Kubuka pintu depan, menatap taman kecil di sudut yang selalu kurawat dengan baik selama ini. Kugigit kuat-kuat bibirku agar tangisku tak makin pecah. Aku mencintai rumah ini, merawatnya dengan sepenuh hatiku. Dulu aku berharap di rumah ini akan ada cinta, akan lahir anak-anak kami yang membuat ikatan pernikahan kami semakin kokoh. Aku punya banyak impian ketika pertama kali menginjakkan kaki di rumah ini, impian indah yang kini harus kukubur di tempat ini juga. Dadaku masih sesak menangisi semua impian indahku saat ponselku berdering.“Kak ....” Nomor Kak Dian memanggil.“Kenapa masih memblokir nomorku, Ay. Aku jadi nggak bisa nanyain kabarmu. Apa kamu baik-baik saja?”Maka tangis yang dari tadi masih berusaha kutahan seketika pecah ketika mendengar suara itu. Ivan memakai ponsel Kak Dian karena aku memang masih memblokir nomornya.“Ivan ....” Aku terisak-isak.“Hey, kamu kenapa? Apa Adam menyakitimu? Aku tidak akan me--““Gimana keadaanmu?” Aku memotong kalimatnya.“Aku nggak apa, Ay
Kuraih tangannya perlahan, lalu menyatukan jariku di sela-sela jemarinya. Hangat. Kulitnya selalu mengalirkan kehangatan ke dalam darahku. Aku menatapnya sekali lagi, menatap bibir tebal yang tadi mengucapkan kalimat indah yang membuat darahku berdesir.“I love you, Cahaya.”Sama sepertinya, aku juga tak akan mundur. Karena hati sudah terlanjur berpaling. Hati telah memilih meninggalkan yang mengikat dengan sah dan berpaling pada yang mengikat dengan dosa. Perlahan kurebahkan kepalaku di sampingnya, lalu terlelap dengan jemari yang saling bertaut.Aku menggeliat dan membuka mata saat merasakan seseorang membelai kepalaku. Leherku terasa pegal, rupanya aku tertidur dengan berbantalkan salah satu lenganku, dan pemandangan yang langsung menyambut saat aku membuka mata adalah senyuman dari wajah yang penuh luka lebam itu.“Hai.” Kulihat ia susah payah menggerakkan bibirnya.“Hai,” jawabku lemah, masih dengan kepala yang terkulai di sampingnya. Mataku kembali basah.“Hei, jangan nangis te
“Kita hadapi semua bersama, Aya. Aku akan selalu di sampingmu. Apa yang kualami saat ini tidak akan ada apa-apanya dengan tekanan yang akan kamu alami setelah ini. Mungkin orang-orang di sekeliling tidak akan menyakiti fisikmu seperti aku, tapi mereka semua akan menyerang mentalmu, menyalahkanmu atas semua kejadian ini. Kuharap kamu bisa lebih tegar lagi.”Dia meraih tanganku, lalu menyelipkan jarinya ke sela-sela jemariku.“Kita berada dalam hubungan yang salah, Aya. Tapi aku sudah tak bisa mundur lagi. Kuharap kamu juga begitu. Mari kita hadapi ini bersama.”Dia meremas jari-jariku.“Kamu mau kan memperjuangkan hubungan kita. Kamu mau kan sekali lagi harus menguatkan mentalmu demi hubungan ini? Semua tidak akan mudah, tapi kita sudah sampai di titik ini.”Aku mengangguk.“Sudah kubilang jangan nangis,” lirihnya.“Aku nggak nangis,” bantahku.Dia terkekeh.“Air matanya udah banjir gini masih bilang nggak nangis.”Dia melepaskan tautan tangannya, lalu megusap pipiku.“Aya.”Aku menata
