CAHAYA“Sayang, Baby Kia-nya udah kehausan nih. Disusuin dulu lah biar tenang.” Ini sudah kesekian kalinya Ivan bolak-balik di depanku dengan menggendong bayi kami yang kini sudah berusia setahun.Baby Kia memang sangat dengan ayahnya. Bayi yang baru mulai belajar berjalan itu akan segera tertatih-tatih menghampiri ayahnya ketika Ivan pulang ke rumah. Wajah keduanya pun begitu mirip, hal yang sering dijadikan bahan oleh Ivan ketika mengolok-olokku dan mengatakan jika Baby Kia hanya mampir sebentar dalam rahimku. Aku selalu bahagia melihat kedekatan ayah dan anak itu.“Sebentar lagi, Pi,” jawabku.Segugup itu aku hari ini, ketika tadi Ivan pulang dan tiba-tiba menyuruhku packing untuk keperluan kami berdua selama tiga hari ke depan.“Ke Villa? Kok mendadak, Pi?” protesku tadi ketika ia mengatakan akan mengajakku ke villa hari ini.Lalu mengalirlah cerita dari pria itu jika pelatih basketnya akan merayakan ulang tahun emas pernikahan dan menghubunginya untuk mengadakannya di villa milik
Suasana sudah ramai ketika Ivan memarkirkan mobilnya di pekarangan luas villa miliknya. Beberapa rekannya yang tentu saja sudah kukenali sudah berada di sana dengan jaket tebal masing-masing. Suasana sore di Villa yang selalu menghadirkan kabut tipis memang membuat jaket tebal menjadi pilihan karena udara dingin dan basah yang menusuk tulang. Rasanya hati ini enggan untuk turun, tetapi elusan lembut di lenganku membuat sedikit rasa nyaman. “Jangan turun dulu, biar kubukain pintunya.” Ivan menatap tajam padaku. Dan aku sudah sangat paham apa yang ingin dikatakannya melalui tatapan mata. Tepukan riuh dari rekan-rekan Ivan terdengar ketika Ivan membuka pintu mobilnya untukku. “Duhh romantisnya!” “Segitu amat bucinnya!” “Boss villa kalo lagi kasmaran lucu juga, ya!” “Kekepin terus, Van! Jangan sampai lepas!” Dan banyak lagi sorakan-sorakan dari rekan-rekan Ivan yang terdengar oleh kami. Sungguh itu semua semakin membuatku tak nyaman. Kutatap mata pria yang masih menungguku turun it
Suasana villa menjadi begitu ramai setelah waktu Isya. Tak sia-sia Ivan menyuruh penjaga villa dan mempercayakan dekorasi perayaan golden anniversary pada beberapa anak buahnya. Semua terlihat sempurna dan penuh kekeluargaan. Bangunan utama Villa menjadi tempat semua berkumpul dan memberi ucapan selamat kepada pelatih basket dan keluarganya yang datang dengan formasi lengkap.“Kamu tau kenapa aku tak bisa menolak keinginan pelatihku, Aya?” tanya Ivan saat kami menyaksikan dengan haru bagaimana anak dan cucu sang pelatih sungkem kepada sepasang manusia yang sedang merayakan tahun ke lima puluh pernikahan mereka.“Nggak tau,” jawabku sambil menyusut air mata haru.Tangan Ivan memeluk di sepanjang pundakku. “Karena dulu beliau sangat memperhatikanku, beliau selalu tau saat aku sedang tak enak hati, beliau selalu menasihati saat aku merasa sedih dan down. Beliau menganggapku seperti anak sendiri, dan aku selalu tersentuh ketika ada seseorang yang memperlakukanku seperti itu. Aku merasa ..
