Beranda / Urban / DOWN UNDER DOWN / SALAH TINGKAH

Share

SALAH TINGKAH

Penulis: Bias Sastra
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Sefti semakin sering mengirim pesan singkat usai pertemuan di Lapangan Tugu. Namun Haidar tetap mencoba untuk berpikir positif. Ia menduga jika si gadis Jawa itu sedang mencari teman baru selama di Aceh.

Sefti mengirim pesan di pagi hari, siang hingga saat malam tiba. Sedangkan Haidar mencoba menanggapi sebiasa mungkin.

Perempuan cantik itu juga mulai sering terlihat di depan RKU 3 yang menjadi ‘markas’ mahasiswa jurusan Sejarah selama ini. Keberadaan Sefti di sana, turut menjadi pembahasan serius kop mahasiswa ‘cap sikureung’ itu.

Kepada Haidar, Sefti beralasan kebetulan lewat, ketemu teman hingga diajak kawan ke kantin FKIP karena makanannya enak. Kebetulan pula, saat Sefti terlihat di FKIP, ada Haidar di sana. Namun Haidar sendiri tetap mencoba berpikir positif. Ia tidak mau ke pikiran macam-macam.

“Tak mungkin ia menyukaiku. Ia terlalu cantik untukku yang bukan siapa-siapa. Wanita cantik sepertinya pasti banyak disukai lelaki,” pikir Haidar.

“Lagian, kalau gadis itu suka pun, dia pasti mundur jika mengetahui latar belakangku.  Aku adalah lelaki sebatang kara. Orangtua mana yang mau menikahi anaknya dengan lelaki miskin seperti diriku,” gumam Haidar lagi.

“Bang Haidar, kenapa orang Aceh sangat benci dengan orang Jawa,” tanya Sefti saat mereka bertemu di kantin FKIP. Kepada Haidara, Sefti mengaku sedang menunggu seorang teman yang kebetulan kuliah di FKIP.

Sefti ke kantin, dan ternyata ada Haidar di sana yang menikmati segelas kopi sambil baca buku. Ia kemudian duduk di depan pemuda itu. Bau mawar seolah sedang mekar di sekeliling kantin. Beberapa pengunjung menoleh ke arah gadis itu.

Ekpresi wajah Sefti kali ini terlihat kaku. Aura-nya sedikit berbeda. Wajahnya terlihat serius.

Haidar mencoba tersenyum. Ia tak ingin gadis muda itu masuk dalam persoalan konflik yang baru saja reda di Aceh.

“Siapa bilang,” jawab Haidar dengan memasang mimik wajah serius.

Sefti menarik nafas panjang. “Sefti sudah setahun lebih di Aceh. Banyak orang ramah kepada Sefti saat awal ketemu. Kemudian justru menghindar saat tahu kalau Sefti berasal dari Jawa,” katanya kemudian. Pertanyaan itu cukup menohok.

Haidar mencoba santai. Ia tahu jika Sefti adalah gadis cerdas. Menghadapi pertanyaan dari gadis seperti Sefti, maka butuh jawaban yang tepat dan masuk akal.

“Mungkin karena konflik di masa lalu. Sebenarnya, orang Aceh tak membenci orang Jawa. Mereka hanya kecewa dengan janji-janji pemerintah pusat yang berada di tanah Jawa,” kata Haidar sambil mencari kata kata yang tepat untuk diungkapkan.

Jawaban Haidar ini membuat wajah Sefti kembali tersenyum.

“Syukurlah kalau begitu,” ujar sang gadis sambil mencoba memberi senyum termanisnya untuk lawan bicara di depan. Haidar hampir terbuai dengan senyuman itu. Dia cepat-cepat beralih pandang kembali ke buku.

“Sefti tidak apa-apa kok dibenci oleh seluruh warga Aceh, asal bukan Bang Haidar,” katanya tiba-tiba sambil menatap Haidar dengan penuh kelembutan.

Kalimat itu membuat Haidar tersentak. Bukunya hampir jatuh dari tangan. Ia hampir salah tingkah. Namun Haidar mencoba bersikap biasa walaupun jantungnya berdetak kencang. “Mungkin Sefti sedang menggodaku untuk candaan biasa,” pikirnya saat itu.

