Tak terasa, sudah sepuluh hari berlangsung misi Adam untuk mengatur kesibukannya di kantor dan di rumah. Sabrina tak terlihat marah karena Elena, sekretaris senior yang diperbantukan menghandle lebih banyak pekerjaan sekaligus memeriksa kembali pekerjaannya.
Sedangkan Maya yang hanya memiliki pikiran positif kepada Adam, justru merasa prihatin dengan kondisi suaminya yang saat ini sedang tertidur pulas di sampingnya. Badan Adam akhir-akhir ini terlihat lebih kurus. Wajahnya tak terlihat segar.
"Apakah kamu terlalu sibuk dan tidak makan dengan baik?" bisik Maya pelan. Dia lalu mengecup kening suaminya dan memikirkan apa yang sebaiknya dia lakukan untuk membantu kesibukan Adam. "Ah, mungkin aku akan membuatkan bekal saja untuknya. Akhir-akhir ini dia berangkat terlalu pagi sebelum aku bangun dan tidak sarapan sampai di kantor!"
Waktu menunjukkan pukul empat pagi. Maya sengaja bangun lebih awal kali ini agar bisa menyapa Adam sekaligus membuatkannya sarapan lebih pagi.
Tak lama, masakan sudah siap saat alarm Adam berbunyi. Pria itu terkejut mendapati Maya yang telah bangun dan menyiapkan makanan untuknya.
"Makan dulu, Sayang! Aku sudah membuatkan pancake blueberry yang kamu suka," ujar Maya dengan antusias walaupun wajahnya terlihat kurang tidur. "Aku bawakan bekal untuk makan siang juga, ya?"
Adam termangu menatap semua usaha yang dilakukan Maya untuknya. Dia tak menyangka semua ini akan Maya lakukan demi seorang suami yang mencuranginya. Pikiran murninya yang bersih dari kelicikan saat bangun tidur, mambuatnya tak sanggup dan ingin menghentikan semua sandiwara ini.
Adam mendekati Maya, menatap mata wanita yang dulu dia benci, tapi kini telah menjadi istrinya yang sah. Dia melakukan semua tugas dan tanggung jawabnya sebagai istri dengan sangat baik. Air mata menggenang di pelupuk, membuat pandangan mata Adam menjadi kabur. Tangan Adam mencengkeram lembut bahu Maya, membuat Maya berhenti melakukan aktivitasnya menata bekal di kontainer makan yang baru setengahnya ditata.
"Adam, sarapan dul—"
Perasaan Adam membuncah. Dia tak sanggup menahan apa yang dibisikkan nalurinya saat ini. Mungkin, ini pertama kali dia melakukan dengan Maya dengan diiringi emosi. Bukan seperti yang sebelumnya dia lakukan, yang hanya berdasarkan keinginan primal semata yang semua lelaki bisa melakukan meski tanpa ada rasa dalam hati.
Maya bingung. Dia ingin membuat Adam lebih fit. Namun, dia tak mampu menolak keinginan Adam saat ini. Sehingga, pagi itu pun, semua tak berjalan seperti yang biasanya dijadwalkan oleh Adam.
Lebih siang dari biasanya, Adam melangkahkan kakinya masuk ke kantor. Beberapa file yang harus dipisahkan sudah berada di meja–bersama seorang wanita dengan penampilan molek yang duduk di atasnya.
"Terlambat satu jam!" ujar wanita berblazer merah itu dengan nada datar. "Kamu ngapain aja?"
Adam tak menoleh. Dia tahu Sabrina akan marah. Namun, dia tak kuasa memutar kembali waktu dan mengulangi kejadian tadi pagi agar berjalan dengan normal saja, tanpa terbawa perasaan.
"Maaf, Maya bangun lebih pagi dan memasak untukku. Aku harus bersikap baik dan berterima kasih padanya!" ujar Adam tanpa menatap mata Sabrina.
"Oh, bersikap baik dan berterima kasih dengan memberikan pelayanan istimewa?" sindir Sabrina dengan kadar cemburu tingkat tinggi membakar dadanya.
"Sabrina! Aku baru kali ini meluangkan waktu untuknya dan kau sudah marah. Bukankah kamu berjanji akan mendukung rencanaku? Ayah bisa menghukumku bulan depan bila masalah bulan lalu tak terselesaikan!" Adam mulai mengatakan isi hatinya dengan jujur kali ini. Dia tak menyangka Sabrina tak bisa bersikap lebih dewasa dan kooperatif dalam menyikapi hal remeh seperti ini.
