Selama di Sea World, aku tak banyak berada di sekitar mereka. Aku membiarkan mereka menikmati pemandangan akuarium raksasa dengan berbagai macam ikan di dalamnya. Saat ada pertunjukan oleh penyelam memberi makan ikan, aku berdiri paling belakang.
Pembawa acara mengundang anak-anak ke depan untuk menjawab pertanyaannya dan bagi yang bisa menjawab dengan benar akan mendapatkan hadiah. Saira terlihat mengacungkan tangan Sunny sehingga pembawa acara memilihnya lalu memberinya tantangan. Yaitu menyebutkan dengan benar kalimat seperti ‘Kelapa diparut, kepala diurut’.
Tiga orang anak mendapatkan perhatian sang pembawa acara. Anak pertama menyebutkannya dengan terbalik ‘Kepala diparut, kelapa diurut’ dan penonton yang bejibun ikut tertawa. “Kepala kok diparut?”
Sunny mendapat giliran terakhir. Dia tampak menyimak kalimat si pembawa
Keadaanku tidak terlalu baik dibandingkan hari-hari di minggu kemarin. Namun suasana kelas satu pagi ini terasa berbeda ketika aku masuk; Sunny absen. Aku kembali membuka kelas gambar seperti biasa; mengabaikan gangguan dari bangku Sunny di pojok belakang yang kosong. Aku teringat pada tawanya dan juga tangisnya.Joana kembali menggambar unicorn dan pelangi dengan versi berbeda; ditambah dengan makhluk kuning yang mirip seperti pisang. Oh, Minions rupanya. Dia mengulang perkataannya Minggu lalu; akan memberikan gambar itu ke Daddy-nya. Sangat manis.Di tengah pelajaran, Anna tiba-tiba datang. Wajahnya terlihat cemas. “Dar, kamu harus ke ruang kepala sekolah,” dia berkata.Aku tidak langsung bertanya kenapa. Melihat wajah Anna yang cemas, sesuatu pastilah terjadi dan itu mungkin buruk.Mr. Ulrich belum pernah memangg
Masih segar di benakku saat aku pulang ke rumah karena mendengar Magisa dalam masalah. Aku terbang dari Australia ke Indonesia, hanya karena takut dia menyakiti dirinya sendiri karena kegagalan maketnya. Tapi, kali ini walaupun jarak sekolah dan rumah tak sejauh itu, aku merasa lebih khawatir lagi.Istriku membenci Saira dengan sepenuh jiwanya. Kebodohan seorang wanita yang cemburu dan patah hati karenaku membuat dia harus mengetahui kenyataan yang paling dia benci. Semalam aku bermimpi bahwa istriku akan membunuhku; meski di dunia nyata itu tak mungkin; saat ini aku dilanda ketakutan yang luar biasa. Seperti seorang pengkianat negara yang tak akan diampuni saat tertangkap; seperti itulah aku saat ini. Seperti seorang lelaki penyelingkuh yang ketahuan dengan sangat telak.Hari ini telah begitu tidak adil padaku. Apakah di rumah nanti aku harus menghadapi pertengkaran yang lebih besar lagi? Ru
Magisa mulai mondar-mandir seperti seorang ratu yang jahat dengan obsesinya yang gila.“Aku nggak akan bisa mendapatkan kamu karena kamu nggak suka dengan gadis jelek seperti aku, dan aku juga nggak bisa bergabung dengan perkumpulan sialan mereka yang idenya itu berasal dariku!” Magisa mulai menggebu-gebu; menguak rahasia lain yang lebih mengejutkanku. “Kamu tahu betapa menyakitkannya itu? Tapi, harusnya dia tahu, kalau akhirnya kamu menikahi aku! Sayang, dia sudah masuk penjara lebih dulu....”“Jadi, kamu tau itu...?” hatiku seakan tercabik mendengarnya.“Ask... your... sister...,”dia berbisik di telingaku lalu terkekeh sambil kembali menatap Reggina.Aku menoleh ke belakang, di mana adikku tampak khawatir. “Sejak... kap
