mau ke mana? Kau pikir bisa jauh-jauh dariku?” Lelaki itu menarik kupluk hoodie Dinda hingga terbuka dan menyisakan rambut sang gadis yang berantakan.“Kita dekat bertahun-tahun, kamu tidak akan akan bisa mengelabuiku hanya dengan pakaian seperti ini.”“Ya, kita dekat bertahun-tahun. Dan kau menghancurkan hidupku hanya dalam sekedip mata.”“Bukankah Abang sudah meminta maaf? Sungguh Abang tidak tahu jika ibu tirimu sudah menghasut Abang. Lita, Abang menyesali semuanya. Andai Abang tahu itu hanya hasutan, tentu Abang tidak akan melakukan ini.”“Seharusnya Abang mencari tahu dulu kebenaran sebuah berita sebelum mengambil keputusan besar. Jangan menerima mentah-mentah berita begitu saja.”“Abang menyesal Lita. Demi Tuhan Abang sangat menyesal. Kamu tahu seberapa besar cinta Abang s
187Nakula maju. Ia sudah memutuskan tak ingin mengalah lagi. Sudah cukup selama ini selalu membiarkan saudara kembarnya mendapatkan apa yang diinginkannya dengan mengorbankan perasaannya. Kini tak akan ia membiarkan sang saudara menyalahkan dirinya, apalagi untuk sesuatu yang tidak dilakukannya.Karena terburu-buru dan tidak fokus, ia menabrak Inggit yang sepertinya ingin naik tangga. Bodohnya dirinya yang lupa jika di rumah itu ada penghuni baru, langsung mengulurkan tangan untuk membantu orang yang ia tabrak bangun. Semua ia lakukan karena rasa bersalahnya yang kurang hati-hati.Siapa sangka di saat ingin membantu Inggit berdiri itu Sadewa yang tengah bucin-bucinnya terhadapa istrinya itu datang. Salah faham pun tak bisa dihindarkan. Sadewa mengira jika saudara kembarnya ingin menggoda istrinya. Terlebih melihat kondisi pakaian sang istri yang tersibak.“Apa yang kamu lakukan pada istriku, N
186 Nakula setengah berlari menuju tangga penghubung lantai dua dan lantai bawah. Sebenarnya kamar orang tuanya ada di lantai bawah, hanya saja ia ingat harus mengambil sesuatu di kamarnya dulu sebelum pergi. “Dinda meminta disampaikan maaf yang sebesar-besarnya. Maaf katanya tidak jujur sejak awal jika ia wanita bersuami.” Kalimat sang ayah selepas pemutaran video itu terus berputar-putar di kepala Nakula. “Sama sekali tidak ada maksud menipumu, Naku. Ia memang pernah menikah, tapi hari itu juga menjadi janda. Dan kemarin, pengadilan agama mensahkan statusnya itu setelah sebelumnya proses perceraiannya dipersulit. Mantan suaminya ingin rujuk, melakukan berbagai cara agar gugatan cerai Dinda tidak dikabulkan. Syukurlah nasib baik masih berpihak padanya.” Sang ayah menjeda penjelasannya. “Kemarin Dinda akhirnya menerima akta cerai, karenanya hari ini langsung terbang.” “Terbang?” Nakula terperanjat. “Ke-mana?” Pandu menarik napas panjang. Tatapannya sendu. “Dinda memutuskan meng
185 “Lihat dulu ini sampai selesai, lalu silakan berkomentar.” Pria usia enam puluhan menyalakan laptop, lalu menyerahkan benda itu ke hadapan laki-laki muda yang duduk di tepi ranjang. Sang pemuda membuang muka. Ini alasan kenapa ia malas pulang. Bertemu ayah dan saudara kembar yang sudah mengecewakannya. Sang pemuda ingin bangkit, tetapi sebuah tangan menahan pergelangan tangannya. Ia pun memejam sebelum meloneh pemilik tangan yang masih terasa hangat itu. “Bunda sebaiknya istirahat saja, ya. Badannya juga masih anget. Biar cepat sembuh. Aku pamit dulu,” ucapnya lembut seraya menggenggam tangan sang sang ibu yang mencekal pergelangannya. Wanita berwajah pucat yang memakai baju tebal dan duduk bersandar ke kepala ranjang menggeleng. Tatapan nanarnya sudah diliputi embun tebal. Terlihat sangat berat melepas putranya pergi. “Naku Sayang, percayalah tidak ada orang tua yang ingin menjerumuskan anaknya sendiri.” Nakula menarik napas yang begitu berat, ingin rasanya menyangkal ucapa
