“Ayolah, Sayang. Ikut ke sana, ya.” Sudah kesekian kalinya Ivan membujukku untuk ikut ke Singapura menemani Wira.Seorang dokter spesialis jantung yang terkenal di sebuah rumah sakit ternama di sana sudah terhubung dengannya beberapa hari yang lalu. Satu hal lagi yang kukagumi dari lelakiku ini bahwa ternyata dia sangat mudah bergaul dan mudah mendapatkan koneksi. Dari ceritanya, saat menunggui Wira di rumah sakit Ivan ternyata mendapatkan kontak seorang dokter spesialis jantung terkenal di Singapura dari direktur rumah sakit di mana Wira dirawat kemarin. Aku yang menyimak ceritanya terkagum-kagum mendengarkan caranya mendapatkan koneksi ke direktur rumah sakit waktu itu, namun di ujung cerita aku mencibir saat ia menggambarkan bagaimana sosok sang direktur yang berbaik hati menjelaskan tindakan terbaik untuk Wira itu.“Direkturnya masih muda, Ay. Palingan seumuran kamu, lulusan cumlaude dari Harvard, makanya rumah sakit itu maju pesat sejak dia yang pegang.” Aku turut terkesima mende
“Dan ini tiket untuk kalian. Bonus untuk Bang Malik dari kantor sebenarnya, tapi cuma 2 tiket dan kami nggak mungkin liburan nggak bawa anak-anak.”Tanganku dan Ivan serempak mengambil dua lembar kertas itu dari tangan Kak Dian. Gerakan tangan Ivan terhenti demi membiarkanku meraih lembaran kertas.“Maldives?” Mataku membelalak tak percaya. Dua buah tiket ke pulau impian banyak orang itu bertuliskan namaku dan Ivan. Entah bagaimana Kak Dian mendapatkan data-data kami, namun kurasa malaikat pelindung itu memang tahu semua hal tentang kami, tentangku dan adik kesayangannya.“Bang, ini beneran?” Ivan yang ikut membaca menoleh ke kakak iparnya.“Iya, beneran. Kalian honeymoon sana. Sumpek tauk ngeliat muka pengusaha bangkrut.” Bang Malik tertawa mengolok.“Tapi ... aku nggak mau ninggalin Kia.” Alasan yang sama yang membuatku memilih tak ikut ke Singapura.“Ini cuma seminggu, Sayang. Kia ama sama Mbak dan Bik Jum, ibu kan juga masih ada di sini. Ayolah ....” Lelaki di sampingku menatap de
Kehadiran Kak Dian dan keluarganya sebelum berangkat ke Singapura membuat rumah menjadi ramai dan hangat. Satu hal yang paling kusukai dari Kak Dian dan Ivan adalah cara mereka memperlakukan ibuku. Kedua kakak beradik yatim piatu itu seolah berebutan untuk mendapatkan kasih sayang ibu, hal yang membuat ibuku juga enggan buru-buru kembali pulang ke rumahnya. Sayangnya, di malam harinya kami harus berbincang serius tentang kasus yang sedang dilaporkan Ivan, tentang Candra adik bungsuku yang namanya berada di antara deretan nama terlapor. Beruntung ibu bisa menanggapinya dengan bijak saat Ivan berlutut dan meminta maaf padanya atas kasus yang bergulir. “Ibu tau Nak Ivan sedang menuntut keadilan, tapi Ibu juga tau bagaimana anak-anak Ibu. Kalo memang Candra bersalah, dia pantas menerima hukuman, tapi kalo memang dia hanya korban, Ibu harap Nak Ivan bisa ketemu dalang yang sebenarnya.” Ya, karena aku dan Ivan sudah memberi pemahaman pada ibu bahwa ada kemungkinan adik bungsuku itu dimani
