Hingga akhirnya aku memutuskan untuk pulang lebih dulu dari rekan-rekanku yang lain setelah sebelumnya meminta Supri menemaniku ke rumah Ivan. Meski bersahabat dengan Ivan, aku memang tak tau alamatnya karena biasanya kami selalu bertemu di coffeeshop miliknya.Ternyata pemandangan yang kudapatkan saat tiba di depan rumah Ivan sungguh membuat darahku mendidih. Cahaya Kirana, istriku, sedang berada dalam pelukan Ivan Nicholas, sahabatku. Aku tak terima, harga diriku merasa diinjak-injak melihat pemandangan ini. Dengan kasar kutarik tubuh Aya dari dekapan pria itu. Masih kulihat Aya terhuyung ketika aku mendorong dan mencampakkan tubuh kotornya setelah terlepas dari dekapan Ivan.“Brengsek, Kamu!”Hanya kata itu yang kuucapkan dengan lantang, karena kemudian tangan dan kakiku lah yang berbicara, mengeluarkan semua kemarahanku pada pria yang telah lancang menyentuh milikku dan menginjak harga diriku. Aku benar-benar sudah dikuasai amarah, tak ingin berhenti hingga pria yang sudah terkapa
Pikiranku melayang pada sosok wanita yang sudah mendampingiku selama lebih dari tiga tahun itu. Cahaya Kirana. Sebuah nama yang waktu itu tiba-tiba saja disebut-sebut papa hendak dijodohkan denganku. Beberapa kali papa dan mama membahas perjodohan itu disela-sela kesibukan pekerjaan mereka. Sejujurnya aku sendiri tak begitu peduli, dan hanya mengiyakan begitu saja perjodohan itu karena tak ingin papa dan mama terus-terusan membahasnya. Terlebih pada saat itu aku merasa sedang mati rasa, karena Bella Sabrina, kekasih yang sudah kupacari sejak lama tiba-tiba saja memutuskan hubungan denganku. Padahal, saat itu kami sudah bertunangan dan sedang mempersiapkan pernikahan.Singkat cerita, aku menikahi Cahaya Kirana meski papa dan mama sebenarnya tak mendesak dan tetap memberiku kesempatan untuk memilih. Namun karena waktu itu kudengar Bella sudah hendak bertolak ke Australia dan melanjutkan karirnya, maka tanpa perhitungan apa pun aku menyetujui menikahi Cahaya saat itu juga, sebelum Bella
Cahaya Kirana, gadis biasa dan jauh dari ekspektasiku mengenai kriteria pendamping itu kini telah hidup denganku selama tiga tahun, selama itu pula aku tak pernah mengubah tabiatku, meski sesekali dia melayangkan protes padaku. Satu hal yang tak kupungkiri dari Cahaya adalah kepuasanku atas kebutuhan biologis. Dia tak pernah menolakku, selalu menuruti bahkan sangat memahami apa yang kuinginkan, meski aku tak tau apa dia juga merasakan kepuasan yang sama. Karena aku tak pernah bertanya dan tak berniat menanyakan itu padanya. Semua tentang Aya tak pernah membuatku tertarik dan penasaran. Berbeda sekali dengan perasaan tertarik dan penasaran yang kurasakan ketika bersama Nindya, gadis cerdas yang bekerja di divisi keuangan perusahaan tempatku bekerja. Gadis yang selalu membuat adrenalinku terpacu saat berada di dekatnya, adernalin yang tak pernah kurasakan dari awal bersama Cahaya.Kini gadis biasa itu telah berubah, dia mengkhianatiku, berselingkuh dengan sahabatku.Aku meremas rambut,
