Haidar akhirnya balik kiri dan pulang ke kos di Kahju. Hari ini, ia memutuskan untuk tak berjualan di Warkop Pinggir Kali.
Jantungnya berdetak kencang. Ia benar-benar tak menyangka jika Sefti tega mengkhianati dirinya. Haidar gelisah. Ia berulang kali menyakinkan diri bahwa apa yang dilihatnya tadi hanya halusinasi. Hanya ketakutannya yang berlebihan dan itu tidak benar adanya.
Haidar mencoba tidur. Namun matanya tak juga bisa terpejam. Momen Sefti memeluk pria berpakaian loreng terus berulang di matanya.
Ada trauma yang mendalam setiap kali ini melihat baju loreng. Kisah kelam di masa lalu kembali melintas di-ingatannya. Suara letusan senjata bergema seolah nyata. Darah yang mengalir di bajunya saat Budi roboh di depan mata.
Penculikan paksa abangnya Raman. Mayat pamannya yang ditarik dalam karung di sungai Arakundo. Rumahnya yang tinggal puing. Tangisan sang ibu yang memeluk jasad ayahnya. Suara jeritan warga seolah melintas satu persatu di ingatann
Haidar seakan tidak percaya dengan apa yang disampaikan Insani. Ia tidak percaya bahwa selama ini ia mencintai anak seorang tentara. Sefti ternyata anak seorang tentara. Sementara dirinya adalah korban konflik yang memiliki sejarah kelam di masa lalu, saat Aceh masih berkonflik. Tak salah Sefti memang jika dia lahir dari keluarga tentara. Tapi untuk melupakan masa lalu juga sangat sulit bagi Haidar. Ia mungkin tak memiliki ideologi kuat seperti anak GAM pada umumnya. Tapi ingatan tentang masa lalu tetap menghantui hidupnya. Selama ini, Haidar begitu terus terang kepada Sefti bahwa ia membenci seragam loreng. Hati Sefti pasti remuk. Namun sosok itu masih tetap tersenyum ke arahnya. “Haruskah aku terus menyimpan dendam ini?” gumam Haidar dalam hati. Ia kemudian terdiam. Ia terdiam lama. Hatinya hancur dengan kenyataan yang disampaikan Insani. Haidar tak peduli jika Sefti adalah keturunan Jawa. Ayahnya semasa hidup tak berjuang melawan su
Pertengahan 1998 SUASANA di pedalaman Matang, Bireuen, terasa tak biasa. Angin yang biasanya berhembus kencang terasa tenang malam ini. Kicauan burung tak terdengar. Bahkan suara jangkrik pun seolah menghilang entah kemana. Para santri tertidur lelap di asrama masing-masing. Mereka mungkin telah terbuai dengan mimpi. Hanya beberapa lampu dayah yang masih menyala. Jam menunjukan pukul 00.23 dini hari. Tapi Teungku Fiah masih belum bisa memejamkan mata. Ini merupakan pekan kedua, ia dan keluarga, berada di komplek dayah di pedalaman Bireuen tadi. Teungku Fiah terlihat gelisah. Berulangkali ia balik badan di kasur kecil yang ditempatinya bersama Sakdiah. Sementara Haidar, anaknya yang tersisa, terlihat lelap di kasur lainnya yang berada tak jauh dari tempat tidur mereka. Gerak Teungku Fiah yang gelisah membuat Sakdiah terjaga. “Kenapa Abang gelisah tiba-tiba? Apakah ada sesuatu yang tidak bereh?” ujar Sakdiah. Ia kemudian
