Bagai gerakan slow motion, aku menanti lelaki yang hanya memakai boxer di hadapanku berbicara. Ponsel yang kuberikan tadi sudah dalam genggamannya. Dan di seberang sana aku yakin ada yang juga sudah menunggunya bicara. Akan tetapi, Ivan hanya menatap lurus ke mataku seolah sedang mencari sesuatu di sana, atau mungkin dia sedang berusaha membaca pikiranku seperti yang selalu berhasil dilakukannya.Hingga hal yang tak kusangka-sangka dilakukannya. Ivan meletakkan ponselku menempel di telinga. “Maaf Tari, apa pun tentang Wira tolong sampaikan ke Kak Dian. Dia ada di sana untuk Wira. Aku ... sedang tak bisa diganggu.”Aku terpana ketika pria itu mengembalikan ponsel ke tanganku.“Hey! Kok jadi patung?” godanya.“Itu tadi ....” Aku tak bisa meneruskan kalimatku.“Nggak ada yang perlu dikhawatirkan, Aya. Ada Kak Dian di sana. Itu udah lebih dari aku berada di sana, karena Kak Dian nggak akan canggung selalu ada di dekat Tari, sementara kalo aku yang ada di sana pasti akan terasa canggung.”
Sesuai jadwal, kami kembali ke tanah air setelah seminggu berlibur. Kembali bersandar di pundak kokoh yang menenangkan itu sepanjang perjalanan menuju bandar udara Male untuk bertolak ke Jakarta. Tak seperti saat berangkat seminggu yang lalu di mana Ivan yang sibuk menyusun isi koper, maka kali ini akulah yang menyusun barang bawaan kami. Terutama koper yang berisi oleh-oleh pesanan Kak Dian. Berbagai benda-benda unik yang diminta Kak Dian.Ada botol berisi miniatur kapal khas Maldives, kalung dan gelang kerajinan warga lokal, tak ketinggalan berlembar-lembar baju kaos bergambarkan keindahan pulai itu. Bahkan di akhir video call kami kemarin, Kak Dian masih memintaku membelikan tikar anyaman khas Maldives untuknya. Lalu saat Ivan memprotes barang-barang titipan Kak Dian, ia kalah telak oleh jawaban Kak Dian.“Hehh! Liburan ke sana itu impianku, Bro. Gara-gara urusan anakmu ini aku ngalah dan milih ke Singapura.”Kalimat Kak Dian yang membuat Ivan akhirnya memenuhi apa saja yang diingi
Tadinya kupikir akan ada kecanggungan bahkan mungkin tremorku akan kembali kumat ketika berhadapan dengan Mas Adam, tetapi situasi rupanya sedang berpihak padaku. Karena setelah Ivan mulai melajukan mobilnya meninggalkan rumah Mama Indah, Mas Adam pun terlihat sibuk menerima panggilan telepon sehingga akhirnya mengabaikanku.Mama Indah kembali menyambut dengan senyumnya yang masih tergambar duka saat aku kembali masuk. Aku berhenti sejenak ketika wanita di kursi roda itu kembali memanggil lembut namaku. Suara lembut yang menggambarkan dengan jelas rasa sayangnya padaku. Lalu saat berdiri di teras, kursi yang ada di sana mengingatkanku saat-saat Pak Lukman dan Mas Adam bermain catur di sana.Di teras ini banyak kenangan, suka maupun duka.Di sini aku pernah menerima banyak wejangan hidup dari Pak Lukman, sahabat ayahku sekaligus mertuaku saat itu. Di sini pula aku pernah mencuri dengar bagaimana Mas Adam memuji wanita lain secara tidak langsung di depan ayahnya. Berada di rumah ini mem