“Ehhh malah tatap-tatapan!” Suara Supri membuatku dan Ivan saling mengurai tatapan mata.“Aku temanin Nindya dulu, ya.” Kali ini aku merasa kasihan pada kondisi Nindya seorang diri.Ivan mengangguk. Aku tahu, jauh di lubuk hatinya ia juga pasti merasa iba pada istri dari rekan tim basketnya itu. Sama seperti dulu ia merasa iba padaku.“Kenapa nggak lu aja yang nemanin sana, biar kejadian waktu itu terulang kembali. Dulu lu dapetin Aya juga karena malam reuni kita, kan?”Aku sudah melangkah membelakangi Ivan ketika kudengar Supri berbicara.“Jaga bicaramu! Aya berbeda. Dia milikku, sejak awal sudah ditakdirkan untukku. Hanya saja Tuhan meminjamkannya pada Adam sebentar sebelum mengirimnya padaku.”Aku menoleh kembali mendengar jawaban suamiku.“Karena Tuhan ingin dia menyadari betapa aku juga berbeda dari yang lain. Aku punya cinta yang besar untukny, yang tak pernah padam bahkan di saat aku belum menemukannya.”Huftt! Kadang aku merasa takut ketika ia mengucapkan rasa cinta sebesar it
“Aku kehilanganmu, Aya. Aku baru menyadarinya di saat kamu telah pergi. Aku menyesal pernah menyia-nyiakanmu karena ternyata yang kuinginkan adalah kamu, bukan wanita lain.” Itu isi pesan Mas Adam yang tak pernah kuceritakan pada siapa pun, termasuk pada suamiku.“Kok jadi ikutan ngelamu, Aya?” Suara Nindya membuatku menoleh padanya.Kusadari duduk bersama tapi sedang sama-sama melamun tadi. Dan kami berdua mungkin melamunkan sosok yang sama, meski tentu saja dalam konteks yang berbeda.“Kamu ... lagi mikirin Mas Adam?” Nindya menatapku curiga.“Bukan memikirkannya, tapi aku sedang mengingat kambali bagaimana dulu ia meninggalkanku di tempat ini sendirian lalu terbang ke Jogja mendatangimu karena kamu kecelakaan.”“Aku tak pernah memintanya untuk datang padaku.”Oke, aku tak ingin membahas hal ini lebih jauh lagi. Kejadian itu sudah berada jauh di belakang, dan kini aku sudah memiliki kehidupanku sendiri.“Maaf, Nindya. Aku pamit ke dalam dulu.” Kurasa sebaiknya aku tak berlama-lama
Pov AdamSebuah undangan perayaan anniversary pernikahan emas pelatih bakset kami masuk di grup basket hari itu. Sebenarnya itu hanya undangan biasa, sama seperti layaknya undangan ulang tahun, anniversary, atau undangan perayaan lainnya yang sering dibagikan oleh teman-teman. Sejak reuni pertama beberapa waktu silam, grup alumni tim basket kami memang kembali akrab dan aktif. Reuni yang menjadi awal mula perubahan hidupku, mengubah pernikahanku dan membuat Aya lepas dari genggamanku.Dan kini, undangan anniversary pelatih kami membuatku kembali harus mengingat Cahaya Kirana – wanita yang telah menemaniku selama tiga tahun sebelum pernikahan kami hancur berserak tak terbentuk lagi. Undangan yang terdengar biasa ini bagiku bukan undangan biasa ketika perayaan anniversary pelatih kami ternyata diadakan di villa milik Ivan, dan tentu saja sekarang menjadi milik Aya juga semenjak ia menikah dengan sahabatku itu.Jika saja tak menjaga wibawaku, ingin sekali kuprotes lalu kumaki semua yang
Kutinggalkan Nindya lalu kembali ke bangunan utama mencari pertugas kebersihan atau siapa pun yang bisa membantuku membersihkan serpihan gelas yang kupecahkan tadi. Setelah menemukannya, aku tak memilih tak kembali ke kamar dan justru berjalan ke arah mobilku terparkir. Udara dingin dan pikiran liarku ini membuatku membutuhkan kehangatan, tetapi Nindya bukan lagi pilihanku untuk mencari kehangatan saat ini. Bagiku belakangan ini Nindya menjadi membosankan, ia terlihat berhati-hati melayaniku, tak seperti biasanya. Wajahnya juga terlihat lebih pucat dan lesu meski ia selalu berkata baik-baik saja saat kutanya.Kuambil beberapa botol minuman di bagasi mobilku. Sudah beberapa lama botol-botol itu kusembunyikan di sana. Botol-botol serupa yang pernah kujumpai di sudut apartemenku dan Nindya, botol-botol milik Bang Heri – kakak lelaki Nindya yang memang sering mabuk-mabukan. Minuman yang sepertinya mendatangkan kepuasan di wajah Bang Heri saat ia meminumnya.Dan aku sedang membutuhkan minu
