“Aku sudah pernah bilang, jangan pedulikan aku jika suatu saat kamu kembali melihatku dalam keadaan seperti ini.”“Bagiamana aku tak peduli jika kamu menangis di hadapanku, Ay. Aku ... nggak suka lihat kamu seperti ini.”Hening menguasai, hanya sesekali kudengar pria yang berdiri bersandar di meja kerjanya sambil menyilangkan kaki itu menghela napasnya panjang. Ingin sekali kutanyakan padanya kenapa ia harus peduli padaku, tapi leherku tercekat. Tak sanggup bertanya.Atau mungkin tak sanggup mendengar jawabannya.“Aku nggak apa-apa, Van. Aku mengenal wanita itu. Mas Adam dan Nindya hanyalah rekan kerja.” Aku harus meluruskan apa yang ada dalam pikirannya.“Aku tak bertanya siapa dia, dan aku juga tak peduli,” katanya sambil kembali menghela napas panjang.“Aku hanya peduli kamu,” lanjutnya lagi.Sekali lagi aku tersentuh. Selama ini, tak pernah ada yang berkata seperti itu padaku. Karena semua memang terlihat baik-baik saja.Kembali hening. Hanya terdengar helaan napas kami masing-mas
Aku merasa ada yang berbeda dengan hubungan ini. Ya, aku wanita dewasa. Meski berusaha untuk mengingkari, tapi aku tetap tak bisa memungkiri bahwa ada yang tak biasa dengan hubungan ‘pertemanan’ kami. Kepeduliannya padaku, semua perhatian-perhatian kecilnya, serta hatiku yang tanpa sadar selalu mencari keberadaannya cukup menjelaskan bahwa ini bukanlah hubungan pertemanan biasa.Aku tau ini salah, tapi terus terang saja perhatian dan rasa pedulinya padaku membuatku merasa sangat nyaman berada di dekatnya. Perasaan nyaman yang hampir tak pernah kudapatkan saat berada di samping Mas Adam, suamiku sendiri. Buru-buru kugelengkan kepalaku ketika menyadari bahwa aku tengah membandingkan keduanya.Hentikan, Aya! Jangan terlalu terbuai olehnya. Dia hanya kasihan padamu. Dia pasti akan melakukan hal yang sama jika Imelda atau temannya yang lain yang mengalami hal seperti ini. Ini hanya kebetulan. Jangan terlalu terbawa perasaan. Aku berusaha menetralkan hatiku, tapi beberapa kalimat yang diuca
“Kenapa tadi nggak bangunin aku?”“Gimana mau bangunin kamu tidur nyenyak gitu sampai ileran. Nggak tega lah aku.”“Ivan!!! Please, aku serius. Mas Adam pasti nyariin aku.” Mataku mulai berkabut.“Jangan nangis lagi dong, Ay. Sudah senang lihat kamu senyum tadi, masa harus lihat air matamu lagi. Ini tadi Adam WA aku nanyai nomor Imelda, katanya tadi kamu pamit dengan Imelda. Aku nggak ngasih nomor Imelda tapi sudah kuyakinkan kalau kamu pasti lagi nginap di rumah Imel. Adam nggak ada nelepon kamu?”Ah, iya. Tadi kurasa aku belum membuka ponselku karena terkejut saat terbangun di tempat yang asing tadi. Kucari kembali ponselku dan menemukan pesan di sana. Tak ada panggilan, hanya dua pesan yang belum kubaca.[Kenapa belum pulang?][Nginap di mana?]Hanya dua pesan itu.Aku mendongak ketika Ivan menyodorkan ponselnya padaku. Tak langsung meraih ponselnya, aku justru menatapnya dengan tatapan bertanya.“Kamu baca sendiri isi pesan Adam. Biar nggak minta antar tengah malam gini. Aku taku
