“Tak ada yang bisa mengubah masa lalu, namun kita masih memperbaiki masa depan. Aku nggak bisa mengubah kesalahanku di masa lalu hingga Wira hadir ke dunia, tapi aku bisa meyakinkanmu bahwa mimpiku di masa depan adalah kamu, Cahaya Kirana. Kamu dan anak-anak kita.”Sebuah bisikan darinya di menit-menit romantis setelah ciuman panjangnya membuatku terenyuh. Kurasa tak ada yang perlu kukhawatirkan, karena lelaki ini terlihat begitu meyakinkan.Juga ... begitu melenakan.Aku bahkan tak bisa berkutik saat ia masih saja menghujani dengan ciuman, sementara beberapa kali kudengar pintu ruangannya diketuk dari luar.“I ... tuh ... pintu,” ucapku hendak menghentikan ciumannya.“Biarin. Paling Tiara.”Dan benar saja, beberapa saat setelah pintu kembali kubuka, gadis yang selalu apa adanya itu terlihat cemberut saat menghadap ke bossnya.“Kamu kenapa?” Ivan menyapa dengan tawa menyapa Tiara.“Tadi ada telepon dari proyek Kalimantan, Pak. Mereka protes ke kita karena progres tidak sesuai dengan j
“Tapi kamu jangan tinggalin boss kamu, ya, Tiara.” Aku meyakinkannya lalu mengembuskan napas lega ketika Tiara mengangguk.Gadis itu kemudian masih melaporkan beberapa hal sebelum berpamitan untuk meninggalkan ruangan.“Makasih udah bujukin Tiara, Sayang.” Sebuah kecupan mendarat di keningku sepeninggal Tiara.“Kasihan juga liat dia ketakutan gitu. Sepertinya dia benar-benar diteror,” gumamku.“Iya. Beberapa hari ini proyek Kalimantan yang mangkrak meminta tanggung jawabku.”“Terus kenapa nggak diselesaikan?”Pria di hadapanku menghela napas panjang.“Akan diselesaikan, Aya. Tapi ....”“Tapi kenapa?”“Mungkin semua aset perusahaan akan dilelang untuk menutupi kerugian.”Ivan masih menjelaskan banyak hal tentang penggelapan dana perusahaan, tentang proyek gagal yang akhirnya merugi, tentang apa saja yang akan hilang darinya untuk menutupi tanggung jawabnya.“Kamu siap?” tanyanya di ujung penjelasan yang tak sepenuhnya kumengerti.“Siap untuk?” Alisku bertaut.“Setelah ini aku mungkin a
Hari-hariku penuh warna setelahnya. Mengetahui Tari memiliki niat tersembunyi saat berada di dekatnya, Ivan benar-benar menjauhinya. Setiap hari saat ia harus ke kantor, ia selalu mengajakku ikut serta karena wanita itu memang masih bekerja di sana.Harus profesional. Itu yang kukatakan padanya ketika ia meminta pendapatku perihal memberhentikan Tari. Apalagi ternyata Tari sekarang menjadi kunci dari banyak hal di perusahaan. Dia benar-benar menguasai jauh lebih banyak dibanding boss-nya yang terkadang masih melupakan hal-hal tertentu.Tetapi, Ivan benar-benar berubah padanya. Di saat harus berhadapan dengan Tari untuk urusan pekerjaan, pria itu terlihat tegas dan kaku. Hubungaku dan Tari pun tak kalah dinginnya. Tak pernah kami bertegur sapa meski sepanjang hari aku berada di kantor meski hanya menjadi pajangan karena Ivan sama sekali tak membiarkanku terlibat pekerjaannya.“Kamu di situ aja, temenin aku. Nggak perlu ngapa-ngapain.” Itu yang dikatakannya saat aku ingin membantunya.J
