Aku meluncur ke kantor seperti biasa, bekerja setengah hati dan memaksakan diri untuk tetap tersenyum di dalam rumah padahal hati ini sudah hilang setengahnya. Setelah tanda tangan persetujuan cerai, aku dilarang bertemu oleh ayah mertua dengan Iriana.Seorang stafnya diutus untuk mengikutiku agar melaporkan setiap kegiatanku. Papa minta aku untuk fokus berbisnis alih alih memperjuangkan cinta yang sudah tak mungkin lagi untuk dijangkau. Sekalipun aku di kantor, tapi pikiranku tak bisa fokus, bayangan Iriana dan anak-anak berputar di kepalaku dan mengganggu konsentrasi. Aku ingin menjumpainya tapi langkah kakiku terbatas, seakan aku dipasung oleh rantai yang ketat."Tuhan, ya Tuhan...." Aku hanya bisa mendesah seperti itu. "Pak, sudah membaca semua poin persetujuan cerai sebelum anda menandatanganinya?" Tanya asistenku yang mendekat zaat melihatku begitu resah dan tidak fokus pada pekerjaan sendiri. "Aku tidak membacanya. Aku pikir itu hanya persetujuan cerai biasa tanpa gugatan d
Jejak kemarahan masih terasa berdenyut di hatiku, Aku kaget sekaligus kagum sendiri atas tindakanku barusan. Bersama kendaraan ini, aku meluncur sambil mengingat kembali apa yang telah kulakukan dan kata-kata apa yang telah kulontarkan kepada ayah mertua. Jujur aku puas setelah bertahun-tahun selalu mengalah dan tidak pernah melawan kehendaknya. Sebenarnya aku tidak ingin bersikap jahat, tapi tindakannya pada keluargaku tidak bisa diterima, aku kecewa dan tidak bisa membendung kemarahanku lagi. Kurang ponsel dari dalam saku, lalu menghubungi Mariana dan minta izin padanya bahwa malam ini aku tidak pulang. Aku ingin pulang ke rumah Iriana tapi aku belum ingin memberitahunya bahwa keputusanku adalah kembali pada istri dan anak-anakku di Saint Maria. "Aku ada urusan penting jadi aku akan bermalam di hotel.""Tapi kenapa.""Pikiranku sedang rumit dan aku butuh waktu untuk memikirkan semua ini! Aku juga harus mengambil keputusan tentang pekerjaanku.""Semuanya baik-baik saja.""Tidak ba
Pagi terasa begitu indah dengan tubuh dan aroma Iriana di dalam pelukanku. Aku bergelayut manja seperti anak kecil dipelukan ternyaman, andai tidak memikirkan tanggung jawabku di kantor, mungkin aku ingin memeluknya sepanjang hari, tidur di ranjang yang hangat ini dan memadu asmara dengannya. "Kau cantik." Sekali lagi aku menyentuh bibirnya, rambutnya yang terurai serta wajahnya yang polos tanpa make up membuatnya terlihat semakin cantik. "Jangan terlalu memuji karena aku bisa malu dan canggung.""Kenapa harus canggung pada suami sendiri," balasku sambil tertawa. Aku bangkit lalu menuju kamar mandi, mandi dan bersiap berangkat ke kantorku. *"Ayah ganteng sekali pagi ini, aku yakin ayah dan bunda bahagia sekali," ucap anakku saat aku bergabung bersama mereka di meja makan, mereka sudah cukup dewasa untuk mengerti apa saja yang dilakukan boleh sepasang suami istri yang setelah lama tak berjumpa. "Ya Alhamdulillah.""Cieeee, ada yang tidur berdua." Lita menggoda ibunya yang baru ke