“Sef, jangan bercanda seperti itu. Kamu bisa membuat para lelaki salah tingkah kalau mendengarkannya,” ujar Haidar.

Tapi Sefti tetap menatapnya dengan penuh kelembutan.

“Jadi Bang Haidar bukan laki-laki?” balas Sefti lagi dengan mimic serius. Tapi pertanyaan kali ini justru membuat alis Haidar berkerut.

“Maksudnya?”

Sefti tersenyum mendengar respon Haidar. Gadis itu memamerkan deretan gigi putih bersihnya yang menawan.

“Tadi Abang bilang, kalau aku buat lelaki salah tingkah kalau mendengarkan… Bang Haidar justru cuek saja kah, berarti…” ujar Sefti penuh makna. Kini giliran Haidar yang tertawa lepas.

“Oh, tidak-tidak. Aku lelaki normal kok,” ujarnya sambil tersenyum. Si gadis terlihat cukup nyaman dengan tawanya.

Bab terkait

  • DOWN UNDER DOWN   SAHABAT DI SEKOLAH

    WARUNG Mang Vijay padat seperti biasanya. Meski terletak di sudut kota, warung kecil miliknya selalu ramai dikunjungi oleh warga. Ini jadi lokasi favorit para muda-mudi untuk menghabiskan waktu usai jam sekolah selesai.Letak warung ‘Bambu’ yang berhadapan langsung dengan persawahan menjadikan tempat ini terasa asri.Para pengunjung datang dan pergi. Namun satu meja di pojok kanan tetap dihuni oleh tiga dara cantik yang sama sejak pukul 14.00 WIB tadi. Mereka masih berseragam. Hampir tiga jam mereka di sana dan Mang Vijay tak berani menegur. Maklum, ketiganya adalah langganan setia di warung itu. Padahal Tepo Tahu pesanan mereka sudah habis sejak beberapa jam lalu.“Sef. Jadi beneran kamu akan daftar kuliah di Aceh?” ujar Tri. Gadis manis ini bertubuh semampai. Rambut hitamnya dipotong sebahu.Sementara gadis yang dipanggil tadi hanya tersenyum kecut. Gadis cantik berkulit mulus itu memandang jauh ke depan. Tatapannya kosong. Ia se

  • DOWN UNDER DOWN   PILIHAN SULIT

    BAGI Sefti kuliah di Aceh adalah pilihan paling sulit. Ia belum rela pisah dengan Si Mbok. Ia juga belum rela pisah dengan Bela dan Tri.Dari kecil, ia tidak pernah pergi jauh dari Ngawi. Ia sekolah dasar hingga menengah atas, yang cuma berjarak tiga kilo dari rumahnya. Namun di sisi lain, ia juga sudah terlanjur janji dengan ayahnya untuk menyusul ke Aceh begitu ia lulus SMA. Ayahnya kini menagih janji itu. Ia juga sudah didaftar di salah satu universitas di Aceh.Sefti sendiri, banyak menerima informasi tak sedap soal Aceh belakangan ini.“Ganja, GAM dan tsunami,” kata Supriadi, tetangganya saat ditanya soal Aceh.“Orang GAM tak suka orang Jawa. Orang Jawa diusir dari Aceh. Banyak yang dibunuh,” kata Bayu, teman sekolahnya.“Di sana sering terjadi gempa dan rawan Tsunami. Jika pindah ke sana, kamu bisa jadi korban tsunami,” ulas Tante Uti, adik ayahnya, saat ditanya pertanyaan yang sama soal Aceh.Dari s

