Aku terbangun saat mendengar pintu kamarku diketuk dari luar dan Kak Dian memanggil-manggil namaku. Aku menggeliat malas, tubuhku terasa agak pegal dan kepalaku terasa pusing. Kurasa wajar, karena semalaman aku tak bisa tidur dan baru bisa terlelap menjelang subuh. Padahal hari ini banyak sekali pekerjaan yang menantiku. Tiara bahkan sudah mengirim jadwal pekerjaanku hari ini yang begitu padat.“Kamu nggak ngantor?” Kak Dian langsung bertanya saat aku membuka pintu.“Ngantor, Kak. Malah padat banget pekerjaanku hari ini,” jawabku.“Ya sudah sarapan dulu. Tadi Kakak sudah bikinin nasi goreng kesukaan kamu.”“Terima kasih, Kak.” Aku memeluk Kak Dian dari belakang saat kakak kandungku yang umurnya 10 tahun di atasku itu sudah hendak melangkah meninggalkanku.“Lepas ih! Dasar bayi besar!”“Kangen, Kak. Kangen meluk kakak.”“Kangen meluk yang kemarin juga, nggak?”“Yang itu nggak bisa dipeluk,” gumamku. Aku tau Kak Dian sedang bertanya tentang Cahaya.“Kenapa?”“Masih milik orang.”Kak Dia
Kak Dian berteriak protes dan bahkan mengomeliku saat melihatku menyisakan sarapanku, tapi aku tak lagi menyimaknya. Fokusku hanya satu, aku harus melihat keadaan Cahaya, kemungkinan dia juga bisa mengalami hal yang sama denganku, sedangkan dia sendirian di rumahnya. Kak Dian masih terus mengikuti langkahku dengan beberapa pertanyaannya saat melihatku keluar dari kamar setelah mandi dan berganti pakaian.“Aku pergi dulu, Kak.”“Pergi ke mana? Ke kantor?”Aku menggaruk tengkuk. Harusnya aku memang ke kantor mengingat jadwalku sangat padat hari ini. Tapi bagaimana dengan Cahaya?“Ke rumah Aya, Kak. Kemarin dia juga kehujanan sama sepertiku. Aku khawatir dia juga demam.”Kak Dian hanya menggeleng-gelengkan kepalanya.“Rupanya ada yang lebih diprioritaskan selain pekerjaan sekarang, ya.”Aku tak menanggapi.🍁🍁🍁Rumah Aya kelihatan lengang saat aku tiba, kuparkirkan mobilku di luar pagar lalu menelepon ke nomor Cahaya yang sejak semalam kusimpan dengan nama “My Sunshine” di ponselku. Na
Kami menunggu di depan ruang praktek dokter sambil sesekali bersin bergantian. Sudah beberapa kali Aya menyodorkan tisu padaku dan sudah berlembar-lembar tisu yang kami berdua habiskan.“Makanya jangan main hujan-hujanan.” Aku sengaja menggodanya saat ia kembali bersin. Pucuk hidungnya sudah terlihat berwarna pink akibat sering diusap, dan itu membuat wajah Cahaya terlihat semakin imut.“Ish! Nggak usah ngolok, kamu juga sama,” balasnya saat giliranku yang bersin.“Tapi kalau kemarin nggak hujan-hujanan kita nggak akan sedekat ini, Ay.”Dia memalingkan wajahnya, mungkin tak ingin membahas peristiwa hujan-hujanan kemarin. Namun itu membuatku semakin bersemangat menggodanya.“Tapi kalau ada kesempatan untuk hujan-hujanan berdua lagi, aku tetap mau, Ay. Nggak peduli mau demam dan pilek berapa kali, asalkan momen kita kemarin bisa terulang lagi.”“Haish! Mulai lagi.” Dia memprotes.Aku tertawa. Aku suka Cahaya yang asik diajak bercanda seperti ini, bukan Cahaya yang selalu diam dan terlih
