“Lo dan Adam sama aja gilanya, Van!” serunya. Meski sedang berkelahi, tapi aku masih menahan pukulanku agar tak terlalu menyakitinya. Bagaimana pun ia bukan targetku, bahkan Supri lah yang membantuku di sini. Aku hanya marah ketika ia menghentikan langkahku, sementara emosiku sudah di ubun-ubun.“Hanya karena satu wanita kalian berdua jadi terlibat perselisihan berlarut-larut seperti ini!” ucapnya lagi.Sayangnya, ucapannya barusan membuatku kembali menyarangkan tinjuku di wajahnya.“Apa katamu? Hanya karena satu wanita?” Kali ini aku marah karena kata ‘hanya’ yang tersemat di kalimatnya tadi. “Jangan pernah menyebutnya hanya, dia segalanya bagiku!”Sialnya, keributan malam itu membuat ibu terbangun dan keluar dari kamarnya mencari tahu, lalu terkejut menemukanku tengah meninju Supri hingga terhuyung.Masalah lain datang ketika wajah ibu pucat pasi ketika memergoki perkelahianku dengan Supri, sementara aku tak mungkin menjelaskan kenapa aku memukulnya.“Maaf, Bu. Kami hanya sedang sal
PoV AyaAda hal yang sulit untuk kukatakan sejak kejadian malam itu meski pada suamiku sendiri. Beberapa menit terkurung di sana dengan Mas Adam dengan segala kenekatannya membuatku selalu gemetar saat mengingatnya. Tak jarang ketika Ivan sedang tak di sisiku, aku meraung sendiri, menangisi diriku yang terasa kotor. Lalu aku berusaha sekuat menenangkan diri ketika Ivan kembali.Aku tahu, sejak membawaku pulang malam itu juga dari villa, Ivan selalu ada di sampingku dan hanya sesekali meninggalkanku ketika harus menerima telepon dari Tiara atau ketika ada bawahannya yang datang membawa berkas pekerjaan untuk ditandatangani. Ia juga tak pernah menanyakan apa pun, tak pernah membahas apa pun mengenai kejadian malam itu. Tapi, aku sudah sangat mengenalnya, aku tahu ia sedang mencari tahu dengan caranya sendiri.Saat terakhir kali bertemu Mas Adam di bekas rumah kami dulu, aku pernah menakutkan hal semacam ini. Saat itu ia jelas-jelas mengatakan menyesal dan ingin membawaku kembali padanya
“Pii ... bangun! Ada telepon.” Aku berusaha memanggilnya, namun tangan itu justru menarikku hingga aku terjatuh di bawah impitan tubuh besarnya.“Piii.” Aku menepuk-nepuk lengannya.Ivan hanya mengerang pelan, lalu justru membenamkan wajahnya ke rambutnya, menghirup napas panjang berkali-kali di sana seperti yang selalu dilakukannya.“Ada telepon Pi,” ucapku.Kupikir dia sudah terbagun dan hanya ingin malas-malasan dengan menarikku ke dalam pelukannya, mendekapku dari arah belakang. Sejak ia membawaku pulang dari villa malam itu, kami memang belum melakukan kegiatan ranjang lagi karena ia seolah sedang memberiku ruang. Maka helaan napas hangatnya di leherku tadi membuatku menggeliat dalam dekapnya.“Bangun pi!”“Hmmm?”“Ada telepon dari –“ Aku tak meneruskan kalimatku karena aku justru mendengar ia menggumam.“Kamu diapain sama dia? Kalian ngapain aja di sana?” Kudengar suaranya hanya serupa gumaman.Aku terkejut. Bukankah selama beberapa hari ini ia menghindarkanku dari pertanyaan se