"Adam! Kamu janji tak akan menyentuhnya bulan ini!" sanggah Sabrina tak mau kalah. Dadanya membusung menantang Adam dengan emosi tingkat tinggi.
"Dia istriku juga, Sabrina! Dan kau tahu, hampir seluruh waktuku kuhabiskan bersama kamu. Bukan dia!" bentak Adam berapi-api. Matanya melotot seolah hampir lepas.
Plak!
Sabrina menampar Adam lalu keluar dari ruangan dengan langkah cepat dan membanting pintu kayu jati keras-keras. Tampak sekali bahwa kali ini Sabrina sangat tersinggung. Dia tak suka Adam membela posisi Maya.
Ponsel Adam berdering. Ayahnya meminta laporan perkembangan perusahaan dalam sepuluh hari terakhir. Adam tahu, saat ini bukan waktu yang tepat untuk memikirkan Sabrina maupun Maya. Pria itu segera fokus ke pekerjaan dan memanggil Elena ke ruangannya untuk membantu menyiapkan berkas yang dia butuhkan dengan cepat.
"Tuan Albert dan Tuan Liam bisa bertemu pekan depan, tapi Tuan Naz menolak karena tidak bisa percaya lagi ke kinerja kita," jawab Elena melaporkan hasil lobi ke tiga orang calon investor yang membatalkan rencana kerja sama bulan lalu.
Adam mengembuskan napas panjang. Dia tak punya pilihan lain. Harus mencari calon investor baru yang setara dengan Al-Fayed Group. Dia mulai memilah daftar kemungkinan calon investor yang bisa dia hubungi.
Potensi terbesar saat ini adalah pesaing terbesar Al-Fayed. Warren Group!
Dia akan mencoba menghubungi pihak Warren Group yang kabarnya sedang tertarik untuk menanamkan modal di bidang perhotelan juga. Lagi pula, desas-desus mengabarkan bahwa anak bungsu William Warren sedang berkeliaran di sekitar sini.
Beberapa kali paparazi memergoki anak muda itu sedang berpesta. Walaupun pihak Warren menyangkalnya, tapi Adam yakin bahwa kebenaran berada di pihak media. Siapa tahu dengan keberadaan putranya di kota ini, William Warren akan bersedia melakukan perjalanan bisnis dalam waktu dekat. Tak menunggu lama, Adam meminta Elena untuk menghubungi pihak William Warren untuk memberikan kesempatan setidaknya satu kali meeting di bulan ini.
Setelahnya, Adam segera mengirimkan laporan kepada sang ayah agar beliau memeriksa langsung kinerja sepuluh harinya dengan cermat. Tak disangka, Tuan Paul cukup puas dengan hasilnya. Bahkan sangat berharap dapat bekerja sama dengan pihak Warren. Adam tak tahu bahwa ayahnya kurang menyukai pimpinan tertinggi Al-Fayed saat ini karena urusan pribadi di masa muda mereka. Dengan peralihan rencana dari Al-Fayed ke Warren, setidaknya, Adam telah memberikan satu hal positif yang memuaskan ayahnya hari ini. Sinyal baik. Dia bisa beristirahat dari tekanan sang ayah walaupun sejenak.
Waktu menunjukkan pukul dua siang. Adam belum makan siang. Dia teringat akan bekal yang disiapkan Maya. Karena sangat lapar, dia pun meminta Elena untuk menghangatkan makanan di microwave dan menyiapkan kopi untuknya.
Saat itulah, ponselnya bergetar oleh pesan dari Sabrina, wanita yang sempat dia lupakan sejenak karena beberapa jam lalu dia sangat sibuk. Adam lupa bahwa tadi pagi dia membuat Sabrina marah.
Segera dibukanya pesan Sabrina yang menyampaikan permintaan maaf cukup panjang. Hal ini membuat perasaan Adam menghangat dan merasa tersentuh.
[Sabrina: Maafkan kelakuanku tadi pagi. Aku hanya sangat cemburu. Aku sadar bahwa ini semua karena aku terlalu mencintaimu.]
[Sabrina: Aku akan mentraktirmu makan siang di Restoran Bulgogi sebagai permintaan maaf. Kutunggu kedatanganmu!]
