Sefti memberi isyarat ke Insani sambil menunjuk ke arah ayahnya. Insani yang awalnya garuk-garuk kepala akhirnya tahu apa yang terjadi. Ia mendekati Haidar dan mengajak sosok itu ke toilet dengan alasan minta ditemani.
Untungnya, Haidar dengan cepat mengangguk tanda setuju. Keduanya kemudian melangkah ke arah belakang. Insani mencoba memisahkan Haidar agar tak ketemu dengan ayah Sefti yang sedang berpakaian loreng.
Insani yakin jika Haidar shock jika mengetahui ayah Sefti, komandan Gusti, adalah seorang tentara.
Di toilet, ternyata ada beberapa pengunjung yang sedang antri untuk tujuan yang sama. Insani justru senang akan keadaan tersebut sehingga mereka memiliki waktu yang relative lama untuk menghindari.
“Dar, kita ke masjid aja yok. Aku tak tahan lagi nie,” ujar Insani beralasan agar mereka bisa keluar dari Café Mbak Moel. Haidar lagi-lagi mengangguk tanpa membantak. Haidar memang tipe orang yang setia kawan dan baik hati.
Keduanya kemudian
DUA bulan usai wisuda, Haidar dan Insani mulai menempati kos baru di kawasan Krueng Cut Aceh Besar. Haidar menggunakan waktu di pagi hari untuk mengajar di salah satu sekolah swasta di Banda Aceh. Siangnya ia membantu Bang Ilham di bengkel-nya. Sementara malam harinya, ia jualan burger di Warkop Pinggir Kali. Haidar mulai menyusun program untuk melanjutkan pendidikan Magister ke Australia. Untuk mencapai target tersebut, ia mulai menabung sedikit demi sedikit. Haidar pernah beberapa kali mencoba mengajukan beasiswa ke Pemerintah Aceh. Namun perjuangannya selalu kandas di tengah jalan. Alasannya berbagai macam, mulai dari persyaratan yang ribet hingga waktu pendaftaran yang teramat singkat. Ia sempat putus asa dan akhirnya memilih untuk berangkat dengan jerih payah sendiri. Untuk itu, ia harus menyisihkan uang hasil kerjanya setiap hari. “Aku yakin pasti bisa,” ujarnya optimis kepada Insani. Insani sendiri mulai focus menyelesaikan skipsi milik
HARI hari berlalu dengan cepat. Sefti mulai jarang bertemu dengan Haidar. Ini karena ia sedang focus pada skripsi. Mereka hanya berkomunikasi via handphone. Sefti menargetkan bisa selesai tepat waktu. Paling lamban, pertengahan 2018 mendatang, target melanjutkan magister di Australia. Haidar akan mengambil masgister social atau pendidikan, dan Sefti sendiri menargetkan lanjutan ke magister komunikasi. Salah satu sasarannya adalah University of Sydney yang terletak di Sydney, Australia. University of Sydney merupakan universitas yang sangat bergengsi di Australia, masuk dalam peringkat top 50 dunia versi Times Higher Education dan peringkat ke 3 Australia. University of Sydney didirikan pada tahun 1850 yang menjadikannya sebagai kampus tertua yang dibangun pertama kali di Australia. Berlokasi di kota Sydney yang merupakan satu kota yang termasuk top 10 kota paling nyaman untuk dihuni didunia, sydney juga sudah sangat diakui dunia dalam hal kualitas pen
Pertengahan 2017 Sefti dan Insani akhirnya diwisuda. Insani telat satu tahun dari jadwal semestinya. Insani didampingi oleh kedua orangtuanya yang datang dari Aceh Jaya. Ia menggelar hajatan kecil-kecilan di salah satu rumah makan di seputaran Kota Banda Aceh. Haidar turut diundang untuk hadir ke sana. Yang anehnya, justru Sefti yang tak menggelar hajatan makan-makan seperti sarjana lainnya. Padahal, Sefti termasuk dari keluarga yang berada. Ini terlihat dari caranya berpakaian hingga aktivitas yang ditunjukannya selama ini. “Aku ingin berhemat. Hitung-hitung untuk nabung ke Australia nantinya,” ujar Sefti beralasan saat ditanya oleh Haidar terkait keputusannya itu. Haidar sendiri mendukung keputusan tersebut. Usai prosesi wisuda, gadis cantik peranakan Jawa-Aceh ini langsung menghilang dari kerumunan. Haidar menduga ada sesuatu yang ‘aneh’ dengan prilaku Sefti itu. Terlebih, tak satupun orangtuanya yang hadir ke AAC Dayan Daw