“Jangan mengharapkan Aya lagi, Ma. Sampai kapan pun Aya akan selalu sayang sama Mama, tapi keadaannya udah nggak bisa kayak dulu. Karena kalo masih ada harap di hati Mama, itu akan nyakitin Nindya.”Dalam perjalanan pulang dari rumah Mama Indah setelah Ivan datang menjemputku beberapa jam kemudian, percakapanku dengan Mama Indah tadi melintas kembali di kepalaku. Saat Nindya sedang tak ada di dekat kami, aku meminta dan meyakinkan Mama Indah bahwa wanita itu harus mengubah cara pandangnya, terutama mengubah doa-doanya.“Adam nggak bahagia, Aya. Dia kayaknya nyesal kalian bercerai.” Selalu seperti itu alasan yang kuterima, baik dari Mas Adam maupun dari Mama Indah.“Dulu sama Aya pun Mas Adam nggak bahagia, Ma. Tapi Aya udah nggak mau bahas itu. Aya sekarang udah punya keluarga, udah punya anak, tolong jangan pernah hubungkan Aya lagi dengan masa lalu. Kalo Mama ngerasa Mas Adam nggak bahagia, mungkin Mama perlu membantunya dengan doa, bukan kah doa seorang ibu itu doa yang nggak akan
“Mbak, ini bajunya emang yang ginian semua?” Bik Jum memperlihatkan tumpukan lingerie dari keranjang baju kotor.“Eh! Ehm ... iya, Bik.” Aku menjawab grogi. Tumpukan pakaian kotor di sana memang lebih banyak berisi lembaran-lembaran pakaian kurang bahan itu.“Oh, kirain saya yang salah, Mbak. Takut koper Mbak Aya ketuker sama punya orang lain.”Aku menelan ludah. “Ng-nggak, Bi. Itu emang punya saya.”Tumpukan lingerie ini memanglah jadi hal memalukan. Tadinya aku memang berencana akan mencucinya sendiri atau menitip ke jasa laundry luaran. Entah kenapa tumpukan pakaian tipis itu sudah ada di keranjang pakaian kotor.“Ada apa, Bi?” Pria penyebab rasa maluku itu datang merangkul pundakku, lalu bertanya pada Bik Jum.“Nggak apa, Pak. Saya tadi nanyain baju-baju ini, takutnya bukan punya Mbak Aya.”Bik Jum, wanita paruh baya yang sudah menemani Ivan sejak ia masih tinggal sendirian di rumah ini, yang kadang memanggil Pak Ivan lalu sering pula menyebut Mas Ivan.“Soalnya tadi heran, baju r
Bik Jum hari ini benar-benar menyamar menjadi majikan. Karena setelah beberapa kali kembali nongol di dapur karena mendengar hebohnya kami, Ivan kembali mengusirnya ke ruang tengah. Dia hanya mengizinkan Kia yang sesekali berlari ke arahnya, mencium pipiku atau ayahnya lalu kembali ke ruang tengah yang sudah dipenuhi jejeran mainannya.Bik Jum baru kembali ke dapur setelah aku meminta bantuan menyusun menu.“Ini belum, Ay?” Ivan bertanya ketika aku masih mengaduk sup jagung, menu yang khusus kubuat untuk putriku.“Dikit lagi, Pi. Ini makanan kesukaan Kia, jadi tadi emang sengaja bikinnya agak banyak, bisa buat dessert juga sekalian,” jawabku.Ivan menghampiri, lalu tanpa rasa canggung memeluk pinggangku dari belakang. Aku yang masih berada di depan kompor mengaduk sup membiarkannya. Dari ekor mata, kulihat Bik Jum melihat ke arah kami sejenak, lalu menggeleng-gelengkan kepala. Hal yang tak biasa tentu saja melihat majikannya seintim ini di area dapur.“Udah selesai,” gumamku ketika me
“Kak Aya mau ke mana?” Candra – adik bungsuku datang saat aku tengah memanaskan mesin mobil siap berangkat.Sejak kepulangannya, aku belum berbicara banyak pada adikku itu karena Candra terlihat sibuk mengurus banyak hal. Selain itu, dia juga membantu kembarannya mengurus kepindahannya kembali ke Jakarta. Profesi Cindar sebagai guru memang membuatnya harus bertugas jauh di luar kota, namun belakangan kudengar Cindar mengajukan permintaan untuk mutasi kembali ke kota ini.“Tadi janjian sama papinya Kia, Dek. Mau ke ....” aku menghentikan bicara.Dulu, Candra adalah orang yang paling marah saat mengetahui ada masa lalu Ivan yang datang di tengah kebahagiaan kami. Dulu, adikku itu pernah mengajakku bicara empat mata untuk menanyakan bagaimana sikapku akan keberadaan Wira yang tiba-tiba saja hadir sebagai darah daging suamiku. Candra, adik bungsuku yang kini sudah dewasa, adik bungsuku yang waktu itu berani mengambil keputusan besar dengan menikahkanku padahal Ivan belum mengantongi rest