“Seandainya ....” Aku tak meneruskan kalimatku ketika kulihat ia menghela napas panjang. Detik berikutnya, dia sudah membingkai wajahku dengan kedua tangannya. “Jangan berandai-andai, Aya. Jangan menyakiti dirimu sendiri. Mungkin ada banyak hal yang kusesali di masa laluku, tetapi satu hal yang tak pernah kusesali adalah aku memperjuangkan dan memilikimu. Cukup!” Aku mencium telapak tangannya yang membingkai wajahku. “Aku pun sama. Banyak sesal di masa lalu, tapi cukup dengan kamu, sesal itu seketika sirna oleh bahagia.” “Dan itu tujuan hidupku, Aya. Bikin kamu bahagia.” Aku memeluknya erat. Memeluk lelaki yang membuatku bahagia ini. Dulu ... aku pernah mendamba bahagia dari seseorang, bertahun-tahun bertahan dan mendamba bahagia tapi ternyata yang tercipta adalah luka. Lalu lelaki dalam pelukan ini datang dan perlahan menghadirkan rasa hingga bahagia yang dulu kukira mustahil kini terasa nyata. Seharusnya aku memang tak berandai-andai, atau bahkan seharusnya aku berterima kasih
Pulau yang indah, laut yang memukau, dan sosok yang tercinta membuatku merasa sedang berada di surga. Pagi hari akan selalu mengukir cerita romantis kami. Aku yang sudah terbiasa bangun lebih pagi selalu menyempatkan membuka pintu lalu menikmati sunrise dari balkon kamar.Seperti pagi ini, entah sudah pagi yang keberapa aku terbangun di kamar resort mewah di pulau impian, membuka pintu lalu tersenyum menyapa semesta, menanti sunrise di sana yang selalu menghadirkan rasa bahagia. Meski selama beberapa hari ini pula tubuhku kadang terasa remuk oleh perlakuan suamiku. Tumpukan lingerie yang akhirnya berjejer rapi di dalam lemari kamar resort seolah sudah dihitung dengan cermat olehnya, yang akhirnya memang menjadi pakaian wajibku selama berada di dalam kamar.Aku masih merenggangkan otot ketika merasakan pelukan di pinggangku dari sentuhan yang sudah sangat kuhapal.“Morniiing, Sayang.” Suara bariton itu merasuk ke telinga, sementara pria yang memelukku dari belakang itu meletakkan dagun
Bagai gerakan slow motion, aku menanti lelaki yang hanya memakai boxer di hadapanku berbicara. Ponsel yang kuberikan tadi sudah dalam genggamannya. Dan di seberang sana aku yakin ada yang juga sudah menunggunya bicara. Akan tetapi, Ivan hanya menatap lurus ke mataku seolah sedang mencari sesuatu di sana, atau mungkin dia sedang berusaha membaca pikiranku seperti yang selalu berhasil dilakukannya.Hingga hal yang tak kusangka-sangka dilakukannya. Ivan meletakkan ponselku menempel di telinga. “Maaf Tari, apa pun tentang Wira tolong sampaikan ke Kak Dian. Dia ada di sana untuk Wira. Aku ... sedang tak bisa diganggu.”Aku terpana ketika pria itu mengembalikan ponsel ke tanganku.“Hey! Kok jadi patung?” godanya.“Itu tadi ....” Aku tak bisa meneruskan kalimatku.“Nggak ada yang perlu dikhawatirkan, Aya. Ada Kak Dian di sana. Itu udah lebih dari aku berada di sana, karena Kak Dian nggak akan canggung selalu ada di dekat Tari, sementara kalo aku yang ada di sana pasti akan terasa canggung.”
