Kak Dian menyodorkan ponselnya yang menampilkan chat dengan Ivan. Akhirnya aku pun menurut. Namun ternyata mengobrol dengan Kak Dian sangat mengasyikkan hingga membuatku lupa waktu. Aku baru menyadari ketika sudah pukul tujuh malam dan tiba-tiba hujan deras dan langit terlihat hitam.“Pulangnya nanti aja, nunggu agak reda,” ucap Kak Dian saat melihatku gelisah.“Kabari suami kamu, Ay. Bilang aja agak telat pulangnya nunggu hujan deras,” lanjutnya lagi.“Mas Adam lagi nggak di rumah, Kak. Dia ada meeting di daerah puncak.”“Tapi kita sebagai istri harus tetap memberi kabar, Aya.”Aku terdiam, merasa tersindir.“Ivan sudah cerita bagaimana hubunganmu dengan suamimu. Terutama komunikasi kalian yang selalu berujung pertengkaran. Tapi bagaimana pun selama kalian masih dalam ikatan pernikahan, kamu tetap wajib jujur pada suamimu. Termasuk pulang terlambat seperti saat ini, meski pun suamimu tak ada di rumah.”Aku mengangguk mengiyakan, lalu meraih ponselku. Namun yang terlihat olehku justru
Kakiku serasa tak lagi berpijak di bumi saat aku membalikkan badan dan melihat seseorang sedang berdiri di sana, bersandar di dinding sambil bersedekap tangan dan menyilangkan kaki."Hai, Sunshine!"“K-kamu? Bukannya ....”Tanganku gemetar, buru-buru kuletakkan gelas yang kupegang ke atas meja karena takut terlepas dari genggaman.“Eh, hati-hati, Ay!” dia buru-buru bergerak ke arahku saat aku hampir saja salah meletakkan gelas di pinggir meja.“Bukannya ... kamu ... lagi ... di Bali.” Aku terbata-bata.Huft! Jantungku belum bisa kembali normal karena keterkejutan ini.“Nggak, Ay. Bukan di Bali, aku lagi di surga.”“Hahh???”“Nih ada bidadari di hadapanku. Di mana coba kalau bukan lagi di surga.”Astaga! Aku meraba dadaku, semoga jantungku masih aman di dalam sana. Beruntung setelahnya Kak Dian kembali muncul ke dapur.“Eh, ini anak! Dibilangin jangan keluar kamar malah didatangin ke dapur Aya nya.”Kak Dian melotot sambil mencubit pinggang adiknya.“Sakit, Kak!” pekik Ivan.“Lagian si
“Gimana kabarmu, Aya?” Suaranya terdengar sangat lembut di telingaku.Suara itu. Suara yang selalu kurindukan, dan kini pemilik suara itu sedang berada di depanku. Aku masih kehilangan akal apa yang harus kulakukan. Hingga akhirnya aku hanya bisa menunduk dan meremas jemariku sendiri.“Aya, kamu tau nggak. Waktu tau kamu ada di dalam mobil Adam di Twin waktu itu. Aku rasanya ingin berlari ke arahmu, mengabaikan semua yang ada, termasuk Adam. Susah payah aku menahan agar pikrianku tak warasku itu tidak menguasaiku.”Lalu aku teringat kalau waktu itu dia sedang bersama Bella.“Bukannya waktu itu kamu sedang bersama Bella?” tanyaku.“Kamu pasti tau kenapa aku dekatin Bella, Ay. Aku terpaksa melakukannya.”Napasnya terdengar berat.“Tapi bagiamana kalau Bella serius dan suka sama kamu?”“Aku nggak peduli. Aku melakukannya demi kamu. Hanya demi kamu.”Huhh, badanku rasanya merinding mendengarnya. “Ay.”Aku mendongakkan wajah menatapnya.“Aku kangen.”Ya Tuhan! Bolehkah aku berlari ke dala