Adam kebingungan. Dia tak berencana makan siang di luar karena Maya telah membuat bekal untuknya. Namun, karena Sabrina sudah berkelakuan baik dan meminta maaf, tentu saja Adam memilih untuk mendatangi kekasihnya.
Tepat saat Adam hendak keluar, Elena masuk membawa kotak bekal yang sudah dihangatkan beserta secangkir kopi. Tentu saja dia kebingungan karena atasannya tampak akan pergi. Dia bertanya-tanya dalam hati, apakah dia terlalu lama menyiapkan makanan?
"Elena! Kamu makan saja itu! Saya makan di luar saja!" ujar Adam sambil meraih jasnya.
Adam berlalu meninggalkan Elena yang termangu menatap atasannya yang berubah pikiran dengan cepat. Lain kali, dia bertekad akan menyiapkan makanan lebih cepat lagi.
Wanita paruh baya yang berpenampilan rapi itu hendak duduk tatkala telepon di meja sekretaris berdering. Saat dia mengangkat, ternyata itu adalah telepon dari Maya yang menanyakan apakah suaminya sudah makan siang.
"Pak Adam sedang makan siang di luar, Bu!" jawab Elena datar dan jujur tanpa berpikiran macam-macam.
Maya tak menyahut begitu lama. Tentu saja karena makanan bekal yang dia buatkan pagi-pagi tadi dengan mengorbankan waktu tidur ternyata tidak disantap oleh sang suami.
"Bu, Bu Maya ... Bu Maya ...." Elena memanggil istri atasannya agar menyahut. Namun, tak ada jawaban sama sekali.
Elena tak tahu, bahwa di seberang sana, Maya sedang menangis tanpa suara. Hatinya teriris oleh pisau kekecewaan yang tak dia sangka akan begitu tajam. Sakit ... sakit sekali ....
Sabrina tersenyum puas melihat Adam mendatanginya di restoran tanpa terlihat semburat kecewa di wajah. Dia tahu Adam membawa kotak makanan hari ini. Dia memang dengan sengaja meminta Adam untuk makan di luar bersamanya demi menguji Adam mengenai siapa yang dia prioritaskan saat ini.Bila Adam datang, Sabrina akan sangat senang karena dia masih diutamakan. Bila Adam memilih makan bekal yang dibuatkan Maya, tentu Sabrina akan merasa dirinya sudah tergeser oleh Maya. Sekretaris cantik itu sangat khawatir kalau-kalau Adam terpesona dengan kepribadian Maya. Karena itulah, dia tak boleh terang-terangan berlaku buruk di hadapan Adam.Sabrina menyambut Adam dengan senyuman sangat manis yang membuai hati Adam. Pria itu senang Sabrina sudah tak marah. Mereka berdua lalu memesan makanan dan membicarakan hal-hal ringan yang tidak berhubungan dengan pertengkaran mereka tadi pagi.Damai menyelimuti perasaan Adam. Kepuasan membuncah dalam hati Sabrina. Sangat berkebalikan deng
Maya sama sekali tak ingin percaya apa yang dia lihat saat ini adalah kenyataan. Tetapi semuanya begitu nyata. Suami yang selama ini sangat baik padanya, melakukan perbuatan yang tak seharusnya dia lakukan bersama wanita lain.Sesuatu yang hanya haknya, yang seharusnya hanya untuknya, kini Adam lakukan bersama wanita lain. Keduanya tampak begitu larut hingga tak mempedulikan sekitar, tak menyadari kehadiran orang lain yang menyaksikan perbuatan yang begitu menyakitkan bagi Maya."Adam ... I love–you!" seru wanita yang menguasai Adam tatkala punggungnya melengkung ke belakang."I love–you–more, Baby! Kamu satu-satunya ...." Adam membalas dengan suara berat tertahan sebelum bibirnya mengklaim bibir wanita yang sedang bersamanya. "Cuma kamu di hatiku, Sayang!"Tentu saja, kalimat terakhir Adam membuat dunia Maya hancur berkeping-keping. Ternyata, suami yang dia kira selama ini adalah pria yang ditakdirkan untuknya, ternyata mencintai wanita