  • DOWN UNDER DOWN   MENANGGUNG RINDU

    UJIAN akhir sekolah berjalan dengan mulus. Sefti yakin bakal dapat nilai bagus dan lulus dengan prediket terbaik. Namun hal itu semakin membuatnya dilema.Dilema karena ia bersyukur bakal segera bertemu dengan ayahnya di Aceh. Namun di sisi lain, ia juga bakal segera berpisah dengan Si Mbok, Tante Uti dan teman-temannya di Ngawi.Ada banyak kenangannya di Ngawi. Ia juga tak lagi berziarah di makam ibunya saat sedih atau rindu.Ia tak bisa lagi makan Tepo Tahu kesukaannya di warung Mang Vijay dan menghabis waktu di sana bersama Tri dan Bela.Ia akan kangen dengan kedua sahabatnya itu. Tawa dan canda mereka yang selalu mengisi hari-harinya selama ini.Aceh, adalah nama asing yang kian akrab dengannya selama beberapa tahun terakhir. Negeri asing yang akan segera ditempatinya nanti selama beberapa tahun kedepan, atau minimal hingga ayahnya kembali pindah tugas ke tempat lainnya.Ia berat untuk pergi ke Aceh. Namun di sanalah, ayahnya kini berada

  • DOWN UNDER DOWN   GADIS MUNGIL

    Sefti terpaku lama. Dia mengamati sekeliling. Ada nuansa yang berbeda begitu ia tiba di Aceh. Ia kini tiba di tanah para aulia. Tanah kelahiran para pejuang Indonesia. Negeri yang menjadi modal bangsa besar ini.Negeri yang begitu setia di awal-awal kemerdekaan, kemudian beralih sebagai basis pemberontakan hingga puluhan tahun lamanya.“Selamat datang di Bandara Sultan Iskandar Muda.”Itu yang tertulis di sana. Langit yang biru serta perpohonan hijau mulai terlihat dari pintu pesawat.Para penumpang terlihat sibuk dengan barang bawaan masing-masing. Beberapa bule berpakaian tipis terlihat mengamati sekeliling seperti dirinya. Mereka memikul ransel besar di punggungnya.Para penumpang pria local terlihat santun. Mereka tak langsung serobot turun berdesak-desakan hingga menyentuh tubuh penumpang wanita. Demikian juga dengan petugas bandara yang berulang kali tersenyum dan menyapanya dengan hangat. Ini berbeda jauh dengan informasi yang di

  • DOWN UNDER DOWN   KELILING KOTA ACEH

    MOBIL yang ditumpangi Sefti melaju dengan kecepatan sedang. Rina ternyata sopir yang mahir. Dari dalam mobil, Sefti mengamati hamparan sawah yang menguning sejauh mata memadang serta deretan pohon yang tumbuh subur.Rina kemudian menghentikan laju kendaraan di depan kuburan massal Siron.“Apa ini Rin?” tanya Sefti.“Ini kuburan massal korban tsunami Sef. Mungkin kamu mau lihat-lihat kayak bule yang datang ke Aceh. Aku pemandumu hari ini,” kata Rina tersenyum.Sefti mengangguk. Dia senang mendapat teman baru yang baik seperti Rina.Sefti keliling komplek kuburan massal Siron. Ada nuansa berbeda yang ia rasakan begitu memasuki komplek ini. Seseolah ada banyak orang yang sedang beraktivitas di sana. Namun tak kasat mata.Sefti berdoa dan kemudian kembali ke mobil.“Tidak foto-foto, Sef?” tanya Rina.Sefti tersenyum. Ia kemudian menggeleng.“Pengen tapi takut aku. Takut yang di dalam

  • DOWN UNDER DOWN   KRITERIA ATAU DAMBAAN

    SEPERTI janji Rina, mereka menghabiskan hari bersama hingga menjelang magrib. Rina menjadi pemandu yang baik bagi Sefti. Keduanya bahkan singgah ke SMP 1 dan SMA I Banda Aceh yang menjadi sekolah ibu-nya Sefti semasa tinggal di Banda Aceh.Kedua sekolah ini berdekatan. Mereka minta izin ke petugas setempat untuk melihat-lihat ke komplek sekolah.“Mamak-mu pasti pintar ya Sef! Ini kan sekolah favorit di Banda Aceh,” ujar Rina saat mereka di komplek SMP 1 Banda Aceh.Sefti mengangguk tanda setuju.“Iya Rina. Mamak-ku cerdas dan kata Si Mbok-ku, ia jadi idola sejak remaja. Sayang, aku tak bisa mengenalnya dengan baik. Mamak meninggal saat melahirkanku.”“Dia wanita yang super cantik. Makanya ayahku patah hati bertahun-tahun setelah ia meninggal,” kata Sefti lagi.Rina tersenyum. Ia tak ingin sahabat barunya itu berduka ketika mengenang kisah hidupnya. Rina mencoba mencairkan suasana dengan kalimat-kalimat yan