“Hanya satu orang yang tak pernah mau ikut-ikutan memanas-manasi grup dengan gurauan tentang video itu. Hanya Supri yang tak pernah mau ikut menanggapi, padahal dia adalah orang yang paling tau bagaimana sebenarnya hubungan kita.”Dia terdiam sebelum kembali melanjutkan.“Aku memilih tak datang ke Twin dengan alasan sedang meeting karena aku tak mau kamu merasa tidak nyaman dengan gurauan-gurauan mereka.”Ucapan Ivan membuatku berpikir keras. Video itu beredar di grup mereka dan menjadi bahan gurauan? Tapi kenapa Mas Adam tak pernah membahas itu? Apa dia sama sekali tak merasa terganggu dengan video itu dan gurauan teman-temannya?Aku berpamitan setelah menghabiskan segelas teh hangat buatan Bik Jum dan mengobrol sebentar dengan Kak Dian yang mengeluhkan putri bungsunya yang masih rewel karena demam.“Udah Kak Dian urus Adelle aja, biar aku yang antar Aya ke depan,” kata Ivan saat melihat Kak Dian hendak ikut mengantarkanku ke depan.“Halah, modus lu!”Aku kembali tertawa mendengar du
“Jangan menangis, Aya.”“Kamu nggak bisa nyetir kalau begini.”“Tenangkan diri dulu, Ay.”Dia masih menungguku, menyodorkan kotak tisu padaku, mengatakan kalimat-kalimat yang menyemangatiku. Hingga akhirnya tangisku berhenti, atau lebih tepatnya kupaksakan diriku untuk berhenti.“Udah tenang?”Aku mengangguk. Dia tersenyum.“Hati-hati berkendara, Sayang.”Dia membuka pintu lalu keluar. Tapi kalimat terakhirnya membuat pikiranku kembali berjalan diluar batas normal. Dia memanggilku sayang!Tanpa bisa berpikir jernih lagi aku pun membuka pintu mobilku, lalu keluar dan menghambur ke pelukannya.“Jangan pergi.” Kini aku terisak-isak dalam dekapannya.“Aya, jangan begini.” Suaranya bergetar, tangannya memelukku.“Sebentar saja. Biarkan begini.”Aku mengeratkan pelukan, dia membalasnya lebih erat. Telingaku menempel di dadanya, degup jantungnya terdengar bagai irama memabukkan bagiku. Lalu aku merasa ia mencium pucuk kepalaku.“I love you, Cahaya.”Kupejamkan mata meresapi semuanya. Hingga
PoV AdamTak seperti biasanya, pagi ini aku memilih pulang lebih dulu dari rekan-rekanku yang lain, termasuk Nindya. Tim semua sedang berada di daerah puncak setelah semalam terpaksa menginap karena terkurung oleh cuaca buruk. Kemarin aku, Nindya dan beberapa utusan perusahaan memang sedang mengikuti meeting dengan salah satu perusahaan alat berat yang akan menjadi partner kerja perusahaan kami di daerah Kalimantan.Aku sempat melihat Nindya melirikku saat aku pamit pulang duluan, mungkin dia bertanya-tanya kenapa aku seolah terlihat buru-buru, namun tak berani menanyakannya. Biasanya memang aku akan selalu berbasa-basi mengajaknya pulang bersama ikut di mobilku ketika kami sedang sama-sama ditugaskan di luar kantor seperti ini. Meski Nindya akan selalu menolak ajakanku dan lebih memilih ikut dengan rekanku yang lain yang memakai movil inventaris perusahaan. Namun kali ini aku tak menawarinya untuk pulang bersamaku.Bukan tanpa sebab aku ingin pulang lebih awal. Percakapanku dengan Su
Hingga akhirnya aku memutuskan untuk pulang lebih dulu dari rekan-rekanku yang lain setelah sebelumnya meminta Supri menemaniku ke rumah Ivan. Meski bersahabat dengan Ivan, aku memang tak tau alamatnya karena biasanya kami selalu bertemu di coffeeshop miliknya.Ternyata pemandangan yang kudapatkan saat tiba di depan rumah Ivan sungguh membuat darahku mendidih. Cahaya Kirana, istriku, sedang berada dalam pelukan Ivan Nicholas, sahabatku. Aku tak terima, harga diriku merasa diinjak-injak melihat pemandangan ini. Dengan kasar kutarik tubuh Aya dari dekapan pria itu. Masih kulihat Aya terhuyung ketika aku mendorong dan mencampakkan tubuh kotornya setelah terlepas dari dekapan Ivan.“Brengsek, Kamu!”Hanya kata itu yang kuucapkan dengan lantang, karena kemudian tangan dan kakiku lah yang berbicara, mengeluarkan semua kemarahanku pada pria yang telah lancang menyentuh milikku dan menginjak harga diriku. Aku benar-benar sudah dikuasai amarah, tak ingin berhenti hingga pria yang sudah terkapa
