“Bu, Mas Adam di sana jagain Nindya. Dia ninggalin Aya di puncak malam-malam hanya karena mendengar Nindya kecelakaan. Coba ibu bayangin gimana perasaan Aya, Bu?”Ibuku menghela napas.“Jadi karena itu kamu seperti ini? Kamu ingin membalasnya? Aya ... Adam itu orang baik, lihat saja bagaimana dia memperlakukan ibu, lihat saja bagaimana dia memperhatikan adik-adikmu. Hampir semua keperluan ibu dan adik-adikmu diperhatikannya. Ibu tak pernah meminta apapun darinya, tapi dia selalu tau apa yang ibu perlukan, apa yang adik-adikmu inginkan. Berpikir positif lah, Nak. Mungkin seperti itu pula dia pada teman-temannya. Mungkin hanya kebetulan kali ini Nindya yang sedang terkena musibah.”“Tidak, Bu. Ini bukan karena kebetulan. Mas Adam memang ....”“Aya.” Ibu memotong kalimatku.“Seharusnya kamu bangga dengan sikap pedulinya. Toh, dia tak pernah mengurangi kasih sayangnya padamu, kan?”“Kasih sayang? Kasih sayang seperti apa yang ibu lihat dari Mas Adam padaku?”“Aya, ini bukan kali pertama k
Sore ini Mas Adam pulang ke rumah, setelah empat hari berada di Jogja. Selama itu pula, ia tak pernah mengirim pesan menanyakan kabarku. Meskipun sudah sering ditinggal ke luar kota, kepulangannya kali ini menyisakan suasana kaku di antara kami. Karena kali ini dia bukan pulang dari tugas kantormya di luar kota, tapi dia baru pulang dari luar kota dalam rangka menjaga seseorang yang begitu dipedulikannya.Tak ada pembicaraan di antara kami, padahal hatiku sudah sangat ingin berteriak dan protes padanya. Ingin sekali rasanya berteriak mengeluarkan semua rasa sesak yang sudah menumpuk. Sesekali saat makan bersama, kulihat dia melirikku. Entah apa yang ada di dalam pikirannya. Mungkinkah dia menungguku menanyakan kabar Nindya padanya?Aku masih merapikan barang bawaannya saat ia terlihat masuk ke dalam kamar. Semua barangnya terlihat baru, dia pasti baru membeli semuanya karena malam itu memang tak membawa apa pun dari villa. Aku bahkan tak tau di mana ia menitipkan mobilnya selama ia di
[Kamu memang brengsek!]Aku menulis ini dengan jujur, karena merasa Ivan memang brengsek. Bukan karena telah memanfaatkan keadaan datau kepercayaan Mas Adam. Tapi karena menghilang begitu saja setelah membuat debaran indah di hatiku.[Aku begini karenamu.]Aku tak membalas.[Jangan bertengkar dengan Adam, ya. Jangan buang-buang energimu. Bicara baik-baik, kamu akan terlihat lebih elegan.][Nggak mau bicara.][Ya udah, kalau gitu bicara sama aku aja.]Aku mencibir.[Mulai besok jangan parkir di seberang butikku lagi. Bikin karyawanku nggak konsen kerjanya.][Jiahhh! Ketahuan ya.] Dia membubuhi emot tertawa.[Udah tau kenapa nggak nyamperin?] Tulisnya lagi.[Udah di situ kenapa nggak masuk sekalian?][Emang dibolehin?][Boleh. Tapi harus beli produk butik.][Kalau gitu besok aku borong seisi butik Ayya.]Aku mengirim emot tertawa.[Udah dulu, ya. Cuma mau bilang baik-baik sama Adam. Udah beberapa hari nggak ketemu, kan? Dia juga pasti udah kangen.][Kangen apanya?][Kalau nggak kangen d