“Kamu sudah menghancurkan mentalku, Mas. Kamu sudah mengubahku menjadi manusia yang kehilangan kepercayaan diri. Kamu menenggelamkan semua keceriaanku, menutupi cahaya matahariku, menghapus warna pelangiku. Bukan aku, tapi kamu yang sudah menghancurkan harga diriku!”Dadaku semakin sesak dengan emosi, dan semakin menjadi-jadi ketika Aya kembali berucap,“Aku pernah mencintaimu, Mas. Dari awal aku selalu berusaha menumbuhkan rasa cinta itu karena bagaimana pun kamu adalah suamiku. Lalu aku akhirnya benar-benar jatuh cinta saat melihatmu memperlakukan keluargaku dengan baik. Tapi kemudian rasa itu kembali terkikis oleh sikapmu. Apa kamu tak pernah merasa jika selama ini kamu sudah sangat keterlaluan padaku? Atau mungkin kamu tak pernah merasa karena kamu memang tak pernah menganggap aku adalah istrimu, pendamping hidupmu. Mungkin selama ini kamu hanya merasa aku adalah tempat pelampiasanmu."Dia menjeda kalimatnya."Apa kamu tau sejak kapan pondasi yang telah berusaha kubangun itu runtu
PoV CahayaEntah mendapat keberanian dari mana aku bisa dengan gampangnya meminta cerai dari Mas Adam setelah dia menyeretku pulang ke rumah.“Mungkin lebih baik kita bercerai saja. Ceraikan aku, Mas.”Kulihat dia tertegun mendengarku meminta bercerai. Meski mataku sudah dipenuhi oleh air mata, namun aku masih bisa melihat tubuhnya seolah kelihangan keseimbangan mendengar kalimatku. Lalu kemudian pria itu marah ketika aku mengatakan tak pernah baik-baik saja dan tak pernah bahagia hidup bersamanya.Meski kurasa aku sudah terlalu banyak bicara kali ini, tapi dadaku merasa sangat plong. Semua beban yang selama ini hanya kusimpan dan tak pernah kukatakan di depannya kini kukatakan dengan tenang padanya. Entah kapan kepercayaan diriku ini kembali hingga aku bisa dengan tenang mengatakan semuanya. Padahal selama ini aku lebih memilih menyimpannya dalam hati, karena pria itu akan terlebih dulu menekanku dan membuatku hanya bisa diam.Dan hal yang paling gila yang kulakukan selanjutnya adala
Jangan tanya bagaimana rasanya berada dalam pelukannya. Rasanya aku ingin menghentikan waktu, tak ingin berakhir dan sanggup berada di sana selama mungkin.Kuraih ponselku untuk mencari tau kabarnya. Aku memilih menghubungi nomor Kak Dian yang ternyata sedang berada di rumah sakit menunggui Ivan yang sedang mendapatkan perawatan atas luka-lukanya. Membayangkan tubuhnya yang terkapar akibat serangan Mas Adam tadi membuat air mataku kembali jatuh. Namun Kak Dian meyakinkanku jika aku tak perlu mengkhawatirkannya.“Aya, kamu nggak apa-apa, kan?” Kak Dian justru menanyakan kabarku.“Aku baik-baik saja, Kak.”“Dia dari tadi minta aku nanyain kabarmu. Dia mengkhawatirkanmu padahal dia sendiri babak belur.” Terdengar suara tawa Kak Dian.“Maafin aku, Kak.” Aku terisak.“Maaf untuk apa, Aya?”“Karenaku dia terluka seperti ini.”“Bukan karena kamu, Aya. Ivan terluka karena jalan yang telah dipilihnya. Aku sudah pernah menasihatinya untuk hal ini, tapi dia tetap memilih berada di jalan yang sal
Kubuka pintu depan, menatap taman kecil di sudut yang selalu kurawat dengan baik selama ini. Kugigit kuat-kuat bibirku agar tangisku tak makin pecah. Aku mencintai rumah ini, merawatnya dengan sepenuh hatiku. Dulu aku berharap di rumah ini akan ada cinta, akan lahir anak-anak kami yang membuat ikatan pernikahan kami semakin kokoh. Aku punya banyak impian ketika pertama kali menginjakkan kaki di rumah ini, impian indah yang kini harus kukubur di tempat ini juga. Dadaku masih sesak menangisi semua impian indahku saat ponselku berdering.“Kak ....” Nomor Kak Dian memanggil.“Kenapa masih memblokir nomorku, Ay. Aku jadi nggak bisa nanyain kabarmu. Apa kamu baik-baik saja?”Maka tangis yang dari tadi masih berusaha kutahan seketika pecah ketika mendengar suara itu. Ivan memakai ponsel Kak Dian karena aku memang masih memblokir nomornya.“Ivan ....” Aku terisak-isak.“Hey, kamu kenapa? Apa Adam menyakitimu? Aku tidak akan me--““Gimana keadaanmu?” Aku memotong kalimatnya.“Aku nggak apa, Ay