Aku bergidik lalu kemudian menetralkan hatiku ketika menyadari Candra sedang menatap ke arah kami.Kuikuti langkah lebarnya setelah mengambil buah-buahan di bagasi mobil Ivan sementara dia menyapa Candra dan terlibat pembicaraan. Wanita yang dipanggil Bude oleh Tari dan anak-anaknya menyambut kami di depan pintu dengan ramah. Aku sendiri tak tahu apa hubungan Tari dengan wanita ini, tetapi aku bisa melihat dari sorot matanya, betapa Bude menyayangi Tari dan anak-anaknya.Kabar yang didengar Ivan ternyata benar, putra bungsu Tari memang sedang sakit. Aku begitu tersentuh ketika melihat bagaimana tubuh mungil itu tak berdaya di atas tempat tidur dengan sehelai kain kompres di keningnya.“Udah berapa hari, Bude? Udah dibawa ke dokter belum?” tanyaku dengan tangan terulus merasakan kulit bocah itu.“Sudah di bawa ke puskesmas terdekat, Bu. Cuma kalo pengaruh obatnya habis ya anaknya demam lagi. Ini sudah hari ketiga.”Aku terenyuh. Tentu saja bocah ini tak mendapatkan fasilitas seperti ya
“Kalian ini ya ... sama aja dua-duanya! Bucin gak ada obat emang!” Tak kupedulikan suara Kak Dian. Aku segera memeluk Aya sebisaku, membuatnya senyaman mungkin.“Untung bayimu nggak kembar, Ay. Kamu bayangin deh kalo dapat bayi kembar, punya tiga bayi kamu di rumah. Sanggup?” Kak Dian kembali bicara. “Kurasa yang paling ngerepotin sih bayi raksasamu yang ini, Ay.” Telunjuk Kak Dian mengarah padaku.“Jangan bikin Aya ketawa, Kak! Kakak nggak tau kan gimana rasanya ketawa pasca operasi lahiran?” Aku mengulangi kata-kata Kak Dian.“Oiya, sanggup puasa nggak lu, Bro! Empat puluh hari loh.” Kak Dian menekankan kata empat puluh. “Nggak bisa bikin anak orang keramas tiap hari lagi lu.” Suara kekehan Kak Dian terdengar mengejek.“Nak Dian dan Ivan di sana. Biar Ibu yang di sini.” Sebuah perintah lain membuatku dan Kak Dian tak bisa membantah lagi. Ibu mengambil alih posisiku, mengusap lembut kening putri sulungnya dan memberi bisikan-bisikan yang kurasa berisi banyak makna, sebab setelahnya k
PoV IvanAku seperti berada di sebuah ruangan sempit, terkunci rapat dan membuatku tak bisa bernapas. Kilasan-kilasan kebersamaan selama lima tahun lebih pernikahanku dengan Aya berputar kembali di kepala seperti adegan film yang membuat dadaku semakin sesak terhimpit.Tahun-tahun bersama Cahaya adalah tahun-tahun terbaik dalam kehidupanku. Tentu saja jika ini adalah film, seharusnya ini adalah film romantis, bukan film sedih yang membuat dadaku sesak seperti ini. Akan tetapi, sesak ini semakin tak dapat kutahan saja. Tak kupeduikan lagi bagaimana rupaku sekarang. Aku terisak ketika sudah tak dapat menahan sesak, lalu kembali menghirup udara ketika merasa sudah hampir kehilangan napasku.Ruangan ini tentu saja bukanlah ruangan yang sempit mengingat aku sedang berada di ruang VIP salah satu rumah sakit ternama. Di ruangan ini aku juga tak sendirian, ada ibu, Candra dan kembarannya, Kak Dian dan Bang Malik, namun meski banyak orang di ruangan ini, tak ada satu pun di antara kami yang be