“Mas.”Saat ini kami sudah berbaring di ranjang yang sama. Dia menoleh.“Aku tau bagaimana rasanya mencintai seseorang tapi tak bisa memilikinya, itu begitu menyiksa. Kalau Mas Adam menyukai Nindya, kenapa tak melepasku?”“Kamu tak akan pernah memahaminya, Aya. Pikiranmu tak akan pernah sampai ke sana.”Meski kalimatnya tak nyaman di telinga, tapi paling tidak kali ini dia mengucapkannya dengan nada pelan.“Kalau Mas menganggap aku tak paham, kenapa tidak berusaha menjelaskan padaku? Kenapa membiarkan aku terus menerus dipenuhi tanya seperti ini? Apa Mas Adam tau, hubungan kita ini sudah jauh dari kata normal. Sampai kapan kita seperti ini, Mas? Apa sebenarnya yang kita tunggu. Aku merasa kita berdua hanya sedang menunda perpisahan.”Matanya yang tadi terpejam kini membuka, mungkin dia merasa terkejut dengan keberanianku kali ini. Sementara aku sengaja memanfaatkan kerapuhannya kali ini untuk mengatakan isi hatiku.“Apa kamu tau berapa banyak hati yang akan tersakiti jika mengetahui k
Pagi ini aku kembali menyiapkan keperluan Mas Adam untuk perjalanan dinasnya ke Timika, salah satu daerah penghasil emas di Papua. Sedari tadi aku merasa ada yang tak biasa dengan keberangkatan Mas Adam kali ini, dia tak seantusias biasanya saat akan bertugas ke luar kota. Dan aku sangat tau apa penyebabnya, Nindya tak ikut dalam rombongan karena dia masih menjalani perawatan akibat kecelakaan yang dialaminya. Nindya memang sudah kembali dari Jogja, tapi dia masih cuti karena kakinya masih belum sembuh sepenuhnya.“Aku berangkat.” Mas Adam berpamitan padaku.Aku meraih punggung tangannya, lalu menciumnya seperti biasa.“Nggak mau Aya antar aja, Mas? Mumpung masih pagi. Habis dari bandara Aya bisa langsung ke butik.”“Nggak usah.”“Mobil Mas dititip di parkiran bandara? Nggak kelamaan?” tanyaku, karena menurutnya ia akan berada di Timika selama kurang lebih seminggu.“Nggak udah banyak nanya, Ay. Aku udah pusing ini!”Aku mendengkus kesal. Oke, aku tau dia pusing, karena best partner-n
“Kenapa?” tanyaku.“Aduh, Aya. Aku lupa, siang ini aku punya janji ketemu dengan seseorang.”“Siapa?”“Aku ada janji dengan model yang akan dipakai perusahaanku untuk iklan produk properti terbaru kami.”“Model? Cewek?”“Iya.”“Ya udah kalau gitu antar aku balik ke butik sekarang.” Entah mengapa aku mengucapkannya dengan nada kesal.Huh, kuharap dia tak menyadari nada bicaraku tadi, karena tak ingin dia salah paham. Tapi ternyata aku salah, pria itu kini menatapku tersenyum.“Kenapa gitu cara ngomongnya?”“Gitu gimana?” Aku harus menyangkal.“Itu, yang tadi.”‘Issh! Aku nggak ngerti maksud kamu. Udah, ah! Anterin balik ke butik.”Sialnya, niatku ingin mengingkari justru membuat nada bicaraku semakin aneh. Aku sendiri tak mengerti.“Kamu cemburu?”Aku menggeleng. “Ih! Apaan sih.”“Aku tau rasanya, Ay. Aku juga ngerasain hal yang sama waktu tau Adam balik dari Jogja.”Aku menelan ludahku.“Aku cemburu ... pada Adam. Pada suamimu.”“Van ... jangan diterusin.”“Kamu tau kenapa aku berani
Aku merasa terlindungi, aku merasa dimanja, aku merasa diperhatikan dan aku merasa dicintai.Belum pernah ada seorang pun yang memperlakukanku seperti ini. Bahkan suamiku pun tak pernah mau menggandeng tanganku sehangat ini. Aku berusaha melepaskan genggamannya saat akal sehatku kembali dan menyadarkankanku akan status kami berdua, apalagi ini di tempat umum.“Jangan dilepas,” bisiknya. Dia justru semakin mempererat genggaman.Akhirnya aku pasrah, berjalan mengikuti langkahnya sambil menunduk. Bukan tidak mungkin ada yang mengenali kami di tempat umum seperti ini. Semoga saja itu tidak terjadi karena aku sudah tak bisa melepaskan genggaman erat pria ini.“Hai, maaf saya sedikit terlambat,” ucapnya sambil menghentikan langkahnya.Aku pun menghentikan langkah lalu menengadahkan wajah. Jantungku seketika terasa terbang meninggalkan tempatnya saat menyadari siapa yang sedang duduk di hadapan kami saat ini.“Bella!”“Aya!”Bella menatapku sambil mengeryitkan keningnya. Lalu matanya beralih