MALAM kian larut. Suara mobil reo tiba-tiba terdengar dari kejauhan. Beberapa guru dayah ke luar dari bilik. Mereka terkejut saat melihat Mustafa memegang AK-47 dan pistol FN di tangan Teungku Fiah. Salah seorang di antara mereka kemudian mendekat. Pria itu adalah Teungku Wan, ia termasuk salah seorang guru senior di dayah itu. “Teungku-teungku lebih baik ke rumah pimpinan saja. Di sana lebih aman. Saya jamin tentara tak akan masuk ke sana,” ujarnya. “Kalau teungku membalas tembakan di sini. Dayah ini akan terbakar. Kasihan anak-anak miskin yang belajar di sini,” kata Teungku Wan lagi. Apa yang disampaikan oleh Teungku Wan memang benar adanya. Mustafa dan Teungku Fiah bisa saja membalas tembakan jika tentara republic masuk dayah dan mencari mereka. Namun yang dikhawatirkan justru efek pasca perang terbuka terjadi nantinya. Dayah akan dibakar. Suara reo kian terasa dekat. Suara itu terdengar jelas dari arah jalan desa. “Teungku Azwir, t
TEUNGKU Fiah dan Mustafa saling pandang. Mereka akhirnya tahu kenapa tentara republic akhirnya masuk dayah. “Ada cuak ternyata teungku,” bisik Mustafa ke telinga Teungku Fiah. Sementara Teungku Fiah mengangguk berulangkali. Dayah yang mereka tempati saat ini memang pro terhadap perjuangan tentara nanggroe. Namun selama ini tetap beraktivitas seperti biasa. Baru kali ini digerebek seperti sekarang. Teungku Fiah berharap suara senjata tadi hanya peringatan dan tembakan ke atas oleh tentara republic. Teungku Fiah tak ingin ada korban karena para teungku-teungku itu menjaga mereka. “Tum, tum, tum…..” Suara itu kembali terdengar. Kemudian disusul dengan suara jeritan orang-orang di luar kamar. “Sudah, sudah. Jangan ada tembakan lagi.” Seseorang terdengar berbicara setengah berteriak. Suara itu terdengar jelas hingga ke dalam kamar yang ditempati Teungku Fiah dan Mustafa. “Bawa mereka. Ini peringatan bagi siapa saja yang menc
DARI Matang, Bireuen, mobil Dam Truk yang disupiri oleh Ridwan memutar ke arah timur. Melintasi jalan raya untuk menuju Panton Labu. Tak ada rintangan yang berarti sepanjang perjalanan. Minimal hingga Lhokseumawe. Baik Teungku Fiah dan Mustafa lebih banyak tidur dan terdiam sepanjang jalan. Semalam mereka tak bisa tidur sama sekali. Suara jeritan dan letusan senjata api seolah masih terdengar di telinga mereka. Mereka sering melalui perang besar. Bahkan beberapa anggota pasukan Teungku Fiah syahid dalam pertempuran. Namun itu adalah jalan hidup mereka. Mereka sudah siap untuk menuai ajal dalam kondisi apapun. Namun kali ini, kasus sedikit berbeda. Yang meninggal adalah Teungku dayah yang mengabdi diri di jalan agama. Ridwan sendiri tahu dengan kondisi yang terjadi. Setidaknya, Lemha telah melaporkan beberapa keadaan pada dirinya sebelum diminta untuk menjemput dua petinggi sagoe Simpang Ulim itu. Ridwan focus pada jalanan yang masih sepi. Hari
