“Kak Aya mau ke mana?” Candra – adik bungsuku datang saat aku tengah memanaskan mesin mobil siap berangkat.Sejak kepulangannya, aku belum berbicara banyak pada adikku itu karena Candra terlihat sibuk mengurus banyak hal. Selain itu, dia juga membantu kembarannya mengurus kepindahannya kembali ke Jakarta. Profesi Cindar sebagai guru memang membuatnya harus bertugas jauh di luar kota, namun belakangan kudengar Cindar mengajukan permintaan untuk mutasi kembali ke kota ini.“Tadi janjian sama papinya Kia, Dek. Mau ke ....” aku menghentikan bicara.Dulu, Candra adalah orang yang paling marah saat mengetahui ada masa lalu Ivan yang datang di tengah kebahagiaan kami. Dulu, adikku itu pernah mengajakku bicara empat mata untuk menanyakan bagaimana sikapku akan keberadaan Wira yang tiba-tiba saja hadir sebagai darah daging suamiku. Candra, adik bungsuku yang kini sudah dewasa, adik bungsuku yang waktu itu berani mengambil keputusan besar dengan menikahkanku padahal Ivan belum mengantongi rest
Aku bergidik lalu kemudian menetralkan hatiku ketika menyadari Candra sedang menatap ke arah kami.Kuikuti langkah lebarnya setelah mengambil buah-buahan di bagasi mobil Ivan sementara dia menyapa Candra dan terlibat pembicaraan. Wanita yang dipanggil Bude oleh Tari dan anak-anaknya menyambut kami di depan pintu dengan ramah. Aku sendiri tak tahu apa hubungan Tari dengan wanita ini, tetapi aku bisa melihat dari sorot matanya, betapa Bude menyayangi Tari dan anak-anaknya.Kabar yang didengar Ivan ternyata benar, putra bungsu Tari memang sedang sakit. Aku begitu tersentuh ketika melihat bagaimana tubuh mungil itu tak berdaya di atas tempat tidur dengan sehelai kain kompres di keningnya.“Udah berapa hari, Bude? Udah dibawa ke dokter belum?” tanyaku dengan tangan terulus merasakan kulit bocah itu.“Sudah di bawa ke puskesmas terdekat, Bu. Cuma kalo pengaruh obatnya habis ya anaknya demam lagi. Ini sudah hari ketiga.”Aku terenyuh. Tentu saja bocah ini tak mendapatkan fasilitas seperti ya
Kafe Red terasa mencekam bagiku padahal kafe bernuansa modern dan instagmable itu cukup ramai. Berkali-kali aku harus menarik napas panjang, mengisi paru-paruku dengan udara sebelum menghembuskannya kembali dengan berat. Candra pun kulihat berkali-kali melirik dengan ekor matanya.Aku takut, aku masih gemetar. Bayangan Mas Adam dengan jamahan dan suaranya yang menjijikkan di villa masih memenuhi kepalaku, namun sebuah pesan dari Ivan saat dalam perjalanan tadi sedikit membuatku percaya diri.[Semangat, Sayang. Aku nggak suka ngeliat rasa takutmu saat berhadapan dengannya. Cahayaku pasti bisa!]Untuk semua pengorbanannya, rasanya tak adil jika aku masih membawa-bawa rasa takut dan traumaku, meski aku tak tahu bagaimana reaksinya nanti saat kejadian di villa kembali di ingatannya. Karena untuk menghindarkanku dari rasa trauma, ia bahkan rela menjual properti kebanggaannya itu.[Aku nyusul segera.]Dua pesan itu membuat langkahku sedikit lebih ringan. Ivan orang yang selalu ada untukku m