Haidar akhirnya balik kiri dan pulang ke kos di Kahju. Hari ini, ia memutuskan untuk tak berjualan di Warkop Pinggir Kali. Jantungnya berdetak kencang. Ia benar-benar tak menyangka jika Sefti tega mengkhianati dirinya. Haidar gelisah. Ia berulang kali menyakinkan diri bahwa apa yang dilihatnya tadi hanya halusinasi. Hanya ketakutannya yang berlebihan dan itu tidak benar adanya. Haidar mencoba tidur. Namun matanya tak juga bisa terpejam. Momen Sefti memeluk pria berpakaian loreng terus berulang di matanya. Ada trauma yang mendalam setiap kali ini melihat baju loreng. Kisah kelam di masa lalu kembali melintas di-ingatannya. Suara letusan senjata bergema seolah nyata. Darah yang mengalir di bajunya saat Budi roboh di depan mata. Penculikan paksa abangnya Raman. Mayat pamannya yang ditarik dalam karung di sungai Arakundo. Rumahnya yang tinggal puing. Tangisan sang ibu yang memeluk jasad ayahnya. Suara jeritan warga seolah melintas satu persatu di ingatann
Haidar seakan tidak percaya dengan apa yang disampaikan Insani. Ia tidak percaya bahwa selama ini ia mencintai anak seorang tentara. Sefti ternyata anak seorang tentara. Sementara dirinya adalah korban konflik yang memiliki sejarah kelam di masa lalu, saat Aceh masih berkonflik. Tak salah Sefti memang jika dia lahir dari keluarga tentara. Tapi untuk melupakan masa lalu juga sangat sulit bagi Haidar. Ia mungkin tak memiliki ideologi kuat seperti anak GAM pada umumnya. Tapi ingatan tentang masa lalu tetap menghantui hidupnya. Selama ini, Haidar begitu terus terang kepada Sefti bahwa ia membenci seragam loreng. Hati Sefti pasti remuk. Namun sosok itu masih tetap tersenyum ke arahnya. “Haruskah aku terus menyimpan dendam ini?” gumam Haidar dalam hati. Ia kemudian terdiam. Ia terdiam lama. Hatinya hancur dengan kenyataan yang disampaikan Insani. Haidar tak peduli jika Sefti adalah keturunan Jawa. Ayahnya semasa hidup tak berjuang melawan su
Pertengahan 1998 SUASANA di pedalaman Matang, Bireuen, terasa tak biasa. Angin yang biasanya berhembus kencang terasa tenang malam ini. Kicauan burung tak terdengar. Bahkan suara jangkrik pun seolah menghilang entah kemana. Para santri tertidur lelap di asrama masing-masing. Mereka mungkin telah terbuai dengan mimpi. Hanya beberapa lampu dayah yang masih menyala. Jam menunjukan pukul 00.23 dini hari. Tapi Teungku Fiah masih belum bisa memejamkan mata. Ini merupakan pekan kedua, ia dan keluarga, berada di komplek dayah di pedalaman Bireuen tadi. Teungku Fiah terlihat gelisah. Berulangkali ia balik badan di kasur kecil yang ditempatinya bersama Sakdiah. Sementara Haidar, anaknya yang tersisa, terlihat lelap di kasur lainnya yang berada tak jauh dari tempat tidur mereka. Gerak Teungku Fiah yang gelisah membuat Sakdiah terjaga. “Kenapa Abang gelisah tiba-tiba? Apakah ada sesuatu yang tidak bereh?” ujar Sakdiah. Ia kemudian
MALAM kian larut. Suara mobil reo tiba-tiba terdengar dari kejauhan. Beberapa guru dayah ke luar dari bilik. Mereka terkejut saat melihat Mustafa memegang AK-47 dan pistol FN di tangan Teungku Fiah. Salah seorang di antara mereka kemudian mendekat. Pria itu adalah Teungku Wan, ia termasuk salah seorang guru senior di dayah itu. “Teungku-teungku lebih baik ke rumah pimpinan saja. Di sana lebih aman. Saya jamin tentara tak akan masuk ke sana,” ujarnya. “Kalau teungku membalas tembakan di sini. Dayah ini akan terbakar. Kasihan anak-anak miskin yang belajar di sini,” kata Teungku Wan lagi. Apa yang disampaikan oleh Teungku Wan memang benar adanya. Mustafa dan Teungku Fiah bisa saja membalas tembakan jika tentara republic masuk dayah dan mencari mereka. Namun yang dikhawatirkan justru efek pasca perang terbuka terjadi nantinya. Dayah akan dibakar. Suara reo kian terasa dekat. Suara itu terdengar jelas dari arah jalan desa. “Teungku Azwir, t