Pagi ini aku memilih memesan taksi online untuk pulang ke rumah, setelah semalaman ‘terjebak’ di House of Coffee bersama pemiliknya. Hanya berdua.“Kalau Adam marah, usahakan calm down. Tak akan ada habisnya jika kamu juga membalasnya dengan kemarahan,” ucapnya saat aku tengah menunggu taksi.Kuhela napasku kasar. Bukannya seharusnya aku yang marah? Aku membayangkan Mas Adam yang memilih mengajak Nindya padahal ia sendiri melarangku dengan kerasa datang memenuhi undangan Bella.“Hati-hati,” katanya saat taksi yang kupesan datang.“Aku ikutin taksinya dari belakang.”Aku menoleh. “Kenapa ngikutin, Van? Nggak perlu.”“Karena aku peduli.”Lalu dia meninggalkanku, berjalan menuju mobilnya, sementara aku masih menatapnya takjub.Karena aku peduli.Aku menoleh berkali-kali ke arah belakang saat taksi memasuki perumahanku. Tak terlihat lagi mobil Ivan di belakang pdahal sepanjang jalan tadi mobil sport merah itu terus mengiringi taksi yang kutumpangi di belakang. Mungkin dia sudah pulang ka
Masih dengan tangan gemetar aku menyuguhkan minuman pada kedua pria yang tampak sedang berdiskusi serius ini. Aku sama sekali tak mengerti apa yang sedang mereka bahas karena pikiranku tak bisa fokus. Kemunculan Ivan pagi ini membuat otakku tak bisa berpikir secara normal. Sialnya lagi, saat aku mendongakkan wajahku setelah meletakkan minuman dan beberapa cemilan di meja, mataku justru bersitatap dengan matanya. Sementara Mas Adam terlihat lagi serius mencoret-coret sesuatu di sebuah kertas. Ivan tersenyum. Oh God! Entah mengapa aku dengan lancang menyimpulkan sendiri jika pria ini datang bukan untuk mengobrol atau pun ada urusan penting dengan suamiku. Tapi otakku menggiring opini sendiri. Dia datang untuk menemuiku.“Terima kasih, Aya,” ucapnya lembut, masih dengan senyuman khas nya.“Silakan,” ucapku gugup, mempersilakannya minum.Aku buru-buru hendak melangkah kembali ke dapur saat pria itu justru memanggilku.“Aya.”Aku menoleh, kali ini kedua pria itu sedang menatap padaku. Jan
[Sengaja bersembunyi?]Pesan dari Ivan beberapa menit yang lalu. Aku memang langsung mandi setelah masuk ke dalam kamar tadi, sehingga baru membaca pesannya setelah selesai mandi. Tak perlu membalas pesannya, karena kurasa ini sudah terlalu jauh. Bahkan sudah cenderung mengarah pada hubungan yang semakin ‘tak biasa’.[Aku bisa pulang sekarang juga, Ay. Tapi juga bisa berada di rumahmu seharian. Tergantung kamu maunya yang mana.][Aku akan tinggal lebih lama jika kamu tak membalas pesanku.]Aku menelan ludah dengan susah payah.Jangankan membalas pesan, aku bahkan ingin menggantikan posisi Mas Adam menemanimu mengobrol. Suara-suara dari dalam hatiku mengganggu akal sehatku. Kuketuk-ketuk keningku sendiri, berusaha menghilangkan pikiran-pikiran yang menganggu.[Ngapain ke sini? Aku tau reuni tim bakset hanya alasanmu saja.] Balasku.[Ternyata kamu pintar, Ay. Bisa menebaknya dengan tepat.]Ternyata kamu pintar.Sangat berlawanan dengan kalimat yang selalu kudengar dari suamiku.Kamu itu
“Ah, Tante bisa aja,” jawab Ivan.“Mama nggak usah ngenalin Ivan ke Aya, Ma. Mereka udah kenal, kok. Dulu pernah satu kampus dan satu jurusan, sebelum Aya milih jurusan lain.” Ada nada sinis dalam ucapan Mas Adam, dan aku sudah paham maksudnya.Ivan berpamitan, pada Mas Adam, pada mama dan terakhir padaku. Dan aku bisa membaca komunikasi non verbal dari tatapannya yang seolah berkata, aku pulang, kamu baik-baik, ya.Kupandangi punggung pria tinggi atletis itu, yang kembali menoleh saat mama tiba-tiba bertanya padaku.“Kata Adam tadi malam kamu nginap di rumah teman, Nak. Teman yang mana?”Aku terdiam sesaat. Antara memikirkan jawaban atas pertanyaan mama dan menghindar dari lirikan pria yang kembali menoleh itu.“Ehm, i-iya, Ma. Semalam Aya nginap di rumah teman.”Teman, dia memang hanya teman.🍁🍁🍁“Kenapa kemarin WA ke Nindya, bukan langsung nanya ke aku?”Aku dan Mas Adam tengah duduk di ruang TV. Mama sendiri belum pulang dan sedang beristirahat di kamar tamu.“Nindya laporan sa