“Setelah kita berpisah ... pernah kah sekali saja kamu menyesali perceraian kita, Aya?”“Nggak.” Aku bahkan tak butuh waktu untuk memikirkan jawabannya.Pria di depanku menghela napas kasar.“Penyesalan memang selalu datang belakangan, Aya. Mungkin jika kamu tak memilih pergi dariku, sampai saat ini aku belum menyadari bahwa aku memiliki rasa untukmu. Rasa yang selama ini tertutupi oleh keegoisanku. Tapi bagaimana pun, hal itu harus tetap kusyukuri, bahwa aku akhirnya menyadari perasaanku padamu meski kau bukan lagi milikku.”Mas Adam menjeda kalimatnya, sementara aku merasa tak ada lagi yang perlu kubicarakan dengannya.“Jangan tanya alasanku mencintaimu setelah menyia-nyiakanmu, Aya. Karena cinta tak butuh alasan apa pun.”Keningku bertaut menatapnya. Lelaki ini dulu begitu kuharapkan, merasa ia adalah masa depan dan padanya seluruh restuku berada, tetapi kini takdir berkata lain.“Aku nggak akan pernah bertanya, Mas. Karena sepanjang hidup denganmu dulu aku sudah setiap saat memper
PoV Ivan.Dalam perjalanan ke rumah sakit dengan Bude dan seorang bocah yang sampai sekarang tak kuketahui namanya di kursi belakang, sejujurnya perasaanku sedang tak menentu. Melepas Aya menemui Adam tentu saja menimbulkan rasa ragu di dalam dadaku meski aku telah menyuruh Candra menemani dan sekaligus memastikan agar dia menemani dan mengawasi kakaknya sampai selesai.Banyak hal yang membuatku takut. Terus terang saja masih banyak yang mengganjal dari hubungan kami bertiga. Aku, Aya dan Adam. Hal yang paling membuatku penasaran adalah ekspresi menggigil Aya ketika membicarakan mantan suaminya itu. Maka membiarkannya datang menemui Adam kali ini membuatku terus kepikiran, bagaimana jika nanti Aya menggigil di sana? Apakah Candra benar-benar mengawasi sesuai perintahku tadi? Mungkin aku salah, mungkin seharusnya Candra yang kusuruh mengantar Bude ke rumah sakit tadi.Suara tangisan bocah dari kursi belakang membuatku melirik ke kaca spion di atas kepala, di belakang kulihat Bude sedan
“Kak ... makasih udah seperhatian itu ke anak-anakku.”Aku menelan ludah, tak menyadari bahwa ponsel Bude masih terhubung dengan panggilan video yang kali ini menampakkan wajah Tari. Huft!Aku hanya menanggapi dengan anggukan sebelum menutup pintu lalu kembali ke belakang kemudi.***Bayangan kebersamaan Tari dan Kak Dian bersama Wira di sana sejenak menguasai pikiranku. Dari layar ponsel Bude tadi sebelum Tari menutup panggilan, aku masih mendengar suara Kak Dian mencandai Wira, juga bertanya beberapa hal pada Tari. Satu hal lagi yang terngiang di telingaku adalah ucapan terima kasih Tari padaku tadi.‘Kak ... Makasih udah seperhatian itu ke anak-anakku.’Kurasa Bude sengaja melaporkan ke Tari tentang hari ini. Tentang kami yang sedang dalam perjalanan memeriksakan anak bungsunya, tentang aku yang datang ke rumahnya tadi untuk menengok anaknya. Karena aku sama sekali tak mengatakan apa-apa tentang kedatanganku ke rumahnya hari ini, bahkan pada Kak Dian sekali pun.Jauh di lubuk hati,
“Tadi ninggalin Bude gitu aja?” Aya bertanya setelah kami kembali dari toilet wanita di mana aku menungguinya tadi.“Hmmm.”“Kenapa ditinggalin sih? Kalo ada apa-apa gimana?”“Ada Toni, Ay.”“Tapi kan posisinya belum ada di sana tadi. Aku nggak kebayang gimana kebingungannya Bude di sana ditinggal sendirian mana ngurusin anak kecil yang lagi rewel.”Aku menatap matanya, tak ada kebohongan di mata Aya, dia memang terlihat mengkhawatirkan seorang bocah yang sedang sakit dan dijaga oleh wanita paruh baya.“Jangan terlalu perhatian, Aya.” Aku menarik pinggangnya.“Maksud kamu?”“Aku takut ada orang-orang yang menyalah-artikan perhatianmu.”Tidak. Bukan perhatian Aya yang kemungkinan disalahartikan, tetapi perhatianku yang kukhawatirkan yang membuat orang lain salah mengartikan.Bukan. Bukan orang lain, tetapi Tari, ibu dari bocah yang sedang aku dan Aya bicarakan.Ahh ... sungguh cara bicara Tari tadi membuatku merasa tak nyaman sekaligus merasa takut.‘Makasih udah seperhatian itu pada a