Setelah itu kami tak terlalu banyak bicara lagi. Lebih tepatnya aku menghindari banyak bertanya lagi padanya. Bagaimana pun aku menyadari jika apa yang kulakukan ini berpotensi menimbulkan fitnah dan aku tak ingin itu terjadi. Apalagi Cahaya yang akan menjadi korban jika ada yang melihat kebersamaan kami seperti ini. Paling tidak misiku hari ini untuk membawanya ke dokter sudah terlaksana, karena aku juga merasa bertanggungjawab dengan demamnya Aya. Ponselnya yang tadi kurampas sudah kukembalikan padanya saat kami sudah di dalam mobil.“Jangan terlalu sering lihat layar ponsel, Ay. Ingat kata dokter tadi, kan? Kamu harus banyak istirahat.”“Bukan hanya aku, Van. Dokter juga nyaranin kamu istirahat.”“Wah, kalau begitu kita istirahat bareng aja, Ay.”Dia memukul lenganku. “Ngaco!”“Aku antar pulang, ya. Ingat hari ini banyak istirahat dan jangan main HP dulu.” Entah mengapa aku terdengar seperti seorang dokter yang sedang menasihati pasiennya, atau mungkin juga terdengar seperti seora
Aku mengikuti arah pandangannya. Persis di depan mobilku terlihat dua orang yang masih berboncengan di atas sepeda motor.Kurasa kami sedang dalam masalah! Kaca depan mobilku memang tak bisa dibilang transparan, tapi sangat cukup untuk melihat dengan jelas adegan yang baru saja terjadi.Kuhela napasku panjang-panjang.“Aku akan menjelaskan pada mereka, Aya.”Cahaya masih terlihat panik.“Jangan jelaskan apapun, Van. Jangan bicara apapun. Pulanglah!”“Ay.”“Pulanglah, Van. Aku nggak mau mengecewakan mereka.”“Aku tak mungkin pulang sementara mereka menatap kita dengan tatapan seperti itu, Ay. Biarkan aku menjelaskannya.”“Van, please! Aku nggak mau rumah tanggaku kenapa-kenapa.”“Aku nggak mungkin mencelakakanmu, Aya. Ayo, turun.” Aku sudah hendak membuka pintu mobil ketika ia kembali memanggilku.“Van.”Aku menoleh.“Aku mencintai Adam.” Suaranya terdengar sangat rapuh.Aku terdiam sesaat. Memejamkan mata meresapi kalimatnya barusan.“Tentu saja. Dia suamimu,” ucapku sambil membuka pi
“Saya siap melakukan apapun untuk menebus kesalahan saya, Bu. Tapi jangan bebankan hal ini pada Aya, dia benar-benar tak tau apa-apa. Aya juga tadi marah atas kekhilafan saya. Saya yang salah sudah menyalahgunakan kepercayaan Adam.”Aku menatapnya iba. Dia benar-benar ingin melindungiku. Berkali-kali dia mengatakan pada ibu agar tak meyalahkanku atas kejadian ini.Setelah melalui perbincangan yang ujung-ujungnya berisi permintaan maafnya, Ivan pun pamit pulang. Aku tak lagi berani menatapnya karena ibu masih duduk di sampingku. Padahal, ingin sekali aku berlari dan memeluk pria itu. Demi melindungiku, dia rela menjelekkan dirinya sendiri di hapadan ibuku. Meskipun kami berdua tau, ini bukan hanya kesalahannya, karena aku pun menikmati semua yang terjadi di antara kami.Terima kasih, Ivan. Kamu melindungiku dengan caramu sendiri.“Sudah lama kenal dia, Nak?”Suara ibu membuat pandanganku beralih dari menatap pintu depan, aku masih terus menatap pintu itu setelah sosok Ivan sudah tak te
“Bu, Mas Adam di sana jagain Nindya. Dia ninggalin Aya di puncak malam-malam hanya karena mendengar Nindya kecelakaan. Coba ibu bayangin gimana perasaan Aya, Bu?”Ibuku menghela napas.“Jadi karena itu kamu seperti ini? Kamu ingin membalasnya? Aya ... Adam itu orang baik, lihat saja bagaimana dia memperlakukan ibu, lihat saja bagaimana dia memperhatikan adik-adikmu. Hampir semua keperluan ibu dan adik-adikmu diperhatikannya. Ibu tak pernah meminta apapun darinya, tapi dia selalu tau apa yang ibu perlukan, apa yang adik-adikmu inginkan. Berpikir positif lah, Nak. Mungkin seperti itu pula dia pada teman-temannya. Mungkin hanya kebetulan kali ini Nindya yang sedang terkena musibah.”“Tidak, Bu. Ini bukan karena kebetulan. Mas Adam memang ....”“Aya.” Ibu memotong kalimatku.“Seharusnya kamu bangga dengan sikap pedulinya. Toh, dia tak pernah mengurangi kasih sayangnya padamu, kan?”“Kasih sayang? Kasih sayang seperti apa yang ibu lihat dari Mas Adam padaku?”“Aya, ini bukan kali pertama k
