Setelah kejadian di bandara, aku mulai memberikan perhatian-perhatian kecil pada Cahaya. Sejujurnya aku merasa tak nyaman, tapi aku lebih tak nyaman lagi ketika mengetahui jika Adam sama sekali tak menghubungi Cahaya setelah kejadian itu. Ada rasa amarah yang timbul dalam hatiku ketika menyadari betapa Adam telah menyia-nyiakan wanita yang kukagumi ini. Maka perhatian kecil seperti membelikan salep untuk kakinya yang terkilir, mengiriminya makanan dan mengirim pesan menanyakan kabarnya adalah tindakan yang kulakukan untuk sekedar menghibur Cahaya. Aku selalu megusahakan wanita itu tersenyum ketika berada di dekatku, aku sungguh tak suka melihat mendung yang selalu nampak di wajah cantiknya.Kurasa aku sudah mulai tak waras karena setelah tiga hari berada di Makassar waktu itu, aku meninggalkan urusan proyek perusahaaanku di sana dan mendelegasikannya pada orang kepercayaanku hanya karena ingin segera kembali dan bertemu dengan wajah yang kini setiap saat selalu mengganggu pikiranku it
Serasa ada ribuan jarum yang menusuk ulu hatiku saat membaca pesannya itu. Padahal aku sadar bahwa aku memang sudah terlalu jauh masuk ke dalam hidupnya. Maka untuk kali pertama aku menyatakan isi hatiku padanya, meski hanya lewat pesan.Aku menyukaimu.Dan hari ini adalah puncak dari segala tindakan bajinganku. Hari ini adalah hari dimana aku merasa sangat bersalah pada sahabatku.Aku mencium kening Cahaya. Di dalam pondok kecil di tengah perkebunan kopi. Di saat kami sedang sama-sama dalam keadaan basah kuyup karena kehujanan.Tak hanya ciuman di kening. Sebelumnya aku juga dengan lancang menarik kepala wanita yang baru saja menceritakan suka duka hidupnya itu padaku. Aku begitu tersentuh saat Cahaya bercerita bagaimana perjuangannya untuk bertahan selama ini, padahal dia selalu mendapatkan kekerasan verbal dari suaminya. Ada perasaan lega yang tersirat dari wajahnya ketika ia menceritakan semuanya. Mungkin karena dia sudah terlalu lama memendam sendiri rasa sakitnya. Itulah yang me
“Ay ....”Aku mengetuk pintu kamar Cahaya. Kini tinggal aku dan Aya yang masih berada di villa ini karena semua peserta reuni sudah pulang setelah terakhir mobil Supri meninggalkan parkiran tadi. Selain aku dan Aya, hanya ada Pak Mul dan Bik Jum, pasangan suami istri yang menjaga villa ini yang terlihat sedang merapikan dan membersihkan villa. Tadi aku sudah memberi uang tip pada mereka berdua untuk mengapresiasi pekerjaan mereka yang bertambah karena kegiatan reuni ini.“Sudah siap?” tanyaku setelah pintu kamar Cahaya terbuka. “Kita pulang sekarang, ya, sini kopernya biar aku yang bawain,” lanjutku lagi.Cahaya menyodorkan gagang kopernya padaku, tapi kemudian kembali menariknya. Aku mengeryitkan keningku menatapnya.“Bibir kamu kenapa berdarah, Van.”“Oh ini. Nggak apa-apa, Ay. Cuma kecelakaan kecil. Sini kopernya.” Aku kembali hendak meraih kopernya tapi Cahaya kembali memundurkannya.“Pipi kamu juga lebam. Habis berantem?”“Nggak, Ay. Tadi kejedot pintu.”“Sebaiknya diobatin dulu