Penjualan villa benar-benar dilakukan Ivan meski telah berusaha kucegah. Dari awal aku bertemu lelaki ini di acara peresmian Coffeshop miliknya, lalu sepanjang perjalananku dengannya aku menyaksikannya selalu bahagia ketika tenggelam dalam hobinya. Peralatan meracik kopi yang tak kuketahui namanya dan ternyata harganya selangit dan membuatku tercengang cengang selalu menjadi koleksinya. Hobi unik tapi mahal, begitu aku menilainya. Namun aku tak pernah melarangnya, bahkan aku sangat menikmati pemandangan ketika meracik dengan serius minuman yang aku sendiri tak menyukainya itu.Kepemilikan villa dengan hamparan kebun kopi miliknya juga adalah salah satu bukti rasa cintanya pada hobinya, selain beberapa coffeeshop miliknya. Dan sekarang ia menjual villa dengan hamparan kebun kopi itu karenaku. Demi menghapus rasa traumaku, katanya.Padahal selama bersamanya aku tak merasakan trauma itu. Aku merasa ia begitu melindungiku, tak pernah membahas apa pun mengenai kejadian malam itu meski kupe
‘Jangan pergi, firasatku tak enak!’ ‘Segera kembali, aku ingin kamu. Hanya ingin kamu.’ Aku kembali ke dalam rumah setelah mobil suamiku menghilang di ujung tikungan. Paper bag yang sama dengan yang ditenteng Ivan tadi terlihat di kamar putriku ketika aku masuk. “Kia udah bangun, Mbak?” tanyaku pada pengasuh Sidney. Sebenarnya aku pernah menolak saat Ivan memintaku memilih pengasuh untuk Adzkia dari yayasan penyalur, karena aku merasa tak membutuhkan bantuan mengasuh Sidney. Selain itu aku juga ingin lebih banyak bersama putriku, tapi Ivan bersikeras agar aku memilih salah satu berkas yang dibawanya. “Mungkin sekarang kamu belum membutuhkannya, tapi ada saatnya kamu pasti membutuhkan bantuan pengasuh. Maka lebih baik pilih sekarang agar bisa akrab di awal awal dan Kia terbiasa.” Kia sebenarnya masih tidur denganku di kamar kami, kamar utama di rumah ini. Namun tak jarang gadis kecil itu juga tertidur di kamarnya yang didesain bernuansa putri kerajaan. Ternyata apa yang dulu dikat
“Kiiaaa!!!” Pekikan itu mengejutkanku ketika sedang mengobrol santai dengan Ibu di taman belakang. Aku memang selalu suka berada di taman ini, begitu pun dengan ibuku. Hobiku berkebun sejak dulu membuatku selalu betah berlama-lama berada di sini.“Kak Dian!”Wanita cantik yang kini menjadi kakak iparku itu terlihat menghambur menggendong putriku.“Baru tiba, Kak?” tanyaku lagi.“Iya, Ay.”“Kok nggak ngabarin, Kak? Tau gitu kan bisa dijemput tadi.”“Aku ... bawa teman, Ay.” Kulihat Kak Dian ragu-ragu.Beberapa saat kemudian Kak Dian memperkenalkan padaku dan Ibu seorang wanita yang ternyata datang bersamanya.Nita, begitu wanita itu memperkenalkan diri. Kak Dian yang memang pembawannya selalu riang dengan mudah membuatku dan Nita berbincang santai. Hingga pada saat Kak Dian menyebutkan profesi wanita itu, aku baru menyadari mengapa Nita yang disebut Kak Dian tadi adalah sahabat karibnya datang bersama Kak Dian dari Surabaya.“Nita ini psikolog, Ay. Dia sahabatku dari SMA. Dia orangnya
“Pak Ivan kecelakaan.” “Bersama Mbak Tari.” “Berduaan di dalam mobil Pak Ivan.” Itu desas-desus yang kudengar jelas namun aku tak begitu menggubrisnya, fokusku hanya satu, mencari tahu keberadaan dan keadaan suamiku. Di tengah kepanikanku, ada tatapan mata aneh yang kutangkap dari Kak Dian namun ia seperti enggan bertanya. Nama Tari tentu tak asing bagi Kak Dian mengingat wanita itu pernah menjadi tetangga dekat mereka, dan aku tahu persis apa yang ada dalam pikiran Kak Dian ketika mendengar nama Tari, apalagi bisik-bisik di luar sana yang menyebut Ivan dan Tari berdua dalam mobil saat kecelakaan. Saat tiba di rumah sakit tadi, Tiara dan beberapa karyawan Ivan memang sudah ada di sana. Lokasi kecelakaan yang dekat dari kantornya membuat Tiara dan yang lain lebih dulu berada di sana dari pada aku dan Kak Dian, juga Nita, sang psikolog yang baru saja kukenal pagi ini. Aku melewati Tiara dan beberapa orang yang memanggil dan menyapaku, tetapi aku tak nyaman dengan tatapan iba mereka.