Sore ini Mas Adam pulang ke rumah, setelah empat hari berada di Jogja. Selama itu pula, ia tak pernah mengirim pesan menanyakan kabarku. Meskipun sudah sering ditinggal ke luar kota, kepulangannya kali ini menyisakan suasana kaku di antara kami. Karena kali ini dia bukan pulang dari tugas kantormya di luar kota, tapi dia baru pulang dari luar kota dalam rangka menjaga seseorang yang begitu dipedulikannya.Tak ada pembicaraan di antara kami, padahal hatiku sudah sangat ingin berteriak dan protes padanya. Ingin sekali rasanya berteriak mengeluarkan semua rasa sesak yang sudah menumpuk. Sesekali saat makan bersama, kulihat dia melirikku. Entah apa yang ada di dalam pikirannya. Mungkinkah dia menungguku menanyakan kabar Nindya padanya?Aku masih merapikan barang bawaannya saat ia terlihat masuk ke dalam kamar. Semua barangnya terlihat baru, dia pasti baru membeli semuanya karena malam itu memang tak membawa apa pun dari villa. Aku bahkan tak tau di mana ia menitipkan mobilnya selama ia di
“Kalian ini ya ... sama aja dua-duanya! Bucin gak ada obat emang!” Tak kupedulikan suara Kak Dian. Aku segera memeluk Aya sebisaku, membuatnya senyaman mungkin.“Untung bayimu nggak kembar, Ay. Kamu bayangin deh kalo dapat bayi kembar, punya tiga bayi kamu di rumah. Sanggup?” Kak Dian kembali bicara. “Kurasa yang paling ngerepotin sih bayi raksasamu yang ini, Ay.” Telunjuk Kak Dian mengarah padaku.“Jangan bikin Aya ketawa, Kak! Kakak nggak tau kan gimana rasanya ketawa pasca operasi lahiran?” Aku mengulangi kata-kata Kak Dian.“Oiya, sanggup puasa nggak lu, Bro! Empat puluh hari loh.” Kak Dian menekankan kata empat puluh. “Nggak bisa bikin anak orang keramas tiap hari lagi lu.” Suara kekehan Kak Dian terdengar mengejek.“Nak Dian dan Ivan di sana. Biar Ibu yang di sini.” Sebuah perintah lain membuatku dan Kak Dian tak bisa membantah lagi. Ibu mengambil alih posisiku, mengusap lembut kening putri sulungnya dan memberi bisikan-bisikan yang kurasa berisi banyak makna, sebab setelahnya k
PoV IvanAku seperti berada di sebuah ruangan sempit, terkunci rapat dan membuatku tak bisa bernapas. Kilasan-kilasan kebersamaan selama lima tahun lebih pernikahanku dengan Aya berputar kembali di kepala seperti adegan film yang membuat dadaku semakin sesak terhimpit.Tahun-tahun bersama Cahaya adalah tahun-tahun terbaik dalam kehidupanku. Tentu saja jika ini adalah film, seharusnya ini adalah film romantis, bukan film sedih yang membuat dadaku sesak seperti ini. Akan tetapi, sesak ini semakin tak dapat kutahan saja. Tak kupeduikan lagi bagaimana rupaku sekarang. Aku terisak ketika sudah tak dapat menahan sesak, lalu kembali menghirup udara ketika merasa sudah hampir kehilangan napasku.Ruangan ini tentu saja bukanlah ruangan yang sempit mengingat aku sedang berada di ruang VIP salah satu rumah sakit ternama. Di ruangan ini aku juga tak sendirian, ada ibu, Candra dan kembarannya, Kak Dian dan Bang Malik, namun meski banyak orang di ruangan ini, tak ada satu pun di antara kami yang be
