Malam menjelang dengan langit yang berselimutkan awan hitam tanpa bintang, sedikit mendung dengan cahaya bulan yang terlihat samar di balik kabut kelabu. Mas Arham baru kembali tepat saat kami menyelesaikan makan malam, menunggunya pulang tanpa kepastian membuatku memutuskan untuk makan bersama anak-anakku. Saat kami membereskan meja dia datang dan membuka pintu rumah. "Kau darimana?""Banyak urusan, Bund." Lelaki itu menghela napas sambil melepas sepatu dan jaketnya. "Apa kau bertemu dengan orang penting?""Uuhm," gumamnya pelan. Pria itu menuju ke kamar, melepas pakaian dan mengambil handuk untuk mandi, aku mengikuti langkahnya dan ingin bertanya tapi aku menahan diriku dan membiarkan dia membersihkan badannya. Usai mandi dan kembali ke meja makan, kupersiapkan makan malam untuknya, kulayani dia seperti biasa dan kutemani dia menghabiskan makanannya. "Kau bertemu siapa?""Temanku.""Mariana?""Bukan!""Tapi aku melihat namanya di layar ponselmu, apa dia menelponmu?""Kalaupun
Aku terdiam memandang wajah Tuhan Arkan yang terlihat iba padaku. Mendadak aku seperti manusia Bodoh Yang selalu ditipu dan dikhianati. Boleh jadi ini hanya anggapan liar karena kecemburuan tapi kemungkinan Mas Arham masih berjumpa dengan Mariana di belakangku, juga tidak tertutup. Mereka masih boleh bertemu dalam 9 minggu lagi. Mereka masih bisa bersama dan saling menyentuh, juga melihat hal-hal baik satu sama lain. Buat apa mas Arham harus menyembunyikan segalanya. Cukup jujur saja dan semuanya akan beres. Aku tidak masalah."Apa kau mendengarku?" Tanya Tuan Arkan yang tiba-tiba mengguncang tangan ini. "I-iya, Tuan," jawabku lirih. "Aku yakin Mbak Iriana tahu kalau pak Arham bersama dengan istrinya kan? Maaf, mantan istrinya maksud saya," ujar lelaki itu sambil segelas meralat perkataannya. "Iya, saya tahu." "Dua hari ini saya terus melihat mereka bersama. Mau bagaimana lagi ... showroom Nyonya Mariana berada tepat di depan gedung yang saya kelola, jadi saya tentu memperhatika
"akan ku isi daya ponselku, lalu aku akan menelpon Mariana agar kau bicara padanya!" Lelaki itu segera beralih dan mengisi daya ponselnya. Sementara aku terdiam tanpa mendebatnya lebih panjang lagi. Mentari sore menyinari kaca toko, angin sepoi-sepoi membawa aroma mawar yang menenangkan. Aku duduk di ambang jendela dengan pikiran melayang tentang suamiku. Aku ingin percaya padanya tapi mustahil Tuan Arkan datang jauh-jauh hanya untuk membicarakan tentang dia. Jujur saja, Mas Arham cinta pertamaku, lelaki pertama yang mengajariku arti cinta serta mengisi ruang kosong di dalam hatiku setelah kepergian ayah. Aku begitu bergantung padanya, seakan hidupku bisa berakhir tanpa dia. Beberapa waktu lalu hubungan kami begitu indah dan mesra, tapi perlahan semua itu mulai memudar seperti warna kain yang terkena sinar matahari. Pertengkaran dan kecurigaanku tentangnya membuat hubungan kami makin runyam, Aku berusaha mengkonfrontasi kejujurannya tapi dia terus mengelak, membuat amarahku semak