“Woww! Aya ....” Aku masih menatapnya redup, tak rela tautan kami terurai begitu saja.Dengan sisa kesadaranku, kulanjutkan laju kendaraan yang kali ini melaju sedikit lebih lambat, karena sebagian pikiranku masih larut dalam ciuman yang memabukkan tadi.“Lunas kan yang di kafe tadi,” katanya.“Hmm. Lunas. Dibayar dengan yang jauh lebih amoral, karena ciumanmu antrean kendaraan di belakang kita jadi tertahan tadi.”Wanita cantik di sampingku tertawa.Dan tawa itu terdengar seperti sebuah lantunan irama yang indah yang tertangkap oleh pendengaranku.“Aku normal nggak sih, Ay?” tanyaku.“Kenapa emang?”“Dengan kamu ketawa aja senang banget rasanya. Bahagiaaa ... ademmmmm ... kayaknya Kak Dian bener, ya. Aku bucin berat sama kamu.”Usapan di rahang sebelah kiri membuatku menoleh sekilas, dan senyuman itu tertangkap oleh mataku.Cantik banget, Tuhan! Dan mahluk cantik ini adalah milikku.Sepanjang perjalanan hingga tiba di rumah sakit, mataku tak pernah lepas menatapnya. Ciuman panasnya d
“Kalian ini ya ... sama aja dua-duanya! Bucin gak ada obat emang!” Tak kupedulikan suara Kak Dian. Aku segera memeluk Aya sebisaku, membuatnya senyaman mungkin.“Untung bayimu nggak kembar, Ay. Kamu bayangin deh kalo dapat bayi kembar, punya tiga bayi kamu di rumah. Sanggup?” Kak Dian kembali bicara. “Kurasa yang paling ngerepotin sih bayi raksasamu yang ini, Ay.” Telunjuk Kak Dian mengarah padaku.“Jangan bikin Aya ketawa, Kak! Kakak nggak tau kan gimana rasanya ketawa pasca operasi lahiran?” Aku mengulangi kata-kata Kak Dian.“Oiya, sanggup puasa nggak lu, Bro! Empat puluh hari loh.” Kak Dian menekankan kata empat puluh. “Nggak bisa bikin anak orang keramas tiap hari lagi lu.” Suara kekehan Kak Dian terdengar mengejek.“Nak Dian dan Ivan di sana. Biar Ibu yang di sini.” Sebuah perintah lain membuatku dan Kak Dian tak bisa membantah lagi. Ibu mengambil alih posisiku, mengusap lembut kening putri sulungnya dan memberi bisikan-bisikan yang kurasa berisi banyak makna, sebab setelahnya k
PoV IvanAku seperti berada di sebuah ruangan sempit, terkunci rapat dan membuatku tak bisa bernapas. Kilasan-kilasan kebersamaan selama lima tahun lebih pernikahanku dengan Aya berputar kembali di kepala seperti adegan film yang membuat dadaku semakin sesak terhimpit.Tahun-tahun bersama Cahaya adalah tahun-tahun terbaik dalam kehidupanku. Tentu saja jika ini adalah film, seharusnya ini adalah film romantis, bukan film sedih yang membuat dadaku sesak seperti ini. Akan tetapi, sesak ini semakin tak dapat kutahan saja. Tak kupeduikan lagi bagaimana rupaku sekarang. Aku terisak ketika sudah tak dapat menahan sesak, lalu kembali menghirup udara ketika merasa sudah hampir kehilangan napasku.Ruangan ini tentu saja bukanlah ruangan yang sempit mengingat aku sedang berada di ruang VIP salah satu rumah sakit ternama. Di ruangan ini aku juga tak sendirian, ada ibu, Candra dan kembarannya, Kak Dian dan Bang Malik, namun meski banyak orang di ruangan ini, tak ada satu pun di antara kami yang be