“Aya ...”“Mas Adam sudah salah menitipkanku padamu. Mas Adam sudah salah karena percaya padamu. Antar aku pulang sekarang, dan lupakan semua yang tadi terjadi, Van. Anggap tak pernah terjadi apa-apa.”“Bagaimana mungkin aku melupakan ciuman pertamaku pada orang yang kusukai.”Dia memejamkan mata.“Seharusnya itu tak pernah terjadi. Kita berdua sudah menghianati Mas Adam.”“Aku tau itu salah, Ay. Aku tau itu dosa. Tapi aku tak bisa berhenti, aku sudah sampai sejauh ini. Jika nanti aku tak bisa lagi menahan diriku, bertahanlah sekuat yang kamu bisa agar dosa yang lain tak lagi ada. Aku tau mencintaimu adalah dosa, Aya. Dosa terindah.”***Sepanjang perjalanan pulang dari puncak, Cahaya lebih banyak diam. Dia hanya sesekali menjawab singkat saat aku bertanya padanya. Aku tau, wanita itu sedang berperang melawan hatinya. Aku tau, wanita itu sedang dikuasai oleh rasa bersalahnya atas apa yang tadi terjadi di perkebunan. Aku tau, wanita itu ... juga menyukaiku. Aku bisa melihat itu dari ta
Beberapa kali aku harus menghentikan mobilku di tengah jalan karena harus menjawab beberapa panggilan telepon penting. Sebenarnya banyak pekerjaan penting yang harus kutinggalkan demi kegiatan reuni tim basket ini. Padahal kegiatan reuni ini berawal dari ideku sendiri.Entah dapat bisikan dari mana waktu itu saat mengikuti taksi yang membawa Aya, setelah malamnya kami menginap di House of Coffee, aku merasa masih harus mengikutinya sampai ke rumahnya. Pada saat itu aku merasa tak tega membayangkan Aya yang harus kembali berhadapan dengan Adam. Hingga akhirnya aku mencari cara untuk bisa datang ke rumah Adam pagi itu juga. Maka, hal yang terlintas dibenakku waktu itu adalah usul untuk mengadakan reuni tim bakset, dan aku langsung mengirim pesan pada Adam ketika ide itu muncul.Aku mengusulkan ide reuni tim basket ini hanya untuk bertemu seseorang. Cahaya Kirana.Akhirnya beginilah hasilnya, aku harus meninggalkan beberapa pekerjaan pentingku demi terlaksananya kegiatan reuni yang beras
Aya terdiam sesaat, tapi kemudian menyetujui. Tak ada pembicaraan lagi setelah itu karena ternyata Aya tertidur di kursinya selama sisa perjalanan hingga tiba di rumahku dan aku memarkirkan mobil di garasi. Aya masih terlihat tertidur lelap, membuatku tak tega membangunkannya. Aku justru memilih diam sambil memperhatikan wajahnya yang terlihat damai dan tenang.“Cantik,” gumamku.Sementara mataku tak bisa mengalihkan pandangan dari bibir mungilnya. Sungguh sangat sulit mengendalikan otak ini agar mengalihkan pandangan dari sana. Ah, Cahaya. Kamu masih semenarik dulu, semenggemaskan dulu, mampu membuat otakku tak bisa berpikir jernih, sama seperti saat aku dengan beraninya mengirimu cokelat dan setangkai bunga waktu itu. Aku tak memgerti apa yang ada dalam pikiran Adam sehingga dia menyia-nyiakan mahluk Tuhan yang sangat menarik ini. Padahal, seharusnya pria itu adalah orang yang paling beruntung bisa memiliki wanita ini. Seandainya saja aku bisa menggantikan tempatmu, Adam Haidar. Tak
“Kapan-kapan main ke sini lagi, ya, Aya. Kakak yakin kamu istimewa, karena kamu adalah wanita pertama yang diajak Ivan ke rumahnya.” Itu yang diucapkan Kak Dian sebelum Cahaya masuk ke mobilku.Cahaya membalikan tubuhnya dan kembali berhadapan dengan Kak Dian.“Maaf, Kak. Sepertinya Kak Dian sudah salah sangka. Saya ....”“Iya. Aya pasti akan ke sini lagi, dan dia memang wanita istimewa.” Tak tau kenapa aku memilih memotong kalimat Aya. Dengan sangat bersemangat.“Ck! Tadi kenapa bohong sih? Nggak enak sama kakak kamu,” protesnya setelah mobilku keluar dari pagar.“Apanya yang bohong, Aya.”“Yang tadi itu, takutnya Kak Dian salah paham.”“Aku nggak bohong. Bagiku kamu memang wanita istimewa.”“Van, please! Jangan menambah masalah dan jangan memanfaatkan keadaanku.”“Aku hanya berkata jujur, Ay.”🍁🍁🍁Aya menyuruhku menghentikan mobil di depan pagar setelah tiba di rumahnya. Ia tetap menolak saat aku menawarkan untuk membawakan kopernya hingga ke dalam.“Terima kasih atas tumpanganny