“Terima kasih buat keluarga dan teman-teman yang udah hadir malam ini.” Ivan mengambil momen, menghentikan alunan music akustik yang sedari tadi mengisi pendengaran. Pria itu mengucapkan terima kasih yang tulus pada keluarga kami yang hadir malam ini, lalu pada teman-teman dekat yang diundang khusus olehnya. Aku menatapnya dari tempatku duduk tepat di depan panggung kecil di mana ia berdiri. “Malam ini kami merayakan tahun kelima pernikahan. Aku dan Cahaya Kirana, istriku, sudah lima tahun bersama-sama.” Dia menatapku dari depan sana, dan tatapan itu selalu membuatku merasa dicintai. Ivan masih menatapku sambil bicara. “Aku jatuh cinta pada wanita ini sejak kami masih memakai almamater yang sama, lalu Tuhan begitu baik mempertemukanku kembali dengannya belasan tahun kemudian hingga kami menikah. Dan sejak menikahinya, aku masih jatuh cinta padanya setiap hari, masih saja jatuh cinta padanya berulang kali. Malam ini saya meminta doa pada kalian semua agar kami tetap dikuatkan dalam
“Terima kasih buat keluarga dan teman-teman yang udah hadir malam ini.” Ivan mengambil momen, menghentikan alunan music akustik yang sedari tadi mengisi pendengaran. Pria itu mengucapkan terima kasih yang tulus pada keluarga kami yang hadir malam ini, lalu pada teman-teman dekat yang diundang khusus olehnya. Aku menatapnya dari tempatku duduk tepat di depan panggung kecil di mana ia berdiri. “Malam ini kami merayakan tahun kelima pernikahan. Aku dan Cahaya Kirana, istriku, sudah lima tahun bersama-sama.” Dia menatapku dari depan sana, dan tatapan itu selalu membuatku merasa dicintai. Ivan masih menatapku sambil bicara. “Aku jatuh cinta pada wanita ini sejak kami masih memakai almamater yang sama, lalu Tuhan begitu baik mempertemukanku kembali dengannya belasan tahun kemudian hingga kami menikah. Dan sejak menikahinya, aku masih jatuh cinta padanya setiap hari, masih saja jatuh cinta padanya berulang kali. Malam ini saya meminta doa pada kalian semua agar kami tetap dikuatkan dalam
Lima tahun bersamanya, lima tahun penuh bahagia meski tak sedikit pula ombak kecil yang menghantam. Lima tahun bisa menjadi diriku sendiri setelah tahun-tahun sebelumnya terjebak dalam hubungan yang membuatku nyaris kehilangan kepercayaan diri. Malam ini Twin House ditutup untuk umum demi merayakan lima tahun pernikahan ku dan Ivan.Dekorasi anniversary sudah menghiasi Twin House, deretan-deretan makanan pun sudah tertata rapi di sana. Aku sendiri tak terlibat sedikit pun mempersiapkan malam ini, aku hanya memperhatikan kesibukan Iin yang berlalu lalang mengatur venue, lalu Byan yang mondar mandir menyusun catering. Sepasang kekasih itu kini benar-benar menjadi orang kepercayaanku dan Ivan.Aku juga sama sekali tak terlibat mengatur siapa saja undangan malam ini, sebab beberapa hari terakhir aku benar-benar hanya fokus pada diriku sendiri. Setelah siang itu di mana aku berbincang dengan Nindya dan baru menyadari ada yang aneh pada diriku, aku benar-benar melakukan pemeriksaan demi mem
“Emang akunya yang kecepatan sih, Ay. Sebenarnya janjinya agak sorean, tapi karena tadi kebetulan Mas Adam juga pas mau keluar, ya udah aku ikut aja. Aku nggak apa kan nunggu di sini?”“Nggak apa, Nin.”“Oiya, Aya. Aku tadi bareng Mas Adam,” katanya lagi tepat di saat sosok yang dibicarakannya itu muncul dari arah parkiran.“Hai, Aya. Gimana kabarmu?” Kaku sekali, pria itu menyapa.“Baik, Mas. Mas Adam gimana kabarnya?” Akupun menjawab sama kakunya. Kini aku mengerti mengapa Ivan berusaha menghindarkan pertemuan seperti ini. Aku dan dia pernah punya cerita, dan meski selalu berusaha untuk saling biasa saja, namun tak bisa dipungkiri akan ada kekakuan seperti ini saat berinteraksi.“Aku juga baik. Oiya, Ivan ada?”Kembali kujelaskan bahwa suamiku baru saja keluar.“Kalo gitu aku titip Nindya ya, Ay. Dia ada urusan dikit sama Ivan untuk urusan pekerjaan.” Mas Adam menjelaskan dengan detail urusan pekerjaan antara Nindya dan Ivan padaku.Aku kembali mengangguk setuju.“Ya udah, kutinggal