Adikku, Beatriz-Margriet Adams meninggal dunia di usia 23 tahun karena asma. Dia tidak terselamatkan karena kami tidak memberinya obat segera. Aku tidak menyangka ini harus terjadi padanya. Dengan kesedihan mendalam, aku dan Reggina kembali ke Australia untuk menyiapkan acara pemakamannya.Sampai detik adikku dimakamkan di samping ayahku, aku masih tidak percaya bahwa Triz yang tidak banyak bicara dan manja itu telah pergi untuk selamanya. Kejadian itu begitu singkat. Aku begitu marah pada diriku karena semuanya adalah salahku.Seminggu setelah pemakaman, suasana rumah kami masih sunyi. Reggina masih sering menangis mengenang adik yang selama ini selalu bersamanya dan tidak pernah pergi ke kantor lagi.“I’m so sorry...,”aku mendekati satu-satunya adik perempuanku yang berusaha saling mengh
Pernikahan kedua ibuku bukan masalah bagi anak-anak dari suaminya. Tapi, ada sesuatu yang nggak kumengerti tentang kakak tiriku, Wanda. Dia menghabiskan lebih banyak waktu untuk membuat masalah dan jauh dari rumah. Padahal dia punya semua yang dia butuhkan. Kehangatan keluarga dan hidup berkecukupan. Mama-ku sangat mencemaskan Wanda yang aku dengar berpacaran dengan gangster –jelas ayahnya nggak akan pernah setuju. Aku tahu ke mana rasa cemas ini bermuara –sesuatu yang berhubungan dengan kekerasan. Kurasa dia hanya nggak ingin Wanda mengalaminya juga, pun aku dan Ruby. Selama ini ibuku memang lebih dekat dengan anak tirinya. Jadi dia menelponku begitu tahu Wanda sedang berada di Jakarta –kota yang sama dengan tempat tinggalku, dan memberiku sebuah alamat agar menemuinya untuk memastikan kalau dia baik-baik saja sebelum dia pergi lagi entah ke mana. Ke
Saat aku keluar dari kamar setelah mandi dan ganti baju –punya Wanda, sepasang kekasih itu terlihat duduk di sofa di depan TV layar datar besar yang menggantung pada dinding abu-abu. Di bawahnya ada meja panjangan rendah dengan warna hitam mengkilat polos di mana perangkat home theatre tersusun. Sekat-sekat di bawahnya masing-masing diisi dengan patung kayu kecil berbagai bentuk –pilihan mereka untuk pajangan ternyata sangat kaku “Apaan sih ini?!” tegur lelaki itu saat Wanda yang bersandar rendah menaikan sebelah kakinya ke sandaran sofa dan posisinya hampir berada tepat di atas kepala pacarnya yang duduk pada ujung lainnya. Dengan kasar, laki-laki itu menyingkirkannya hingga Wanda terkejut. Wanda mendecak keras. “Reseh ah!” gerutunya. Aku nggak menyangka kalau hubungan mereka seperti itu –saling seenaknya, alih-alih romant
Mataku masih berat dalam perjalanan menuju kantor. Aku dan Wanda bercerita semalam suntuk tentang apa saja –kecuali masa lalu. Akibatnya bangun lebih awal menjadi sangat menjengkelkan karena aku hanya tidur dua jam dan itu bukan tidur yang pulas. Dalam pikiranku, ‘besok harus kerja’ berputar-putar menjadi doktrin otomatis yang nggak bisa diabaikan sekalipun aku masih ingin tidur. Perasaanku tambah nggak nyaman saat mendengar Nial dan Wanda berdebat soal mengantarku ke kantor atau tidak yang akhirnya disetujui Nial. Status pagi ini adalah naik SUV, Nial menyetir dengan tampangnya yang biasa dan Wanda di sebelahnya terlihat menikmati perjalanan. Sementara aku gelisah di belakang karena sudah kupastikan aku terlambat. “Nanti kami jemput lagi ya,” kata Wanda berpesan padaku sebelum aku turun. “Gue sibuk!” celetuk Nial; dengan a
Sosok Nial cukup mengintimidasi walaupun aku nggak pernah bicara langsung padanya. Ya, kalau aku jadi tuan rumah aku juga akan berpikir demikian terhadap orang asing yang datang ke rumahnya. Ia nggak berkomentar ketika aku duduk berhadapan dengannya dan makan dengan cuek saat aku juga mulai memilih makanan yang ingin aku makan –antara Sapo Tahu, Kentang Panggang Bumbu, salad buncis dengan tuna dan minyak zaitun, juga sayap ayam goreng. Dia memasak semuanya sendiri dan itu membuatku merasa nggak berharga jadi perempuan –aku sama sekali nggak bisa masak. Aku mengambil sepotong sayap ayam bersaus kecoklatan itu. “Enak banget,” kataku dengan girangnya dan kedua orang itu melihatku dengan ekspresi cukup kaget. Wanda menyambungnya dengan tawa sumringah. “Bener kan? Aku bilang masakannya enak,” katanya sambil menyikut Nial dan aku mengangguk-angguk lalu dengan cepat memakan sesuap lagi dengan send