Di hari resepsi pernikahan Gina, aku dan Ivan benar-benar datang memenuhi undangan mereka. Pesta dengan tema internasional yang begitu mewah digelar di ballroom sebuah hotel bintang lima. Jika mengingat pria yang sedang menggenggam tanganku ini pernah hampir menikahi gadis di atas pelaminan mewah itu, ada perasaan minder di dalam dadaku.Kalau saja dulu mereka menikahi Gina, kurasa Ivan tak akan berada di titik terendahnya seperti saat ini. Kekayaan dan kekuasaan keluarga Gina tentu akan membuat perusahaannya akan semakin berkibar.Nyatanya, pria ini memilihku. Karena rencana pernikahannya dengan Gina dulu pun dia lakukan agar aku kembali pada Mas Adam tanpa beban.Ah, rasanya seperti naik roller coaster ketika mengingat saat-saat menegangkan itu.“Kenapa, hmm?” Ivan menunduk menatapku, kurasa lelaki ini tahu bahwa aku sedang merasa grogi.Ya, entah kenapa kenangan itu membuatku sedikit grogi, atau mungkin lebih tepatnya tak percaya diri.“Aku nervous,” kataku.“Karena?”“Kalian perna
“Tadi siapa yang ngabarin, Pi?” Di tengah perjalanan pulang dari hotel berbintang di mana resepsi pernikahan Gina digelar tadi, aku menoleh pada pria yang sedari tadi hanya diam di kursinya.Aku yang mengetahui kepanikannya tadi memang berinisiatif mengambil alih kemudi. Lalu sepanjang jalan hanya keheningan yang menguasai, hanya helaan napas kasarnya yang sesekali terdengar di dalam kabin kendaraan.“Tari menelpon?” tanyaku lagi ketika ia tak kunjung menjawab dan hanya menoleh dengan tatapan yang sulit kuartikan.“Jangan terlalu panik, Pi. Sebaiknya kita berdoa semoga Wira bisa melalui masa kritisnya.” Aku mengulangi dan menyimpulkan sendiri apa yang ada di kepalaku.“Arrrggghhh!” Ivan tiba-tiba menjerit dan membuatku sedikit terkejut.“Aku ayah yang nggak berguna, Aya. Aku ayah yang zolim. Aku ayah yang ....” Kalimatnya tak selesai, tertahan di tenggorokannya yang kini menyuarakan tangis lirih.Meski aku tak mengerti mengapa ia harus merasa bersalah dan merasa tak berguna atas kondi
“Aku udah nggak peduli, Kak. Aku nggak peduli tadi Kakak sengaja atau nggak menolak panggilan. Aku udah nggak peduli Kak Ivan mau datang atau nggak. Aku nggak peduli ... aku nggak peduli! Aku hanya mau anakku ... aku hanya mau Wira.”Meski tangisan wanita itu menyayat hatiku, tetapi selalu ada rasa yang lain ketika ia memanggil Ivan dengan sebutan Kakak. Aku terharu melihat kepasrahan dan kesedihan seorang ibu padanya, tapi juga cemburu mendengar caranya memanggil suamiku.Ternyata tak segampang itu menaklukkan masa lalu. Aku menunduk menetralkan rasa, membiarkan kedua manusia yang entah sedekat apa di masa lalu itu masih saling berdebat dalam tangis yang tertahan. Sebelum akhirnya seorang petugas medis datang menghampiri keduanya.“Biar ibunya yang masuk.” Begitu suara Ivan kudengar ketika petugas datang dan mengizinkan salah seorang dari mereka untuk masuk.Aku kembali menunduk ketika Tari dengan lunglai mengikuti langkah petugas. Aku seorang ibu sama sepertinya, dan aku bisa merasa
Berpuluh-puluh menit aku menantinya, mengikhlaskannya berlama-lama di sana bersama masa lalunya, memberinya ruang dan waktu untuk menebus dosa masa lalu yang tak bisa dipungkiri. Kursi tunggu di sudut rumah sakit menjadi tempatku menunggunya dengan setia.Wanita paruh baya yang biasa dipanggil ‘bude’ oleh Tari dan anak-anaknya datang menghampiri setelah beberapa menit aku menanti. Lalu setelahnya aku mendengarkan banyak hak dari wanita paruh baya itu tentang kehidupan Tari. Semua mengalir begitu saja tanpa aku bertanya. Bude membuatku mengetahui beberapa sisi lain dari Tari yang tak kuketahui selama ini.Lalu setelah pintu ruang PICU menghadirkan sosok yang kunanti di depan sana, aku segera berlari dan memeluknya. Aroma khas rumah sakit menguar dari tubuh priaku. Tari juga muncul di sana sesaat kemudian dan hanya membuang pandangan melihat kami.Meski belum bertanya, tetapi otakku segera menyimpulkan satu hal dari ekspresi keduanya, Ivan dan Tari, ayah dan ibu Wira.“Wira ....” Aku me