Pikiranku melayang pada sosok wanita yang sudah mendampingiku selama lebih dari tiga tahun itu. Cahaya Kirana. Sebuah nama yang waktu itu tiba-tiba saja disebut-sebut papa hendak dijodohkan denganku. Beberapa kali papa dan mama membahas perjodohan itu disela-sela kesibukan pekerjaan mereka. Sejujurnya aku sendiri tak begitu peduli, dan hanya mengiyakan begitu saja perjodohan itu karena tak ingin papa dan mama terus-terusan membahasnya. Terlebih pada saat itu aku merasa sedang mati rasa, karena Bella Sabrina, kekasih yang sudah kupacari sejak lama tiba-tiba saja memutuskan hubungan denganku. Padahal, saat itu kami sudah bertunangan dan sedang mempersiapkan pernikahan.Singkat cerita, aku menikahi Cahaya Kirana meski papa dan mama sebenarnya tak mendesak dan tetap memberiku kesempatan untuk memilih. Namun karena waktu itu kudengar Bella sudah hendak bertolak ke Australia dan melanjutkan karirnya, maka tanpa perhitungan apa pun aku menyetujui menikahi Cahaya saat itu juga, sebelum Bella
“Kalian ini ya ... sama aja dua-duanya! Bucin gak ada obat emang!” Tak kupedulikan suara Kak Dian. Aku segera memeluk Aya sebisaku, membuatnya senyaman mungkin.“Untung bayimu nggak kembar, Ay. Kamu bayangin deh kalo dapat bayi kembar, punya tiga bayi kamu di rumah. Sanggup?” Kak Dian kembali bicara. “Kurasa yang paling ngerepotin sih bayi raksasamu yang ini, Ay.” Telunjuk Kak Dian mengarah padaku.“Jangan bikin Aya ketawa, Kak! Kakak nggak tau kan gimana rasanya ketawa pasca operasi lahiran?” Aku mengulangi kata-kata Kak Dian.“Oiya, sanggup puasa nggak lu, Bro! Empat puluh hari loh.” Kak Dian menekankan kata empat puluh. “Nggak bisa bikin anak orang keramas tiap hari lagi lu.” Suara kekehan Kak Dian terdengar mengejek.“Nak Dian dan Ivan di sana. Biar Ibu yang di sini.” Sebuah perintah lain membuatku dan Kak Dian tak bisa membantah lagi. Ibu mengambil alih posisiku, mengusap lembut kening putri sulungnya dan memberi bisikan-bisikan yang kurasa berisi banyak makna, sebab setelahnya k
PoV IvanAku seperti berada di sebuah ruangan sempit, terkunci rapat dan membuatku tak bisa bernapas. Kilasan-kilasan kebersamaan selama lima tahun lebih pernikahanku dengan Aya berputar kembali di kepala seperti adegan film yang membuat dadaku semakin sesak terhimpit.Tahun-tahun bersama Cahaya adalah tahun-tahun terbaik dalam kehidupanku. Tentu saja jika ini adalah film, seharusnya ini adalah film romantis, bukan film sedih yang membuat dadaku sesak seperti ini. Akan tetapi, sesak ini semakin tak dapat kutahan saja. Tak kupeduikan lagi bagaimana rupaku sekarang. Aku terisak ketika sudah tak dapat menahan sesak, lalu kembali menghirup udara ketika merasa sudah hampir kehilangan napasku.Ruangan ini tentu saja bukanlah ruangan yang sempit mengingat aku sedang berada di ruang VIP salah satu rumah sakit ternama. Di ruangan ini aku juga tak sendirian, ada ibu, Candra dan kembarannya, Kak Dian dan Bang Malik, namun meski banyak orang di ruangan ini, tak ada satu pun di antara kami yang be