TEUNGKU Fiah terdiam mendengar perkataan Ridwan. Ia tak pernah menyesali pilihan hidup yang ditempuhnya selama ini. Hanya saja, ia telah melihat kematian dari orang-orang yang tak bersalah. Ada teungku-teungku dayah di Matang yang harus menuai ajal. Ada Ruslan yang juga ditembak oleh pria misterius. Meskipun TNI, Ruslan selama ini sangat dekat dengan gerilyawan Aceh. Kemudian ada juga Budi, almarhum anaknya. Ia yakin, ada banyak kematian tiap hari di Aceh. Ada yang terungkap dan terabaikan begitu saja. “Aku tak pernah ragu dengan perjuangan Aceh. Kita pantas untuk merdeka. Minimal jika kita melihat prilaku pusat terhadap kita selama ini. Hanya saja, perjuangan ini telah banyak mengorbankan anak bangsa. Darah yang mengalir di negeri ini sudah terlalu banyak,” kata Teungku Fiah. Teungku Fiah kemudian terdiam. Ia seperti mencari-cari kalimat yang tepat untuk diungkapkan. “Di sini lain, TNI yang kita musuhi itu juga mayoritas beragama Islam. Kita
BERGERAK sekitar 50 meter, seperti yang disampaikan Ridwan, Teungku Fiah dan Mustafa disambut oleh Lemha di salah satu rumah warga. “Aku sudah lama menanti kedatangan Teungku dan Mustafa. Aku khawatir usai kejadian semalam di dayah,” ujar Lemha. Lemha kemudian memaparkan kondisi terakhir keadaan pasukan selama ditinggalkan Teungku Fiah dan Mustafa yang ‘cuti’ beberapa saat untuk menemani keluarga. “Ada beberapa anggota pasukan kita yang bertambah. Kemudian beberapa aktivis mahasiswa juga izin beroperasi di Simpang Ulim,” ujar Lemha. “Mentroe meminta kita aktif untuk memberi dakwah Aceh merdeka ke tengah tengah masyarakat. Ini saat yang tepat untuk tampil mengingat gerakan ini kian mengakar di seluruh Aceh,” katanya lagi. Usai rembuk hampir setengah jam, seluruh jajaran menunjuk Teungku Fiah dan Mustafa sebagai penceramah di desa-desa dalam kawasan Julok dan Simpang Ulim. Tim dibagi dua. Satu tim dipimpin oleh Teungku Fiah dan ditemani oleh Lem
“Aku kena,” ujar Teungku Fiah. Mulutnya berlumur darah. Wajah Ridwan terlihat panic. Mustafa juga memegang dada yang berlumuran darah. “Aku juga teungku. Mungkin ini akhir dari perlawanan kita,” ujarnya. Ridwan mencoba mengurangi kecepatan kemudian berbelok ke jalan kampung untuk menghilang dari kejaran patroli tentara republic. Langkahnya cukup jitu. Mereka lolos dari sergapan musuh. Namun pendarahan Teungku Fiah cukup deras. Demikian juga dengan Mustafa. Keadaan ini membuat Ridwan kian panik. Ia membuka bajunya untuk menahan pendarahan yang dialami oleh Teungku Fiah. Namun pria tua itu justru memberikan kepada Mustafa. “Aku tak mungkin tertolong lagi. Selamatkan Mustafa saja,” ujarnya dengan nafas terpotong-potong. Ia kemudian meletakan baju di dada Mustafa. “Antarkan aku ke depan rumah dan kemudian larikan Mustafa ke dokter Ichsan di Bireuen. Ia bisa mengobati Mustafa,” ujar Teungku Fiah lagi. Dalam keadaan panic, Ridwan men