"Kurasa aku mulai takut Mas, kemarahannya benar-benar mengerikan. Aku ingin mengajaknya bicara baik-baik tapi, dia tidak mau mendengarnya." Mas Arham memberiku segelas air dan mengajakku duduk setelah kemarahan Mariana tadi. Kayla masih mengepel lantai dan membuang sisa pecahan kaca sementara pengunjung telah lengang di cafe kami. "Kau harus tenangkan dirimu," balas suamiku sambil menggenggam tangan ini. "Jika terus terjadi seperti ini maka aku akan malu, pelangganpun akan lari ke toko lain, Mas.""Aku akan bicarakan ini pada, Merry.""Aku yakin pembicaraan kalian tidak sampai pada diskusi yang pas, sehingga dia melampiaskannya padaku.""Abaikan dia! Ada aku suamimu untuk membelamu, jadi kau jangan risau lagi." "Makasih ya Mas, kau pun telah melakukan pengorbanan yang besar untuk kembali pada kami. Kau tinggalkan hidupmu yang nyaman demi kami," desahku perlahan, rasanya ingin kukembalikan dia pada kehidupannya yang kemarin, tapi nasi sudah menjadi bubur, dia sudah pulang ke kami
Suamiku ... kemana kau menghilang meninggalkanku di tengah kejamnya dunia. Bahuku terlalu rapuh untuk mengumpulkan kepingan hati dan memeluk anak-anak kita. Tidak ingatkah kau padaku dan binar mata buah hati kita setiap kali berjumpa denganmu?** Oktober, 2024Hujan mengguyur kota dengan deras membasahi seluruh sudut jalan dan gedung-gedung sekitar toko kami. Sejak pagi mendung yang menggelayut di awan tak beranjak agar sinar matahari dapat mengeringkan kaca toko sehingga kue-kue yang kugelar di etalase bisa terlihat jelas. Angin berhembus dengan kencang menampar-nampar jendela toko yang telah berdiri selama 10 tahun terakhir, toko kue Delta, gabungan nama kedua anakku, Delia dan Lita. Kucoba memperbaiki kancing sweater dan syalku agar udara dingin tidak membuatku masuk angin, semalam aku demam jadi keadaanku tak begitu baik hari ini. Mungkin karena hujan jadi orang-orang enggan berlama-lama di luar rumah. Di dapur, putriku dan adiknya yang duduk di kelas 3 SMP sedang sibuk meman
Bersama kedatangan pria yang telah 12 tahun menghilang, gerimis perlahan berhenti meninggalkan jejak warna jingga pucat yang memudar di langit. Aku masih berdiri tak jauh dari meja kasir, membeku menatap kedatangan suamiku bersama keluarga barunya. Wanita yang digandengnya, ah, sungguh cantiknya. Penampilannya sangat elegan dengan gaun emerald selutut, rambutnya tertata rapi dengan anting berlian memperindah penampilannya. "Si-si-silakan duduk." Mendadak tenggorokan ini tercekat, lidah ini keluh untuk pura-pura ramah dan menyapa mereka, entah kenapa aku tak menemukan satu kata-kata yang akan ku gunakan untuk bersikap formal. Saat tatapanku beradu dengan Mas Arham binar mata dan senyum kebahagiaan untuk istri dan anak-anaknya tiba-tiba menghilang, tatapan matanya redup ke arahku, seakan ada makna tersirat berupa penyesalan atau mungkin keterkejutan. "Apa di sini menjual tiramisu?" tanya pasangan Mas Arham."Be-benar, Nyonya," balasku tanpa ekspresi, aku ingin tersenyum dan bersikap
MARI MERAPAT, INI CERITA YANG INDAH. Jangan lupa untuk like subscribe dan share. ❤️❤️Rinai hujan di luar toko telah berhenti, meninggalkan jejak genangan air dan aroma tanah basah yang segar. Perlahan awan kelabu menunjukkan mentari sore yang mulai redup, langit indah, dengan semburat kemerahan seperti bara api yang mulai padam. Aku udah mau sekarang masih berdiri dengan tatapan mata yang lekat satu sama lain, netra kami bertemu dalam keadaan saling meneteskan air mata. "Kau belum dengar penjelasanku, sebelum kau menghakimiku." Lelaki itu masih memegangi pipinya yang merah bekas gambar tanganku. Mendengarnya berusaha menahanku langkahku terhenti, entah ingin membela diri ataukah cari pembenaran, tapi aku tak habis pikir penjelasan apa yang akan dia utarakan agar aku berhenti menyalahkan dan menilainya jahat. Pergi selama 12 tahun tanpa kabar, lalu tiba-tiba muncul dengan wanita lain, kira-kira apa yang akan orang lain pikirkan? Haruskah aku berpikir bahwa suamiku telah diculik la