“Terima kasih buat keluarga dan teman-teman yang udah hadir malam ini.” Ivan mengambil momen, menghentikan alunan music akustik yang sedari tadi mengisi pendengaran. Pria itu mengucapkan terima kasih yang tulus pada keluarga kami yang hadir malam ini, lalu pada teman-teman dekat yang diundang khusus olehnya. Aku menatapnya dari tempatku duduk tepat di depan panggung kecil di mana ia berdiri. “Malam ini kami merayakan tahun kelima pernikahan. Aku dan Cahaya Kirana, istriku, sudah lima tahun bersama-sama.” Dia menatapku dari depan sana, dan tatapan itu selalu membuatku merasa dicintai. Ivan masih menatapku sambil bicara. “Aku jatuh cinta pada wanita ini sejak kami masih memakai almamater yang sama, lalu Tuhan begitu baik mempertemukanku kembali dengannya belasan tahun kemudian hingga kami menikah. Dan sejak menikahinya, aku masih jatuh cinta padanya setiap hari, masih saja jatuh cinta padanya berulang kali. Malam ini saya meminta doa pada kalian semua agar kami tetap dikuatkan dalam
“Terima kasih buat keluarga dan teman-teman yang udah hadir malam ini.” Ivan mengambil momen, menghentikan alunan music akustik yang sedari tadi mengisi pendengaran. Pria itu mengucapkan terima kasih yang tulus pada keluarga kami yang hadir malam ini, lalu pada teman-teman dekat yang diundang khusus olehnya. Aku menatapnya dari tempatku duduk tepat di depan panggung kecil di mana ia berdiri. “Malam ini kami merayakan tahun kelima pernikahan. Aku dan Cahaya Kirana, istriku, sudah lima tahun bersama-sama.” Dia menatapku dari depan sana, dan tatapan itu selalu membuatku merasa dicintai. Ivan masih menatapku sambil bicara. “Aku jatuh cinta pada wanita ini sejak kami masih memakai almamater yang sama, lalu Tuhan begitu baik mempertemukanku kembali dengannya belasan tahun kemudian hingga kami menikah. Dan sejak menikahinya, aku masih jatuh cinta padanya setiap hari, masih saja jatuh cinta padanya berulang kali. Malam ini saya meminta doa pada kalian semua agar kami tetap dikuatkan dalam
Lima tahun bersamanya, lima tahun penuh bahagia meski tak sedikit pula ombak kecil yang menghantam. Lima tahun bisa menjadi diriku sendiri setelah tahun-tahun sebelumnya terjebak dalam hubungan yang membuatku nyaris kehilangan kepercayaan diri. Malam ini Twin House ditutup untuk umum demi merayakan lima tahun pernikahan ku dan Ivan.Dekorasi anniversary sudah menghiasi Twin House, deretan-deretan makanan pun sudah tertata rapi di sana. Aku sendiri tak terlibat sedikit pun mempersiapkan malam ini, aku hanya memperhatikan kesibukan Iin yang berlalu lalang mengatur venue, lalu Byan yang mondar mandir menyusun catering. Sepasang kekasih itu kini benar-benar menjadi orang kepercayaanku dan Ivan.Aku juga sama sekali tak terlibat mengatur siapa saja undangan malam ini, sebab beberapa hari terakhir aku benar-benar hanya fokus pada diriku sendiri. Setelah siang itu di mana aku berbincang dengan Nindya dan baru menyadari ada yang aneh pada diriku, aku benar-benar melakukan pemeriksaan demi mem
“Emang akunya yang kecepatan sih, Ay. Sebenarnya janjinya agak sorean, tapi karena tadi kebetulan Mas Adam juga pas mau keluar, ya udah aku ikut aja. Aku nggak apa kan nunggu di sini?”“Nggak apa, Nin.”“Oiya, Aya. Aku tadi bareng Mas Adam,” katanya lagi tepat di saat sosok yang dibicarakannya itu muncul dari arah parkiran.“Hai, Aya. Gimana kabarmu?” Kaku sekali, pria itu menyapa.“Baik, Mas. Mas Adam gimana kabarnya?” Akupun menjawab sama kakunya. Kini aku mengerti mengapa Ivan berusaha menghindarkan pertemuan seperti ini. Aku dan dia pernah punya cerita, dan meski selalu berusaha untuk saling biasa saja, namun tak bisa dipungkiri akan ada kekakuan seperti ini saat berinteraksi.“Aku juga baik. Oiya, Ivan ada?”Kembali kujelaskan bahwa suamiku baru saja keluar.“Kalo gitu aku titip Nindya ya, Ay. Dia ada urusan dikit sama Ivan untuk urusan pekerjaan.” Mas Adam menjelaskan dengan detail urusan pekerjaan antara Nindya dan Ivan padaku.Aku kembali mengangguk setuju.“Ya udah, kutinggal