Mataku tak berkedip, tertuju pada sosok suamiku yang tengah duduk di dalam taksi yang melaju. Jantungku seolah berlomba dengan mesin mobil yang tetap melaju di belakang taksi itu. Aku mengawasinya tanpa kedip menunggu di mana dia akan berhenti dan melanjutkan kegiatannya. Kenapa dia harus keluar di jam kantor dan pergi ke suatu tempat yang tidak ada hubungannya dengan dunia pakaian dan fashion. Apa selama ini dia benar-benar bekerja atau dia sedang menipuku. Ya! Tiba-tiba terlintas pikiran dalam benakku. aku ingat bahwa grosir The outfits adalah milik keluarga Arkan. Kenapa aku tidak menelepon dan bertanya padanya, demi mengkonfirmasi apakah suamiku benar bekerja atau tidak. Dengan demikian, aku bisa tahu apa yang terjadi sebenarnya. "Halo, Iriana!"Jawaban Tuhan Arkan di seberang sana membuat intensitas detakan jantungku semakin cepat. "Saya ingin bertanya sesuatu Tuan Arkan, Apa benar suami saya bekerja di sana sebagai manajer dan supervisor?""Hmm, kebetulan aku ingin menelpo
Mereka berdua masih panik dan memandangku dengan mata melebar penuh keterkejutan.Melihat mereka berdua yang segera saling memisahkan, aku hanya tertawa. Kupandango mereka bergantian, Mariana nampak sangat malu sementara Mas arham berusaha mendekat dan menenangkan diriku."Iriana, ini tidak seperti yang kamu lihat!""Kau pikir aku buta!" Aku bersurut dan memberinya jarak agar tidak mendekatiku. "Aku bisa jelaskan!""Tapi, aku tidak mau dengar apapun." Sepertinya suaraku mulai serak menahan amarah dan kekecewaan, bahkan, mata ini pedih karena ada lelehan panas yang kini menumpuk dan tak terbendung lagi. "Iriana maafkan aku, kami benar-benar tidak bisa mengendalikan diri," ucap Mariana dengan suara yang nyaris tak terdengar. "Apa yang kalian lakukan teganya kalian berdua menipuku!"Aku bisa merasakan seluruh tubuhku mulai lemas tak berdaya menghadapi kenyataan yang begitu memukul mental dan menyakitkan ini. Nanti aku berusaha berdiri tegak, tapi catatan mataku mulai berkunang-kunan
Malam yang kulalui seperti dihujam oleh duri duri dari langit, hujan yang selalu kusukai terasa seperti lagu kematian, sendu dan semakin membawa perasaan kelabu yang suram. Aku benci menunggu lelaki itu kembali dan bicara padanya. *Lalu tak lama mobilnya datang, dia turun dari sana dan segera berlari ke teras rumah, kunci pintu terdengar dibuka lalu ayah dari anak anakku muncul dari sana. Melihatku duduk di ruang tamu dengan tatapan tajam, sepertinya lelaki itu bergidik ngeri, langkahnya ragu, tapi, dia harus masuk sebelum serangan hujan yang kian deras menampar tubuh dan pakaiannya."Iriana, kamu belum tidur?""Bagaimana bisa tidur, jika hati ini gelisah?""Aku mengerti maksudmu, Ir. Aku minta maaf atas yang terjadi siang tadi.""Aku tak akan mendramatisir masalah, malah sekarang aku sedang berada di puncak kesadaranku. Semurni murninya pikiran," jawabku tenang."Duduklah!" Perintahku sambil memberi isyarat dengan ekor mata. Dia tak berkutik, menyeret langkah lalu duduk dengan gest
Tak lama kemudian, dia kembali dengan koper dan tas di bahunya. Anak anak memandang ayah mereka dengan wajah penuh kekecewaan dan luka. "Anak anak, sebenarnya ... ini keputusan yang berat, tapi karena ibu kalian yang memintanya, maka aku tak berdaya," ucap Mas Arham dengan suara yang dibuat ragu. "Jangan menyalahkan Bunda! Sebelum ayah datang, kami tak pernah mengalami krisis atau masalah, apalagi berurusan dengan hukum. Ayah menjungkir balikkan kehidupan kami dengan drastis." "Ayah minta maaf, Nak. Baiklah, ayah pergi sekarang," ucap lelaki itu perlahan, aku dan anak anak enggan menatapnya."Kuharap waktu akan memberi ruang agar kalian bisa memaafkanku," lanjut lelaki itu sebelum membuka pintu. "Kami pikir tidak Ayah! kami takkan pernah memaafkan ayah. Jangan berharap pulang lagi ke tempat ini!"Mas Arham mendesah sambil menyeret kopernya. Perlahan dia berlalu, seakan sengaja menyeret benda itu dengan lambat agar kami mau berubah pikiran dan menahannya. Dia gagal! Tak satupun da