Kuraih tangannya perlahan, lalu menyatukan jariku di sela-sela jemarinya. Hangat. Kulitnya selalu mengalirkan kehangatan ke dalam darahku. Aku menatapnya sekali lagi, menatap bibir tebal yang tadi mengucapkan kalimat indah yang membuat darahku berdesir.“I love you, Cahaya.”Sama sepertinya, aku juga tak akan mundur. Karena hati sudah terlanjur berpaling. Hati telah memilih meninggalkan yang mengikat dengan sah dan berpaling pada yang mengikat dengan dosa. Perlahan kurebahkan kepalaku di sampingnya, lalu terlelap dengan jemari yang saling bertaut.Aku menggeliat dan membuka mata saat merasakan seseorang membelai kepalaku. Leherku terasa pegal, rupanya aku tertidur dengan berbantalkan salah satu lenganku, dan pemandangan yang langsung menyambut saat aku membuka mata adalah senyuman dari wajah yang penuh luka lebam itu.“Hai.” Kulihat ia susah payah menggerakkan bibirnya.“Hai,” jawabku lemah, masih dengan kepala yang terkulai di sampingnya. Mataku kembali basah.“Hei, jangan nangis te
“Kalian ini ya ... sama aja dua-duanya! Bucin gak ada obat emang!” Tak kupedulikan suara Kak Dian. Aku segera memeluk Aya sebisaku, membuatnya senyaman mungkin.“Untung bayimu nggak kembar, Ay. Kamu bayangin deh kalo dapat bayi kembar, punya tiga bayi kamu di rumah. Sanggup?” Kak Dian kembali bicara. “Kurasa yang paling ngerepotin sih bayi raksasamu yang ini, Ay.” Telunjuk Kak Dian mengarah padaku.“Jangan bikin Aya ketawa, Kak! Kakak nggak tau kan gimana rasanya ketawa pasca operasi lahiran?” Aku mengulangi kata-kata Kak Dian.“Oiya, sanggup puasa nggak lu, Bro! Empat puluh hari loh.” Kak Dian menekankan kata empat puluh. “Nggak bisa bikin anak orang keramas tiap hari lagi lu.” Suara kekehan Kak Dian terdengar mengejek.“Nak Dian dan Ivan di sana. Biar Ibu yang di sini.” Sebuah perintah lain membuatku dan Kak Dian tak bisa membantah lagi. Ibu mengambil alih posisiku, mengusap lembut kening putri sulungnya dan memberi bisikan-bisikan yang kurasa berisi banyak makna, sebab setelahnya k
PoV IvanAku seperti berada di sebuah ruangan sempit, terkunci rapat dan membuatku tak bisa bernapas. Kilasan-kilasan kebersamaan selama lima tahun lebih pernikahanku dengan Aya berputar kembali di kepala seperti adegan film yang membuat dadaku semakin sesak terhimpit.Tahun-tahun bersama Cahaya adalah tahun-tahun terbaik dalam kehidupanku. Tentu saja jika ini adalah film, seharusnya ini adalah film romantis, bukan film sedih yang membuat dadaku sesak seperti ini. Akan tetapi, sesak ini semakin tak dapat kutahan saja. Tak kupeduikan lagi bagaimana rupaku sekarang. Aku terisak ketika sudah tak dapat menahan sesak, lalu kembali menghirup udara ketika merasa sudah hampir kehilangan napasku.Ruangan ini tentu saja bukanlah ruangan yang sempit mengingat aku sedang berada di ruang VIP salah satu rumah sakit ternama. Di ruangan ini aku juga tak sendirian, ada ibu, Candra dan kembarannya, Kak Dian dan Bang Malik, namun meski banyak orang di ruangan ini, tak ada satu pun di antara kami yang be