“Hmmm. Iya, Kak. Makasih untuk semua. Aku nggak tau lagi kalo nggak ada Kak Dian, pasti nggak akan selancar ini urusannya.”Wanita yang selalu terlihat dewasa itu menepuk pundak adik lelakinya.“Kamu juga udah bangkrut gitu, satu-satunya harta yang tersisa malah dibiarin. Untung Tari bisa diandalkan, kalo nggak Kakak juga kewalahan ngadapin penawaran.”Aku masih berdiri menyaksikan kedua kakak beradik yang selalu saling memiliki itu berpelukan.“Kemarin itu aku udah berpikiran yang paling buruk, Kak. Kupikir Wira bakal ninggalin aku, makanya aku usahain sesering mungkin ada di sana. Kalo aku nggak bisa ada saat ia hadir ke dunia, paling nggak aku ada saat ia menyerah pada dunia. Cuma itu yang ada di pikiranku.”Kini aku mengerti. Sekarang dan nanti, suka maupun duka. Pantas saja selama seminggu ini ia tak mau lepas dariku. Rupanya dia sedang bersiap menghadapi kondisi terburuk Wira, dan ingin aku yang ada di dekatnya saat itu, bukan ibu dari anaknya, karena ia justru lebih sering meng
“Kalian ini ya ... sama aja dua-duanya! Bucin gak ada obat emang!” Tak kupedulikan suara Kak Dian. Aku segera memeluk Aya sebisaku, membuatnya senyaman mungkin.“Untung bayimu nggak kembar, Ay. Kamu bayangin deh kalo dapat bayi kembar, punya tiga bayi kamu di rumah. Sanggup?” Kak Dian kembali bicara. “Kurasa yang paling ngerepotin sih bayi raksasamu yang ini, Ay.” Telunjuk Kak Dian mengarah padaku.“Jangan bikin Aya ketawa, Kak! Kakak nggak tau kan gimana rasanya ketawa pasca operasi lahiran?” Aku mengulangi kata-kata Kak Dian.“Oiya, sanggup puasa nggak lu, Bro! Empat puluh hari loh.” Kak Dian menekankan kata empat puluh. “Nggak bisa bikin anak orang keramas tiap hari lagi lu.” Suara kekehan Kak Dian terdengar mengejek.“Nak Dian dan Ivan di sana. Biar Ibu yang di sini.” Sebuah perintah lain membuatku dan Kak Dian tak bisa membantah lagi. Ibu mengambil alih posisiku, mengusap lembut kening putri sulungnya dan memberi bisikan-bisikan yang kurasa berisi banyak makna, sebab setelahnya k
PoV IvanAku seperti berada di sebuah ruangan sempit, terkunci rapat dan membuatku tak bisa bernapas. Kilasan-kilasan kebersamaan selama lima tahun lebih pernikahanku dengan Aya berputar kembali di kepala seperti adegan film yang membuat dadaku semakin sesak terhimpit.Tahun-tahun bersama Cahaya adalah tahun-tahun terbaik dalam kehidupanku. Tentu saja jika ini adalah film, seharusnya ini adalah film romantis, bukan film sedih yang membuat dadaku sesak seperti ini. Akan tetapi, sesak ini semakin tak dapat kutahan saja. Tak kupeduikan lagi bagaimana rupaku sekarang. Aku terisak ketika sudah tak dapat menahan sesak, lalu kembali menghirup udara ketika merasa sudah hampir kehilangan napasku.Ruangan ini tentu saja bukanlah ruangan yang sempit mengingat aku sedang berada di ruang VIP salah satu rumah sakit ternama. Di ruangan ini aku juga tak sendirian, ada ibu, Candra dan kembarannya, Kak Dian dan Bang Malik, namun meski banyak orang di ruangan ini, tak ada satu pun di antara kami yang be