Mengakhiri semuanya adalah ide untuk menyelesaikan konflik berkepanjangan dalam rumah tangga kami, mengakhiri cinta dan penantian panjang selama 12 tahun serta menutup lembaran lama yang mulai usang. Mengakhiri segalanya sama artinya dengan menutup lembaran lama dengan sebuah akta perceraian. Kuharap Mas Arham tidak mempersulit prosesnya sebab aku tak mau banyak drama. Cukup hadiri saja persidangan dan selesaikan hubungan diantara kita. Dia bisa kembali ke pelukan istri tercintanya dan aku lanjut menikmati sisa hidupku dengan ketentraman. *Kuhubungi pengacara yang selalu diandalkan Mas Arham, Tuan Hardy. Kurekrut dia untuk membelaku dalam rangka menggugat suamiku sendiri. Lelaki itu tadinya keberatan karena loyalitasnya pada masa Arham tapi aku menyatakan keinginanku dengan jujur bahwa lebih baik mengakhiri semua ini daripada kemelut ini berkepanjangan dan mempengaruhi reputasi serta kesuksesan klien pak Hardi. Mempertimbangkan hal itu, pak Hardi setuju untuk mengurus perceraian di
Melihat mereka saling menerima kembali, ada keharuan yang membasahi sudut mata ini, aku ikhlas dan bahagia untuk mereka. Bahagia melihat mereka bahagia. "Alhamdulillah, kalian sudah saling menerima kembali, Kalau begitu akan kubiarkan keadaan bicara dan aku berpamitan.""Mau ke mana Mbak?" Tanya Mariana."Aku harus kembali ke toko," jawabku sambil mengangguk tulus padanya. "Tapi, mbak ga bisa pulang sendirian, kami harus mengantar mba," ujar Mariana."Tidak usah." Aku menggeleng sambil mengisyaratkan kedua tanganku agar mereka tetap bersama di tempat itu."Tapi Mbak mau pulang dengan siapa?""Denganku!" Suara berat di belakangku menyadarkan bahwa yang datang adalah Mas Arkan. Pria tampan dengan jas marun dan sapu tangan biru yang terselip indah di dada kirinya membuat pria itu terlihat tampan dan keren.Ya, langkahnya, gestur kedatangannya, dan cara dia membuka kacamata hitamnya itu membuat semua orang terpana. "Pak Arkan," ujar Mas arham menyapa lelaki itu dengan senyum hangat da
Aku ceritakan pada anak-anak bahwa semalam aku bicara pada ayah mereka, di meja makan saat kami sarapan pagi, kedua putriku terdengar menyimak semua cerita yang kuutarakan. "Apa Ayah bisa menerima dengan baik semua perkataan Bunda?""Iya, sepertinya pikirannya sedang jernih, jadi aku bisa masuk ke alam bawah sadar dan memberinya afirmasi bahwa dia harus kembali pada keluarganya." "Apa Bunda berhasil?""Bunda rasa Ayahmu mulai terpengaruh dan mau tergerak untuk menemui istrinya.""Sebenarnya ini bukan tugas kita untuk bersikap sejauh itu, tapi kita melakukannya karena kepedulian. Apa kalian setuju?" tanyaku pada anak-anak. "Ya, kami setuju Bunda."*Anak-anak telah berangkat ke kampus dan sekolahnya saat masa Arham tiba-tiba mengirimkan pesan padaku dan memintaku untuk menemaninya menemui Mariana. (Aku tahu ini canggung tapi hanya kau yang bisa kuandalkan untuk menengahi kami.)Aku terdiam sambil membaca pesan tersebut, agak ragu perasaanku karena aku tidak ingin mengambil langkah