“Van ....”“Hm.”“Aku juga menikmatinya.”Hening.“Dan aku juga akan merindukan kebersamaan kita.”Aku menangkap suara isakan lirih dari speaker ponselku. Aku menelan ludahku, menatap sendu ke arah pintu rumahnya.“Pulanglah. Aku tutup telponnya.”“Terima kasih sudah mau mengakui. Baiklah, aku akan pulang. Good night, My Sunshine.”Suaraku pelan, sangat pelan. Bahkan aku merasa hampir saja kehilangan kata-kata, karena terhimpit oleh rasa bahagia saat mendengarnya mengakui bahwa dia juga masih merindukanku.Aku juga menikmatinya.Dan aku juga akan merindukan kebersamaan kita.Cahaya, kamu sudah benar-benar sudah membawa pergi hatiku.🍁🍁🍁Setibaku di rumah, kuabaikan berbagai pertanyaan dan tatapan menuntut penjelasan dari Kak Dian. Aku memilih langsung masuk ke dalam kamarku. Masih kudengar suara Bang Malik sesaat sebelum aku menutup pintu.“Nanti aja nanya-nanyanya, Sayang. Sepertinya hubungan mereka sedikit rumit. Lihat saja bagaimana ekspresi Ivan. Biar dia istirahat dulu, masih
“Kalian ini ya ... sama aja dua-duanya! Bucin gak ada obat emang!” Tak kupedulikan suara Kak Dian. Aku segera memeluk Aya sebisaku, membuatnya senyaman mungkin.“Untung bayimu nggak kembar, Ay. Kamu bayangin deh kalo dapat bayi kembar, punya tiga bayi kamu di rumah. Sanggup?” Kak Dian kembali bicara. “Kurasa yang paling ngerepotin sih bayi raksasamu yang ini, Ay.” Telunjuk Kak Dian mengarah padaku.“Jangan bikin Aya ketawa, Kak! Kakak nggak tau kan gimana rasanya ketawa pasca operasi lahiran?” Aku mengulangi kata-kata Kak Dian.“Oiya, sanggup puasa nggak lu, Bro! Empat puluh hari loh.” Kak Dian menekankan kata empat puluh. “Nggak bisa bikin anak orang keramas tiap hari lagi lu.” Suara kekehan Kak Dian terdengar mengejek.“Nak Dian dan Ivan di sana. Biar Ibu yang di sini.” Sebuah perintah lain membuatku dan Kak Dian tak bisa membantah lagi. Ibu mengambil alih posisiku, mengusap lembut kening putri sulungnya dan memberi bisikan-bisikan yang kurasa berisi banyak makna, sebab setelahnya k
PoV IvanAku seperti berada di sebuah ruangan sempit, terkunci rapat dan membuatku tak bisa bernapas. Kilasan-kilasan kebersamaan selama lima tahun lebih pernikahanku dengan Aya berputar kembali di kepala seperti adegan film yang membuat dadaku semakin sesak terhimpit.Tahun-tahun bersama Cahaya adalah tahun-tahun terbaik dalam kehidupanku. Tentu saja jika ini adalah film, seharusnya ini adalah film romantis, bukan film sedih yang membuat dadaku sesak seperti ini. Akan tetapi, sesak ini semakin tak dapat kutahan saja. Tak kupeduikan lagi bagaimana rupaku sekarang. Aku terisak ketika sudah tak dapat menahan sesak, lalu kembali menghirup udara ketika merasa sudah hampir kehilangan napasku.Ruangan ini tentu saja bukanlah ruangan yang sempit mengingat aku sedang berada di ruang VIP salah satu rumah sakit ternama. Di ruangan ini aku juga tak sendirian, ada ibu, Candra dan kembarannya, Kak Dian dan Bang Malik, namun meski banyak orang di ruangan ini, tak ada satu pun di antara kami yang be