184 Nakula berbaring di kamar minimalisnya. Tatapannya lurus menyapu langit-langit kamar yang menampilan bayangan bagaimana pertemuan awalnya dengan Dinda. Bagaimana ia kesal terhadap gadis itu hingga akhirnya tergila-gila. Sayang seribu kali sayang jika semua yang terjadi antara dirinya dan Dinda yang ia anggap tulus, hanya fatamorgana. Hubungan mereka yang begitu manis ternyata hanya settingan semata. Settingan sang ayah dengan wanita bersuami itu. Sudah beberapa hari tinggal lagi di galeri, Nakula tidak pernah lagi melihat Dinda. Entah dimutasi lagi atau memang tidak menampakkan diri lagi di depannya, yang pasti ia sudah tidak pernah melihat sosoknya. Baguslah jika dimutasi, itu artinya ia bisa segera melupakan rasa sakitnya. Nakula bangkit, lalu beranjak menuju meja kecil yang biasa ia gunakan untuk makan. Sekotak makanan yang ia beli via jasa antar online sudah tersedia di sana. Dibukanya dengan malas kotak makanan itu. Sungguh, ia sebenarnya tak berselera makan. Jika tak mem
183 Hari ini Nakula kembali ke galeri. Kondisinya jauh lebih baik setelah tiga hari menginap di rumah sang kakak. Meski suami istri Prisa dan Nino tidak mau memberitahu di mana Nadira saat ini, setidaknya di sana Nakula punya teman bicara, si imut Nindy selalu membuat harinya terasa menyenangkan. Terlebih saat minta diantar ke taman bermain dan outbond kecil-kecilan di dalam kota. Keceriaan gadis SMA itu, juga dirinya yang ikut mencoba berbagai wahana membuatnya bisa berteriak kencang melepaskan ganjalan di dada. Seolah sedang mencari pelampiasan, Nakula terus mengajak Nindy naik wahana yang lebih menantang agar ia bisa berteriak lebih keras. Seperti orang gila Nakula saat itu. Tapi ia benar-benar bisa melepaskan beban yang sudah bersemayam di dadanya. Satu yang ia sesali. Kenapa malam itu ia harus pergi ke club dan mabuk, hingga berujung Nadira yang diungsikan entah ke mana oleh kedua orang tuanya. Kenapa ia tidak pergi ke tempat seperti taman bermain saja, agar bisa meluapkan gan
182Nakula mengerjap berkali-kali hingga matanya dapat terbuka. Rasa pusing di kepalanya masih sangat menyiksa, tetapi ia terus berusaha membuka matanya. Berbaring dalam waktu lama membuat tubuhnya pegal-pegal.Perlahan, walau samar, matanya dapat menangkap sesuatu di depannya. Hingga akhirnya wajah imut seorang gadis yang tengah tersenyum tersaji di depan matanya.“Sudah bangun, Om?” tanya gadis imut seraya menghampiri dan duduk di tepi ranjang. Sepertinya ia sudah lama menunggu Nakula bangun.Nakula menggelengkan kepalanya berkali-kali untuk membuang rasa pusing. Lalu mencoba bangkit dari berbaringnya. Gadis imut membantunya duduk.Sang pemuda mengedarkan pandangan setelah kepalanya tidak begitu pusing. Cahaya terang dari jendela yang terbuka, membuatnya yakin jika ini siang hari.“Ini di rumah kami, Om.” Seolah mengerti dengan pikiran Nakula, gadis mungil menjelaskan.“Semalam Mami sama Papi bawa Om ke sini. Katanya Om sedang kurang enak badan. Aku sih, nggak tahu karena udah bobok