“Hari ini ikut ke Twin House, ya.”Ini sudah sebulan sejak kami kembali dari Bali setelah seminggu menikmati kebersamaan di sana. Dan untuk memenuhi permintaannya waktu itu agar aku mengurangi waktuku di butik, aku juga sudah mulai beradaptasi. Tentu tak ada alasan bagiku untuk tak mengikuti inginnya, apalagi alasan yang mendasari keinginannya sangat masuk akal.“Adam akan lebih sering datang ke kantorku, dan tentu saja akan lebih sering bertemu kamu juga. Bagaimanapun juga, kalian pernah memiliki cerita, aku hanya ingin menjagamu lebih baik lagi.”“Aku juga bakalan banyak pekerjaan, Aya. Dan keberadaanmu di sekitarku hanya akan membuatku tak bisa berkonsentrasi. Yang ada bukannya kerja, tapi malah ngerjain kamu.”Itu dua alasan yang membuatku menerima keingingannya, karena sejujurnya memang seperti inilah kebersamaan yang sejak dulu kuinginkan. Bertukar pendapat dengan pasangan, saling mendengarkan isi hati, saling memahami apa yang pasangan inginkan. Pernikahanku dengan Ivan adalah
“Dari mana, Pi?” Rasanya tak dapat kutahan kekesalanku hari ini. Bagaimana tidak? Kami tiba di villa sejak beberapa jam yang lalu, dan beristirahat sebentar. Lalu saat aku terjaga, tak kutemui pria itu di sudut mana pun sementara ponselnya tergeletak begitu saja di atas meja.“Udah bangun, Sayang? Gimana istirahatnya udah cukup belum?”Dan kesalnya lagi, Ivan justru menanggapi santai dengan kecupan di keningku.“Dari mana aja? Ponsel ditinggal nggak bisa dihubungi, tadi kan cuma mau istirahat bentar abis itu kita jalan-jalan. Kenapa malah ditinggalin berjam-jam gini?” Aku benar-benar kesal kali ini. Yang ada dalam pikiranku tadi, setelah tiba di villa, kami hanya perlu beristirahat sebentar lalu keluar dan menikmati liburan ini.Villa yang disewa Ivan kurasa bukan villa sembarangan. Lokasinya tepat menghadap ke pantai Jimbaran yang terkenal dengan keindahan sunset-nya. Bukan hanya aku, Kia dan Mbak Ri pun terlihat begitu antusias ketika tiba di villa ini tadi. Pemandangan pantai yang
Dari sini aku bisa melihat seperti apa hubungan kekeluargaan mereka di masa lalu yang sering Kak Dian ceritakan. Mungkin seperti inilah hubungan akrab mereka dulu di masa lalu sebelum semua hancur karena sebuah kesalahan. Tak ada yang perlu disesali, karena jika menyesali masa lalu, maka mungkin kehadiran Wira juga akan menjadi penyesalan. Padahal bocah yang memiliki banyak keisitimewaan itulah yang menjadi pemersatu kebersamaan kami ini.Tangan Ivan pun tak lagi selalu tertaut padaku. Kurasa dia juga sudah mulai menyadari bahwa Tari sudah berubah, setidaknya berusaha sangat keras untuk berubah.Dan hingga kebersamaan itu berakhir, kami semua seperti sedang menemukan kebahagiaan baru. Aku, Ivan dan Kia serta pengasuhnya melanjutkan liburan kami ke Bali, meninggalkan Tari dan anak-anaknya di rumah Kak Dian.“Aku bangga punya kamu, Aya.” Dan genggaman tangan itu kembali tertaut saat kami dalam perjalanan melanjutkan trip liburan. “Kalo bukan karena kebesaran hatimu, nggak akan ada keber