Kuparkirkan mobilku di garasi setelah tiba di rumah. Tak ada mobil Mas Adam di sana, padahal aku mengira dia sudah berada di rumah saat mengirimiku pesan tadi. Aku tak langsung turun dari mobilku, tapi memilih menyandarkan tubuhku di kursi sambil merenungi semua kejadian yang terjadi belakangan ini. Apa yang kusembunyikan selama tiga tahun ini benar-benar sudah mencapai puncaknya saat ini. Jika dulu aku hanya bisa memendam semuanya sendiri, maka sekarang aku sudah tak dapat lagi menahan lara itu sendiri. Jika sebelumnya aku memilih memakai topeng kebahagiaan dan berharap jika suatu saat kebahagiaan itu menjadi kenyataan, bukan hanya sekedar topeng, maka kali ini aku memilih melepaskan semua topeng itu.Lalu aku merenungi apa yang dikatakan Ivan tadi, aku harus lebih menyiapkan mental jauh lebih kuat dari sebelumnya, karena tidak akan ada satu pun yang akan mendukung kami. Sementara hatiku telah benar-benar tartaut padanya, pada hubungan terlarang yang pasti akan ditentang dan disalahk
“Aku nggak suka lihat kamu terbebani seperti ini, Ay. Aku lebih suka lihat kamu tertawa. Dengarkan aku baik-baik, Cahaya. Jika tadi tak ada pelukan, apa kamu pikir Adam akan semarah itu padaku? Tidak, Aya. Dia tidak pernah peka jika itu mengenai kamu. Di grup WA tim basket kami bukan hanya sekali dua kali teman-teman membahas keakraban kita di villa waktu itu, bahkan disertai dengan foto candid dan beberapa video. Tapi Adam tak pernah sekali pun menanggapi. Kenapa? Karena dia selalu merasa kamu baik-baik saja bersamanya. Dia tidak pernah tau kekosongan hatimu, atau mungkin tak pernah mau tau.”Ivan menjeda kalimatnya.“Jika tadi dia tak melihat langsung aku memelukmu, mungkin sampai sekarang dia masih terus menjadikanku tempatnya untuk bercerita tentang semua perasaannya pada Nindya. Dia cerita semuanya padaku, Aya. Bahkan semua yang belum kamu ketahui. Aya ... kita memang salah, semuanya salah. Tapi berawal dari kesalahan itu lah yang membuka pikiranmu, dosa itu lah yang membuka jala
“Ay.”“Iya.”“Jangan terlalu banyak pikiran, ikuti saja alurnya. Aku tak bisa berada di sampingmu, menemanimu 24 jam. Tapi kuharap kamu menyayangi dirimu sendiri, Aya. Kamu bisa berbagi apa pun denganku, aku siap selalu mendengarmu. Jangan pernah merasa sendiri, aku akan selalu ada untukmu.”Aku tersentuh. Tak pernah ada satu orang pun yang bisa memahamiku sebaik Ivan.“Terima kasih,” ucapku lirih.Suara deru mobil memasuki garasi membuatku menoleh. Mas Adam memarkirkan mobilnya tepat di samping mobilku.“Mas Adam baru pulang,” ucapku lagi.“Aku tutup telponnya, ya,” lanjutku.“Ay.”“Hm.”“Baik-baik, ya, Sayang.”Tapi kalimat terakhirnya tak membuatku baik-baik, karena kini degup jantungku menjadi lebih cepat mendengarnya kembali memanggilku sayang.Aku menoleh ke arah mobil Mas Adam. Dia keluar dari mobilnya tanpa sekali pun melihat ke arah mobilku, padahal dia tak mungkin tak tau kalau aku ada di dalam mobilku karena mesin mobil belum kumatikan, dan kaca mobilku pun tidak terlalu g
Tak ada lagi rasa sakit itu, sungguh aku sudah mengikhlaskan semuanya. Mungkin memang harus seperti ini alurnya.Aku justru masuk ke kamar lalu mengirim pesan pada seseorang.[Di rumah ada Nindya.][Kamu nggak apa-apa?][Dia ke sini untuk urusan pekerjaan.][Kamu nggak apa-apa?][Mereka lagi diskusi di ruang TV.][Kamu nggak apa-apa?][Kenapa nanyanya diulang terus?][Karena aku nggak peduli dengan mereka. Aku hanya perlu tau apa kamu baik-baik saja?][Justru itu yang ingin kukatakan. Tak ada lagi rasa sakit melihat Mas Adam mengabaikanku di depan Nindya. Aku merasa plong, seolah ada beban berat yang lepas dari dadaku.][Beban berat di dada? Loh kok beban beratnya hilang, Ay? Hilang satu apa hilang dua-duanya? Gawat dong. Aku jadi ngebayangin kamu cuma punya satu.][Ih! Jangan mesum! Bukan beban yang itu!]Aku tau apa yang sedang dipikirkannya.[Terima kasih sudah merasa plong, terima kasih sudah tertawa. Karena aku hanya butuh itu, Aya.]Ah, Ivan selalu membuatku seperti ini. Seolah