Sabrina mengantar makanan ke ruangan Adam dengan perasaan yang tak menentu. Di satu sisi, dia senang karena Maya telah mengetahui apa yang selama ini tersembunyi. Di sisi lain, dia khawatir akan posisi Adam di mata ayahnya.Bagaimana bila Maya mengadu kepada mertuanya? Apakah Adam akan dihukum oleh ayahnya? Bila benar demikian, siapa yang akan Adam pilih?"Adam, kalau misalkan semua nggak berjalan seperti yang kamu mau ...." Sabrina berhenti sejenak, berusaha memilih kata-kata yang tidak merusak suasana. "Kalau misalkan kita ketahuan, kamu bakal pilih aku atau warisan ayah kamu?"Adam tertegun mendengar pertanyaan Sabrina yang bernada pesimis. Dia berhenti mengunyah burgernya sejenak dan berkata, "Aku bermain dengan bersih. Segalanya sudah kuperhitungkan dengan baik. Tak mungkin ketahuan!"Adam lalu melanjutkan makannya dengan cepat. Direguknya cola dari gelas langsung agar lebih puas minum. Dia tak ingin membuang waktu dengan pertanyaan Sabrina yang hany
Leo memukul Adam bertubi-tubi tanpa ampun. Kini dia sudah berada di atas Adam, menduduki pahanya, dan mencengkeram kerah Adam. Wajahnya yang beringas tak bisa menampakkan ekspresi lain selain kemarahan. Kemudian, sekali lagi, dia memukul Adam hingga hidung dan bibirnya mengeluarkan darah segar.Sementara itu, Sabrina hanya bisa menjerit-jerit meminta Leo menghentikan perbuatannya. "Leo! Hentikan! Atau aku akan memanggil polisi.""Panggil saja dan aku akan mengumumkan kebejatan kalian kepada dunia!" tantang Leo tak peduli. Dia kemudian melayangkan lagi pukulannya ke muka Adam.Adam yang memang tak mempunyai kemampuan bela diri yang baik seperti Adam, hanya menjadi bulan-bulanan saja. Apalagi kondisi tubuh yang kelelahan, membuat dia tak mampu memberikan perlawanan sedikit pun kepada Leo. Dia hanya mengerang tanpa tahu mengapa dia dipukuli dengan sadis."Leo! Hentikan! Adam bisa mati!" seru Sabrina tak bisa lagi menahan kecemasan. Kondisi Adam terliha
Keesokan harinya, Maya bangun sendirian, tidak mendapati ada jejak Adam pulang. Dia mendesah pelan. Sebaiknya dia fokus terhadap apa yang sedang dia hadapi saat ini.Setelah menjalani rutinitas pagi, Maya segera menelepon pengacara untuk menyiapkan dokumen perceraian. Namun, betapa terkejutnya dia saat mendapati banyak pesan masuk yang menyatakan ucapan selamat atas kehamilannya.Tentu saja Maya terkejut dengan hal ini. Tak hanya inbox, bahkan dia kebanjiran ucapan selamat di media sosial yang menyatakan kegembiraan atas kehamilannya. Siapa yang membocorkan rahasianya? Bukankah hanya Leo yang tahu? Tidak mungkin dokter yang memeriksanya melakukan hal ini, bukan?Maya menelan ludah. Dia tak akan bisa menyembunyikan kehamilannya dari siapa pun sekarang. Apakah Adam akan melepaskannya setelah mengetahui kehamilannya? Ataukah bahkan Adam akan berubah dan berjanji untuk menjadi suami yang baik setelah mengetahui ini semua?Gelisah membayangi Maya. Dia mengurun
Suasana ruang meeting sangat menegangkan. Adam menelan ludah. Kiamat sudah baginya. Kehancuran rencana yang telah dia pikir matang-matang sudah menyambut di ambang pintu.Ini semua karena dia terlalu serakah. Tak mungkin ada manusia yang bisa berdiri di atas dua kursi. Seharusnya, sejak awal dia memilih salah satu saja. Warisan atau Sabrina. Karena tak bisa menjatuhkan keputusan yang tepat, Adam mencoba memperjuangkan keduanya yang justru berujung sengsara.Sementara itu, Sabrina lebih tercengang dengan apa yang tersaji di hadapannya. Selama ini, dia mengira Leo adalah pria miskin yang tak memiliki pekerjaan tetap. Pertama bertemu, Leo bekerja di sebuah restoran sebagai pelayan. Tak lama karena dirinya dipecat setelah memukul seorang customer yang melecehkan Sabrina. Sejak saat itulah mereka berkencan.Beberapa bulan kemudian, Leo mendapatkan pekerjaan sebagai seorang bartender di salah satu kelab malam elit. Cukup lama Leo bertahan di sana. Sampai akhirnya dipe
