“Mungkin dulu di mata Aya, Nak Ivan sosok yang paling sempurna. Tapi tak ada hidup tanpa cobaan dari-Nya Nak karena sejatinya tak ada manusia yang sempurna. Pun dengan Nak Adam, mungkin dulu Aya selalu merasa terzolimi olehnya, tapi lihatlah dia sekarang, Nak Adam menjadi sosok yang lebih baik. Tapi sekali lagi kalian sudah memilih. Maka ibu hanya berharap Aya lebih berhati-hati dan lebih bersikap dewasa saat ini.”Ibu menghela napas.“Ibu bukan tak tau jika Nak Adam masih menginginkanmu. Dia memang tak mengatakan langsung pada ibu, tapi ibu bisa melihat dari caranya menatapmu. Ibu harap kali ini Aya bisa menempatkan diri dengan baik, jangan lagi mengulangi kesalahan yang sama. Ibu harap Aya bisa melihat ketulusan yang sudah berusaha ditunjukkan suamimu, Nak. Lihatlah betapa dia mengakui semua kesalahannya, lalu berusaha memperbaikinya dengan menyayangimu. Lihatlah dia berusaha menjadikanmu prioritas utamanya di antara padatnya pekerjaan dan beban pikirannya. Tapi, dia tetap saja manu
Setelah sarapan pagi yang berujung mual dan kembali memuntahkan isi perutku di rumah ibu, aku pun memilih pulang ke rumahku. Kupilih mampir sebentar di apotik membeli alat tes pack setelah tadi ibu menyuruhku memeriksakan diri karena mual dan muntah.“Sepertinya kamu hamil, Nak.” Begitu kata ibu. Sebenarnya bukan hal yang baru bagiku karena aku sudah pernah hamil sebelumnya.Aku mampir sebentar di warung dekat apotik dan memesan bubur ayam yang terlihat menggoda seleraku. Saat duduk di dalam menunggu bubur ayam, aku teringat jika pernah ke sini bersama Ivan beberapa waktu lalu, saat kami sama-sama ke dokter karena flu berat setelah hujan-hujanan di puncak. Ah, mengingat itu semua membuatku semakin merindukannya hingga membuatku hanya mengaduk-aduk bubur ayam yang sudah tersaji di depan mataku. Selera makanku kembali hilang, digantikan rasa rindu yang dalam padanya. Entah mengapa aku sesensitif ini sekarang.“Kak Dian!” pekikku saat memarkirkan mobil dan melihat Kak Dian di depan pintu
“Benar-benar bayi besar,” gumamku menertawakannya.Lalu bayi besar itu mengajakku bicara dari hati ke hati, mengeluarkan semua unek-unek yang selama beberapa hari ini mengganjal menghadirkan sesak di dada. Dia bersandar di headboard tempat tidur, memelukku yang bersandar padanya. Tangan kekarnya tak pernah lepas mengusap lembut perut rataku. Aku bisa merasakan ada bagian dirinya yang memberontak di bawah sana, tapi entah mengapa pria yang sedang berulang tahun itu menahannya, tak seperti biasanya.“Besok kita ke dokter. Banyak yang harus dikonsultasikan. Kamu pernah mengalami keguguran, sebaiknya menanyakan apa yag boleh dan tidak boleh dilakukan.”Aku tersenyum, rupanya pria yang tengah memeluk ini tak melakukan kesenangannya karena mengkhawatirkan kondisiku yang sedang hamil.“Aya, maafkan aku beberapa hari ini tanpa sengaja sudah melukaimu. Aku bingung, Ay. Tak mudah bagiku tiba-tiba saja harus menerima kenyataan bahwa aku punya seorang anak. Aku limbung, di satu sisi aku tak mau m
Usia kandunganku saat ini sudah memasuki bulan ke sembilan. Semua persiapan untuk menyambut kelahiran buah hatiku dan Ivan yang diprediksi berjenis kelamin perempuan sudah siap. Kamar yang berada di samping kamar kami sudah diubah menjadi kamar berwarna pink bertemakan princess. Di rumah, Ivan mempekerjakan tiga ART yang kupilih dari yayasan penyalur ART. Bik Jum sendiri masih tetap bekerja sebagai ART senior yang bertugas mengawasi pekerjaan rumah. Di area belakang sudah ada kolam renang dengan desain alam sesuai dengan janji Ivan saat pertama kali membawaku ke rumah ini. Taman kecil yang menjadi tempat favoritku di rumah ini sudah dilengkapi dengan air mancur kecil yang membuatku semakin betah berlama-lama menghabiskan waktu di sana.Aku pun sudah tak pernah lagi menyetir mobil sendiri sejak mengandung, Ivan mempekerjakan seorang supir yang selalu siap mengantarku ke mana pun. Dan pria yang setiap hari selalu membuatku kembali jatuh cinta itu tetap menjadi bayi besar yang selalu ber