Aku harus pergi darinya, harus menjauh sejauh mungkin dan tidak tergoda lagi seperti yang sudah-sudah. Aku harus pergi, meski hati kecilku berkata jangan pergi!“Van.” Pria yang sedang berkonsentrasi menyetir itu menoleh sekilas. Saat ini kami sudah dalam perjalanan pulang.“Jangan pernah mengenggam tanganku lagi seperti tadi.”“Iya.”“Hari ini Bella, tidak menutup kemungkinan besok-besok ketemu yang lain lagi. Kita nggak bisa seperti ini.”“Iya.”“Harusnya kita nggak boleh ketemu lagi, Van.”“Iya.”Aku menoleh kesal mendengar jawabannya.“Kenapa jawabnya gitu.”Dia menepikan mobilnya, lalu menoleh padaku.“Apa yang harus kukatakan, Aya. Semua yang kamu katakan itu benar. Bukankah aku sudah pernah bilang aku akan pergi jika kamu memintaku untuk pergi, dan aku akan bertahan jika kamu yang meminta. Aku tak punya pilihan selain mengikuti apa maumu. Karena jika aku memilih mengikuti kata hatiku, maka aku bukan hanya sekedar menggenggam tanganmu, aku pasti sudah melakukan yang lebih dari p
“Kalian ini ya ... sama aja dua-duanya! Bucin gak ada obat emang!” Tak kupedulikan suara Kak Dian. Aku segera memeluk Aya sebisaku, membuatnya senyaman mungkin.“Untung bayimu nggak kembar, Ay. Kamu bayangin deh kalo dapat bayi kembar, punya tiga bayi kamu di rumah. Sanggup?” Kak Dian kembali bicara. “Kurasa yang paling ngerepotin sih bayi raksasamu yang ini, Ay.” Telunjuk Kak Dian mengarah padaku.“Jangan bikin Aya ketawa, Kak! Kakak nggak tau kan gimana rasanya ketawa pasca operasi lahiran?” Aku mengulangi kata-kata Kak Dian.“Oiya, sanggup puasa nggak lu, Bro! Empat puluh hari loh.” Kak Dian menekankan kata empat puluh. “Nggak bisa bikin anak orang keramas tiap hari lagi lu.” Suara kekehan Kak Dian terdengar mengejek.“Nak Dian dan Ivan di sana. Biar Ibu yang di sini.” Sebuah perintah lain membuatku dan Kak Dian tak bisa membantah lagi. Ibu mengambil alih posisiku, mengusap lembut kening putri sulungnya dan memberi bisikan-bisikan yang kurasa berisi banyak makna, sebab setelahnya k
PoV IvanAku seperti berada di sebuah ruangan sempit, terkunci rapat dan membuatku tak bisa bernapas. Kilasan-kilasan kebersamaan selama lima tahun lebih pernikahanku dengan Aya berputar kembali di kepala seperti adegan film yang membuat dadaku semakin sesak terhimpit.Tahun-tahun bersama Cahaya adalah tahun-tahun terbaik dalam kehidupanku. Tentu saja jika ini adalah film, seharusnya ini adalah film romantis, bukan film sedih yang membuat dadaku sesak seperti ini. Akan tetapi, sesak ini semakin tak dapat kutahan saja. Tak kupeduikan lagi bagaimana rupaku sekarang. Aku terisak ketika sudah tak dapat menahan sesak, lalu kembali menghirup udara ketika merasa sudah hampir kehilangan napasku.Ruangan ini tentu saja bukanlah ruangan yang sempit mengingat aku sedang berada di ruang VIP salah satu rumah sakit ternama. Di ruangan ini aku juga tak sendirian, ada ibu, Candra dan kembarannya, Kak Dian dan Bang Malik, namun meski banyak orang di ruangan ini, tak ada satu pun di antara kami yang be