Sesuai jadwal, kami kembali ke tanah air setelah seminggu berlibur. Kembali bersandar di pundak kokoh yang menenangkan itu sepanjang perjalanan menuju bandar udara Male untuk bertolak ke Jakarta. Tak seperti saat berangkat seminggu yang lalu di mana Ivan yang sibuk menyusun isi koper, maka kali ini akulah yang menyusun barang bawaan kami. Terutama koper yang berisi oleh-oleh pesanan Kak Dian. Berbagai benda-benda unik yang diminta Kak Dian.Ada botol berisi miniatur kapal khas Maldives, kalung dan gelang kerajinan warga lokal, tak ketinggalan berlembar-lembar baju kaos bergambarkan keindahan pulai itu. Bahkan di akhir video call kami kemarin, Kak Dian masih memintaku membelikan tikar anyaman khas Maldives untuknya. Lalu saat Ivan memprotes barang-barang titipan Kak Dian, ia kalah telak oleh jawaban Kak Dian.“Hehh! Liburan ke sana itu impianku, Bro. Gara-gara urusan anakmu ini aku ngalah dan milih ke Singapura.”Kalimat Kak Dian yang membuat Ivan akhirnya memenuhi apa saja yang diingi
Tadinya kupikir akan ada kecanggungan bahkan mungkin tremorku akan kembali kumat ketika berhadapan dengan Mas Adam, tetapi situasi rupanya sedang berpihak padaku. Karena setelah Ivan mulai melajukan mobilnya meninggalkan rumah Mama Indah, Mas Adam pun terlihat sibuk menerima panggilan telepon sehingga akhirnya mengabaikanku.Mama Indah kembali menyambut dengan senyumnya yang masih tergambar duka saat aku kembali masuk. Aku berhenti sejenak ketika wanita di kursi roda itu kembali memanggil lembut namaku. Suara lembut yang menggambarkan dengan jelas rasa sayangnya padaku. Lalu saat berdiri di teras, kursi yang ada di sana mengingatkanku saat-saat Pak Lukman dan Mas Adam bermain catur di sana.Di teras ini banyak kenangan, suka maupun duka.Di sini aku pernah menerima banyak wejangan hidup dari Pak Lukman, sahabat ayahku sekaligus mertuaku saat itu. Di sini pula aku pernah mencuri dengar bagaimana Mas Adam memuji wanita lain secara tidak langsung di depan ayahnya. Berada di rumah ini mem
“Kalian ini ya ... sama aja dua-duanya! Bucin gak ada obat emang!” Tak kupedulikan suara Kak Dian. Aku segera memeluk Aya sebisaku, membuatnya senyaman mungkin.“Untung bayimu nggak kembar, Ay. Kamu bayangin deh kalo dapat bayi kembar, punya tiga bayi kamu di rumah. Sanggup?” Kak Dian kembali bicara. “Kurasa yang paling ngerepotin sih bayi raksasamu yang ini, Ay.” Telunjuk Kak Dian mengarah padaku.“Jangan bikin Aya ketawa, Kak! Kakak nggak tau kan gimana rasanya ketawa pasca operasi lahiran?” Aku mengulangi kata-kata Kak Dian.“Oiya, sanggup puasa nggak lu, Bro! Empat puluh hari loh.” Kak Dian menekankan kata empat puluh. “Nggak bisa bikin anak orang keramas tiap hari lagi lu.” Suara kekehan Kak Dian terdengar mengejek.“Nak Dian dan Ivan di sana. Biar Ibu yang di sini.” Sebuah perintah lain membuatku dan Kak Dian tak bisa membantah lagi. Ibu mengambil alih posisiku, mengusap lembut kening putri sulungnya dan memberi bisikan-bisikan yang kurasa berisi banyak makna, sebab setelahnya k
PoV IvanAku seperti berada di sebuah ruangan sempit, terkunci rapat dan membuatku tak bisa bernapas. Kilasan-kilasan kebersamaan selama lima tahun lebih pernikahanku dengan Aya berputar kembali di kepala seperti adegan film yang membuat dadaku semakin sesak terhimpit.Tahun-tahun bersama Cahaya adalah tahun-tahun terbaik dalam kehidupanku. Tentu saja jika ini adalah film, seharusnya ini adalah film romantis, bukan film sedih yang membuat dadaku sesak seperti ini. Akan tetapi, sesak ini semakin tak dapat kutahan saja. Tak kupeduikan lagi bagaimana rupaku sekarang. Aku terisak ketika sudah tak dapat menahan sesak, lalu kembali menghirup udara ketika merasa sudah hampir kehilangan napasku.Ruangan ini tentu saja bukanlah ruangan yang sempit mengingat aku sedang berada di ruang VIP salah satu rumah sakit ternama. Di ruangan ini aku juga tak sendirian, ada ibu, Candra dan kembarannya, Kak Dian dan Bang Malik, namun meski banyak orang di ruangan ini, tak ada satu pun di antara kami yang be