“Sejak kapan Ivan dekat dengan Tari, Aya?”“Kok bisa berduaan di dalam mobil?”“Kamu tau siapa Tari?”Dan banyak lagi pertanyaan Kak Dian lainnya. Kami semua masih menunggu kabar petugas medis yang menangani Ivan, tapi Kak Dian sepertinya sudah tak bisa memendam pertanyaannya.“Aku kenal Tari, Kak. Dan tolong jangan salah sangka dulu, Ivan memang tadi menjemputnya karena ada pekerjaan yang ditugaskannya pada Tari.” Aku teringat beberapa hari ini ponsel suamiku sering menampilkan nama Tari di sana, sebelum kemudian ia bercerita tentang villa yang penjualannya diurus Tari.“Hari ini Ivan bersama Tari untuk tandatangan di notaris, Kak. Tari yang mengurus penjualan villa di puncak.”“Haa? Jual villa?” Dari keterkejutan yang ditampakkan Kak Dian, aku tahu bahwa wanita itu belum mengetahui perihal Ivan yang menjual villa. Beruntung kemudian Bang Malik ikut menjelaskan.“Ivan sempat sharing denganku mengenai rencanya menjual villa, Ma. Tapi aku belum sempat cerita ke kamu.”“Tapi kenapa diju
“Kalian ini ya ... sama aja dua-duanya! Bucin gak ada obat emang!” Tak kupedulikan suara Kak Dian. Aku segera memeluk Aya sebisaku, membuatnya senyaman mungkin.“Untung bayimu nggak kembar, Ay. Kamu bayangin deh kalo dapat bayi kembar, punya tiga bayi kamu di rumah. Sanggup?” Kak Dian kembali bicara. “Kurasa yang paling ngerepotin sih bayi raksasamu yang ini, Ay.” Telunjuk Kak Dian mengarah padaku.“Jangan bikin Aya ketawa, Kak! Kakak nggak tau kan gimana rasanya ketawa pasca operasi lahiran?” Aku mengulangi kata-kata Kak Dian.“Oiya, sanggup puasa nggak lu, Bro! Empat puluh hari loh.” Kak Dian menekankan kata empat puluh. “Nggak bisa bikin anak orang keramas tiap hari lagi lu.” Suara kekehan Kak Dian terdengar mengejek.“Nak Dian dan Ivan di sana. Biar Ibu yang di sini.” Sebuah perintah lain membuatku dan Kak Dian tak bisa membantah lagi. Ibu mengambil alih posisiku, mengusap lembut kening putri sulungnya dan memberi bisikan-bisikan yang kurasa berisi banyak makna, sebab setelahnya k
PoV IvanAku seperti berada di sebuah ruangan sempit, terkunci rapat dan membuatku tak bisa bernapas. Kilasan-kilasan kebersamaan selama lima tahun lebih pernikahanku dengan Aya berputar kembali di kepala seperti adegan film yang membuat dadaku semakin sesak terhimpit.Tahun-tahun bersama Cahaya adalah tahun-tahun terbaik dalam kehidupanku. Tentu saja jika ini adalah film, seharusnya ini adalah film romantis, bukan film sedih yang membuat dadaku sesak seperti ini. Akan tetapi, sesak ini semakin tak dapat kutahan saja. Tak kupeduikan lagi bagaimana rupaku sekarang. Aku terisak ketika sudah tak dapat menahan sesak, lalu kembali menghirup udara ketika merasa sudah hampir kehilangan napasku.Ruangan ini tentu saja bukanlah ruangan yang sempit mengingat aku sedang berada di ruang VIP salah satu rumah sakit ternama. Di ruangan ini aku juga tak sendirian, ada ibu, Candra dan kembarannya, Kak Dian dan Bang Malik, namun meski banyak orang di ruangan ini, tak ada satu pun di antara kami yang be