“Biiikkk!” Teriakku memanggil Bik Jum ketika berdiri dan mendapati cairan bening menetes di sela-sela pahaku.Bik Jum yang datang tergopoh-gopoh pun terkejut saat melihatku.“Itu air ketuban. Sepertinya Non Aya sudah waktunya melahirkan!” Bik Jum pun tak kalah terpekiknya.ART yang sudah lama mengabdi pada Ivan itu memang masih memanggilku Non Aya.“Hubungi suamiku, Bik. Suruh supir siapkan mobil, kita segera ke rumah sakit saja,” perintahku di sela-sela rasa mulas yang menyerang.Semua persiapan melahirkan memang sudah ada di dalam mobilku, bahkan sejak sebulan yang lalu. Ivan lah yang menyiapkan semuanya, calon ayah itu setiap saat selalu bertanya berbagai hal pada Kak Dian dan Bang Malik yang sudah pengalaman. Si bayi besar itu kini telah benar-benar siap untuk menyambut kelahiran bayinya.“Kamu tenang ya, Sayang. Aku sudah telepon pihak rumah sakit dan semuanya sudah disiapkan. Aku sedang di lokasi proyek di pinggir kota, tapi akan segera menyusul ke rumah sakit. Sementara biar di
“Sudah lihat bayi kita?”“Sudah. Tadi udah diazanin juga. Bayi kita cantik, sama sepertimu.” Kulihat matanya berbinar-binar.“Masih sakit?” tanyanya ketika melihatku meringis.“Iya, perih sekali. Di bekas sayatannya.”Dia menciumi tanganku.“Maaf, ya. Demi melahirkan anakku kamu harus menanggung sakit berkali-kali seperti ini.”“Itu sudah kodrat seorang wanita, Sayang. Aku jadi salut dengan ibu, juga Kak Dian yang sudah terlebih dulu mengalaminya. Ini benar-benar pengalaman yang luar biasa, antara hidup dan mati. Tadi kupikir aku sudah mau mati.”Dia meletakkan telunjuknya di bibirku.“Sssttt! Jangan bilang gitu. Aku nggak suka.”“Aya, aku berubah pikiran. Tak mau lagi memiliki banyak anak. Cukup satu saja, aku nggak tega melihatmu kesakitan seperti tadi. Rasanya aku juga ingin mati melihatmu seperti itu. Sudah, anakku cukup satu saja,” ucapnya sambil terus mencium punggung tanganku.Kuusap pipinya dengan lembut.“Dua, Sayang. Anak kamu dua. Wira dan bayi kita,” balasku dengan senyum.
CAHAYA“Sayang, Baby Kia-nya udah kehausan nih. Disusuin dulu lah biar tenang.” Ini sudah kesekian kalinya Ivan bolak-balik di depanku dengan menggendong bayi kami yang kini sudah berusia setahun.Baby Kia memang sangat dengan ayahnya. Bayi yang baru mulai belajar berjalan itu akan segera tertatih-tatih menghampiri ayahnya ketika Ivan pulang ke rumah. Wajah keduanya pun begitu mirip, hal yang sering dijadikan bahan oleh Ivan ketika mengolok-olokku dan mengatakan jika Baby Kia hanya mampir sebentar dalam rahimku. Aku selalu bahagia melihat kedekatan ayah dan anak itu.“Sebentar lagi, Pi,” jawabku.Segugup itu aku hari ini, ketika tadi Ivan pulang dan tiba-tiba menyuruhku packing untuk keperluan kami berdua selama tiga hari ke depan.“Ke Villa? Kok mendadak, Pi?” protesku tadi ketika ia mengatakan akan mengajakku ke villa hari ini.Lalu mengalirlah cerita dari pria itu jika pelatih basketnya akan merayakan ulang tahun emas pernikahan dan menghubunginya untuk mengadakannya di villa milik
Suasana sudah ramai ketika Ivan memarkirkan mobilnya di pekarangan luas villa miliknya. Beberapa rekannya yang tentu saja sudah kukenali sudah berada di sana dengan jaket tebal masing-masing. Suasana sore di Villa yang selalu menghadirkan kabut tipis memang membuat jaket tebal menjadi pilihan karena udara dingin dan basah yang menusuk tulang. Rasanya hati ini enggan untuk turun, tetapi elusan lembut di lenganku membuat sedikit rasa nyaman. “Jangan turun dulu, biar kubukain pintunya.” Ivan menatap tajam padaku. Dan aku sudah sangat paham apa yang ingin dikatakannya melalui tatapan mata. Tepukan riuh dari rekan-rekan Ivan terdengar ketika Ivan membuka pintu mobilnya untukku. “Duhh romantisnya!” “Segitu amat bucinnya!” “Boss villa kalo lagi kasmaran lucu juga, ya!” “Kekepin terus, Van! Jangan sampai lepas!” Dan banyak lagi sorakan-sorakan dari rekan-rekan Ivan yang terdengar oleh kami. Sungguh itu semua semakin membuatku tak nyaman. Kutatap mata pria yang masih menungguku turun it