“Terima kasih buat keluarga dan teman-teman yang udah hadir malam ini.” Ivan mengambil momen, menghentikan alunan music akustik yang sedari tadi mengisi pendengaran. Pria itu mengucapkan terima kasih yang tulus pada keluarga kami yang hadir malam ini, lalu pada teman-teman dekat yang diundang khusus olehnya. Aku menatapnya dari tempatku duduk tepat di depan panggung kecil di mana ia berdiri. “Malam ini kami merayakan tahun kelima pernikahan. Aku dan Cahaya Kirana, istriku, sudah lima tahun bersama-sama.” Dia menatapku dari depan sana, dan tatapan itu selalu membuatku merasa dicintai. Ivan masih menatapku sambil bicara. “Aku jatuh cinta pada wanita ini sejak kami masih memakai almamater yang sama, lalu Tuhan begitu baik mempertemukanku kembali dengannya belasan tahun kemudian hingga kami menikah. Dan sejak menikahinya, aku masih jatuh cinta padanya setiap hari, masih saja jatuh cinta padanya berulang kali. Malam ini saya meminta doa pada kalian semua agar kami tetap dikuatkan dalam
“Terima kasih buat keluarga dan teman-teman yang udah hadir malam ini.” Ivan mengambil momen, menghentikan alunan music akustik yang sedari tadi mengisi pendengaran. Pria itu mengucapkan terima kasih yang tulus pada keluarga kami yang hadir malam ini, lalu pada teman-teman dekat yang diundang khusus olehnya. Aku menatapnya dari tempatku duduk tepat di depan panggung kecil di mana ia berdiri. “Malam ini kami merayakan tahun kelima pernikahan. Aku dan Cahaya Kirana, istriku, sudah lima tahun bersama-sama.” Dia menatapku dari depan sana, dan tatapan itu selalu membuatku merasa dicintai. Ivan masih menatapku sambil bicara. “Aku jatuh cinta pada wanita ini sejak kami masih memakai almamater yang sama, lalu Tuhan begitu baik mempertemukanku kembali dengannya belasan tahun kemudian hingga kami menikah. Dan sejak menikahinya, aku masih jatuh cinta padanya setiap hari, masih saja jatuh cinta padanya berulang kali. Malam ini saya meminta doa pada kalian semua agar kami tetap dikuatkan dalam
Lima tahun bersamanya, lima tahun penuh bahagia meski tak sedikit pula ombak kecil yang menghantam. Lima tahun bisa menjadi diriku sendiri setelah tahun-tahun sebelumnya terjebak dalam hubungan yang membuatku nyaris kehilangan kepercayaan diri. Malam ini Twin House ditutup untuk umum demi merayakan lima tahun pernikahan ku dan Ivan.Dekorasi anniversary sudah menghiasi Twin House, deretan-deretan makanan pun sudah tertata rapi di sana. Aku sendiri tak terlibat sedikit pun mempersiapkan malam ini, aku hanya memperhatikan kesibukan Iin yang berlalu lalang mengatur venue, lalu Byan yang mondar mandir menyusun catering. Sepasang kekasih itu kini benar-benar menjadi orang kepercayaanku dan Ivan.Aku juga sama sekali tak terlibat mengatur siapa saja undangan malam ini, sebab beberapa hari terakhir aku benar-benar hanya fokus pada diriku sendiri. Setelah siang itu di mana aku berbincang dengan Nindya dan baru menyadari ada yang aneh pada diriku, aku benar-benar melakukan pemeriksaan demi mem
“Emang akunya yang kecepatan sih, Ay. Sebenarnya janjinya agak sorean, tapi karena tadi kebetulan Mas Adam juga pas mau keluar, ya udah aku ikut aja. Aku nggak apa kan nunggu di sini?”“Nggak apa, Nin.”“Oiya, Aya. Aku tadi bareng Mas Adam,” katanya lagi tepat di saat sosok yang dibicarakannya itu muncul dari arah parkiran.“Hai, Aya. Gimana kabarmu?” Kaku sekali, pria itu menyapa.“Baik, Mas. Mas Adam gimana kabarnya?” Akupun menjawab sama kakunya. Kini aku mengerti mengapa Ivan berusaha menghindarkan pertemuan seperti ini. Aku dan dia pernah punya cerita, dan meski selalu berusaha untuk saling biasa saja, namun tak bisa dipungkiri akan ada kekakuan seperti ini saat berinteraksi.“Aku juga baik. Oiya, Ivan ada?”Kembali kujelaskan bahwa suamiku baru saja keluar.“Kalo gitu aku titip Nindya ya, Ay. Dia ada urusan dikit sama Ivan untuk urusan pekerjaan.” Mas Adam menjelaskan dengan detail urusan pekerjaan antara Nindya dan Ivan padaku.Aku kembali mengangguk setuju.“Ya udah, kutinggal