“Terima kasih buat keluarga dan teman-teman yang udah hadir malam ini.” Ivan mengambil momen, menghentikan alunan music akustik yang sedari tadi mengisi pendengaran. Pria itu mengucapkan terima kasih yang tulus pada keluarga kami yang hadir malam ini, lalu pada teman-teman dekat yang diundang khusus olehnya. Aku menatapnya dari tempatku duduk tepat di depan panggung kecil di mana ia berdiri. “Malam ini kami merayakan tahun kelima pernikahan. Aku dan Cahaya Kirana, istriku, sudah lima tahun bersama-sama.” Dia menatapku dari depan sana, dan tatapan itu selalu membuatku merasa dicintai. Ivan masih menatapku sambil bicara. “Aku jatuh cinta pada wanita ini sejak kami masih memakai almamater yang sama, lalu Tuhan begitu baik mempertemukanku kembali dengannya belasan tahun kemudian hingga kami menikah. Dan sejak menikahinya, aku masih jatuh cinta padanya setiap hari, masih saja jatuh cinta padanya berulang kali. Malam ini saya meminta doa pada kalian semua agar kami tetap dikuatkan dalam
“Terima kasih buat keluarga dan teman-teman yang udah hadir malam ini.” Ivan mengambil momen, menghentikan alunan music akustik yang sedari tadi mengisi pendengaran. Pria itu mengucapkan terima kasih yang tulus pada keluarga kami yang hadir malam ini, lalu pada teman-teman dekat yang diundang khusus olehnya. Aku menatapnya dari tempatku duduk tepat di depan panggung kecil di mana ia berdiri. “Malam ini kami merayakan tahun kelima pernikahan. Aku dan Cahaya Kirana, istriku, sudah lima tahun bersama-sama.” Dia menatapku dari depan sana, dan tatapan itu selalu membuatku merasa dicintai. Ivan masih menatapku sambil bicara. “Aku jatuh cinta pada wanita ini sejak kami masih memakai almamater yang sama, lalu Tuhan begitu baik mempertemukanku kembali dengannya belasan tahun kemudian hingga kami menikah. Dan sejak menikahinya, aku masih jatuh cinta padanya setiap hari, masih saja jatuh cinta padanya berulang kali. Malam ini saya meminta doa pada kalian semua agar kami tetap dikuatkan dalam
Lima tahun bersamanya, lima tahun penuh bahagia meski tak sedikit pula ombak kecil yang menghantam. Lima tahun bisa menjadi diriku sendiri setelah tahun-tahun sebelumnya terjebak dalam hubungan yang membuatku nyaris kehilangan kepercayaan diri. Malam ini Twin House ditutup untuk umum demi merayakan lima tahun pernikahan ku dan Ivan.Dekorasi anniversary sudah menghiasi Twin House, deretan-deretan makanan pun sudah tertata rapi di sana. Aku sendiri tak terlibat sedikit pun mempersiapkan malam ini, aku hanya memperhatikan kesibukan Iin yang berlalu lalang mengatur venue, lalu Byan yang mondar mandir menyusun catering. Sepasang kekasih itu kini benar-benar menjadi orang kepercayaanku dan Ivan.Aku juga sama sekali tak terlibat mengatur siapa saja undangan malam ini, sebab beberapa hari terakhir aku benar-benar hanya fokus pada diriku sendiri. Setelah siang itu di mana aku berbincang dengan Nindya dan baru menyadari ada yang aneh pada diriku, aku benar-benar melakukan pemeriksaan demi mem
“Emang akunya yang kecepatan sih, Ay. Sebenarnya janjinya agak sorean, tapi karena tadi kebetulan Mas Adam juga pas mau keluar, ya udah aku ikut aja. Aku nggak apa kan nunggu di sini?”“Nggak apa, Nin.”“Oiya, Aya. Aku tadi bareng Mas Adam,” katanya lagi tepat di saat sosok yang dibicarakannya itu muncul dari arah parkiran.“Hai, Aya. Gimana kabarmu?” Kaku sekali, pria itu menyapa.“Baik, Mas. Mas Adam gimana kabarnya?” Akupun menjawab sama kakunya. Kini aku mengerti mengapa Ivan berusaha menghindarkan pertemuan seperti ini. Aku dan dia pernah punya cerita, dan meski selalu berusaha untuk saling biasa saja, namun tak bisa dipungkiri akan ada kekakuan seperti ini saat berinteraksi.“Aku juga baik. Oiya, Ivan ada?”Kembali kujelaskan bahwa suamiku baru saja keluar.“Kalo gitu aku titip Nindya ya, Ay. Dia ada urusan dikit sama Ivan untuk urusan pekerjaan.” Mas Adam menjelaskan dengan detail urusan pekerjaan antara Nindya dan Ivan padaku.Aku kembali mengangguk setuju.“Ya udah, kutinggal