“Terima kasih buat keluarga dan teman-teman yang udah hadir malam ini.” Ivan mengambil momen, menghentikan alunan music akustik yang sedari tadi mengisi pendengaran. Pria itu mengucapkan terima kasih yang tulus pada keluarga kami yang hadir malam ini, lalu pada teman-teman dekat yang diundang khusus olehnya. Aku menatapnya dari tempatku duduk tepat di depan panggung kecil di mana ia berdiri. “Malam ini kami merayakan tahun kelima pernikahan. Aku dan Cahaya Kirana, istriku, sudah lima tahun bersama-sama.” Dia menatapku dari depan sana, dan tatapan itu selalu membuatku merasa dicintai. Ivan masih menatapku sambil bicara. “Aku jatuh cinta pada wanita ini sejak kami masih memakai almamater yang sama, lalu Tuhan begitu baik mempertemukanku kembali dengannya belasan tahun kemudian hingga kami menikah. Dan sejak menikahinya, aku masih jatuh cinta padanya setiap hari, masih saja jatuh cinta padanya berulang kali. Malam ini saya meminta doa pada kalian semua agar kami tetap dikuatkan dalam
“Terima kasih buat keluarga dan teman-teman yang udah hadir malam ini.” Ivan mengambil momen, menghentikan alunan music akustik yang sedari tadi mengisi pendengaran. Pria itu mengucapkan terima kasih yang tulus pada keluarga kami yang hadir malam ini, lalu pada teman-teman dekat yang diundang khusus olehnya. Aku menatapnya dari tempatku duduk tepat di depan panggung kecil di mana ia berdiri. “Malam ini kami merayakan tahun kelima pernikahan. Aku dan Cahaya Kirana, istriku, sudah lima tahun bersama-sama.” Dia menatapku dari depan sana, dan tatapan itu selalu membuatku merasa dicintai. Ivan masih menatapku sambil bicara. “Aku jatuh cinta pada wanita ini sejak kami masih memakai almamater yang sama, lalu Tuhan begitu baik mempertemukanku kembali dengannya belasan tahun kemudian hingga kami menikah. Dan sejak menikahinya, aku masih jatuh cinta padanya setiap hari, masih saja jatuh cinta padanya berulang kali. Malam ini saya meminta doa pada kalian semua agar kami tetap dikuatkan dalam
Lima tahun bersamanya, lima tahun penuh bahagia meski tak sedikit pula ombak kecil yang menghantam. Lima tahun bisa menjadi diriku sendiri setelah tahun-tahun sebelumnya terjebak dalam hubungan yang membuatku nyaris kehilangan kepercayaan diri. Malam ini Twin House ditutup untuk umum demi merayakan lima tahun pernikahan ku dan Ivan.Dekorasi anniversary sudah menghiasi Twin House, deretan-deretan makanan pun sudah tertata rapi di sana. Aku sendiri tak terlibat sedikit pun mempersiapkan malam ini, aku hanya memperhatikan kesibukan Iin yang berlalu lalang mengatur venue, lalu Byan yang mondar mandir menyusun catering. Sepasang kekasih itu kini benar-benar menjadi orang kepercayaanku dan Ivan.Aku juga sama sekali tak terlibat mengatur siapa saja undangan malam ini, sebab beberapa hari terakhir aku benar-benar hanya fokus pada diriku sendiri. Setelah siang itu di mana aku berbincang dengan Nindya dan baru menyadari ada yang aneh pada diriku, aku benar-benar melakukan pemeriksaan demi mem