  • DOWN UNDER DOWN   CUEK

    HARI-hari berlalu dengan cepat. Sefti mulai beradaptasi dengan lingkungan barunya di Aceh. Ia juga mulai sibuk dengan orientasi perkenalan kampus serta seabrek aktivitas mahasiswa baru lainnya. Untuk itu, sang ayah membeli sepeda motor untuk memudahkan aktivitasnya pulang pergi ke kampus atau aktivitas lainnya.Ia mulai hafal dengan jalur lalu lintas yang ada di Banda Aceh. Namun sesekali ia masih tetap saja nyasar. Padahal Rina sudah berulangkali mengingatkannya tentang rute yang ada di Banda Aceh.Ia kadang ke sasar ke Krueng Cut atau Alue Naga. Saat itu terjadi, Rina-lah yang datang menjemput.Namun hari ini, Rina memiliki agenda tersendiri di kampusnya. Aktivitas tersebut baru selesai pukul 14.00 WIB nanti. Sedangkan saat ini masih pukul 11.00 WIB.Sefti mencoba bertahan di kampus hingga aktivitas Rina selesai. Ia sudah janji dengan gadis mungil itu.Mereka janji akan menghabiskan waktu hingga magrib tiba sambil melihat matahari terbenam.

  • DOWN UNDER DOWN   HARI BURUK

    Sefti cemberut saat melihat Rina melambai dari kejauhan. Gadis mungil itu memasang wajah tanpa dosa meski molor dari janji hampir satu jam lamanya.Mereka janji bertemu pukul 14.00 WIB, namun kini sudah pukul 15.14 WIB. Padahal, menunggu merupakan pekerjaan yang sangat membosankan.Sefti kesal dengan kejadian di perpustakaan tadi dan kini juga bertambah gara-gara Rina. Hampir tiga jam lebih ia menungu di kantin dengan tiga gelas jus apel, satu piring mie Aceh dan 5 potong kue kering.Belum lagi para mahasiswa yang melihat ke arahnya dengan sorotan tajam. Entah apa yang ada dalam pikiran mereka. Sefti mulai risih.“Hai cantik. Sorry telat. Maaf ya,” ujar Rina.Sefti tetap memasang wajah cemberut. Ia benar-benar kesal.“Sorry. Sebagai gantinya, aku yang traktir hari ini. Kamu bisa makan apapun, aku yang bayar,” kata Rina lagi.Lobi Rina kali ini sedikit membuat cemberut di wajah Sefti menghilang. Namun gadis berd

Bab terbaru

  • DOWN UNDER DOWN   Epilogue

    Aku menginginkan sebuah keluarga yang normal. Sementara yang kumiliki hanyalah seorang ayah bajingan dan ibu yang bekerja sebagai pengasuh di rumah keluarga kaya, juga seorang kakak perempuan yang berusaha mati-matian untuk bisa pergi dari rumah kami yang terkutuk. Nggak ada seorang pun yang memperhatikanku.Satu kali aku pernah mencari ibuku ke tempat kerjanya –di sebuah rumah besar dengan pagar tinggi. Dari luar aku melihat ibuku bermain dengan tiga orang anak yang usianya lebih besar dariku di teras rumah. Mereka tertawa bahagia. Lalu aku pulang dengan sedih dan bertanya pada Ruby, “Apa Mama nggak sayang sama kita sampai dia nggak mau jagain kita dan malah jagain anak orang lain?”Usiaku sembilan tahun dan Ruby, enam belas tahun. Aku rasa Ruby tahu apa yang harus dikatakannya padaku agar aku nggak bersedih. Mungkin dia bisa menjawab dengan yakin bahwa Mama hanya bekerja a