Adam tak ingin membuang waktu lagi. Ayahnya sangat ketat soal deadline. Namun, Adam bingung. Siapakah yang akan dia temui terlebih dahulu untuk diajak bernegosiasi. Maya ataukah Sabrina?Bila ingin menentukan pilihan, Adam harus menentukan prioritas terlebih dahulu. Memilih Maya, berarti mendapatkan hartanya dan meninggalkan Sabrina. Ini sangatlah tidak Adam inginkan.Sedangkan memilih Sabrina, dia pasti akan bahagia karena cintanya dan Sabrina tak akan ada lagi yang menghalangi. Sabrina pasti akan menyukai hal ini juga. Namun, bagaimana dengan kehidupan mereka selanjutnya? Akan bekerja seperti apa dia nanti bila sang ayah tak memberi bantuan sedikit pun? Bahkan dia tak mungkin bisa melamar CEO di perusahaan lain, bukan?Hati Adam dipenuhi kebimbangan. Tak adakah cara untuk mendapatkan keduanya? Tak adakah yang bisa dia lakukan untuk mengatasi krisis ini? Hatinya tak sanggup melepaskan harta maupun Sabrina. Dia tak ingin hidup miskin dengan Sabrina. Dia be
"Beraninya kamu!" Maya membentak murka. Tega sekali Adam mengancamnya dengan menggunakan calon bayi tak bersalah yang ada di kandungannya."Aku memiliki pekerjaan dan latar ekonomi yang baik. Tak seperti dirimu yang pasti akan jadi pengangguran dan miskin. Siapa pula yang hendak mempekerjakan wanita hamil?" ucap Adam seraya menelan ludah.Maya tak menyangka, Adam menyerang titik kelemahan yang paling membuatnya tak bisa berkutik. Dia pun terdiam seribu bahasa, memikirkan ancaman Adam dan cara membalasnya."Namun, kalau kau bekerja sama dengan baik, aku akan memberikan hak asuh anak itu sepenuhnya padamu dan memberikan tunjangan bulanan yang sangat cukup untukmu dan anak itu hidup. Kau tak perlu bekerja, tinggal menikmati waktu bersama anakmu." Suara Adam terdengar dingin di telinga Maya. Tentu saja itu tawaran yang menggiurkan baginya.Maya tahu, Adam pasti tak terlalu menginginkan anak mereka. Lelaki memang begitu, bukan? Namun, dia sebagai ibu, ak
Lima tahun telah berlalu sejak kepergian Maya. Kini, si kembar telah tumbuh menjadi anak yang sehat dan lincah. "Paul, Freya! Ayo cepat turun dan habiskan sarapan kalian!" seru Adam dari bawah memanggil kedua anaknya yang terdengar ribut di atas saat berganti pakaian. "Ayah, Paul menyembunyikan bonekaku! Padahal aku ingin mengajaknya jalan-jalan saat menjemput Paman Leo di bandara!" jawab Freya dengan suara hampir menangis. Gadis kecil berambut gelap bergelombang itu semakin tampak mirip dengan ibunya seiring dengan bertambahnya usianya. "Bohong! Kamu sendiri yang lupa meletakkan di mana boneka kelinci jelekmu itu. Jangan menuduh sembarangan!" sanggah Paul dengan suara melengking. Mata gelap miniatur Adam itu memandang tajam saudarinya yang berukuran lebih mungil darinya. Dengan tubuhnya yang lebih kuat dan besar, dia memang kerap mengusili Freya. Sekalipun dia berkali-kali dihukum, mengusili kembarannya sudah bagaikan candu yang akan tetap dia lakukan tak peduli apa pun konsekuen