“Terima kasih buat keluarga dan teman-teman yang udah hadir malam ini.” Ivan mengambil momen, menghentikan alunan music akustik yang sedari tadi mengisi pendengaran. Pria itu mengucapkan terima kasih yang tulus pada keluarga kami yang hadir malam ini, lalu pada teman-teman dekat yang diundang khusus olehnya. Aku menatapnya dari tempatku duduk tepat di depan panggung kecil di mana ia berdiri. “Malam ini kami merayakan tahun kelima pernikahan. Aku dan Cahaya Kirana, istriku, sudah lima tahun bersama-sama.” Dia menatapku dari depan sana, dan tatapan itu selalu membuatku merasa dicintai. Ivan masih menatapku sambil bicara. “Aku jatuh cinta pada wanita ini sejak kami masih memakai almamater yang sama, lalu Tuhan begitu baik mempertemukanku kembali dengannya belasan tahun kemudian hingga kami menikah. Dan sejak menikahinya, aku masih jatuh cinta padanya setiap hari, masih saja jatuh cinta padanya berulang kali. Malam ini saya meminta doa pada kalian semua agar kami tetap dikuatkan dalam
“Terima kasih buat keluarga dan teman-teman yang udah hadir malam ini.” Ivan mengambil momen, menghentikan alunan music akustik yang sedari tadi mengisi pendengaran. Pria itu mengucapkan terima kasih yang tulus pada keluarga kami yang hadir malam ini, lalu pada teman-teman dekat yang diundang khusus olehnya. Aku menatapnya dari tempatku duduk tepat di depan panggung kecil di mana ia berdiri. “Malam ini kami merayakan tahun kelima pernikahan. Aku dan Cahaya Kirana, istriku, sudah lima tahun bersama-sama.” Dia menatapku dari depan sana, dan tatapan itu selalu membuatku merasa dicintai. Ivan masih menatapku sambil bicara. “Aku jatuh cinta pada wanita ini sejak kami masih memakai almamater yang sama, lalu Tuhan begitu baik mempertemukanku kembali dengannya belasan tahun kemudian hingga kami menikah. Dan sejak menikahinya, aku masih jatuh cinta padanya setiap hari, masih saja jatuh cinta padanya berulang kali. Malam ini saya meminta doa pada kalian semua agar kami tetap dikuatkan dalam
Lima tahun bersamanya, lima tahun penuh bahagia meski tak sedikit pula ombak kecil yang menghantam. Lima tahun bisa menjadi diriku sendiri setelah tahun-tahun sebelumnya terjebak dalam hubungan yang membuatku nyaris kehilangan kepercayaan diri. Malam ini Twin House ditutup untuk umum demi merayakan lima tahun pernikahan ku dan Ivan.Dekorasi anniversary sudah menghiasi Twin House, deretan-deretan makanan pun sudah tertata rapi di sana. Aku sendiri tak terlibat sedikit pun mempersiapkan malam ini, aku hanya memperhatikan kesibukan Iin yang berlalu lalang mengatur venue, lalu Byan yang mondar mandir menyusun catering. Sepasang kekasih itu kini benar-benar menjadi orang kepercayaanku dan Ivan.Aku juga sama sekali tak terlibat mengatur siapa saja undangan malam ini, sebab beberapa hari terakhir aku benar-benar hanya fokus pada diriku sendiri. Setelah siang itu di mana aku berbincang dengan Nindya dan baru menyadari ada yang aneh pada diriku, aku benar-benar melakukan pemeriksaan demi mem
“Emang akunya yang kecepatan sih, Ay. Sebenarnya janjinya agak sorean, tapi karena tadi kebetulan Mas Adam juga pas mau keluar, ya udah aku ikut aja. Aku nggak apa kan nunggu di sini?”“Nggak apa, Nin.”“Oiya, Aya. Aku tadi bareng Mas Adam,” katanya lagi tepat di saat sosok yang dibicarakannya itu muncul dari arah parkiran.“Hai, Aya. Gimana kabarmu?” Kaku sekali, pria itu menyapa.“Baik, Mas. Mas Adam gimana kabarnya?” Akupun menjawab sama kakunya. Kini aku mengerti mengapa Ivan berusaha menghindarkan pertemuan seperti ini. Aku dan dia pernah punya cerita, dan meski selalu berusaha untuk saling biasa saja, namun tak bisa dipungkiri akan ada kekakuan seperti ini saat berinteraksi.“Aku juga baik. Oiya, Ivan ada?”Kembali kujelaskan bahwa suamiku baru saja keluar.“Kalo gitu aku titip Nindya ya, Ay. Dia ada urusan dikit sama Ivan untuk urusan pekerjaan.” Mas Adam menjelaskan dengan detail urusan pekerjaan antara Nindya dan Ivan padaku.Aku kembali mengangguk setuju.“Ya udah, kutinggal