“Terima kasih buat keluarga dan teman-teman yang udah hadir malam ini.” Ivan mengambil momen, menghentikan alunan music akustik yang sedari tadi mengisi pendengaran. Pria itu mengucapkan terima kasih yang tulus pada keluarga kami yang hadir malam ini, lalu pada teman-teman dekat yang diundang khusus olehnya. Aku menatapnya dari tempatku duduk tepat di depan panggung kecil di mana ia berdiri. “Malam ini kami merayakan tahun kelima pernikahan. Aku dan Cahaya Kirana, istriku, sudah lima tahun bersama-sama.” Dia menatapku dari depan sana, dan tatapan itu selalu membuatku merasa dicintai. Ivan masih menatapku sambil bicara. “Aku jatuh cinta pada wanita ini sejak kami masih memakai almamater yang sama, lalu Tuhan begitu baik mempertemukanku kembali dengannya belasan tahun kemudian hingga kami menikah. Dan sejak menikahinya, aku masih jatuh cinta padanya setiap hari, masih saja jatuh cinta padanya berulang kali. Malam ini saya meminta doa pada kalian semua agar kami tetap dikuatkan dalam
“Terima kasih buat keluarga dan teman-teman yang udah hadir malam ini.” Ivan mengambil momen, menghentikan alunan music akustik yang sedari tadi mengisi pendengaran. Pria itu mengucapkan terima kasih yang tulus pada keluarga kami yang hadir malam ini, lalu pada teman-teman dekat yang diundang khusus olehnya. Aku menatapnya dari tempatku duduk tepat di depan panggung kecil di mana ia berdiri. “Malam ini kami merayakan tahun kelima pernikahan. Aku dan Cahaya Kirana, istriku, sudah lima tahun bersama-sama.” Dia menatapku dari depan sana, dan tatapan itu selalu membuatku merasa dicintai. Ivan masih menatapku sambil bicara. “Aku jatuh cinta pada wanita ini sejak kami masih memakai almamater yang sama, lalu Tuhan begitu baik mempertemukanku kembali dengannya belasan tahun kemudian hingga kami menikah. Dan sejak menikahinya, aku masih jatuh cinta padanya setiap hari, masih saja jatuh cinta padanya berulang kali. Malam ini saya meminta doa pada kalian semua agar kami tetap dikuatkan dalam
Lima tahun bersamanya, lima tahun penuh bahagia meski tak sedikit pula ombak kecil yang menghantam. Lima tahun bisa menjadi diriku sendiri setelah tahun-tahun sebelumnya terjebak dalam hubungan yang membuatku nyaris kehilangan kepercayaan diri. Malam ini Twin House ditutup untuk umum demi merayakan lima tahun pernikahan ku dan Ivan.Dekorasi anniversary sudah menghiasi Twin House, deretan-deretan makanan pun sudah tertata rapi di sana. Aku sendiri tak terlibat sedikit pun mempersiapkan malam ini, aku hanya memperhatikan kesibukan Iin yang berlalu lalang mengatur venue, lalu Byan yang mondar mandir menyusun catering. Sepasang kekasih itu kini benar-benar menjadi orang kepercayaanku dan Ivan.Aku juga sama sekali tak terlibat mengatur siapa saja undangan malam ini, sebab beberapa hari terakhir aku benar-benar hanya fokus pada diriku sendiri. Setelah siang itu di mana aku berbincang dengan Nindya dan baru menyadari ada yang aneh pada diriku, aku benar-benar melakukan pemeriksaan demi mem
“Emang akunya yang kecepatan sih, Ay. Sebenarnya janjinya agak sorean, tapi karena tadi kebetulan Mas Adam juga pas mau keluar, ya udah aku ikut aja. Aku nggak apa kan nunggu di sini?”“Nggak apa, Nin.”“Oiya, Aya. Aku tadi bareng Mas Adam,” katanya lagi tepat di saat sosok yang dibicarakannya itu muncul dari arah parkiran.“Hai, Aya. Gimana kabarmu?” Kaku sekali, pria itu menyapa.“Baik, Mas. Mas Adam gimana kabarnya?” Akupun menjawab sama kakunya. Kini aku mengerti mengapa Ivan berusaha menghindarkan pertemuan seperti ini. Aku dan dia pernah punya cerita, dan meski selalu berusaha untuk saling biasa saja, namun tak bisa dipungkiri akan ada kekakuan seperti ini saat berinteraksi.“Aku juga baik. Oiya, Ivan ada?”Kembali kujelaskan bahwa suamiku baru saja keluar.“Kalo gitu aku titip Nindya ya, Ay. Dia ada urusan dikit sama Ivan untuk urusan pekerjaan.” Mas Adam menjelaskan dengan detail urusan pekerjaan antara Nindya dan Ivan padaku.Aku kembali mengangguk setuju.“Ya udah, kutinggal