Aku menginginkan sebuah keluarga yang normal. Sementara yang kumiliki hanyalah seorang ayah bajingan dan ibu yang bekerja sebagai pengasuh di rumah keluarga kaya, juga seorang kakak perempuan yang berusaha mati-matian untuk bisa pergi dari rumah kami yang terkutuk. Nggak ada seorang pun yang memperhatikanku.Satu kali aku pernah mencari ibuku ke tempat kerjanya –di sebuah rumah besar dengan pagar tinggi. Dari luar aku melihat ibuku bermain dengan tiga orang anak yang usianya lebih besar dariku di teras rumah. Mereka tertawa bahagia. Lalu aku pulang dengan sedih dan bertanya pada Ruby, “Apa Mama nggak sayang sama kita sampai dia nggak mau jagain kita dan malah jagain anak orang lain?”Usiaku sembilan tahun dan Ruby, enam belas tahun. Aku rasa Ruby tahu apa yang harus dikatakannya padaku agar aku nggak bersedih. Mungkin dia bisa menjawab dengan yakin bahwa Mama hanya bekerja a
“Bell?”Suara Nial kedengaran panik. Aku bergegas meninggalkan dapur dan menemukan dia baru keluar dari kamar dengan terburu-buru.“Ya?” sahutku.Dia agak terkejut. Dan entah mengapa menghembuskan nafas panjajng.“Kenapa?” tanyaku, heran.“Aku kira kamu kabur lagi,” jawabnya, sambil mengusap wajahnya dan rasa lelah itu masih kelihatan di sana.Logikanya, nggak mungkin aku kabur setelah semua yang terjadi di antara kami beberapa hari ini dan dia menjadikanku gadis paling bahagia sedunia dalam sekejap mata. Sekaligus menjadi matrealistis.“Kamu mimpi?”Dia nggak menjawab. Hanya bergerak menuju kursi meja makan dan duduk di sana sambil mengge
Nial sudah berangkat pagi-pagi sekali hingga aku bahkan nggak sempat bertemu dengannya. Seperti biasa, sarapan sudah ada di meja –waffle madu. Sepertinya dia tahu kalau dari semua menu sarapan sehatnya yang rata-rata menyisipkan sayur, waffle madu pilihan yang nggak bisa kutolak.Setelah sarapan aku kembali ke depan TV, memutar Fox Movies lagi. Film Transcendence sudah main sekitar sepuluh menit –aku juga sudah nonton film ini dengan Ruby. Jadi ingat Johnny Depp aktor favoritnya. Ruby selalu beranggapan hampir semua filmnya bagus. What’s Eating Gilbert Grape tahun 1993 adalah yang terbaik dari semuanya dan dia menontonnya berulang-ulang.Saat itu hobi menontonku sudah mulai berkurang karena ketegangan antara aku dan Ruby soal Alex. Aku mulai jarang menghabiskan waktu bersamanya karena Alex sering berkunjung. Ketika Ruby menonton film itu entah untuk yang ke berapa kalinya, A
Hari Kamis pagi, nggak biasanya aku dengar dia menelpon dengan seseorang di dapur dan mengenakan setelan jas lengkap warna hitam. Di meja makan sudah ada roti isi daging yang kelihatan lezat. Aku menguping tapi sama sekali nggak mengerti apa topik yang sedang dia bicarakan. Dan begitu melihatku, dia langsung menyudahi teleponnya.“Aku mau pergi,” katanya dengan cepat. Dia nggak akan duduk bersamaku di meja makan.Aku nggak menjawabnya. Itu artinya aku akan sendirian –dia pernah bilang kalau dia bukan pengangguran. Ya memang, selama di sini aku juga nggak merasa kalau dia ada sampai aku bosan dan harus mencuri kesempatan untuk kabur sejenak cuma buat mengobrol dengan Valde.“Pokoknya jangan bukain pintu untuk orang asing sampai aku pulang,” ia berpesan. “Dan jangan keluar sendirian.”