“Hari ini ikut ke Twin House, ya.”Ini sudah sebulan sejak kami kembali dari Bali setelah seminggu menikmati kebersamaan di sana. Dan untuk memenuhi permintaannya waktu itu agar aku mengurangi waktuku di butik, aku juga sudah mulai beradaptasi. Tentu tak ada alasan bagiku untuk tak mengikuti inginnya, apalagi alasan yang mendasari keinginannya sangat masuk akal.“Adam akan lebih sering datang ke kantorku, dan tentu saja akan lebih sering bertemu kamu juga. Bagaimanapun juga, kalian pernah memiliki cerita, aku hanya ingin menjagamu lebih baik lagi.”“Aku juga bakalan banyak pekerjaan, Aya. Dan keberadaanmu di sekitarku hanya akan membuatku tak bisa berkonsentrasi. Yang ada bukannya kerja, tapi malah ngerjain kamu.”Itu dua alasan yang membuatku menerima keingingannya, karena sejujurnya memang seperti inilah kebersamaan yang sejak dulu kuinginkan. Bertukar pendapat dengan pasangan, saling mendengarkan isi hati, saling memahami apa yang pasangan inginkan. Pernikahanku dengan Ivan adalah
“Dari mana, Pi?” Rasanya tak dapat kutahan kekesalanku hari ini. Bagaimana tidak? Kami tiba di villa sejak beberapa jam yang lalu, dan beristirahat sebentar. Lalu saat aku terjaga, tak kutemui pria itu di sudut mana pun sementara ponselnya tergeletak begitu saja di atas meja.“Udah bangun, Sayang? Gimana istirahatnya udah cukup belum?”Dan kesalnya lagi, Ivan justru menanggapi santai dengan kecupan di keningku.“Dari mana aja? Ponsel ditinggal nggak bisa dihubungi, tadi kan cuma mau istirahat bentar abis itu kita jalan-jalan. Kenapa malah ditinggalin berjam-jam gini?” Aku benar-benar kesal kali ini. Yang ada dalam pikiranku tadi, setelah tiba di villa, kami hanya perlu beristirahat sebentar lalu keluar dan menikmati liburan ini.Villa yang disewa Ivan kurasa bukan villa sembarangan. Lokasinya tepat menghadap ke pantai Jimbaran yang terkenal dengan keindahan sunset-nya. Bukan hanya aku, Kia dan Mbak Ri pun terlihat begitu antusias ketika tiba di villa ini tadi. Pemandangan pantai yang
Dari sini aku bisa melihat seperti apa hubungan kekeluargaan mereka di masa lalu yang sering Kak Dian ceritakan. Mungkin seperti inilah hubungan akrab mereka dulu di masa lalu sebelum semua hancur karena sebuah kesalahan. Tak ada yang perlu disesali, karena jika menyesali masa lalu, maka mungkin kehadiran Wira juga akan menjadi penyesalan. Padahal bocah yang memiliki banyak keisitimewaan itulah yang menjadi pemersatu kebersamaan kami ini.Tangan Ivan pun tak lagi selalu tertaut padaku. Kurasa dia juga sudah mulai menyadari bahwa Tari sudah berubah, setidaknya berusaha sangat keras untuk berubah.Dan hingga kebersamaan itu berakhir, kami semua seperti sedang menemukan kebahagiaan baru. Aku, Ivan dan Kia serta pengasuhnya melanjutkan liburan kami ke Bali, meninggalkan Tari dan anak-anaknya di rumah Kak Dian.“Aku bangga punya kamu, Aya.” Dan genggaman tangan itu kembali tertaut saat kami dalam perjalanan melanjutkan trip liburan. “Kalo bukan karena kebesaran hatimu, nggak akan ada keber