“Kenapa seperti ini, Nak? Ada yang ingin Aya katakan pada Mama? Jangan menyembunyikan apa pun, Nak. Mama tau Aya bukan wanita yang bisa dengan mudah terlibat hubungan seperti itu. Apa Adam berbohong? Apa Adam menekanmu, Nak?”Aku menggeleng dengan deraian air mata.“Tidak, Ma. Aya memang salah. Maafin Aya.”Toh tak ada gunanya membela diri, aku di pihak yang salah. Sebaik apa pun Mama Indah, sesayang apapun Mama padaku, sedekat apapun hubungan kami. Dia tetaplah ibu dari Mas Adam. Aku tak ingin menceritakan ataupun saling mencari-cari kesalahan. Biarlah waktu yang akan menjawab semuanya.“Dam, kamu kepala rumah tangga. Keputusan ada padamu. Papa hanya berharap pertahankanlah hubungan kalian jika masih bisa dipertahankan. Papa tidak mau terlalu banyak ikut campur, tapi papa tau Cahaya anak yang baik. Kalian bisa saling mengintrospeksi diri, mungkin saja ini hanya salah paham.” Papa menasihati.Mataku kembali menganak sungai. Seandainya saja hubunganku dengan Mas Adam sedamai hubungan p
“Kalian ini ya ... sama aja dua-duanya! Bucin gak ada obat emang!” Tak kupedulikan suara Kak Dian. Aku segera memeluk Aya sebisaku, membuatnya senyaman mungkin.“Untung bayimu nggak kembar, Ay. Kamu bayangin deh kalo dapat bayi kembar, punya tiga bayi kamu di rumah. Sanggup?” Kak Dian kembali bicara. “Kurasa yang paling ngerepotin sih bayi raksasamu yang ini, Ay.” Telunjuk Kak Dian mengarah padaku.“Jangan bikin Aya ketawa, Kak! Kakak nggak tau kan gimana rasanya ketawa pasca operasi lahiran?” Aku mengulangi kata-kata Kak Dian.“Oiya, sanggup puasa nggak lu, Bro! Empat puluh hari loh.” Kak Dian menekankan kata empat puluh. “Nggak bisa bikin anak orang keramas tiap hari lagi lu.” Suara kekehan Kak Dian terdengar mengejek.“Nak Dian dan Ivan di sana. Biar Ibu yang di sini.” Sebuah perintah lain membuatku dan Kak Dian tak bisa membantah lagi. Ibu mengambil alih posisiku, mengusap lembut kening putri sulungnya dan memberi bisikan-bisikan yang kurasa berisi banyak makna, sebab setelahnya k
PoV IvanAku seperti berada di sebuah ruangan sempit, terkunci rapat dan membuatku tak bisa bernapas. Kilasan-kilasan kebersamaan selama lima tahun lebih pernikahanku dengan Aya berputar kembali di kepala seperti adegan film yang membuat dadaku semakin sesak terhimpit.Tahun-tahun bersama Cahaya adalah tahun-tahun terbaik dalam kehidupanku. Tentu saja jika ini adalah film, seharusnya ini adalah film romantis, bukan film sedih yang membuat dadaku sesak seperti ini. Akan tetapi, sesak ini semakin tak dapat kutahan saja. Tak kupeduikan lagi bagaimana rupaku sekarang. Aku terisak ketika sudah tak dapat menahan sesak, lalu kembali menghirup udara ketika merasa sudah hampir kehilangan napasku.Ruangan ini tentu saja bukanlah ruangan yang sempit mengingat aku sedang berada di ruang VIP salah satu rumah sakit ternama. Di ruangan ini aku juga tak sendirian, ada ibu, Candra dan kembarannya, Kak Dian dan Bang Malik, namun meski banyak orang di ruangan ini, tak ada satu pun di antara kami yang be