“Terima kasih buat keluarga dan teman-teman yang udah hadir malam ini.” Ivan mengambil momen, menghentikan alunan music akustik yang sedari tadi mengisi pendengaran. Pria itu mengucapkan terima kasih yang tulus pada keluarga kami yang hadir malam ini, lalu pada teman-teman dekat yang diundang khusus olehnya. Aku menatapnya dari tempatku duduk tepat di depan panggung kecil di mana ia berdiri. “Malam ini kami merayakan tahun kelima pernikahan. Aku dan Cahaya Kirana, istriku, sudah lima tahun bersama-sama.” Dia menatapku dari depan sana, dan tatapan itu selalu membuatku merasa dicintai. Ivan masih menatapku sambil bicara. “Aku jatuh cinta pada wanita ini sejak kami masih memakai almamater yang sama, lalu Tuhan begitu baik mempertemukanku kembali dengannya belasan tahun kemudian hingga kami menikah. Dan sejak menikahinya, aku masih jatuh cinta padanya setiap hari, masih saja jatuh cinta padanya berulang kali. Malam ini saya meminta doa pada kalian semua agar kami tetap dikuatkan dalam
“Terima kasih buat keluarga dan teman-teman yang udah hadir malam ini.” Ivan mengambil momen, menghentikan alunan music akustik yang sedari tadi mengisi pendengaran. Pria itu mengucapkan terima kasih yang tulus pada keluarga kami yang hadir malam ini, lalu pada teman-teman dekat yang diundang khusus olehnya. Aku menatapnya dari tempatku duduk tepat di depan panggung kecil di mana ia berdiri. “Malam ini kami merayakan tahun kelima pernikahan. Aku dan Cahaya Kirana, istriku, sudah lima tahun bersama-sama.” Dia menatapku dari depan sana, dan tatapan itu selalu membuatku merasa dicintai. Ivan masih menatapku sambil bicara. “Aku jatuh cinta pada wanita ini sejak kami masih memakai almamater yang sama, lalu Tuhan begitu baik mempertemukanku kembali dengannya belasan tahun kemudian hingga kami menikah. Dan sejak menikahinya, aku masih jatuh cinta padanya setiap hari, masih saja jatuh cinta padanya berulang kali. Malam ini saya meminta doa pada kalian semua agar kami tetap dikuatkan dalam
Lima tahun bersamanya, lima tahun penuh bahagia meski tak sedikit pula ombak kecil yang menghantam. Lima tahun bisa menjadi diriku sendiri setelah tahun-tahun sebelumnya terjebak dalam hubungan yang membuatku nyaris kehilangan kepercayaan diri. Malam ini Twin House ditutup untuk umum demi merayakan lima tahun pernikahan ku dan Ivan.Dekorasi anniversary sudah menghiasi Twin House, deretan-deretan makanan pun sudah tertata rapi di sana. Aku sendiri tak terlibat sedikit pun mempersiapkan malam ini, aku hanya memperhatikan kesibukan Iin yang berlalu lalang mengatur venue, lalu Byan yang mondar mandir menyusun catering. Sepasang kekasih itu kini benar-benar menjadi orang kepercayaanku dan Ivan.Aku juga sama sekali tak terlibat mengatur siapa saja undangan malam ini, sebab beberapa hari terakhir aku benar-benar hanya fokus pada diriku sendiri. Setelah siang itu di mana aku berbincang dengan Nindya dan baru menyadari ada yang aneh pada diriku, aku benar-benar melakukan pemeriksaan demi mem
“Emang akunya yang kecepatan sih, Ay. Sebenarnya janjinya agak sorean, tapi karena tadi kebetulan Mas Adam juga pas mau keluar, ya udah aku ikut aja. Aku nggak apa kan nunggu di sini?”“Nggak apa, Nin.”“Oiya, Aya. Aku tadi bareng Mas Adam,” katanya lagi tepat di saat sosok yang dibicarakannya itu muncul dari arah parkiran.“Hai, Aya. Gimana kabarmu?” Kaku sekali, pria itu menyapa.“Baik, Mas. Mas Adam gimana kabarnya?” Akupun menjawab sama kakunya. Kini aku mengerti mengapa Ivan berusaha menghindarkan pertemuan seperti ini. Aku dan dia pernah punya cerita, dan meski selalu berusaha untuk saling biasa saja, namun tak bisa dipungkiri akan ada kekakuan seperti ini saat berinteraksi.“Aku juga baik. Oiya, Ivan ada?”Kembali kujelaskan bahwa suamiku baru saja keluar.“Kalo gitu aku titip Nindya ya, Ay. Dia ada urusan dikit sama Ivan untuk urusan pekerjaan.” Mas Adam menjelaskan dengan detail urusan pekerjaan antara Nindya dan Ivan padaku.Aku kembali mengangguk setuju.“Ya udah, kutinggal