Senja menyapa kota ini dengan langit jingga yang memudar meninggalkan jejak warna jingga di cakrawala. Aku terduduk di teras rumahku sambil menatap gedung pencakar langit yang menjulang tinggi dari kejauhan. Di antara semua gedung itu ada gedung Mariana dan tempat yang dulu dikelola Mas Arham dengan begitu bangganya. Karirnya bagus sebagai direktur, hubungan dengan keluarga istrinya juga baik karena secara teknis ia suami yang sempurna. Beberapa bulan lalu ia sangat bangga berada di sana, menghabiskan sebagian besar waktu untuk mencurahkan pikiran dan ide-ide dalam bisnis, tapi kini semuanya tertinggal dalam kesunyian.Pikiranku tenggelam membayangkan apa yang terjadi antara Mariana dan Mas Arham, dia yang selalu terobsesi untuk kembali padaku dan kecemburuan Mariana telah memicu pertengkaran hebat dan perpisahan di antara mereka. Mungkin Mas arham merasa seperti terdampar di Pulau terpencil, sendirian tak memiliki siapapun. Tak ada kawan atau keluarga yang bisa diajak untuk mencura
Angin berhembus dengan sejuk di antara siang menjelang sore. Berbincang dengan Mas Arkan sampai 3 jam lamanya sama sekali tidak terasa seakan baru lima menit berlalu. Karena aku harus menutup toko, maka aku mau minta beliau untuk mengantarku kembali ke cafe delta. Kami meluncur dengan mobil BMW milik Mas Arkan. Menyusuri jalanan kota yang terasa mulai sesak di sore hari, juga terik matahari yang langsung jatuh ke kaca depan mobil. Begitu berhenti di lampu merah yang di sebelah kirinya ada toko ritel aku terkejut dengan seseorang yang sedang duduk di bangku depan toko tersebut. Aku berusaha menajamkan pandangan mata padahal lelaki yang menggunakan celana jeans sobek di bagian lutut, baju kaos hitam dan topi., cambangnya nampak lebat, mungkin lebih bagus disebut jenggot. Dia duduk dengan sebotol kopi kemasan. Dia Mas Arham.Tatapannya kosong, duduk sambil menatap lalu lalang orang di jalanan, Dia terlihat sedih dan sesekali meneguk kopi dari botol tersebut. Melihatku ada di dalam semu
Jadi apa yang kudapatkan dalam dua belas tahun penantianku? Mungkin aku tidak cukup beruntung dengan cinta, tapi aku mendapatkan modal dan toko baru. Aku telah mengamankan masa depan anak anak dan memastikan mereka kuliah di tempat terbaik yang mereka inginkan. Dan ya, untung saja aku berkonflik dengan Mas Arham, andai kami tidak bertengkar di showroom mungkin aku tak akan bertemu dengan Mas Arkan yang istimewa, lelaki yang telah memberiku alasan baru untuk tersenyum dan lebih kuat menjalani segalanya. Karena perannya juga, aku berani mengambil keputusan untuk membuka cabang dan berspekulasi dengan keberuntunganku. Nyatanya, aku hanya butuh dorongan karena keraguan terbesarku selama ini hanya takut merugi.Cabang baru berkembang dengan pesat, Kaila mengelolanya dengan baik, sedang aku dan anak anak fokus pada toko delta di saint Maria. Popularitas toko dan testimoni kelezatan melejit membuat pesanan menumpuk dan pelanggan yang tak pernah sepi. Alhamdulillah, semuanya berjalan dengan
Jadi apa yang kudapatkan dalam dua belas tahun penantianku? Mungkin aku tidak cukup beruntung dengan cinta, tapi aku mendapatkan modal dan toko baru. Aku telah mengamankan masa depan anak anak dan memastikan mereka kuliah di tempat terbaik yang mereka inginkan. Dan ya, untung saja aku berkonflik dengan Mas Arham, andai kami tidak bertengkar di showroom mungkin aku tak akan bertemu dengan Mas Arkan yang istimewa, lelaki yang telah memberiku alasan baru untuk tersenyum dan lebih kuat menjalani segalanya. Karena perannya juga, aku berani mengambil keputusan untuk membuka cabang dan berspekulasi dengan keberuntunganku. Nyatanya, aku hanya butuh dorongan karena keraguan terbesarku selama ini hanya takut merugi.Cabang baru berkembang dengan pesat, Kaila mengelolanya dengan baik, sedang aku dan anak anak fokus pada toko delta di saint Maria. Popularitas toko dan testimoni kelezatan melejit membuat pesanan menumpuk dan pelanggan yang tak pernah sepi. Alhamdulillah, semuanya berjalan dengan