“Hari ini ikut ke Twin House, ya.”Ini sudah sebulan sejak kami kembali dari Bali setelah seminggu menikmati kebersamaan di sana. Dan untuk memenuhi permintaannya waktu itu agar aku mengurangi waktuku di butik, aku juga sudah mulai beradaptasi. Tentu tak ada alasan bagiku untuk tak mengikuti inginnya, apalagi alasan yang mendasari keinginannya sangat masuk akal.“Adam akan lebih sering datang ke kantorku, dan tentu saja akan lebih sering bertemu kamu juga. Bagaimanapun juga, kalian pernah memiliki cerita, aku hanya ingin menjagamu lebih baik lagi.”“Aku juga bakalan banyak pekerjaan, Aya. Dan keberadaanmu di sekitarku hanya akan membuatku tak bisa berkonsentrasi. Yang ada bukannya kerja, tapi malah ngerjain kamu.”Itu dua alasan yang membuatku menerima keingingannya, karena sejujurnya memang seperti inilah kebersamaan yang sejak dulu kuinginkan. Bertukar pendapat dengan pasangan, saling mendengarkan isi hati, saling memahami apa yang pasangan inginkan. Pernikahanku dengan Ivan adalah
“Dari mana, Pi?” Rasanya tak dapat kutahan kekesalanku hari ini. Bagaimana tidak? Kami tiba di villa sejak beberapa jam yang lalu, dan beristirahat sebentar. Lalu saat aku terjaga, tak kutemui pria itu di sudut mana pun sementara ponselnya tergeletak begitu saja di atas meja.“Udah bangun, Sayang? Gimana istirahatnya udah cukup belum?”Dan kesalnya lagi, Ivan justru menanggapi santai dengan kecupan di keningku.“Dari mana aja? Ponsel ditinggal nggak bisa dihubungi, tadi kan cuma mau istirahat bentar abis itu kita jalan-jalan. Kenapa malah ditinggalin berjam-jam gini?” Aku benar-benar kesal kali ini. Yang ada dalam pikiranku tadi, setelah tiba di villa, kami hanya perlu beristirahat sebentar lalu keluar dan menikmati liburan ini.Villa yang disewa Ivan kurasa bukan villa sembarangan. Lokasinya tepat menghadap ke pantai Jimbaran yang terkenal dengan keindahan sunset-nya. Bukan hanya aku, Kia dan Mbak Ri pun terlihat begitu antusias ketika tiba di villa ini tadi. Pemandangan pantai yang
Dari sini aku bisa melihat seperti apa hubungan kekeluargaan mereka di masa lalu yang sering Kak Dian ceritakan. Mungkin seperti inilah hubungan akrab mereka dulu di masa lalu sebelum semua hancur karena sebuah kesalahan. Tak ada yang perlu disesali, karena jika menyesali masa lalu, maka mungkin kehadiran Wira juga akan menjadi penyesalan. Padahal bocah yang memiliki banyak keisitimewaan itulah yang menjadi pemersatu kebersamaan kami ini.Tangan Ivan pun tak lagi selalu tertaut padaku. Kurasa dia juga sudah mulai menyadari bahwa Tari sudah berubah, setidaknya berusaha sangat keras untuk berubah.Dan hingga kebersamaan itu berakhir, kami semua seperti sedang menemukan kebahagiaan baru. Aku, Ivan dan Kia serta pengasuhnya melanjutkan liburan kami ke Bali, meninggalkan Tari dan anak-anaknya di rumah Kak Dian.“Aku bangga punya kamu, Aya.” Dan genggaman tangan itu kembali tertaut saat kami dalam perjalanan melanjutkan trip liburan. “Kalo bukan karena kebesaran hatimu, nggak akan ada keber