  • DOWN UNDER DOWN   Part of Somthing

    “Bell?”Suara Nial kedengaran panik. Aku bergegas meninggalkan dapur dan menemukan dia baru keluar dari kamar dengan terburu-buru.“Ya?” sahutku.Dia agak terkejut. Dan entah mengapa menghembuskan nafas panjajng.“Kenapa?” tanyaku, heran.“Aku kira kamu kabur lagi,” jawabnya, sambil mengusap wajahnya dan rasa lelah itu masih kelihatan di sana.Logikanya, nggak mungkin aku kabur setelah semua yang terjadi di antara kami beberapa hari ini dan dia menjadikanku gadis paling bahagia sedunia dalam sekejap mata. Sekaligus menjadi matrealistis.“Kamu mimpi?”Dia nggak menjawab. Hanya bergerak menuju kursi meja makan dan duduk di sana sambil mengge

  • DOWN UNDER DOWN   Evil Man

    Nial sudah berangkat pagi-pagi sekali hingga aku bahkan nggak sempat bertemu dengannya. Seperti biasa, sarapan sudah ada di meja –waffle madu. Sepertinya dia tahu kalau dari semua menu sarapan sehatnya yang rata-rata menyisipkan sayur, waffle madu pilihan yang nggak bisa kutolak.Setelah sarapan aku kembali ke depan TV, memutar Fox Movies lagi. Film Transcendence sudah main sekitar sepuluh menit –aku juga sudah nonton film ini dengan Ruby. Jadi ingat Johnny Depp aktor favoritnya. Ruby selalu beranggapan hampir semua filmnya bagus. What’s Eating Gilbert Grape tahun 1993 adalah yang terbaik dari semuanya dan dia menontonnya berulang-ulang.Saat itu hobi menontonku sudah mulai berkurang karena ketegangan antara aku dan Ruby soal Alex. Aku mulai jarang menghabiskan waktu bersamanya karena Alex sering berkunjung. Ketika Ruby menonton film itu entah untuk yang ke berapa kalinya, A

  • DOWN UNDER DOWN   Bad Liar

    Hari Kamis pagi, nggak biasanya aku dengar dia menelpon dengan seseorang di dapur dan mengenakan setelan jas lengkap warna hitam. Di meja makan sudah ada roti isi daging yang kelihatan lezat. Aku menguping tapi sama sekali nggak mengerti apa topik yang sedang dia bicarakan. Dan begitu melihatku, dia langsung menyudahi teleponnya.“Aku mau pergi,” katanya dengan cepat. Dia nggak akan duduk bersamaku di meja makan.Aku nggak menjawabnya. Itu artinya aku akan sendirian –dia pernah bilang kalau dia bukan pengangguran. Ya memang, selama di sini aku juga nggak merasa kalau dia ada sampai aku bosan dan harus mencuri kesempatan untuk kabur sejenak cuma buat mengobrol dengan Valde.“Pokoknya jangan bukain pintu untuk orang asing sampai aku pulang,” ia berpesan. “Dan jangan keluar sendirian.”

  • DOWN UNDER DOWN   Going Crazy

    “Bellisa? Kamu kenapa?” Valde menatapku khawatir ketika dia menemukanku duduk sendirian di lorong nggak jauh dari kantor pengelola apartemen.Aku sengaja karena dalam pikiranku hanya itu yang ingin kulakukan saat ini. Bukannya pulang ke tempat asalku. Aku nggak mengerti dengan diriku saat ini. Apartemen ini bukan rumahku, tapi aku nggak mau pergi.“Kenapa kamu nangis?” tanya Valde lagi karena aku nggak juga menjawabnya. “Kamu dimarahin Nial lagi?”Aku mengangguk. Ya, dia selalu marah-marah. Namun, kali ini aku bertengkar dengannya. Padahal selama ini aku nggak mau begitu. Karena... kadang-kadang aku merasa dia sebenarnya memperhatikanku. Dia melarangku mandi air hangat tiap hari karena nggak ingin aku tergelincir. Dia menyuruh aku makan sayur –persis seperti Mamaku dulu. Semua keinginannya itu, aku tahu, kalau itu untu