“Terima kasih buat keluarga dan teman-teman yang udah hadir malam ini.” Ivan mengambil momen, menghentikan alunan music akustik yang sedari tadi mengisi pendengaran. Pria itu mengucapkan terima kasih yang tulus pada keluarga kami yang hadir malam ini, lalu pada teman-teman dekat yang diundang khusus olehnya. Aku menatapnya dari tempatku duduk tepat di depan panggung kecil di mana ia berdiri. “Malam ini kami merayakan tahun kelima pernikahan. Aku dan Cahaya Kirana, istriku, sudah lima tahun bersama-sama.” Dia menatapku dari depan sana, dan tatapan itu selalu membuatku merasa dicintai. Ivan masih menatapku sambil bicara. “Aku jatuh cinta pada wanita ini sejak kami masih memakai almamater yang sama, lalu Tuhan begitu baik mempertemukanku kembali dengannya belasan tahun kemudian hingga kami menikah. Dan sejak menikahinya, aku masih jatuh cinta padanya setiap hari, masih saja jatuh cinta padanya berulang kali. Malam ini saya meminta doa pada kalian semua agar kami tetap dikuatkan dalam
“Terima kasih buat keluarga dan teman-teman yang udah hadir malam ini.” Ivan mengambil momen, menghentikan alunan music akustik yang sedari tadi mengisi pendengaran. Pria itu mengucapkan terima kasih yang tulus pada keluarga kami yang hadir malam ini, lalu pada teman-teman dekat yang diundang khusus olehnya. Aku menatapnya dari tempatku duduk tepat di depan panggung kecil di mana ia berdiri. “Malam ini kami merayakan tahun kelima pernikahan. Aku dan Cahaya Kirana, istriku, sudah lima tahun bersama-sama.” Dia menatapku dari depan sana, dan tatapan itu selalu membuatku merasa dicintai. Ivan masih menatapku sambil bicara. “Aku jatuh cinta pada wanita ini sejak kami masih memakai almamater yang sama, lalu Tuhan begitu baik mempertemukanku kembali dengannya belasan tahun kemudian hingga kami menikah. Dan sejak menikahinya, aku masih jatuh cinta padanya setiap hari, masih saja jatuh cinta padanya berulang kali. Malam ini saya meminta doa pada kalian semua agar kami tetap dikuatkan dalam
Lima tahun bersamanya, lima tahun penuh bahagia meski tak sedikit pula ombak kecil yang menghantam. Lima tahun bisa menjadi diriku sendiri setelah tahun-tahun sebelumnya terjebak dalam hubungan yang membuatku nyaris kehilangan kepercayaan diri. Malam ini Twin House ditutup untuk umum demi merayakan lima tahun pernikahan ku dan Ivan.Dekorasi anniversary sudah menghiasi Twin House, deretan-deretan makanan pun sudah tertata rapi di sana. Aku sendiri tak terlibat sedikit pun mempersiapkan malam ini, aku hanya memperhatikan kesibukan Iin yang berlalu lalang mengatur venue, lalu Byan yang mondar mandir menyusun catering. Sepasang kekasih itu kini benar-benar menjadi orang kepercayaanku dan Ivan.Aku juga sama sekali tak terlibat mengatur siapa saja undangan malam ini, sebab beberapa hari terakhir aku benar-benar hanya fokus pada diriku sendiri. Setelah siang itu di mana aku berbincang dengan Nindya dan baru menyadari ada yang aneh pada diriku, aku benar-benar melakukan pemeriksaan demi mem
“Emang akunya yang kecepatan sih, Ay. Sebenarnya janjinya agak sorean, tapi karena tadi kebetulan Mas Adam juga pas mau keluar, ya udah aku ikut aja. Aku nggak apa kan nunggu di sini?”“Nggak apa, Nin.”“Oiya, Aya. Aku tadi bareng Mas Adam,” katanya lagi tepat di saat sosok yang dibicarakannya itu muncul dari arah parkiran.“Hai, Aya. Gimana kabarmu?” Kaku sekali, pria itu menyapa.“Baik, Mas. Mas Adam gimana kabarnya?” Akupun menjawab sama kakunya. Kini aku mengerti mengapa Ivan berusaha menghindarkan pertemuan seperti ini. Aku dan dia pernah punya cerita, dan meski selalu berusaha untuk saling biasa saja, namun tak bisa dipungkiri akan ada kekakuan seperti ini saat berinteraksi.“Aku juga baik. Oiya, Ivan ada?”Kembali kujelaskan bahwa suamiku baru saja keluar.“Kalo gitu aku titip Nindya ya, Ay. Dia ada urusan dikit sama Ivan untuk urusan pekerjaan.” Mas Adam menjelaskan dengan detail urusan pekerjaan antara Nindya dan Ivan padaku.Aku kembali mengangguk setuju.“Ya udah, kutinggal