"Tolong jangan katakan ini pada adikmu. Dia pasti akan syok sekali."Aku menyentuh bahu putriku dengan lembut, berusaha membujuknya agar dia memahami bahwa yang sekarang situasi yang tidak tepat untuk menceritakan segalanya. "Kenapa Bunda diam saja, kenapa Bunda tidak marah dan mengungkapkan yang sebenarnya pada wanita itu.""Sayang, tidak baik merusak kebahagiaan orang lain hanya karena kita menderita. Kesengsaraan kita bukan tanggung jawab wanita itu.""Tapi ayah membohongi dan meninggalkan kita demi dia!" Anakku bicara dengan tatapan mata berapi. "Belum tentu, kita tidak bisa menghakimi seperti itu karena kita tidak tahu apa yang terjadi. Sudah Nak, Bunda mohon agar kamu bisa menyimpan semua ini sementara. Bisa ya." Aku membujuk sambil menggenggam tangannya, anakku hanya membuang nafasnya dengan kasar. "Terserah bunda saja, tapi aku benar-benar sakit hati," jawab Delia sambil menghempaskan celemeknya di atas meja etalase. Putriku merajuk dan segera kembali ke dapur untuk mengam
"Kurasa aku mulai takut Mas, kemarahannya benar-benar mengerikan. Aku ingin mengajaknya bicara baik-baik tapi, dia tidak mau mendengarnya." Mas Arham memberiku segelas air dan mengajakku duduk setelah kemarahan Mariana tadi. Kayla masih mengepel lantai dan membuang sisa pecahan kaca sementara pengunjung telah lengang di cafe kami. "Kau harus tenangkan dirimu," balas suamiku sambil menggenggam tangan ini. "Jika terus terjadi seperti ini maka aku akan malu, pelangganpun akan lari ke toko lain, Mas.""Aku akan bicarakan ini pada, Merry.""Aku yakin pembicaraan kalian tidak sampai pada diskusi yang pas, sehingga dia melampiaskannya padaku.""Abaikan dia! Ada aku suamimu untuk membelamu, jadi kau jangan risau lagi." "Makasih ya Mas, kau pun telah melakukan pengorbanan yang besar untuk kembali pada kami. Kau tinggalkan hidupmu yang nyaman demi kami," desahku perlahan, rasanya ingin kukembalikan dia pada kehidupannya yang kemarin, tapi nasi sudah menjadi bubur, dia sudah pulang ke kami
Pagi terasa begitu indah dengan tubuh dan aroma Iriana di dalam pelukanku. Aku bergelayut manja seperti anak kecil dipelukan ternyaman, andai tidak memikirkan tanggung jawabku di kantor, mungkin aku ingin memeluknya sepanjang hari, tidur di ranjang yang hangat ini dan memadu asmara dengannya. "Kau cantik." Sekali lagi aku menyentuh bibirnya, rambutnya yang terurai serta wajahnya yang polos tanpa make up membuatnya terlihat semakin cantik. "Jangan terlalu memuji karena aku bisa malu dan canggung.""Kenapa harus canggung pada suami sendiri," balasku sambil tertawa. Aku bangkit lalu menuju kamar mandi, mandi dan bersiap berangkat ke kantorku. *"Ayah ganteng sekali pagi ini, aku yakin ayah dan bunda bahagia sekali," ucap anakku saat aku bergabung bersama mereka di meja makan, mereka sudah cukup dewasa untuk mengerti apa saja yang dilakukan boleh sepasang suami istri yang setelah lama tak berjumpa. "Ya Alhamdulillah.""Cieeee, ada yang tidur berdua." Lita menggoda ibunya yang baru ke