“Terima kasih buat keluarga dan teman-teman yang udah hadir malam ini.” Ivan mengambil momen, menghentikan alunan music akustik yang sedari tadi mengisi pendengaran. Pria itu mengucapkan terima kasih yang tulus pada keluarga kami yang hadir malam ini, lalu pada teman-teman dekat yang diundang khusus olehnya. Aku menatapnya dari tempatku duduk tepat di depan panggung kecil di mana ia berdiri. “Malam ini kami merayakan tahun kelima pernikahan. Aku dan Cahaya Kirana, istriku, sudah lima tahun bersama-sama.” Dia menatapku dari depan sana, dan tatapan itu selalu membuatku merasa dicintai. Ivan masih menatapku sambil bicara. “Aku jatuh cinta pada wanita ini sejak kami masih memakai almamater yang sama, lalu Tuhan begitu baik mempertemukanku kembali dengannya belasan tahun kemudian hingga kami menikah. Dan sejak menikahinya, aku masih jatuh cinta padanya setiap hari, masih saja jatuh cinta padanya berulang kali. Malam ini saya meminta doa pada kalian semua agar kami tetap dikuatkan dalam
“Terima kasih buat keluarga dan teman-teman yang udah hadir malam ini.” Ivan mengambil momen, menghentikan alunan music akustik yang sedari tadi mengisi pendengaran. Pria itu mengucapkan terima kasih yang tulus pada keluarga kami yang hadir malam ini, lalu pada teman-teman dekat yang diundang khusus olehnya. Aku menatapnya dari tempatku duduk tepat di depan panggung kecil di mana ia berdiri. “Malam ini kami merayakan tahun kelima pernikahan. Aku dan Cahaya Kirana, istriku, sudah lima tahun bersama-sama.” Dia menatapku dari depan sana, dan tatapan itu selalu membuatku merasa dicintai. Ivan masih menatapku sambil bicara. “Aku jatuh cinta pada wanita ini sejak kami masih memakai almamater yang sama, lalu Tuhan begitu baik mempertemukanku kembali dengannya belasan tahun kemudian hingga kami menikah. Dan sejak menikahinya, aku masih jatuh cinta padanya setiap hari, masih saja jatuh cinta padanya berulang kali. Malam ini saya meminta doa pada kalian semua agar kami tetap dikuatkan dalam
Lima tahun bersamanya, lima tahun penuh bahagia meski tak sedikit pula ombak kecil yang menghantam. Lima tahun bisa menjadi diriku sendiri setelah tahun-tahun sebelumnya terjebak dalam hubungan yang membuatku nyaris kehilangan kepercayaan diri. Malam ini Twin House ditutup untuk umum demi merayakan lima tahun pernikahan ku dan Ivan.Dekorasi anniversary sudah menghiasi Twin House, deretan-deretan makanan pun sudah tertata rapi di sana. Aku sendiri tak terlibat sedikit pun mempersiapkan malam ini, aku hanya memperhatikan kesibukan Iin yang berlalu lalang mengatur venue, lalu Byan yang mondar mandir menyusun catering. Sepasang kekasih itu kini benar-benar menjadi orang kepercayaanku dan Ivan.Aku juga sama sekali tak terlibat mengatur siapa saja undangan malam ini, sebab beberapa hari terakhir aku benar-benar hanya fokus pada diriku sendiri. Setelah siang itu di mana aku berbincang dengan Nindya dan baru menyadari ada yang aneh pada diriku, aku benar-benar melakukan pemeriksaan demi mem
“Emang akunya yang kecepatan sih, Ay. Sebenarnya janjinya agak sorean, tapi karena tadi kebetulan Mas Adam juga pas mau keluar, ya udah aku ikut aja. Aku nggak apa kan nunggu di sini?”“Nggak apa, Nin.”“Oiya, Aya. Aku tadi bareng Mas Adam,” katanya lagi tepat di saat sosok yang dibicarakannya itu muncul dari arah parkiran.“Hai, Aya. Gimana kabarmu?” Kaku sekali, pria itu menyapa.“Baik, Mas. Mas Adam gimana kabarnya?” Akupun menjawab sama kakunya. Kini aku mengerti mengapa Ivan berusaha menghindarkan pertemuan seperti ini. Aku dan dia pernah punya cerita, dan meski selalu berusaha untuk saling biasa saja, namun tak bisa dipungkiri akan ada kekakuan seperti ini saat berinteraksi.“Aku juga baik. Oiya, Ivan ada?”Kembali kujelaskan bahwa suamiku baru saja keluar.“Kalo gitu aku titip Nindya ya, Ay. Dia ada urusan dikit sama Ivan untuk urusan pekerjaan.” Mas Adam menjelaskan dengan detail urusan pekerjaan antara Nindya dan Ivan padaku.Aku kembali mengangguk setuju.“Ya udah, kutinggal