“Emang akunya yang kecepatan sih, Ay. Sebenarnya janjinya agak sorean, tapi karena tadi kebetulan Mas Adam juga pas mau keluar, ya udah aku ikut aja. Aku nggak apa kan nunggu di sini?”“Nggak apa, Nin.”“Oiya, Aya. Aku tadi bareng Mas Adam,” katanya lagi tepat di saat sosok yang dibicarakannya itu muncul dari arah parkiran.“Hai, Aya. Gimana kabarmu?” Kaku sekali, pria itu menyapa.“Baik, Mas. Mas Adam gimana kabarnya?” Akupun menjawab sama kakunya. Kini aku mengerti mengapa Ivan berusaha menghindarkan pertemuan seperti ini. Aku dan dia pernah punya cerita, dan meski selalu berusaha untuk saling biasa saja, namun tak bisa dipungkiri akan ada kekakuan seperti ini saat berinteraksi.“Aku juga baik. Oiya, Ivan ada?”Kembali kujelaskan bahwa suamiku baru saja keluar.“Kalo gitu aku titip Nindya ya, Ay. Dia ada urusan dikit sama Ivan untuk urusan pekerjaan.” Mas Adam menjelaskan dengan detail urusan pekerjaan antara Nindya dan Ivan padaku.Aku kembali mengangguk setuju.“Ya udah, kutinggal
“Hari ini ikut ke Twin House, ya.”Ini sudah sebulan sejak kami kembali dari Bali setelah seminggu menikmati kebersamaan di sana. Dan untuk memenuhi permintaannya waktu itu agar aku mengurangi waktuku di butik, aku juga sudah mulai beradaptasi. Tentu tak ada alasan bagiku untuk tak mengikuti inginnya, apalagi alasan yang mendasari keinginannya sangat masuk akal.“Adam akan lebih sering datang ke kantorku, dan tentu saja akan lebih sering bertemu kamu juga. Bagaimanapun juga, kalian pernah memiliki cerita, aku hanya ingin menjagamu lebih baik lagi.”“Aku juga bakalan banyak pekerjaan, Aya. Dan keberadaanmu di sekitarku hanya akan membuatku tak bisa berkonsentrasi. Yang ada bukannya kerja, tapi malah ngerjain kamu.”Itu dua alasan yang membuatku menerima keingingannya, karena sejujurnya memang seperti inilah kebersamaan yang sejak dulu kuinginkan. Bertukar pendapat dengan pasangan, saling mendengarkan isi hati, saling memahami apa yang pasangan inginkan. Pernikahanku dengan Ivan adalah
“Dari mana, Pi?” Rasanya tak dapat kutahan kekesalanku hari ini. Bagaimana tidak? Kami tiba di villa sejak beberapa jam yang lalu, dan beristirahat sebentar. Lalu saat aku terjaga, tak kutemui pria itu di sudut mana pun sementara ponselnya tergeletak begitu saja di atas meja.“Udah bangun, Sayang? Gimana istirahatnya udah cukup belum?”Dan kesalnya lagi, Ivan justru menanggapi santai dengan kecupan di keningku.“Dari mana aja? Ponsel ditinggal nggak bisa dihubungi, tadi kan cuma mau istirahat bentar abis itu kita jalan-jalan. Kenapa malah ditinggalin berjam-jam gini?” Aku benar-benar kesal kali ini. Yang ada dalam pikiranku tadi, setelah tiba di villa, kami hanya perlu beristirahat sebentar lalu keluar dan menikmati liburan ini.Villa yang disewa Ivan kurasa bukan villa sembarangan. Lokasinya tepat menghadap ke pantai Jimbaran yang terkenal dengan keindahan sunset-nya. Bukan hanya aku, Kia dan Mbak Ri pun terlihat begitu antusias ketika tiba di villa ini tadi. Pemandangan pantai yang
Dari sini aku bisa melihat seperti apa hubungan kekeluargaan mereka di masa lalu yang sering Kak Dian ceritakan. Mungkin seperti inilah hubungan akrab mereka dulu di masa lalu sebelum semua hancur karena sebuah kesalahan. Tak ada yang perlu disesali, karena jika menyesali masa lalu, maka mungkin kehadiran Wira juga akan menjadi penyesalan. Padahal bocah yang memiliki banyak keisitimewaan itulah yang menjadi pemersatu kebersamaan kami ini.Tangan Ivan pun tak lagi selalu tertaut padaku. Kurasa dia juga sudah mulai menyadari bahwa Tari sudah berubah, setidaknya berusaha sangat keras untuk berubah.Dan hingga kebersamaan itu berakhir, kami semua seperti sedang menemukan kebahagiaan baru. Aku, Ivan dan Kia serta pengasuhnya melanjutkan liburan kami ke Bali, meninggalkan Tari dan anak-anaknya di rumah Kak Dian.“Aku bangga punya kamu, Aya.” Dan genggaman tangan itu kembali tertaut saat kami dalam perjalanan melanjutkan trip liburan. “Kalo bukan karena kebesaran hatimu, nggak akan ada keber