Pov Ivan Aku terdiam dengan napas tersengal di depan Aya yang memelukku dengan sangat erat. Ini sudah beberapa menit yang lalu sejak tiba-tiba saja Mang Karta datang padaku dengan tergopoh-gopoh menyampaikan berita yang membuatku terkejut bukan kepalang. “Bu Aya, Pak! Bu Aya pingsan!” Mang Karta mengatakannya takut takut tadi. Saat berlari secepat kilat ke arah yang Mang Karta tunjuk, aku tahu apa yang membuat Mang Karta seperti ketakutan ketika tiba di tempat yang ditunjuknya. Aya bukan pingsan, tapi terduduk di sudut timur villa dengan tatapan kosong, meringkuk di sana memeluk lutut. Ah, hatiku hancur melihatnya. Aku memang belum tahu apa yang terjadi pada wanitanya, pada wanita kesayanganku itu, tetapi melihatnya meringkuk seperti itu membuatku ikut gemetaran. “Aya! Nggak apa-apa. Aku di sini.” Sungguh aku belum ingin bertanya kenapa, karena kemungkinan itu akan membuat Aya histeris meski hati kecilku berteriak ingin bertanya pada dunia ada apa dengannya, apa yang membuatnya te
“Kalian ini ya ... sama aja dua-duanya! Bucin gak ada obat emang!” Tak kupedulikan suara Kak Dian. Aku segera memeluk Aya sebisaku, membuatnya senyaman mungkin.“Untung bayimu nggak kembar, Ay. Kamu bayangin deh kalo dapat bayi kembar, punya tiga bayi kamu di rumah. Sanggup?” Kak Dian kembali bicara. “Kurasa yang paling ngerepotin sih bayi raksasamu yang ini, Ay.” Telunjuk Kak Dian mengarah padaku.“Jangan bikin Aya ketawa, Kak! Kakak nggak tau kan gimana rasanya ketawa pasca operasi lahiran?” Aku mengulangi kata-kata Kak Dian.“Oiya, sanggup puasa nggak lu, Bro! Empat puluh hari loh.” Kak Dian menekankan kata empat puluh. “Nggak bisa bikin anak orang keramas tiap hari lagi lu.” Suara kekehan Kak Dian terdengar mengejek.“Nak Dian dan Ivan di sana. Biar Ibu yang di sini.” Sebuah perintah lain membuatku dan Kak Dian tak bisa membantah lagi. Ibu mengambil alih posisiku, mengusap lembut kening putri sulungnya dan memberi bisikan-bisikan yang kurasa berisi banyak makna, sebab setelahnya k
PoV IvanAku seperti berada di sebuah ruangan sempit, terkunci rapat dan membuatku tak bisa bernapas. Kilasan-kilasan kebersamaan selama lima tahun lebih pernikahanku dengan Aya berputar kembali di kepala seperti adegan film yang membuat dadaku semakin sesak terhimpit.Tahun-tahun bersama Cahaya adalah tahun-tahun terbaik dalam kehidupanku. Tentu saja jika ini adalah film, seharusnya ini adalah film romantis, bukan film sedih yang membuat dadaku sesak seperti ini. Akan tetapi, sesak ini semakin tak dapat kutahan saja. Tak kupeduikan lagi bagaimana rupaku sekarang. Aku terisak ketika sudah tak dapat menahan sesak, lalu kembali menghirup udara ketika merasa sudah hampir kehilangan napasku.Ruangan ini tentu saja bukanlah ruangan yang sempit mengingat aku sedang berada di ruang VIP salah satu rumah sakit ternama. Di ruangan ini aku juga tak sendirian, ada ibu, Candra dan kembarannya, Kak Dian dan Bang Malik, namun meski banyak orang di ruangan ini, tak ada satu pun di antara kami yang be