“Hari ini ikut ke Twin House, ya.”Ini sudah sebulan sejak kami kembali dari Bali setelah seminggu menikmati kebersamaan di sana. Dan untuk memenuhi permintaannya waktu itu agar aku mengurangi waktuku di butik, aku juga sudah mulai beradaptasi. Tentu tak ada alasan bagiku untuk tak mengikuti inginnya, apalagi alasan yang mendasari keinginannya sangat masuk akal.“Adam akan lebih sering datang ke kantorku, dan tentu saja akan lebih sering bertemu kamu juga. Bagaimanapun juga, kalian pernah memiliki cerita, aku hanya ingin menjagamu lebih baik lagi.”“Aku juga bakalan banyak pekerjaan, Aya. Dan keberadaanmu di sekitarku hanya akan membuatku tak bisa berkonsentrasi. Yang ada bukannya kerja, tapi malah ngerjain kamu.”Itu dua alasan yang membuatku menerima keingingannya, karena sejujurnya memang seperti inilah kebersamaan yang sejak dulu kuinginkan. Bertukar pendapat dengan pasangan, saling mendengarkan isi hati, saling memahami apa yang pasangan inginkan. Pernikahanku dengan Ivan adalah
“Dari mana, Pi?” Rasanya tak dapat kutahan kekesalanku hari ini. Bagaimana tidak? Kami tiba di villa sejak beberapa jam yang lalu, dan beristirahat sebentar. Lalu saat aku terjaga, tak kutemui pria itu di sudut mana pun sementara ponselnya tergeletak begitu saja di atas meja.“Udah bangun, Sayang? Gimana istirahatnya udah cukup belum?”Dan kesalnya lagi, Ivan justru menanggapi santai dengan kecupan di keningku.“Dari mana aja? Ponsel ditinggal nggak bisa dihubungi, tadi kan cuma mau istirahat bentar abis itu kita jalan-jalan. Kenapa malah ditinggalin berjam-jam gini?” Aku benar-benar kesal kali ini. Yang ada dalam pikiranku tadi, setelah tiba di villa, kami hanya perlu beristirahat sebentar lalu keluar dan menikmati liburan ini.Villa yang disewa Ivan kurasa bukan villa sembarangan. Lokasinya tepat menghadap ke pantai Jimbaran yang terkenal dengan keindahan sunset-nya. Bukan hanya aku, Kia dan Mbak Ri pun terlihat begitu antusias ketika tiba di villa ini tadi. Pemandangan pantai yang
Dari sini aku bisa melihat seperti apa hubungan kekeluargaan mereka di masa lalu yang sering Kak Dian ceritakan. Mungkin seperti inilah hubungan akrab mereka dulu di masa lalu sebelum semua hancur karena sebuah kesalahan. Tak ada yang perlu disesali, karena jika menyesali masa lalu, maka mungkin kehadiran Wira juga akan menjadi penyesalan. Padahal bocah yang memiliki banyak keisitimewaan itulah yang menjadi pemersatu kebersamaan kami ini.Tangan Ivan pun tak lagi selalu tertaut padaku. Kurasa dia juga sudah mulai menyadari bahwa Tari sudah berubah, setidaknya berusaha sangat keras untuk berubah.Dan hingga kebersamaan itu berakhir, kami semua seperti sedang menemukan kebahagiaan baru. Aku, Ivan dan Kia serta pengasuhnya melanjutkan liburan kami ke Bali, meninggalkan Tari dan anak-anaknya di rumah Kak Dian.“Aku bangga punya kamu, Aya.” Dan genggaman tangan itu kembali tertaut saat kami dalam perjalanan melanjutkan trip liburan. “Kalo bukan karena kebesaran hatimu, nggak akan ada keber