“Terima kasih buat keluarga dan teman-teman yang udah hadir malam ini.” Ivan mengambil momen, menghentikan alunan music akustik yang sedari tadi mengisi pendengaran. Pria itu mengucapkan terima kasih yang tulus pada keluarga kami yang hadir malam ini, lalu pada teman-teman dekat yang diundang khusus olehnya. Aku menatapnya dari tempatku duduk tepat di depan panggung kecil di mana ia berdiri. “Malam ini kami merayakan tahun kelima pernikahan. Aku dan Cahaya Kirana, istriku, sudah lima tahun bersama-sama.” Dia menatapku dari depan sana, dan tatapan itu selalu membuatku merasa dicintai. Ivan masih menatapku sambil bicara. “Aku jatuh cinta pada wanita ini sejak kami masih memakai almamater yang sama, lalu Tuhan begitu baik mempertemukanku kembali dengannya belasan tahun kemudian hingga kami menikah. Dan sejak menikahinya, aku masih jatuh cinta padanya setiap hari, masih saja jatuh cinta padanya berulang kali. Malam ini saya meminta doa pada kalian semua agar kami tetap dikuatkan dalam
“Terima kasih buat keluarga dan teman-teman yang udah hadir malam ini.” Ivan mengambil momen, menghentikan alunan music akustik yang sedari tadi mengisi pendengaran. Pria itu mengucapkan terima kasih yang tulus pada keluarga kami yang hadir malam ini, lalu pada teman-teman dekat yang diundang khusus olehnya. Aku menatapnya dari tempatku duduk tepat di depan panggung kecil di mana ia berdiri. “Malam ini kami merayakan tahun kelima pernikahan. Aku dan Cahaya Kirana, istriku, sudah lima tahun bersama-sama.” Dia menatapku dari depan sana, dan tatapan itu selalu membuatku merasa dicintai. Ivan masih menatapku sambil bicara. “Aku jatuh cinta pada wanita ini sejak kami masih memakai almamater yang sama, lalu Tuhan begitu baik mempertemukanku kembali dengannya belasan tahun kemudian hingga kami menikah. Dan sejak menikahinya, aku masih jatuh cinta padanya setiap hari, masih saja jatuh cinta padanya berulang kali. Malam ini saya meminta doa pada kalian semua agar kami tetap dikuatkan dalam
Lima tahun bersamanya, lima tahun penuh bahagia meski tak sedikit pula ombak kecil yang menghantam. Lima tahun bisa menjadi diriku sendiri setelah tahun-tahun sebelumnya terjebak dalam hubungan yang membuatku nyaris kehilangan kepercayaan diri. Malam ini Twin House ditutup untuk umum demi merayakan lima tahun pernikahan ku dan Ivan.Dekorasi anniversary sudah menghiasi Twin House, deretan-deretan makanan pun sudah tertata rapi di sana. Aku sendiri tak terlibat sedikit pun mempersiapkan malam ini, aku hanya memperhatikan kesibukan Iin yang berlalu lalang mengatur venue, lalu Byan yang mondar mandir menyusun catering. Sepasang kekasih itu kini benar-benar menjadi orang kepercayaanku dan Ivan.Aku juga sama sekali tak terlibat mengatur siapa saja undangan malam ini, sebab beberapa hari terakhir aku benar-benar hanya fokus pada diriku sendiri. Setelah siang itu di mana aku berbincang dengan Nindya dan baru menyadari ada yang aneh pada diriku, aku benar-benar melakukan pemeriksaan demi mem
“Emang akunya yang kecepatan sih, Ay. Sebenarnya janjinya agak sorean, tapi karena tadi kebetulan Mas Adam juga pas mau keluar, ya udah aku ikut aja. Aku nggak apa kan nunggu di sini?”“Nggak apa, Nin.”“Oiya, Aya. Aku tadi bareng Mas Adam,” katanya lagi tepat di saat sosok yang dibicarakannya itu muncul dari arah parkiran.“Hai, Aya. Gimana kabarmu?” Kaku sekali, pria itu menyapa.“Baik, Mas. Mas Adam gimana kabarnya?” Akupun menjawab sama kakunya. Kini aku mengerti mengapa Ivan berusaha menghindarkan pertemuan seperti ini. Aku dan dia pernah punya cerita, dan meski selalu berusaha untuk saling biasa saja, namun tak bisa dipungkiri akan ada kekakuan seperti ini saat berinteraksi.“Aku juga baik. Oiya, Ivan ada?”Kembali kujelaskan bahwa suamiku baru saja keluar.“Kalo gitu aku titip Nindya ya, Ay. Dia ada urusan dikit sama Ivan untuk urusan pekerjaan.” Mas Adam menjelaskan dengan detail urusan pekerjaan antara Nindya dan Ivan padaku.Aku kembali mengangguk setuju.“Ya udah, kutinggal