“Terus kenapa harus ngajak orang lain bukan dengan Aya?”Aku menajamkan pendengaranku ingin mendengar jawabannya. Beruntung pertanyaan ini ditanyakan oleh mama, bukan olehku.“Bella nggak akan terpengaruh kalau Adam ajak Aya, Ma.”“Maksud kamu?”“Aya bukan tandingan Bella, Ma. Nindya lebih cocok untuk membuatnya tau kalau Adam juga sudah membuangnya dari hidup Adam.”“Ya ampun, Adam! Kamu ajak Nindya hanya untuk manas-manasin Bella? Kalau niatmu seperti itu bagaimana mungkin kamu bisa bilang kalau sudah membuang Bella dari hatimu? Kenapa pikiranmu sebodoh ini, Dam?”Pria itu berdiri, memandang mama dengan ekspresi kesal, lalu menatapku sesaat.“Sudahlah! Mama nggak pernah tau rasa sakit hati Adam pada Bella. Dia ninggalin aku di saat aku hampir saja mewujudkan semua mimpi-mimpiku. Sekarang dia kembali datang disaat aku sudah hampir mati rasa karenanya. Dan mama tau apa yang dikatakannya? Bella bilang dia menyesal dan nggak bisa melupakanku, lalu menawarkan menyambung kembali hubungan
“Kalian ini ya ... sama aja dua-duanya! Bucin gak ada obat emang!” Tak kupedulikan suara Kak Dian. Aku segera memeluk Aya sebisaku, membuatnya senyaman mungkin.“Untung bayimu nggak kembar, Ay. Kamu bayangin deh kalo dapat bayi kembar, punya tiga bayi kamu di rumah. Sanggup?” Kak Dian kembali bicara. “Kurasa yang paling ngerepotin sih bayi raksasamu yang ini, Ay.” Telunjuk Kak Dian mengarah padaku.“Jangan bikin Aya ketawa, Kak! Kakak nggak tau kan gimana rasanya ketawa pasca operasi lahiran?” Aku mengulangi kata-kata Kak Dian.“Oiya, sanggup puasa nggak lu, Bro! Empat puluh hari loh.” Kak Dian menekankan kata empat puluh. “Nggak bisa bikin anak orang keramas tiap hari lagi lu.” Suara kekehan Kak Dian terdengar mengejek.“Nak Dian dan Ivan di sana. Biar Ibu yang di sini.” Sebuah perintah lain membuatku dan Kak Dian tak bisa membantah lagi. Ibu mengambil alih posisiku, mengusap lembut kening putri sulungnya dan memberi bisikan-bisikan yang kurasa berisi banyak makna, sebab setelahnya k
PoV IvanAku seperti berada di sebuah ruangan sempit, terkunci rapat dan membuatku tak bisa bernapas. Kilasan-kilasan kebersamaan selama lima tahun lebih pernikahanku dengan Aya berputar kembali di kepala seperti adegan film yang membuat dadaku semakin sesak terhimpit.Tahun-tahun bersama Cahaya adalah tahun-tahun terbaik dalam kehidupanku. Tentu saja jika ini adalah film, seharusnya ini adalah film romantis, bukan film sedih yang membuat dadaku sesak seperti ini. Akan tetapi, sesak ini semakin tak dapat kutahan saja. Tak kupeduikan lagi bagaimana rupaku sekarang. Aku terisak ketika sudah tak dapat menahan sesak, lalu kembali menghirup udara ketika merasa sudah hampir kehilangan napasku.Ruangan ini tentu saja bukanlah ruangan yang sempit mengingat aku sedang berada di ruang VIP salah satu rumah sakit ternama. Di ruangan ini aku juga tak sendirian, ada ibu, Candra dan kembarannya, Kak Dian dan Bang Malik, namun meski banyak orang di ruangan ini, tak ada satu pun di antara kami yang be