Adam memandangi kedua makhluk kecil yang ada di hadapannya dengan linangan air mata. Begitu kecil dan rapuh. Mereka membutuhkan selang-selang bantuan untuk hidup."Anak-anakku ...." Kata-kata yang Adam bisikkan dengan penuh perasaan, membuat Leo merasa keputusan Maya untuk menyerahkan bayi-bayinya kepada ayah kandungnya adalah pilihan yang tepat.Darah lebih kental daripada air. Begitulah. Adam pun menyayangi kedua anaknya karena mereka adalah darah dagingnya sendiri."Dia begitu bahagia saat mendengar bahwa dia mengandung anak kembar. Aku pun begitu. Sampai-sampai aku mengumpat betapa beruntungnya dirimu," jelas Leo mengenang saat-saat Maya bersorak mengetahui jenis kelamin bayinya. "Seandainya saat itu dia hamil dengan pria yang tulus mencintainya, pasti akan sangat membahagiakan. Tahukah kau perasaan Maya saat melihat kau dan Sabrina bergembira saat tahu jenis kelamin bayi kalian?"Ada
Dua bayi, lelaki dan perempuan yang berpelukan di ruang NICU itu berukuran sangat kecil. Yang lelaki beratnya 656 gram, sedangkan lainnya 533 gram. Banyak selang menempel di tubuh kecil mereka demi memperjuangkan detak jantung keduanya.Kulit mereka begitu keriput. Begitu kurus seperti hanya tulang dan kulit tanpa selapis daging pun. Bila orang berkata bahwa bayi sangat lucu, pemandangan yang disaksikan mata hijau pria kekar yang mengamatinya dari kaca luar ruangan tidak demikian. Mereka berdua jauh dari kata lucu. Seperti alien. Seperti bukan manusia.Kesedihan masih belum bisa lepas dari hati Leo. Melihat mereka berdua membuat Leo teringat akan sang ibu yang telah berjuang mempertahankan nyawa mereka. Usaha telah dilakukan sebaik mungkin walau hasilnya tak sempurna, seperti yang diinginkan oleh semua pihak."Maya, mereka akan berterima kasih padamu suatu hari nanti," bisik Leo dengan suara yang bergetar hebat karena menahan air mata."Paul, Freya .... J
Dapur kecil sebuah di sebuah apartemen mungil milik lelaki menawan berbadan atletis, kini dipenuhi dengan aroma butter yang menggoda. Tak hanya aroma makanan yang membuat air liur menetes, tapi ada pemandangan lain yang tak kalah menggiurkan. Celana training pria yang sedang beraksi di dapur tersebut menggantung terlalu rendah di bagian pinggang, membuat wanita mana pun yang memandang tak akan bisa melewati harinya tanpa merasa kepanasan karena terbayang pemandangan indah itu sepanjang hari. Andai saja ada seorang wanita di sana, pasti kelima indranya akan dimanjakan dengan kenikmatan duniawi karena suara pria yang sedang memegang wajan dan tongs itu pun akan membuat hati semua kaum hawa berdesir bila sedang berbicara. Jangan tanya bagaimana sensasi yang dirasa bila suara merdu itu berbisik di telinga, sudah bisa dipastikan para bidadari dunia akan melayang walaupun tak ada sayap yang menempel di punggungnya. Namun, di saat yang sama, siapa pun yang melihat waj
Pukulan Adam yang pertama mengenai wajah Leo. Namun, yang kedua tentu berhasil ditangkis oleh lawannya."Adam! Hentikan! Mengapa kau tiba-tiba memukul Leo!" jerit Maya berusaha menghentikan amukan Adam.Adam tak peduli. Dia masih berusaha menghajar Leo. Sementara Leo yang sebenarnya dapat dengan mudah menghabisi lawannya, hanya sibuk menangkis dan menahan serangan Adam. Tak sampai hati dia memukul Adam karena ada Maya di sampingnya."Hei! Mengapa kau berbuat sembarangan seperti ini? Ingatlah kita sedang di rumah sakit!" bisik Leo pelan tapi tegas."Kau apakan Sabrina, huh? Seorang saksi mengatakan istriku jatuh setelah pria berambut pirang dengan tubuh besar membuatnya ketakutan!" balas Adam dengan geram. "Siapa lagi kalau bukan kau!"Leo pun mengernyit. Dia bingung dengan pertanyaan Adam. Dia memang sempat bersitegang dengan Sabrina. Namun, apakah semengerikan itu sampai-sampai membuat kondisi Sabrina dalam keadaan kritis?"Kamu! Kamu pasti