  • DOWN UNDER DOWN   Terkekang

    Nial sudah masuk ke ruangan rahasianya dan aku memilih nonton TV. Namun satu jam kemudian aku langsung bosan. Aku butuh cemilan tapi Nial nggak mengizinkanku keluar sendiri. Aku terpaksa menurut karena nggak mau disalahkan gara-gara hari itu aku nggak beli apa pun di supermarket.Aku pergi ke dapur untuk mengambil minuman –sebotol jus jeruk dengan bulir asli di dalamnya. Aku mengambil satu dan kulihat tempat sampah di dekat wastafel sudah hampir penuh. Itu harus segera dibuang sebelum menyebabkan bau busuk. Apartemen memiliki tempat pembuangan sampah umum di lantai satu. Setiap pagi petugas kebersihan kota akan menjemput sampah-sampah itu dengan truk besar.Begitu teraturnya tempat ini, pikirku setelah melempar kantong plastik besar itu ke tumpukan sampah yang bau itu.“Bellisa?” seseorang menegurku dan itu membuat jantungku nyaris copot.

  • DOWN UNDER DOWN   Mengikuti Keinginan

    Aku mengangkat tubuhku dari dalam air; nafasku sesak. Aku sempat nyaris hilang kesadaran. Mungkin karena panasnya cukup membuatku pusing. Tapi, aku merasa mendengar seseorang memanggil-manggil namaku.Nial?Tapi, itu nggak mungkin. Dia nggak pernah memanggil namaku –karena dia bahkan nggak pernah memulai percakapan denganku. Kalaupun dia perlu untuk memberitahuku sesuatu dia menyebutku dengan ‘hei’.Setelah selesai mandi aku langsung teringat pada cucianku dipantry. Itu terlupa begitu saja gara-gara pesan ‘Aku kangen kamu’ yang kubaca di handphone-nya.Aku benci harus merasa cemburu. Dan harusnya aku nggak cemburu. Aku nggak berhak untuk cemburu. Cemburu nggak akan mengubah apa pun. Aku bukan siapa-siapanya.Aku

  • DOWN UNDER DOWN   Three Steps Back

    Dia baik –sudah cukup baik untuk orang judes dan ketus seperti dirinya. Dia memasak makanan yang enak setiap hari. Dia juga langsung membelikan mesin cuci agar aku bisa pakai baju bersih. Dia mengizinkan aku nonton TV seharian. Yah, walaupun dia bukan teman bicara yang asyik seperti Wanda atau Lulu. Tapi, dia nggak pernah menggangguku, malah sebaliknya. Dia bilang aku berisik dan terlalu banyak tanya. “Dia menelpon ke tempat kerjaku dan bilang kalau aku berhenti,” jawabku. “Dia sampai sejauh itu?” Aku mengangguk-angguk. “Aku masih bingung, Kak. Kalau sudah aman dan aku pergi dari sini, aku harus nyari kerjaan baru lagi.” Wanda nggak menjawabku. “Aku nggak mungkin tinggal di sini selamanya,” sambungku. “Semuanya bakal baik-b

  • DOWN UNDER DOWN   Mesin Cuci

    “Aku pikir kamu kabur karena segitunya ingin pulang,” Nial marah karena aku memutuskan untuk menunggunya selesai di parkiran. Rupanya dia nggak suka karena itu membuatnya harus mencariku ke sana kemari. Dia terus memasang tampang masam setelah kami naik ke mobil dan siap-siap untuk pulang. “Kamu lama...,” kataku membela diri. “Aku juga nyariin kamu di tempat bahan pokok tapi nggak ketemu.” Bukankah dia cumamau belanja bahan makanan? Kenapa dia malah ke mana-mana? Ah sudahlah, orang kaya mah bebas! “Aku pergi ke toko elektronik. Mau lihat mesin cuci seperti yang ada di laundry itu.” “Kamu mau beli mesin cuci?” Entah mengapa aku jadi sedikit bersemangat. Nial mengangguk pelan tanp

DMCA.com Protection Status