“Hari ini ikut ke Twin House, ya.”Ini sudah sebulan sejak kami kembali dari Bali setelah seminggu menikmati kebersamaan di sana. Dan untuk memenuhi permintaannya waktu itu agar aku mengurangi waktuku di butik, aku juga sudah mulai beradaptasi. Tentu tak ada alasan bagiku untuk tak mengikuti inginnya, apalagi alasan yang mendasari keinginannya sangat masuk akal.“Adam akan lebih sering datang ke kantorku, dan tentu saja akan lebih sering bertemu kamu juga. Bagaimanapun juga, kalian pernah memiliki cerita, aku hanya ingin menjagamu lebih baik lagi.”“Aku juga bakalan banyak pekerjaan, Aya. Dan keberadaanmu di sekitarku hanya akan membuatku tak bisa berkonsentrasi. Yang ada bukannya kerja, tapi malah ngerjain kamu.”Itu dua alasan yang membuatku menerima keingingannya, karena sejujurnya memang seperti inilah kebersamaan yang sejak dulu kuinginkan. Bertukar pendapat dengan pasangan, saling mendengarkan isi hati, saling memahami apa yang pasangan inginkan. Pernikahanku dengan Ivan adalah
“Dari mana, Pi?” Rasanya tak dapat kutahan kekesalanku hari ini. Bagaimana tidak? Kami tiba di villa sejak beberapa jam yang lalu, dan beristirahat sebentar. Lalu saat aku terjaga, tak kutemui pria itu di sudut mana pun sementara ponselnya tergeletak begitu saja di atas meja.“Udah bangun, Sayang? Gimana istirahatnya udah cukup belum?”Dan kesalnya lagi, Ivan justru menanggapi santai dengan kecupan di keningku.“Dari mana aja? Ponsel ditinggal nggak bisa dihubungi, tadi kan cuma mau istirahat bentar abis itu kita jalan-jalan. Kenapa malah ditinggalin berjam-jam gini?” Aku benar-benar kesal kali ini. Yang ada dalam pikiranku tadi, setelah tiba di villa, kami hanya perlu beristirahat sebentar lalu keluar dan menikmati liburan ini.Villa yang disewa Ivan kurasa bukan villa sembarangan. Lokasinya tepat menghadap ke pantai Jimbaran yang terkenal dengan keindahan sunset-nya. Bukan hanya aku, Kia dan Mbak Ri pun terlihat begitu antusias ketika tiba di villa ini tadi. Pemandangan pantai yang
Dari sini aku bisa melihat seperti apa hubungan kekeluargaan mereka di masa lalu yang sering Kak Dian ceritakan. Mungkin seperti inilah hubungan akrab mereka dulu di masa lalu sebelum semua hancur karena sebuah kesalahan. Tak ada yang perlu disesali, karena jika menyesali masa lalu, maka mungkin kehadiran Wira juga akan menjadi penyesalan. Padahal bocah yang memiliki banyak keisitimewaan itulah yang menjadi pemersatu kebersamaan kami ini.Tangan Ivan pun tak lagi selalu tertaut padaku. Kurasa dia juga sudah mulai menyadari bahwa Tari sudah berubah, setidaknya berusaha sangat keras untuk berubah.Dan hingga kebersamaan itu berakhir, kami semua seperti sedang menemukan kebahagiaan baru. Aku, Ivan dan Kia serta pengasuhnya melanjutkan liburan kami ke Bali, meninggalkan Tari dan anak-anaknya di rumah Kak Dian.“Aku bangga punya kamu, Aya.” Dan genggaman tangan itu kembali tertaut saat kami dalam perjalanan melanjutkan trip liburan. “Kalo bukan karena kebesaran hatimu, nggak akan ada keber