“Terima kasih buat keluarga dan teman-teman yang udah hadir malam ini.” Ivan mengambil momen, menghentikan alunan music akustik yang sedari tadi mengisi pendengaran. Pria itu mengucapkan terima kasih yang tulus pada keluarga kami yang hadir malam ini, lalu pada teman-teman dekat yang diundang khusus olehnya. Aku menatapnya dari tempatku duduk tepat di depan panggung kecil di mana ia berdiri. “Malam ini kami merayakan tahun kelima pernikahan. Aku dan Cahaya Kirana, istriku, sudah lima tahun bersama-sama.” Dia menatapku dari depan sana, dan tatapan itu selalu membuatku merasa dicintai. Ivan masih menatapku sambil bicara. “Aku jatuh cinta pada wanita ini sejak kami masih memakai almamater yang sama, lalu Tuhan begitu baik mempertemukanku kembali dengannya belasan tahun kemudian hingga kami menikah. Dan sejak menikahinya, aku masih jatuh cinta padanya setiap hari, masih saja jatuh cinta padanya berulang kali. Malam ini saya meminta doa pada kalian semua agar kami tetap dikuatkan dalam
“Terima kasih buat keluarga dan teman-teman yang udah hadir malam ini.” Ivan mengambil momen, menghentikan alunan music akustik yang sedari tadi mengisi pendengaran. Pria itu mengucapkan terima kasih yang tulus pada keluarga kami yang hadir malam ini, lalu pada teman-teman dekat yang diundang khusus olehnya. Aku menatapnya dari tempatku duduk tepat di depan panggung kecil di mana ia berdiri. “Malam ini kami merayakan tahun kelima pernikahan. Aku dan Cahaya Kirana, istriku, sudah lima tahun bersama-sama.” Dia menatapku dari depan sana, dan tatapan itu selalu membuatku merasa dicintai. Ivan masih menatapku sambil bicara. “Aku jatuh cinta pada wanita ini sejak kami masih memakai almamater yang sama, lalu Tuhan begitu baik mempertemukanku kembali dengannya belasan tahun kemudian hingga kami menikah. Dan sejak menikahinya, aku masih jatuh cinta padanya setiap hari, masih saja jatuh cinta padanya berulang kali. Malam ini saya meminta doa pada kalian semua agar kami tetap dikuatkan dalam
Lima tahun bersamanya, lima tahun penuh bahagia meski tak sedikit pula ombak kecil yang menghantam. Lima tahun bisa menjadi diriku sendiri setelah tahun-tahun sebelumnya terjebak dalam hubungan yang membuatku nyaris kehilangan kepercayaan diri. Malam ini Twin House ditutup untuk umum demi merayakan lima tahun pernikahan ku dan Ivan.Dekorasi anniversary sudah menghiasi Twin House, deretan-deretan makanan pun sudah tertata rapi di sana. Aku sendiri tak terlibat sedikit pun mempersiapkan malam ini, aku hanya memperhatikan kesibukan Iin yang berlalu lalang mengatur venue, lalu Byan yang mondar mandir menyusun catering. Sepasang kekasih itu kini benar-benar menjadi orang kepercayaanku dan Ivan.Aku juga sama sekali tak terlibat mengatur siapa saja undangan malam ini, sebab beberapa hari terakhir aku benar-benar hanya fokus pada diriku sendiri. Setelah siang itu di mana aku berbincang dengan Nindya dan baru menyadari ada yang aneh pada diriku, aku benar-benar melakukan pemeriksaan demi mem
“Emang akunya yang kecepatan sih, Ay. Sebenarnya janjinya agak sorean, tapi karena tadi kebetulan Mas Adam juga pas mau keluar, ya udah aku ikut aja. Aku nggak apa kan nunggu di sini?”“Nggak apa, Nin.”“Oiya, Aya. Aku tadi bareng Mas Adam,” katanya lagi tepat di saat sosok yang dibicarakannya itu muncul dari arah parkiran.“Hai, Aya. Gimana kabarmu?” Kaku sekali, pria itu menyapa.“Baik, Mas. Mas Adam gimana kabarnya?” Akupun menjawab sama kakunya. Kini aku mengerti mengapa Ivan berusaha menghindarkan pertemuan seperti ini. Aku dan dia pernah punya cerita, dan meski selalu berusaha untuk saling biasa saja, namun tak bisa dipungkiri akan ada kekakuan seperti ini saat berinteraksi.“Aku juga baik. Oiya, Ivan ada?”Kembali kujelaskan bahwa suamiku baru saja keluar.“Kalo gitu aku titip Nindya ya, Ay. Dia ada urusan dikit sama Ivan untuk urusan pekerjaan.” Mas Adam menjelaskan dengan detail urusan pekerjaan antara Nindya dan Ivan padaku.Aku kembali mengangguk setuju.“Ya udah, kutinggal