“Hari ini ikut ke Twin House, ya.”Ini sudah sebulan sejak kami kembali dari Bali setelah seminggu menikmati kebersamaan di sana. Dan untuk memenuhi permintaannya waktu itu agar aku mengurangi waktuku di butik, aku juga sudah mulai beradaptasi. Tentu tak ada alasan bagiku untuk tak mengikuti inginnya, apalagi alasan yang mendasari keinginannya sangat masuk akal.“Adam akan lebih sering datang ke kantorku, dan tentu saja akan lebih sering bertemu kamu juga. Bagaimanapun juga, kalian pernah memiliki cerita, aku hanya ingin menjagamu lebih baik lagi.”“Aku juga bakalan banyak pekerjaan, Aya. Dan keberadaanmu di sekitarku hanya akan membuatku tak bisa berkonsentrasi. Yang ada bukannya kerja, tapi malah ngerjain kamu.”Itu dua alasan yang membuatku menerima keingingannya, karena sejujurnya memang seperti inilah kebersamaan yang sejak dulu kuinginkan. Bertukar pendapat dengan pasangan, saling mendengarkan isi hati, saling memahami apa yang pasangan inginkan. Pernikahanku dengan Ivan adalah
“Dari mana, Pi?” Rasanya tak dapat kutahan kekesalanku hari ini. Bagaimana tidak? Kami tiba di villa sejak beberapa jam yang lalu, dan beristirahat sebentar. Lalu saat aku terjaga, tak kutemui pria itu di sudut mana pun sementara ponselnya tergeletak begitu saja di atas meja.“Udah bangun, Sayang? Gimana istirahatnya udah cukup belum?”Dan kesalnya lagi, Ivan justru menanggapi santai dengan kecupan di keningku.“Dari mana aja? Ponsel ditinggal nggak bisa dihubungi, tadi kan cuma mau istirahat bentar abis itu kita jalan-jalan. Kenapa malah ditinggalin berjam-jam gini?” Aku benar-benar kesal kali ini. Yang ada dalam pikiranku tadi, setelah tiba di villa, kami hanya perlu beristirahat sebentar lalu keluar dan menikmati liburan ini.Villa yang disewa Ivan kurasa bukan villa sembarangan. Lokasinya tepat menghadap ke pantai Jimbaran yang terkenal dengan keindahan sunset-nya. Bukan hanya aku, Kia dan Mbak Ri pun terlihat begitu antusias ketika tiba di villa ini tadi. Pemandangan pantai yang
Dari sini aku bisa melihat seperti apa hubungan kekeluargaan mereka di masa lalu yang sering Kak Dian ceritakan. Mungkin seperti inilah hubungan akrab mereka dulu di masa lalu sebelum semua hancur karena sebuah kesalahan. Tak ada yang perlu disesali, karena jika menyesali masa lalu, maka mungkin kehadiran Wira juga akan menjadi penyesalan. Padahal bocah yang memiliki banyak keisitimewaan itulah yang menjadi pemersatu kebersamaan kami ini.Tangan Ivan pun tak lagi selalu tertaut padaku. Kurasa dia juga sudah mulai menyadari bahwa Tari sudah berubah, setidaknya berusaha sangat keras untuk berubah.Dan hingga kebersamaan itu berakhir, kami semua seperti sedang menemukan kebahagiaan baru. Aku, Ivan dan Kia serta pengasuhnya melanjutkan liburan kami ke Bali, meninggalkan Tari dan anak-anaknya di rumah Kak Dian.“Aku bangga punya kamu, Aya.” Dan genggaman tangan itu kembali tertaut saat kami dalam perjalanan melanjutkan trip liburan. “Kalo bukan karena kebesaran hatimu, nggak akan ada keber