Aku menginginkan sebuah keluarga yang normal. Sementara yang kumiliki hanyalah seorang ayah bajingan dan ibu yang bekerja sebagai pengasuh di rumah keluarga kaya, juga seorang kakak perempuan yang berusaha mati-matian untuk bisa pergi dari rumah kami yang terkutuk. Nggak ada seorang pun yang memperhatikanku.Satu kali aku pernah mencari ibuku ke tempat kerjanya –di sebuah rumah besar dengan pagar tinggi. Dari luar aku melihat ibuku bermain dengan tiga orang anak yang usianya lebih besar dariku di teras rumah. Mereka tertawa bahagia. Lalu aku pulang dengan sedih dan bertanya pada Ruby, “Apa Mama nggak sayang sama kita sampai dia nggak mau jagain kita dan malah jagain anak orang lain?”Usiaku sembilan tahun dan Ruby, enam belas tahun. Aku rasa Ruby tahu apa yang harus dikatakannya padaku agar aku nggak bersedih. Mungkin dia bisa menjawab dengan yakin bahwa Mama hanya bekerja a
“Bell?”Suara Nial kedengaran panik. Aku bergegas meninggalkan dapur dan menemukan dia baru keluar dari kamar dengan terburu-buru.“Ya?” sahutku.Dia agak terkejut. Dan entah mengapa menghembuskan nafas panjajng.“Kenapa?” tanyaku, heran.“Aku kira kamu kabur lagi,” jawabnya, sambil mengusap wajahnya dan rasa lelah itu masih kelihatan di sana.Logikanya, nggak mungkin aku kabur setelah semua yang terjadi di antara kami beberapa hari ini dan dia menjadikanku gadis paling bahagia sedunia dalam sekejap mata. Sekaligus menjadi matrealistis.“Kamu mimpi?”Dia nggak menjawab. Hanya bergerak menuju kursi meja makan dan duduk di sana sambil mengge
Nial sudah berangkat pagi-pagi sekali hingga aku bahkan nggak sempat bertemu dengannya. Seperti biasa, sarapan sudah ada di meja –waffle madu. Sepertinya dia tahu kalau dari semua menu sarapan sehatnya yang rata-rata menyisipkan sayur, waffle madu pilihan yang nggak bisa kutolak.Setelah sarapan aku kembali ke depan TV, memutar Fox Movies lagi. Film Transcendence sudah main sekitar sepuluh menit –aku juga sudah nonton film ini dengan Ruby. Jadi ingat Johnny Depp aktor favoritnya. Ruby selalu beranggapan hampir semua filmnya bagus. What’s Eating Gilbert Grape tahun 1993 adalah yang terbaik dari semuanya dan dia menontonnya berulang-ulang.Saat itu hobi menontonku sudah mulai berkurang karena ketegangan antara aku dan Ruby soal Alex. Aku mulai jarang menghabiskan waktu bersamanya karena Alex sering berkunjung. Ketika Ruby menonton film itu entah untuk yang ke berapa kalinya, A
Hari Kamis pagi, nggak biasanya aku dengar dia menelpon dengan seseorang di dapur dan mengenakan setelan jas lengkap warna hitam. Di meja makan sudah ada roti isi daging yang kelihatan lezat. Aku menguping tapi sama sekali nggak mengerti apa topik yang sedang dia bicarakan. Dan begitu melihatku, dia langsung menyudahi teleponnya.“Aku mau pergi,” katanya dengan cepat. Dia nggak akan duduk bersamaku di meja makan.Aku nggak menjawabnya. Itu artinya aku akan sendirian –dia pernah bilang kalau dia bukan pengangguran. Ya memang, selama di sini aku juga nggak merasa kalau dia ada sampai aku bosan dan harus mencuri kesempatan untuk kabur sejenak cuma buat mengobrol dengan Valde.“Pokoknya jangan bukain pintu untuk orang asing sampai aku pulang,” ia berpesan. “Dan jangan keluar sendirian.”