Jejak kemarahan masih terasa berdenyut di hatiku, Aku kaget sekaligus kagum sendiri atas tindakanku barusan. Bersama kendaraan ini, aku meluncur sambil mengingat kembali apa yang telah kulakukan dan kata-kata apa yang telah kulontarkan kepada ayah mertua. Jujur aku puas setelah bertahun-tahun selalu mengalah dan tidak pernah melawan kehendaknya. Sebenarnya aku tidak ingin bersikap jahat, tapi tindakannya pada keluargaku tidak bisa diterima, aku kecewa dan tidak bisa membendung kemarahanku lagi. Kurang ponsel dari dalam saku, lalu menghubungi Mariana dan minta izin padanya bahwa malam ini aku tidak pulang. Aku ingin pulang ke rumah Iriana tapi aku belum ingin memberitahunya bahwa keputusanku adalah kembali pada istri dan anak-anakku di Saint Maria. "Aku ada urusan penting jadi aku akan bermalam di hotel.""Tapi kenapa.""Pikiranku sedang rumit dan aku butuh waktu untuk memikirkan semua ini! Aku juga harus mengambil keputusan tentang pekerjaanku.""Semuanya baik-baik saja.""Tidak ba
Aku meluncur ke kantor seperti biasa, bekerja setengah hati dan memaksakan diri untuk tetap tersenyum di dalam rumah padahal hati ini sudah hilang setengahnya. Setelah tanda tangan persetujuan cerai, aku dilarang bertemu oleh ayah mertua dengan Iriana.Seorang stafnya diutus untuk mengikutiku agar melaporkan setiap kegiatanku. Papa minta aku untuk fokus berbisnis alih alih memperjuangkan cinta yang sudah tak mungkin lagi untuk dijangkau. Sekalipun aku di kantor, tapi pikiranku tak bisa fokus, bayangan Iriana dan anak-anak berputar di kepalaku dan mengganggu konsentrasi. Aku ingin menjumpainya tapi langkah kakiku terbatas, seakan aku dipasung oleh rantai yang ketat."Tuhan, ya Tuhan...." Aku hanya bisa mendesah seperti itu. "Pak, sudah membaca semua poin persetujuan cerai sebelum anda menandatanganinya?" Tanya asistenku yang mendekat zaat melihatku begitu resah dan tidak fokus pada pekerjaan sendiri. "Aku tidak membacanya. Aku pikir itu hanya persetujuan cerai biasa tanpa gugatan d
Sesampainya di rumah, Mariana mengajakku untuk langsung ke meja makan, sebenarnya hati ini sudah dipenuhi oleh ketakutan yang membebani tapi istriku tetap memaksa diri ini untuk makan. "Kau membutuhkan energi untuk menghadapi semua ini jadi mari kita makan.""Sungguh aku tidak selera.""Tetap saja kau harus memikirkan kesehatanmu.""Baiklah." Lagi aku dan dia menikmati hidangan dalam keheningan rumah makan tiba-tiba ponsel istriku berdering, nama tuan Rudi Hartawan terpampang dengan jelas di sana."Iya Papa, apa kabar?" tanya istriku perlahan."Aku mendengar semua yang terjadi dan Aku sudah muak dengan istri suamimu! Aku akan menyingkirkannya apapun caranya!" Aku bisa mendengar samar-samar suara dari speaker ponsel Mariana. "Pa, aku mohon pada Papa, tolong berhentilah ikut campur ini adalah masalah pribadi kami. Apa yang Papa lakukan telah menyusahkan seseorang dan membuat suasana semakin rumit.""Kalau aku menunggu tindakanmu, kau terlalu lamban, Merry""Tapi Papa merusak segalany
Entah apa yang terjadi setelah kegelapan panjang menelanku, akibat kata-kata Iriana. Aku seperti tersedot dalam pusaran hitam di mana waktu berhenti dan dunia memudar.Seperti cahaya yang muncul dari ujung lorong, seolah bayang kecil yang tiba tiba datang dari kejauhan lalu perlahan membesar, aku seperti dikejar oleh mimpi-mimpi buruk yang mengerikan, perlahan aku mampu mendengarkan suara samar yang kemudian berkumpul seperti gemuruh ombak memecah pantai. Pada akhirnya, aku terbangun dengan satu teriakan minta tolong dan menyadari tubuhku telah berada di tempat yang berbeda. Kuedarkan pandangan ke sekelilingku dengan mata yang dibuka perlahan, tapi begitu terpapar oleh cahaya menyilaukan, aku hanya bisa menutupnya dengan sebelah tanganku."Di mana aku?""Di rumah sakit," Jawab suara bariton dari sosok pria yang ada di sisiku, itu papa. Aku tersadar bahwa aku tengah berada di rumah sakit. "Kenapa aku bisa di sini?""Justru aku yang harus bertanya padamu, kenapa kau tidak jujur tent