“Hari ini ikut ke Twin House, ya.”Ini sudah sebulan sejak kami kembali dari Bali setelah seminggu menikmati kebersamaan di sana. Dan untuk memenuhi permintaannya waktu itu agar aku mengurangi waktuku di butik, aku juga sudah mulai beradaptasi. Tentu tak ada alasan bagiku untuk tak mengikuti inginnya, apalagi alasan yang mendasari keinginannya sangat masuk akal.“Adam akan lebih sering datang ke kantorku, dan tentu saja akan lebih sering bertemu kamu juga. Bagaimanapun juga, kalian pernah memiliki cerita, aku hanya ingin menjagamu lebih baik lagi.”“Aku juga bakalan banyak pekerjaan, Aya. Dan keberadaanmu di sekitarku hanya akan membuatku tak bisa berkonsentrasi. Yang ada bukannya kerja, tapi malah ngerjain kamu.”Itu dua alasan yang membuatku menerima keingingannya, karena sejujurnya memang seperti inilah kebersamaan yang sejak dulu kuinginkan. Bertukar pendapat dengan pasangan, saling mendengarkan isi hati, saling memahami apa yang pasangan inginkan. Pernikahanku dengan Ivan adalah
“Dari mana, Pi?” Rasanya tak dapat kutahan kekesalanku hari ini. Bagaimana tidak? Kami tiba di villa sejak beberapa jam yang lalu, dan beristirahat sebentar. Lalu saat aku terjaga, tak kutemui pria itu di sudut mana pun sementara ponselnya tergeletak begitu saja di atas meja.“Udah bangun, Sayang? Gimana istirahatnya udah cukup belum?”Dan kesalnya lagi, Ivan justru menanggapi santai dengan kecupan di keningku.“Dari mana aja? Ponsel ditinggal nggak bisa dihubungi, tadi kan cuma mau istirahat bentar abis itu kita jalan-jalan. Kenapa malah ditinggalin berjam-jam gini?” Aku benar-benar kesal kali ini. Yang ada dalam pikiranku tadi, setelah tiba di villa, kami hanya perlu beristirahat sebentar lalu keluar dan menikmati liburan ini.Villa yang disewa Ivan kurasa bukan villa sembarangan. Lokasinya tepat menghadap ke pantai Jimbaran yang terkenal dengan keindahan sunset-nya. Bukan hanya aku, Kia dan Mbak Ri pun terlihat begitu antusias ketika tiba di villa ini tadi. Pemandangan pantai yang
Dari sini aku bisa melihat seperti apa hubungan kekeluargaan mereka di masa lalu yang sering Kak Dian ceritakan. Mungkin seperti inilah hubungan akrab mereka dulu di masa lalu sebelum semua hancur karena sebuah kesalahan. Tak ada yang perlu disesali, karena jika menyesali masa lalu, maka mungkin kehadiran Wira juga akan menjadi penyesalan. Padahal bocah yang memiliki banyak keisitimewaan itulah yang menjadi pemersatu kebersamaan kami ini.Tangan Ivan pun tak lagi selalu tertaut padaku. Kurasa dia juga sudah mulai menyadari bahwa Tari sudah berubah, setidaknya berusaha sangat keras untuk berubah.Dan hingga kebersamaan itu berakhir, kami semua seperti sedang menemukan kebahagiaan baru. Aku, Ivan dan Kia serta pengasuhnya melanjutkan liburan kami ke Bali, meninggalkan Tari dan anak-anaknya di rumah Kak Dian.“Aku bangga punya kamu, Aya.” Dan genggaman tangan itu kembali tertaut saat kami dalam perjalanan melanjutkan trip liburan. “Kalo bukan karena kebesaran hatimu, nggak akan ada keber