Mustahil dia adalah inspirasiku, inspirasi sesungguhnya adalah dendam dan luka di hatiku. Aku tidak mau kemurungan menghancurkan hidupku jadi kepedihan yang ada akan kuubah sebagai cambuk yang akan membuatku melejit jauh ke atas dan membuatnya menyesal menyakitiku. Aku tidak membalas pesannya, sekalipun dia mengirimkan spam chat sampai puluhan jumlahnya. Dia bilang dia mencintaiku, dia mohon agar aku memaafkannya. Juga dia bilang bahwa hubunganku dan Mas Arkan tidak ada pengaruhnya untuk dia, dia mau bersaing dengan sehat pada lelaki itu. Konyol sekali. Idiot!"Aku yakin kau belum tidur karena centangnya sudah biru." "Aku terbangun karena denting ponselku. Kau telah mengganggu tidurku," balasku."Dengar sayangku, aku akan memaafkan perbuatan Tuan Arkan dan bagaimana sikap kau dan anak-anak. Aku mau berlapang dada dan bersabar. semoga itu membuatmu paham bahwa aku benar-benar masih menyayangi kalian.""Omong kosong itu... Sudah ratusan kali aku mendengarnya dan aku tidak tertarik me
Mas Arham bergeming begitu kening yang mendapatkan tinjuan yang sangat keras. Dia terkapar di paving lokasi parkir depan toko Delta. Orang-orang memandang kejadian diantara kami dengan decak terkejut dan komentar mereka mulai riuh.Anak-anak dan Kayla yang tadinya sibuk melayani pelanggan akhirnya juga ikut keluar dan menyaksikan semua itu."Anak-anak maafkan kami, maaf karena kalian harus melihat ini semua," ucap Mas Arkan pada Delia."Nggak apa-apa Om beliau memang harus diberikan pengertian," jawab Delia sambil memeluk nampan di tangannya.Mas Arkan terkulai dan berusaha bangkit tapi kurasa kepalanya sakit, kondangannya berkunang-kunang dan pukulan telak itu mungkin nyaris mengambil kesadaran dan membuatnya hampir pingsan."Apa yang terjadi sebenarnya?" ucap seorang wanita yang sudah lama kenal denganku dia nyonya Telia, pemilik toko pakan kucing di seberang jalan."Tidak ada, Bu. Lelaki yang sudah bercerai denganku kini terus datang dan memberikan terornya.""Astaga, kuharap sekar
Matahari menjulang di langit dengan terik yang terasa nyata di kulit. Aku berjalan perlahan menuruni puluhan anak tangga dari gedung pengadilan agama. Akta perceraian yang kugenggam di tangan menjadi bukti dan titik balik bahwa sekarang aku telah menyandang status sendirian. Aku janda dan aku harus melawan stigma.Mulai sekarang aku akan berjuang sendirian tanpa keyakinan dan penegak jiwa bahwa aku memiliki suami. Orang yang kucintai dan kutunggu selalu bertahun-tahun ternyata bukan jodohku, bukan sama sekali.Sekarang langkah kaki terasa ringan meski hati sedikit sedih. Kutegarkan perasaanku sambil berdoa dan bertekad pada diri sendiri bahwa aku akan kuat menjalani hidupku. P*"Apa semuanya lancar Bu?""Akta cerai mana!""Di tasku.""Ibu tidak ketemu Pak Arham kan?""Dia bisa ambil akta cerainya sendiri.""Oh, syukurlah semuanya sudah selesai.""Ya, dan hakim juga memutuskan perintah untuk menjaga jarak. Mas Arham tidak akan mendekati Kita selamanya.""Syukurlah Bu, tinggal jalani s