Toko Delta dengan segala pesona dan popularitas kelezatan kuenya, telah mencuri perhatian dan perasaanku. Toko kecil yang ada di seberang jalan Saint Maria, pusat pertokoan lama dan cagar budaya yang masih dijaga pemerintah itu, telah membuatku tertarik dan ingin berinvestasi kepada pemiliknya. Kue kue yang mereka tawarkan, suasana kafe yang nyaman serta suguhan makanan jadul yang otentik, membuatku terpedaya.Aku pernah begitu ingin melihat sosok Iriana sukses dan menjadi wanita yang kaya. Tanpa menyadari kalau wanita itu adalah bagian dari masa lalu suamiku yang paling penting, ya! dia wanita yang sangat dicintai Mas Arham.Mobil yang meluncur seakan berjalan di tempatnya, Aku berjalan begitu lambat sementara aku ingin menyudahinya. Aku duduk bersisian dengan suamiku dalam mobil yang akan membawa kami ke toko Delta. Aku harus menghitung detakan jantungku, memikirkan kalimat apa yang akan kukatakan di sana, serta bagaimana reaksiku jika suasana mulai tidak terkendali. "Kau baik-baik
"Aku terpaksa menahan perasaanku dan menyakitinya demi tidak menyakitimu!"Alasan lagi, selalu dan selalu penuh alasan yang terdengar tak masuk akal"Oh wow, dan wanita itu juga menahan tangisan dan kejujurannya demi tidak menyakitiku. Aku bisa bayangkan betapa bergejolak hati wanita itu saat pertama kali berjumpa denganmu. Wah, Aku tidak tahu apa aku harus terharu atau merasa terhina, karena dua orang yang saling mencintai sedang mengasihani diriku. Apa aku semenyedihkan itu sampai kalian begitu prihatin atas perasaan ini?!""Aku tidak bermaksud meremehkanmu! Aku hanya ingin menjaga agar kau tetap bahagia!""Jika demikian kenapa kau harus jujur? Jaga saja rahasia masa lalumu sampai mati dan jangan beritahu aku, agar aku tidak menderita. Apa yang kau harapkan dengan jujur padaku dan memintaku untuk memaklumi pernikahan poligami. Apa kau gila?!""Ucapanmu sangat membuatku malu Mariana, Aku tidak tahu aku harus bagaimana," jawab lelaki itu sambil menggeleng lemah dan menahan kesedihan
Sinar keemasan mentari menerobos lewat celah kaca jendela, bayangan gorden menari di lantai marmer, namun kehangatannya tak mampu menembus dinginnya suasana hati. Di meja makan, kami hanya saling mendiamkan, meski aroma kopi dan makanan yang disediakan asisten terlihat menggugah tapi aku sama sekali tak menyentuh makanan itu. Suamiku duduk di kursi dan tak banyak bicara, sementara aku menatapnya sambil menahan kepalan tangan di seberang meja, pemberitahuan semalam dan jejak pertengkaran masih terasa dalam ingatanku, sebuah hal yang tidak bisa kuterima dan tak pernah kubayangkan sebelumnya. Aku tahu suatu hari secuil kenangan dari masa lalu itu akan teringat oleh suamiku, aku tahu dia menelusuri masa lalu dan yakin dia terus berusaha mencari jati dirinya, memeriksa apa yang telah terjadi di masa lampau orang-orang yang pernah terkait dengan itu. Aku tahu suatu saat ini akan terjadi, tapi aku tak menyangka dia ternyata punya keluarga yang belum ditinggalkannya. Kupikir suamiku duda