“Hari ini ikut ke Twin House, ya.”Ini sudah sebulan sejak kami kembali dari Bali setelah seminggu menikmati kebersamaan di sana. Dan untuk memenuhi permintaannya waktu itu agar aku mengurangi waktuku di butik, aku juga sudah mulai beradaptasi. Tentu tak ada alasan bagiku untuk tak mengikuti inginnya, apalagi alasan yang mendasari keinginannya sangat masuk akal.“Adam akan lebih sering datang ke kantorku, dan tentu saja akan lebih sering bertemu kamu juga. Bagaimanapun juga, kalian pernah memiliki cerita, aku hanya ingin menjagamu lebih baik lagi.”“Aku juga bakalan banyak pekerjaan, Aya. Dan keberadaanmu di sekitarku hanya akan membuatku tak bisa berkonsentrasi. Yang ada bukannya kerja, tapi malah ngerjain kamu.”Itu dua alasan yang membuatku menerima keingingannya, karena sejujurnya memang seperti inilah kebersamaan yang sejak dulu kuinginkan. Bertukar pendapat dengan pasangan, saling mendengarkan isi hati, saling memahami apa yang pasangan inginkan. Pernikahanku dengan Ivan adalah
“Dari mana, Pi?” Rasanya tak dapat kutahan kekesalanku hari ini. Bagaimana tidak? Kami tiba di villa sejak beberapa jam yang lalu, dan beristirahat sebentar. Lalu saat aku terjaga, tak kutemui pria itu di sudut mana pun sementara ponselnya tergeletak begitu saja di atas meja.“Udah bangun, Sayang? Gimana istirahatnya udah cukup belum?”Dan kesalnya lagi, Ivan justru menanggapi santai dengan kecupan di keningku.“Dari mana aja? Ponsel ditinggal nggak bisa dihubungi, tadi kan cuma mau istirahat bentar abis itu kita jalan-jalan. Kenapa malah ditinggalin berjam-jam gini?” Aku benar-benar kesal kali ini. Yang ada dalam pikiranku tadi, setelah tiba di villa, kami hanya perlu beristirahat sebentar lalu keluar dan menikmati liburan ini.Villa yang disewa Ivan kurasa bukan villa sembarangan. Lokasinya tepat menghadap ke pantai Jimbaran yang terkenal dengan keindahan sunset-nya. Bukan hanya aku, Kia dan Mbak Ri pun terlihat begitu antusias ketika tiba di villa ini tadi. Pemandangan pantai yang
Dari sini aku bisa melihat seperti apa hubungan kekeluargaan mereka di masa lalu yang sering Kak Dian ceritakan. Mungkin seperti inilah hubungan akrab mereka dulu di masa lalu sebelum semua hancur karena sebuah kesalahan. Tak ada yang perlu disesali, karena jika menyesali masa lalu, maka mungkin kehadiran Wira juga akan menjadi penyesalan. Padahal bocah yang memiliki banyak keisitimewaan itulah yang menjadi pemersatu kebersamaan kami ini.Tangan Ivan pun tak lagi selalu tertaut padaku. Kurasa dia juga sudah mulai menyadari bahwa Tari sudah berubah, setidaknya berusaha sangat keras untuk berubah.Dan hingga kebersamaan itu berakhir, kami semua seperti sedang menemukan kebahagiaan baru. Aku, Ivan dan Kia serta pengasuhnya melanjutkan liburan kami ke Bali, meninggalkan Tari dan anak-anaknya di rumah Kak Dian.“Aku bangga punya kamu, Aya.” Dan genggaman tangan itu kembali tertaut saat kami dalam perjalanan melanjutkan trip liburan. “Kalo bukan karena kebesaran hatimu, nggak akan ada keber