“Hari ini ikut ke Twin House, ya.”Ini sudah sebulan sejak kami kembali dari Bali setelah seminggu menikmati kebersamaan di sana. Dan untuk memenuhi permintaannya waktu itu agar aku mengurangi waktuku di butik, aku juga sudah mulai beradaptasi. Tentu tak ada alasan bagiku untuk tak mengikuti inginnya, apalagi alasan yang mendasari keinginannya sangat masuk akal.“Adam akan lebih sering datang ke kantorku, dan tentu saja akan lebih sering bertemu kamu juga. Bagaimanapun juga, kalian pernah memiliki cerita, aku hanya ingin menjagamu lebih baik lagi.”“Aku juga bakalan banyak pekerjaan, Aya. Dan keberadaanmu di sekitarku hanya akan membuatku tak bisa berkonsentrasi. Yang ada bukannya kerja, tapi malah ngerjain kamu.”Itu dua alasan yang membuatku menerima keingingannya, karena sejujurnya memang seperti inilah kebersamaan yang sejak dulu kuinginkan. Bertukar pendapat dengan pasangan, saling mendengarkan isi hati, saling memahami apa yang pasangan inginkan. Pernikahanku dengan Ivan adalah
“Dari mana, Pi?” Rasanya tak dapat kutahan kekesalanku hari ini. Bagaimana tidak? Kami tiba di villa sejak beberapa jam yang lalu, dan beristirahat sebentar. Lalu saat aku terjaga, tak kutemui pria itu di sudut mana pun sementara ponselnya tergeletak begitu saja di atas meja.“Udah bangun, Sayang? Gimana istirahatnya udah cukup belum?”Dan kesalnya lagi, Ivan justru menanggapi santai dengan kecupan di keningku.“Dari mana aja? Ponsel ditinggal nggak bisa dihubungi, tadi kan cuma mau istirahat bentar abis itu kita jalan-jalan. Kenapa malah ditinggalin berjam-jam gini?” Aku benar-benar kesal kali ini. Yang ada dalam pikiranku tadi, setelah tiba di villa, kami hanya perlu beristirahat sebentar lalu keluar dan menikmati liburan ini.Villa yang disewa Ivan kurasa bukan villa sembarangan. Lokasinya tepat menghadap ke pantai Jimbaran yang terkenal dengan keindahan sunset-nya. Bukan hanya aku, Kia dan Mbak Ri pun terlihat begitu antusias ketika tiba di villa ini tadi. Pemandangan pantai yang
Dari sini aku bisa melihat seperti apa hubungan kekeluargaan mereka di masa lalu yang sering Kak Dian ceritakan. Mungkin seperti inilah hubungan akrab mereka dulu di masa lalu sebelum semua hancur karena sebuah kesalahan. Tak ada yang perlu disesali, karena jika menyesali masa lalu, maka mungkin kehadiran Wira juga akan menjadi penyesalan. Padahal bocah yang memiliki banyak keisitimewaan itulah yang menjadi pemersatu kebersamaan kami ini.Tangan Ivan pun tak lagi selalu tertaut padaku. Kurasa dia juga sudah mulai menyadari bahwa Tari sudah berubah, setidaknya berusaha sangat keras untuk berubah.Dan hingga kebersamaan itu berakhir, kami semua seperti sedang menemukan kebahagiaan baru. Aku, Ivan dan Kia serta pengasuhnya melanjutkan liburan kami ke Bali, meninggalkan Tari dan anak-anaknya di rumah Kak Dian.“Aku bangga punya kamu, Aya.” Dan genggaman tangan itu kembali tertaut saat kami dalam perjalanan melanjutkan trip liburan. “Kalo bukan karena kebesaran hatimu, nggak akan ada keber