“Bellisa? Kamu kenapa?” Valde menatapku khawatir ketika dia menemukanku duduk sendirian di lorong nggak jauh dari kantor pengelola apartemen.Aku sengaja karena dalam pikiranku hanya itu yang ingin kulakukan saat ini. Bukannya pulang ke tempat asalku. Aku nggak mengerti dengan diriku saat ini. Apartemen ini bukan rumahku, tapi aku nggak mau pergi.“Kenapa kamu nangis?” tanya Valde lagi karena aku nggak juga menjawabnya. “Kamu dimarahin Nial lagi?”Aku mengangguk. Ya, dia selalu marah-marah. Namun, kali ini aku bertengkar dengannya. Padahal selama ini aku nggak mau begitu. Karena... kadang-kadang aku merasa dia sebenarnya memperhatikanku. Dia melarangku mandi air hangat tiap hari karena nggak ingin aku tergelincir. Dia menyuruh aku makan sayur –persis seperti Mamaku dulu. Semua keinginannya itu, aku tahu, kalau itu untu
Nial sudah masuk ke ruangan rahasianya dan aku memilih nonton TV. Namun satu jam kemudian aku langsung bosan. Aku butuh cemilan tapi Nial nggak mengizinkanku keluar sendiri. Aku terpaksa menurut karena nggak mau disalahkan gara-gara hari itu aku nggak beli apa pun di supermarket.Aku pergi ke dapur untuk mengambil minuman –sebotol jus jeruk dengan bulir asli di dalamnya. Aku mengambil satu dan kulihat tempat sampah di dekat wastafel sudah hampir penuh. Itu harus segera dibuang sebelum menyebabkan bau busuk. Apartemen memiliki tempat pembuangan sampah umum di lantai satu. Setiap pagi petugas kebersihan kota akan menjemput sampah-sampah itu dengan truk besar.Begitu teraturnya tempat ini, pikirku setelah melempar kantong plastik besar itu ke tumpukan sampah yang bau itu.“Bellisa?” seseorang menegurku dan itu membuat jantungku nyaris copot.
Aku mengangkat tubuhku dari dalam air; nafasku sesak. Aku sempat nyaris hilang kesadaran. Mungkin karena panasnya cukup membuatku pusing. Tapi, aku merasa mendengar seseorang memanggil-manggil namaku.Nial?Tapi, itu nggak mungkin. Dia nggak pernah memanggil namaku –karena dia bahkan nggak pernah memulai percakapan denganku. Kalaupun dia perlu untuk memberitahuku sesuatu dia menyebutku dengan ‘hei’.Setelah selesai mandi aku langsung teringat pada cucianku dipantry. Itu terlupa begitu saja gara-gara pesan ‘Aku kangen kamu’ yang kubaca di handphone-nya.Aku benci harus merasa cemburu. Dan harusnya aku nggak cemburu. Aku nggak berhak untuk cemburu. Cemburu nggak akan mengubah apa pun. Aku bukan siapa-siapanya.Aku
Dia baik –sudah cukup baik untuk orang judes dan ketus seperti dirinya. Dia memasak makanan yang enak setiap hari. Dia juga langsung membelikan mesin cuci agar aku bisa pakai baju bersih. Dia mengizinkan aku nonton TV seharian. Yah, walaupun dia bukan teman bicara yang asyik seperti Wanda atau Lulu. Tapi, dia nggak pernah menggangguku, malah sebaliknya. Dia bilang aku berisik dan terlalu banyak tanya. “Dia menelpon ke tempat kerjaku dan bilang kalau aku berhenti,” jawabku. “Dia sampai sejauh itu?” Aku mengangguk-angguk. “Aku masih bingung, Kak. Kalau sudah aman dan aku pergi dari sini, aku harus nyari kerjaan baru lagi.” Wanda nggak menjawabku. “Aku nggak mungkin tinggal di sini selamanya,” sambungku. “Semuanya bakal baik-b
“Aku pikir kamu kabur karena segitunya ingin pulang,” Nial marah karena aku memutuskan untuk menunggunya selesai di parkiran. Rupanya dia nggak suka karena itu membuatnya harus mencariku ke sana kemari. Dia terus memasang tampang masam setelah kami naik ke mobil dan siap-siap untuk pulang. “Kamu lama...,” kataku membela diri. “Aku juga nyariin kamu di tempat bahan pokok tapi nggak ketemu.” Bukankah dia cumamau belanja bahan makanan? Kenapa dia malah ke mana-mana? Ah sudahlah, orang kaya mah bebas! “Aku pergi ke toko elektronik. Mau lihat mesin cuci seperti yang ada di laundry itu.” “Kamu mau beli mesin cuci?” Entah mengapa aku jadi sedikit bersemangat. Nial mengangguk pelan tanp