“Terima kasih buat keluarga dan teman-teman yang udah hadir malam ini.” Ivan mengambil momen, menghentikan alunan music akustik yang sedari tadi mengisi pendengaran. Pria itu mengucapkan terima kasih yang tulus pada keluarga kami yang hadir malam ini, lalu pada teman-teman dekat yang diundang khusus olehnya. Aku menatapnya dari tempatku duduk tepat di depan panggung kecil di mana ia berdiri. “Malam ini kami merayakan tahun kelima pernikahan. Aku dan Cahaya Kirana, istriku, sudah lima tahun bersama-sama.” Dia menatapku dari depan sana, dan tatapan itu selalu membuatku merasa dicintai. Ivan masih menatapku sambil bicara. “Aku jatuh cinta pada wanita ini sejak kami masih memakai almamater yang sama, lalu Tuhan begitu baik mempertemukanku kembali dengannya belasan tahun kemudian hingga kami menikah. Dan sejak menikahinya, aku masih jatuh cinta padanya setiap hari, masih saja jatuh cinta padanya berulang kali. Malam ini saya meminta doa pada kalian semua agar kami tetap dikuatkan dalam
“Terima kasih buat keluarga dan teman-teman yang udah hadir malam ini.” Ivan mengambil momen, menghentikan alunan music akustik yang sedari tadi mengisi pendengaran. Pria itu mengucapkan terima kasih yang tulus pada keluarga kami yang hadir malam ini, lalu pada teman-teman dekat yang diundang khusus olehnya. Aku menatapnya dari tempatku duduk tepat di depan panggung kecil di mana ia berdiri. “Malam ini kami merayakan tahun kelima pernikahan. Aku dan Cahaya Kirana, istriku, sudah lima tahun bersama-sama.” Dia menatapku dari depan sana, dan tatapan itu selalu membuatku merasa dicintai. Ivan masih menatapku sambil bicara. “Aku jatuh cinta pada wanita ini sejak kami masih memakai almamater yang sama, lalu Tuhan begitu baik mempertemukanku kembali dengannya belasan tahun kemudian hingga kami menikah. Dan sejak menikahinya, aku masih jatuh cinta padanya setiap hari, masih saja jatuh cinta padanya berulang kali. Malam ini saya meminta doa pada kalian semua agar kami tetap dikuatkan dalam
Lima tahun bersamanya, lima tahun penuh bahagia meski tak sedikit pula ombak kecil yang menghantam. Lima tahun bisa menjadi diriku sendiri setelah tahun-tahun sebelumnya terjebak dalam hubungan yang membuatku nyaris kehilangan kepercayaan diri. Malam ini Twin House ditutup untuk umum demi merayakan lima tahun pernikahan ku dan Ivan.Dekorasi anniversary sudah menghiasi Twin House, deretan-deretan makanan pun sudah tertata rapi di sana. Aku sendiri tak terlibat sedikit pun mempersiapkan malam ini, aku hanya memperhatikan kesibukan Iin yang berlalu lalang mengatur venue, lalu Byan yang mondar mandir menyusun catering. Sepasang kekasih itu kini benar-benar menjadi orang kepercayaanku dan Ivan.Aku juga sama sekali tak terlibat mengatur siapa saja undangan malam ini, sebab beberapa hari terakhir aku benar-benar hanya fokus pada diriku sendiri. Setelah siang itu di mana aku berbincang dengan Nindya dan baru menyadari ada yang aneh pada diriku, aku benar-benar melakukan pemeriksaan demi mem