“Hari ini ikut ke Twin House, ya.”Ini sudah sebulan sejak kami kembali dari Bali setelah seminggu menikmati kebersamaan di sana. Dan untuk memenuhi permintaannya waktu itu agar aku mengurangi waktuku di butik, aku juga sudah mulai beradaptasi. Tentu tak ada alasan bagiku untuk tak mengikuti inginnya, apalagi alasan yang mendasari keinginannya sangat masuk akal.“Adam akan lebih sering datang ke kantorku, dan tentu saja akan lebih sering bertemu kamu juga. Bagaimanapun juga, kalian pernah memiliki cerita, aku hanya ingin menjagamu lebih baik lagi.”“Aku juga bakalan banyak pekerjaan, Aya. Dan keberadaanmu di sekitarku hanya akan membuatku tak bisa berkonsentrasi. Yang ada bukannya kerja, tapi malah ngerjain kamu.”Itu dua alasan yang membuatku menerima keingingannya, karena sejujurnya memang seperti inilah kebersamaan yang sejak dulu kuinginkan. Bertukar pendapat dengan pasangan, saling mendengarkan isi hati, saling memahami apa yang pasangan inginkan. Pernikahanku dengan Ivan adalah
“Dari mana, Pi?” Rasanya tak dapat kutahan kekesalanku hari ini. Bagaimana tidak? Kami tiba di villa sejak beberapa jam yang lalu, dan beristirahat sebentar. Lalu saat aku terjaga, tak kutemui pria itu di sudut mana pun sementara ponselnya tergeletak begitu saja di atas meja.“Udah bangun, Sayang? Gimana istirahatnya udah cukup belum?”Dan kesalnya lagi, Ivan justru menanggapi santai dengan kecupan di keningku.“Dari mana aja? Ponsel ditinggal nggak bisa dihubungi, tadi kan cuma mau istirahat bentar abis itu kita jalan-jalan. Kenapa malah ditinggalin berjam-jam gini?” Aku benar-benar kesal kali ini. Yang ada dalam pikiranku tadi, setelah tiba di villa, kami hanya perlu beristirahat sebentar lalu keluar dan menikmati liburan ini.Villa yang disewa Ivan kurasa bukan villa sembarangan. Lokasinya tepat menghadap ke pantai Jimbaran yang terkenal dengan keindahan sunset-nya. Bukan hanya aku, Kia dan Mbak Ri pun terlihat begitu antusias ketika tiba di villa ini tadi. Pemandangan pantai yang
Dari sini aku bisa melihat seperti apa hubungan kekeluargaan mereka di masa lalu yang sering Kak Dian ceritakan. Mungkin seperti inilah hubungan akrab mereka dulu di masa lalu sebelum semua hancur karena sebuah kesalahan. Tak ada yang perlu disesali, karena jika menyesali masa lalu, maka mungkin kehadiran Wira juga akan menjadi penyesalan. Padahal bocah yang memiliki banyak keisitimewaan itulah yang menjadi pemersatu kebersamaan kami ini.Tangan Ivan pun tak lagi selalu tertaut padaku. Kurasa dia juga sudah mulai menyadari bahwa Tari sudah berubah, setidaknya berusaha sangat keras untuk berubah.Dan hingga kebersamaan itu berakhir, kami semua seperti sedang menemukan kebahagiaan baru. Aku, Ivan dan Kia serta pengasuhnya melanjutkan liburan kami ke Bali, meninggalkan Tari dan anak-anaknya di rumah Kak Dian.“Aku bangga punya kamu, Aya.” Dan genggaman tangan itu kembali tertaut saat kami dalam perjalanan melanjutkan trip liburan. “Kalo bukan karena kebesaran hatimu, nggak akan ada keber