“Bellisa? Kamu kenapa?” Valde menatapku khawatir ketika dia menemukanku duduk sendirian di lorong nggak jauh dari kantor pengelola apartemen.Aku sengaja karena dalam pikiranku hanya itu yang ingin kulakukan saat ini. Bukannya pulang ke tempat asalku. Aku nggak mengerti dengan diriku saat ini. Apartemen ini bukan rumahku, tapi aku nggak mau pergi.“Kenapa kamu nangis?” tanya Valde lagi karena aku nggak juga menjawabnya. “Kamu dimarahin Nial lagi?”Aku mengangguk. Ya, dia selalu marah-marah. Namun, kali ini aku bertengkar dengannya. Padahal selama ini aku nggak mau begitu. Karena... kadang-kadang aku merasa dia sebenarnya memperhatikanku. Dia melarangku mandi air hangat tiap hari karena nggak ingin aku tergelincir. Dia menyuruh aku makan sayur –persis seperti Mamaku dulu. Semua keinginannya itu, aku tahu, kalau itu untu
Nial sudah masuk ke ruangan rahasianya dan aku memilih nonton TV. Namun satu jam kemudian aku langsung bosan. Aku butuh cemilan tapi Nial nggak mengizinkanku keluar sendiri. Aku terpaksa menurut karena nggak mau disalahkan gara-gara hari itu aku nggak beli apa pun di supermarket.Aku pergi ke dapur untuk mengambil minuman –sebotol jus jeruk dengan bulir asli di dalamnya. Aku mengambil satu dan kulihat tempat sampah di dekat wastafel sudah hampir penuh. Itu harus segera dibuang sebelum menyebabkan bau busuk. Apartemen memiliki tempat pembuangan sampah umum di lantai satu. Setiap pagi petugas kebersihan kota akan menjemput sampah-sampah itu dengan truk besar.Begitu teraturnya tempat ini, pikirku setelah melempar kantong plastik besar itu ke tumpukan sampah yang bau itu.“Bellisa?” seseorang menegurku dan itu membuat jantungku nyaris copot.
Aku mengangkat tubuhku dari dalam air; nafasku sesak. Aku sempat nyaris hilang kesadaran. Mungkin karena panasnya cukup membuatku pusing. Tapi, aku merasa mendengar seseorang memanggil-manggil namaku.Nial?Tapi, itu nggak mungkin. Dia nggak pernah memanggil namaku –karena dia bahkan nggak pernah memulai percakapan denganku. Kalaupun dia perlu untuk memberitahuku sesuatu dia menyebutku dengan ‘hei’.Setelah selesai mandi aku langsung teringat pada cucianku dipantry. Itu terlupa begitu saja gara-gara pesan ‘Aku kangen kamu’ yang kubaca di handphone-nya.Aku benci harus merasa cemburu. Dan harusnya aku nggak cemburu. Aku nggak berhak untuk cemburu. Cemburu nggak akan mengubah apa pun. Aku bukan siapa-siapanya.Aku
Dia baik –sudah cukup baik untuk orang judes dan ketus seperti dirinya. Dia memasak makanan yang enak setiap hari. Dia juga langsung membelikan mesin cuci agar aku bisa pakai baju bersih. Dia mengizinkan aku nonton TV seharian. Yah, walaupun dia bukan teman bicara yang asyik seperti Wanda atau Lulu. Tapi, dia nggak pernah menggangguku, malah sebaliknya. Dia bilang aku berisik dan terlalu banyak tanya. “Dia menelpon ke tempat kerjaku dan bilang kalau aku berhenti,” jawabku. “Dia sampai sejauh itu?” Aku mengangguk-angguk. “Aku masih bingung, Kak. Kalau sudah aman dan aku pergi dari sini, aku harus nyari kerjaan baru lagi.” Wanda nggak menjawabku. “Aku nggak mungkin tinggal di sini selamanya,” sambungku. “Semuanya bakal baik-b
“Aku pikir kamu kabur karena segitunya ingin pulang,” Nial marah karena aku memutuskan untuk menunggunya selesai di parkiran. Rupanya dia nggak suka karena itu membuatnya harus mencariku ke sana kemari. Dia terus memasang tampang masam setelah kami naik ke mobil dan siap-siap untuk pulang. “Kamu lama...,” kataku membela diri. “Aku juga nyariin kamu di tempat bahan pokok tapi nggak ketemu.” Bukankah dia cumamau belanja bahan makanan? Kenapa dia malah ke mana-mana? Ah sudahlah, orang kaya mah bebas! “Aku pergi ke toko elektronik. Mau lihat mesin cuci seperti yang ada di laundry itu.” “Kamu mau beli mesin cuci?” Entah mengapa aku jadi sedikit bersemangat. Nial mengangguk pelan tanp