“Emang akunya yang kecepatan sih, Ay. Sebenarnya janjinya agak sorean, tapi karena tadi kebetulan Mas Adam juga pas mau keluar, ya udah aku ikut aja. Aku nggak apa kan nunggu di sini?”“Nggak apa, Nin.”“Oiya, Aya. Aku tadi bareng Mas Adam,” katanya lagi tepat di saat sosok yang dibicarakannya itu muncul dari arah parkiran.“Hai, Aya. Gimana kabarmu?” Kaku sekali, pria itu menyapa.“Baik, Mas. Mas Adam gimana kabarnya?” Akupun menjawab sama kakunya. Kini aku mengerti mengapa Ivan berusaha menghindarkan pertemuan seperti ini. Aku dan dia pernah punya cerita, dan meski selalu berusaha untuk saling biasa saja, namun tak bisa dipungkiri akan ada kekakuan seperti ini saat berinteraksi.“Aku juga baik. Oiya, Ivan ada?”Kembali kujelaskan bahwa suamiku baru saja keluar.“Kalo gitu aku titip Nindya ya, Ay. Dia ada urusan dikit sama Ivan untuk urusan pekerjaan.” Mas Adam menjelaskan dengan detail urusan pekerjaan antara Nindya dan Ivan padaku.Aku kembali mengangguk setuju.“Ya udah, kutinggal
“Hari ini ikut ke Twin House, ya.”Ini sudah sebulan sejak kami kembali dari Bali setelah seminggu menikmati kebersamaan di sana. Dan untuk memenuhi permintaannya waktu itu agar aku mengurangi waktuku di butik, aku juga sudah mulai beradaptasi. Tentu tak ada alasan bagiku untuk tak mengikuti inginnya, apalagi alasan yang mendasari keinginannya sangat masuk akal.“Adam akan lebih sering datang ke kantorku, dan tentu saja akan lebih sering bertemu kamu juga. Bagaimanapun juga, kalian pernah memiliki cerita, aku hanya ingin menjagamu lebih baik lagi.”“Aku juga bakalan banyak pekerjaan, Aya. Dan keberadaanmu di sekitarku hanya akan membuatku tak bisa berkonsentrasi. Yang ada bukannya kerja, tapi malah ngerjain kamu.”Itu dua alasan yang membuatku menerima keingingannya, karena sejujurnya memang seperti inilah kebersamaan yang sejak dulu kuinginkan. Bertukar pendapat dengan pasangan, saling mendengarkan isi hati, saling memahami apa yang pasangan inginkan. Pernikahanku dengan Ivan adalah
“Dari mana, Pi?” Rasanya tak dapat kutahan kekesalanku hari ini. Bagaimana tidak? Kami tiba di villa sejak beberapa jam yang lalu, dan beristirahat sebentar. Lalu saat aku terjaga, tak kutemui pria itu di sudut mana pun sementara ponselnya tergeletak begitu saja di atas meja.“Udah bangun, Sayang? Gimana istirahatnya udah cukup belum?”Dan kesalnya lagi, Ivan justru menanggapi santai dengan kecupan di keningku.“Dari mana aja? Ponsel ditinggal nggak bisa dihubungi, tadi kan cuma mau istirahat bentar abis itu kita jalan-jalan. Kenapa malah ditinggalin berjam-jam gini?” Aku benar-benar kesal kali ini. Yang ada dalam pikiranku tadi, setelah tiba di villa, kami hanya perlu beristirahat sebentar lalu keluar dan menikmati liburan ini.Villa yang disewa Ivan kurasa bukan villa sembarangan. Lokasinya tepat menghadap ke pantai Jimbaran yang terkenal dengan keindahan sunset-nya. Bukan hanya aku, Kia dan Mbak Ri pun terlihat begitu antusias ketika tiba di villa ini tadi. Pemandangan pantai yang
Dari sini aku bisa melihat seperti apa hubungan kekeluargaan mereka di masa lalu yang sering Kak Dian ceritakan. Mungkin seperti inilah hubungan akrab mereka dulu di masa lalu sebelum semua hancur karena sebuah kesalahan. Tak ada yang perlu disesali, karena jika menyesali masa lalu, maka mungkin kehadiran Wira juga akan menjadi penyesalan. Padahal bocah yang memiliki banyak keisitimewaan itulah yang menjadi pemersatu kebersamaan kami ini.Tangan Ivan pun tak lagi selalu tertaut padaku. Kurasa dia juga sudah mulai menyadari bahwa Tari sudah berubah, setidaknya berusaha sangat keras untuk berubah.Dan hingga kebersamaan itu berakhir, kami semua seperti sedang menemukan kebahagiaan baru. Aku, Ivan dan Kia serta pengasuhnya melanjutkan liburan kami ke Bali, meninggalkan Tari dan anak-anaknya di rumah Kak Dian.“Aku bangga punya kamu, Aya.” Dan genggaman tangan itu kembali tertaut saat kami dalam perjalanan melanjutkan trip liburan. “Kalo bukan karena kebesaran hatimu, nggak akan ada keber