TEUNGKU Fiah dan Mustafa saling pandang. Mereka akhirnya tahu kenapa tentara republic akhirnya masuk dayah. “Ada cuak ternyata teungku,” bisik Mustafa ke telinga Teungku Fiah. Sementara Teungku Fiah mengangguk berulangkali. Dayah yang mereka tempati saat ini memang pro terhadap perjuangan tentara nanggroe. Namun selama ini tetap beraktivitas seperti biasa. Baru kali ini digerebek seperti sekarang. Teungku Fiah berharap suara senjata tadi hanya peringatan dan tembakan ke atas oleh tentara republic. Teungku Fiah tak ingin ada korban karena para teungku-teungku itu menjaga mereka. “Tum, tum, tum…..” Suara itu kembali terdengar. Kemudian disusul dengan suara jeritan orang-orang di luar kamar. “Sudah, sudah. Jangan ada tembakan lagi.” Seseorang terdengar berbicara setengah berteriak. Suara itu terdengar jelas hingga ke dalam kamar yang ditempati Teungku Fiah dan Mustafa. “Bawa mereka. Ini peringatan bagi siapa saja yang menc
Aku menginginkan sebuah keluarga yang normal. Sementara yang kumiliki hanyalah seorang ayah bajingan dan ibu yang bekerja sebagai pengasuh di rumah keluarga kaya, juga seorang kakak perempuan yang berusaha mati-matian untuk bisa pergi dari rumah kami yang terkutuk. Nggak ada seorang pun yang memperhatikanku.Satu kali aku pernah mencari ibuku ke tempat kerjanya –di sebuah rumah besar dengan pagar tinggi. Dari luar aku melihat ibuku bermain dengan tiga orang anak yang usianya lebih besar dariku di teras rumah. Mereka tertawa bahagia. Lalu aku pulang dengan sedih dan bertanya pada Ruby, “Apa Mama nggak sayang sama kita sampai dia nggak mau jagain kita dan malah jagain anak orang lain?”Usiaku sembilan tahun dan Ruby, enam belas tahun. Aku rasa Ruby tahu apa yang harus dikatakannya padaku agar aku nggak bersedih. Mungkin dia bisa menjawab dengan yakin bahwa Mama hanya bekerja a
“Bell?”Suara Nial kedengaran panik. Aku bergegas meninggalkan dapur dan menemukan dia baru keluar dari kamar dengan terburu-buru.“Ya?” sahutku.Dia agak terkejut. Dan entah mengapa menghembuskan nafas panjajng.“Kenapa?” tanyaku, heran.“Aku kira kamu kabur lagi,” jawabnya, sambil mengusap wajahnya dan rasa lelah itu masih kelihatan di sana.Logikanya, nggak mungkin aku kabur setelah semua yang terjadi di antara kami beberapa hari ini dan dia menjadikanku gadis paling bahagia sedunia dalam sekejap mata. Sekaligus menjadi matrealistis.“Kamu mimpi?”Dia nggak menjawab. Hanya bergerak menuju kursi meja makan dan duduk di sana sambil mengge
Nial sudah berangkat pagi-pagi sekali hingga aku bahkan nggak sempat bertemu dengannya. Seperti biasa, sarapan sudah ada di meja –waffle madu. Sepertinya dia tahu kalau dari semua menu sarapan sehatnya yang rata-rata menyisipkan sayur, waffle madu pilihan yang nggak bisa kutolak.Setelah sarapan aku kembali ke depan TV, memutar Fox Movies lagi. Film Transcendence sudah main sekitar sepuluh menit –aku juga sudah nonton film ini dengan Ruby. Jadi ingat Johnny Depp aktor favoritnya. Ruby selalu beranggapan hampir semua filmnya bagus. What’s Eating Gilbert Grape tahun 1993 adalah yang terbaik dari semuanya dan dia menontonnya berulang-ulang.Saat itu hobi menontonku sudah mulai berkurang karena ketegangan antara aku dan Ruby soal Alex. Aku mulai jarang menghabiskan waktu bersamanya karena Alex sering berkunjung. Ketika Ruby menonton film itu entah untuk yang ke berapa kalinya, A
Hari Kamis pagi, nggak biasanya aku dengar dia menelpon dengan seseorang di dapur dan mengenakan setelan jas lengkap warna hitam. Di meja makan sudah ada roti isi daging yang kelihatan lezat. Aku menguping tapi sama sekali nggak mengerti apa topik yang sedang dia bicarakan. Dan begitu melihatku, dia langsung menyudahi teleponnya.“Aku mau pergi,” katanya dengan cepat. Dia nggak akan duduk bersamaku di meja makan.Aku nggak menjawabnya. Itu artinya aku akan sendirian –dia pernah bilang kalau dia bukan pengangguran. Ya memang, selama di sini aku juga nggak merasa kalau dia ada sampai aku bosan dan harus mencuri kesempatan untuk kabur sejenak cuma buat mengobrol dengan Valde.“Pokoknya jangan bukain pintu untuk orang asing sampai aku pulang,” ia berpesan. “Dan jangan keluar sendirian.”