“Hari ini ikut ke Twin House, ya.”Ini sudah sebulan sejak kami kembali dari Bali setelah seminggu menikmati kebersamaan di sana. Dan untuk memenuhi permintaannya waktu itu agar aku mengurangi waktuku di butik, aku juga sudah mulai beradaptasi. Tentu tak ada alasan bagiku untuk tak mengikuti inginnya, apalagi alasan yang mendasari keinginannya sangat masuk akal.“Adam akan lebih sering datang ke kantorku, dan tentu saja akan lebih sering bertemu kamu juga. Bagaimanapun juga, kalian pernah memiliki cerita, aku hanya ingin menjagamu lebih baik lagi.”“Aku juga bakalan banyak pekerjaan, Aya. Dan keberadaanmu di sekitarku hanya akan membuatku tak bisa berkonsentrasi. Yang ada bukannya kerja, tapi malah ngerjain kamu.”Itu dua alasan yang membuatku menerima keingingannya, karena sejujurnya memang seperti inilah kebersamaan yang sejak dulu kuinginkan. Bertukar pendapat dengan pasangan, saling mendengarkan isi hati, saling memahami apa yang pasangan inginkan. Pernikahanku dengan Ivan adalah
“Dari mana, Pi?” Rasanya tak dapat kutahan kekesalanku hari ini. Bagaimana tidak? Kami tiba di villa sejak beberapa jam yang lalu, dan beristirahat sebentar. Lalu saat aku terjaga, tak kutemui pria itu di sudut mana pun sementara ponselnya tergeletak begitu saja di atas meja.“Udah bangun, Sayang? Gimana istirahatnya udah cukup belum?”Dan kesalnya lagi, Ivan justru menanggapi santai dengan kecupan di keningku.“Dari mana aja? Ponsel ditinggal nggak bisa dihubungi, tadi kan cuma mau istirahat bentar abis itu kita jalan-jalan. Kenapa malah ditinggalin berjam-jam gini?” Aku benar-benar kesal kali ini. Yang ada dalam pikiranku tadi, setelah tiba di villa, kami hanya perlu beristirahat sebentar lalu keluar dan menikmati liburan ini.Villa yang disewa Ivan kurasa bukan villa sembarangan. Lokasinya tepat menghadap ke pantai Jimbaran yang terkenal dengan keindahan sunset-nya. Bukan hanya aku, Kia dan Mbak Ri pun terlihat begitu antusias ketika tiba di villa ini tadi. Pemandangan pantai yang
Dari sini aku bisa melihat seperti apa hubungan kekeluargaan mereka di masa lalu yang sering Kak Dian ceritakan. Mungkin seperti inilah hubungan akrab mereka dulu di masa lalu sebelum semua hancur karena sebuah kesalahan. Tak ada yang perlu disesali, karena jika menyesali masa lalu, maka mungkin kehadiran Wira juga akan menjadi penyesalan. Padahal bocah yang memiliki banyak keisitimewaan itulah yang menjadi pemersatu kebersamaan kami ini.Tangan Ivan pun tak lagi selalu tertaut padaku. Kurasa dia juga sudah mulai menyadari bahwa Tari sudah berubah, setidaknya berusaha sangat keras untuk berubah.Dan hingga kebersamaan itu berakhir, kami semua seperti sedang menemukan kebahagiaan baru. Aku, Ivan dan Kia serta pengasuhnya melanjutkan liburan kami ke Bali, meninggalkan Tari dan anak-anaknya di rumah Kak Dian.“Aku bangga punya kamu, Aya.” Dan genggaman tangan itu kembali tertaut saat kami dalam perjalanan melanjutkan trip liburan. “Kalo bukan karena kebesaran hatimu, nggak akan ada keber