Sabrina berjalan menyusuri koridor perlahan karena merasakan sakit di perutnya. Dia tak menyangka bahwa kegiatan hari ini membuatnya kelelahan. Bagaimanapun juga, berjalan kaki sejauh dua kilometer dari apartemennya ke rumah sakit bukan tugas mudah untuk wanita hamil sepertinya.Dering ponsel yang lembut pun membuat Sabrina terkaget. Dia lalu mengangkat telepon yang berasal dari suaminya. Dalam hati, Sabrina sangat cemas. Dia takut Adam sudah sampai di rumah lebih dulu dan mendapati apartemen mereka kosong."Sabrina, kamu di mana?" tanya Adam dari ujung telepon dengan suara cemas."Aku ... aku keluar sebentar. Suplemen penambah darahku habis." Sabrina menjawab dengan sedikit tergagap karena dia tak meminta izin kepada Adam bahwa dia akan menemui Maya hari ini. Jika suaminya tahu, pastilah akan menentang aksi frontalnya kali ini. Bagaimanapun juga, Adam akan menganggap dirinya mengemis kepada Maya untuk memperbaiki kondis
Maya memutuskan untuk mempertahankan kandungan. Dokter hanya bisa berbuat yang terbaik untuk menjaga kondisi Maya. Sudah sebulan lebih Maya tinggal di rumah sakit. Kondisi Maya naik dan turun tanpa bisa diprediksi.Leo mengunjungi Maya setiap hari setelah dia membantu menangani urusan Wilson Group karena Maya menanyakan laporan setiap hari. Pria yang terlihat atraktif itu kini terlihat lebih layu. Bukan karena kelelahan, tetapi karena setiap hari dia mengkhawatirkan kondisi Maya."Leo, aku tiba-tiba ingin makan jeruk," bisik Maya lemah. Tidak biasanya dia ingin merepotkan Leo, tetapi kali ini dia benar-benar ingin makan jeruk."Aku keluar sebentar. Kamu tunggu, ya?" Leo tersenyum lemah. Dia mengusap rambut Maya dengan penuh rasa sayang sekaligus iba. Hati Leo terasa sakit setiap mengingat penderitaan Maya yang berusaha mempertahankan bayinya walau kondisinya memburuk.Beberapa menit setelah Leo keluar, seseorang memasuki kamar Maya. Wanita lemah itu sampa
Kondisi Maya tiap hari semakin buruk. Walaupun segala upaya telah dilakukan, baik dengan diet mengurangi garam dan olahraga ringan secara teratur, tetapi kondisinya semakin turun.Saat mendapatkan berita ini dari perawat yang menjaga Maya, Leo yang terlanjur kembali ke Washington DC untuk memenuhi janji ke ayahnya, segera kembali dan meminta izin kepada sang ayah untuk diberi waktu tambahan. Walaupun sepertinya tidak mungkin akan dikabulkan."Aku tak percaya padamu. Kau pasti akan menggunakan kesempatan ini untuk kabur lagi dariku." Sang ayah tak mau lagi tertipu oleh Leo. Beliau tak mau memberi izin kepada Leo."Ayah, kumohon beri aku waktu empat bulan lagi." Leo memohon dengan sangat. "Setelahnya aku akan benar-benar kembali dan tak akan pernah pergi lagi darimu."Namun, memohon kepada Tuan William Warren sama saja memohon kepada batu. Tak akan pernah hatinya tergerak oleh keinginan Leo yang tulus
Adam merasa sangat terluka. Mengapa sang ayah memperlakukan dia seperti anak buangan. Namun, dia ingat kata-kata sang ayah tentang uangnya. Bila ingin uang darinya, Adam harus menuruti kemauan sang ayah. Bila tidak, maka dia harus mencari uang sendiri."Sudahlah! Ayah hanya menepati janjinya untuk tidak memberiku sepeser pun dari hartanya." Adam menenangkan Sabrina yang terlihat sangat dendam.Wajah Sabrina yang tersulut kemarahan memang membuat Adam khawatir. Takut akan terjadi hal yang buruk dengan kandungannya.Dari luar, kehidupan Adam dan Sabrina mungkin terlihat baik-baik saja. Namun, sebenarnya, hari-hari mereka begitu berat. Sehari-hari, mereka menjalani semua pekerjaan kasar mereka di restoran dan pulang dalam keadaan sangat lelah.Awalnya, Sabrina berusaha tabah menjalani. Namun, kehamilan memberatkannya. Apalagi saat dia memikirkan bayinya yang akan segera lahir. Pasti akan m