“Bellisa? Kamu kenapa?” Valde menatapku khawatir ketika dia menemukanku duduk sendirian di lorong nggak jauh dari kantor pengelola apartemen.Aku sengaja karena dalam pikiranku hanya itu yang ingin kulakukan saat ini. Bukannya pulang ke tempat asalku. Aku nggak mengerti dengan diriku saat ini. Apartemen ini bukan rumahku, tapi aku nggak mau pergi.“Kenapa kamu nangis?” tanya Valde lagi karena aku nggak juga menjawabnya. “Kamu dimarahin Nial lagi?”Aku mengangguk. Ya, dia selalu marah-marah. Namun, kali ini aku bertengkar dengannya. Padahal selama ini aku nggak mau begitu. Karena... kadang-kadang aku merasa dia sebenarnya memperhatikanku. Dia melarangku mandi air hangat tiap hari karena nggak ingin aku tergelincir. Dia menyuruh aku makan sayur –persis seperti Mamaku dulu. Semua keinginannya itu, aku tahu, kalau itu untu
Nial sudah masuk ke ruangan rahasianya dan aku memilih nonton TV. Namun satu jam kemudian aku langsung bosan. Aku butuh cemilan tapi Nial nggak mengizinkanku keluar sendiri. Aku terpaksa menurut karena nggak mau disalahkan gara-gara hari itu aku nggak beli apa pun di supermarket.Aku pergi ke dapur untuk mengambil minuman –sebotol jus jeruk dengan bulir asli di dalamnya. Aku mengambil satu dan kulihat tempat sampah di dekat wastafel sudah hampir penuh. Itu harus segera dibuang sebelum menyebabkan bau busuk. Apartemen memiliki tempat pembuangan sampah umum di lantai satu. Setiap pagi petugas kebersihan kota akan menjemput sampah-sampah itu dengan truk besar.Begitu teraturnya tempat ini, pikirku setelah melempar kantong plastik besar itu ke tumpukan sampah yang bau itu.“Bellisa?” seseorang menegurku dan itu membuat jantungku nyaris copot.
Aku mengangkat tubuhku dari dalam air; nafasku sesak. Aku sempat nyaris hilang kesadaran. Mungkin karena panasnya cukup membuatku pusing. Tapi, aku merasa mendengar seseorang memanggil-manggil namaku.Nial?Tapi, itu nggak mungkin. Dia nggak pernah memanggil namaku –karena dia bahkan nggak pernah memulai percakapan denganku. Kalaupun dia perlu untuk memberitahuku sesuatu dia menyebutku dengan ‘hei’.Setelah selesai mandi aku langsung teringat pada cucianku dipantry. Itu terlupa begitu saja gara-gara pesan ‘Aku kangen kamu’ yang kubaca di handphone-nya.Aku benci harus merasa cemburu. Dan harusnya aku nggak cemburu. Aku nggak berhak untuk cemburu. Cemburu nggak akan mengubah apa pun. Aku bukan siapa-siapanya.Aku
Dia baik –sudah cukup baik untuk orang judes dan ketus seperti dirinya. Dia memasak makanan yang enak setiap hari. Dia juga langsung membelikan mesin cuci agar aku bisa pakai baju bersih. Dia mengizinkan aku nonton TV seharian. Yah, walaupun dia bukan teman bicara yang asyik seperti Wanda atau Lulu. Tapi, dia nggak pernah menggangguku, malah sebaliknya. Dia bilang aku berisik dan terlalu banyak tanya. “Dia menelpon ke tempat kerjaku dan bilang kalau aku berhenti,” jawabku. “Dia sampai sejauh itu?” Aku mengangguk-angguk. “Aku masih bingung, Kak. Kalau sudah aman dan aku pergi dari sini, aku harus nyari kerjaan baru lagi.” Wanda nggak menjawabku. “Aku nggak mungkin tinggal di sini selamanya,” sambungku. “Semuanya bakal baik-b
“Aku pikir kamu kabur karena segitunya ingin pulang,” Nial marah karena aku memutuskan untuk menunggunya selesai di parkiran. Rupanya dia nggak suka karena itu membuatnya harus mencariku ke sana kemari. Dia terus memasang tampang masam setelah kami naik ke mobil dan siap-siap untuk pulang. “Kamu lama...,” kataku membela diri. “Aku juga nyariin kamu di tempat bahan pokok tapi nggak ketemu.” Bukankah dia cumamau belanja bahan makanan? Kenapa dia malah ke mana-mana? Ah sudahlah, orang kaya mah bebas! “Aku pergi ke toko elektronik. Mau lihat mesin cuci seperti yang ada di laundry itu.” “Kamu mau beli mesin cuci?” Entah mengapa aku jadi sedikit bersemangat. Nial mengangguk pelan tanp