“Kalian ini ya ... sama aja dua-duanya! Bucin gak ada obat emang!” Tak kupedulikan suara Kak Dian. Aku segera memeluk Aya sebisaku, membuatnya senyaman mungkin.“Untung bayimu nggak kembar, Ay. Kamu bayangin deh kalo dapat bayi kembar, punya tiga bayi kamu di rumah. Sanggup?” Kak Dian kembali bicara. “Kurasa yang paling ngerepotin sih bayi raksasamu yang ini, Ay.” Telunjuk Kak Dian mengarah padaku.“Jangan bikin Aya ketawa, Kak! Kakak nggak tau kan gimana rasanya ketawa pasca operasi lahiran?” Aku mengulangi kata-kata Kak Dian.“Oiya, sanggup puasa nggak lu, Bro! Empat puluh hari loh.” Kak Dian menekankan kata empat puluh. “Nggak bisa bikin anak orang keramas tiap hari lagi lu.” Suara kekehan Kak Dian terdengar mengejek.“Nak Dian dan Ivan di sana. Biar Ibu yang di sini.” Sebuah perintah lain membuatku dan Kak Dian tak bisa membantah lagi. Ibu mengambil alih posisiku, mengusap lembut kening putri sulungnya dan memberi bisikan-bisikan yang kurasa berisi banyak makna, sebab setelahnya k
PoV IvanAku seperti berada di sebuah ruangan sempit, terkunci rapat dan membuatku tak bisa bernapas. Kilasan-kilasan kebersamaan selama lima tahun lebih pernikahanku dengan Aya berputar kembali di kepala seperti adegan film yang membuat dadaku semakin sesak terhimpit.Tahun-tahun bersama Cahaya adalah tahun-tahun terbaik dalam kehidupanku. Tentu saja jika ini adalah film, seharusnya ini adalah film romantis, bukan film sedih yang membuat dadaku sesak seperti ini. Akan tetapi, sesak ini semakin tak dapat kutahan saja. Tak kupeduikan lagi bagaimana rupaku sekarang. Aku terisak ketika sudah tak dapat menahan sesak, lalu kembali menghirup udara ketika merasa sudah hampir kehilangan napasku.Ruangan ini tentu saja bukanlah ruangan yang sempit mengingat aku sedang berada di ruang VIP salah satu rumah sakit ternama. Di ruangan ini aku juga tak sendirian, ada ibu, Candra dan kembarannya, Kak Dian dan Bang Malik, namun meski banyak orang di ruangan ini, tak ada satu pun di antara kami yang be
“Terima kasih buat keluarga dan teman-teman yang udah hadir malam ini.” Ivan mengambil momen, menghentikan alunan music akustik yang sedari tadi mengisi pendengaran. Pria itu mengucapkan terima kasih yang tulus pada keluarga kami yang hadir malam ini, lalu pada teman-teman dekat yang diundang khusus olehnya. Aku menatapnya dari tempatku duduk tepat di depan panggung kecil di mana ia berdiri. “Malam ini kami merayakan tahun kelima pernikahan. Aku dan Cahaya Kirana, istriku, sudah lima tahun bersama-sama.” Dia menatapku dari depan sana, dan tatapan itu selalu membuatku merasa dicintai. Ivan masih menatapku sambil bicara. “Aku jatuh cinta pada wanita ini sejak kami masih memakai almamater yang sama, lalu Tuhan begitu baik mempertemukanku kembali dengannya belasan tahun kemudian hingga kami menikah. Dan sejak menikahinya, aku masih jatuh cinta padanya setiap hari, masih saja jatuh cinta padanya berulang kali. Malam ini saya meminta doa pada kalian semua agar kami tetap dikuatkan dalam
“Terima kasih buat keluarga dan teman-teman yang udah hadir malam ini.” Ivan mengambil momen, menghentikan alunan music akustik yang sedari tadi mengisi pendengaran. Pria itu mengucapkan terima kasih yang tulus pada keluarga kami yang hadir malam ini, lalu pada teman-teman dekat yang diundang khusus olehnya. Aku menatapnya dari tempatku duduk tepat di depan panggung kecil di mana ia berdiri. “Malam ini kami merayakan tahun kelima pernikahan. Aku dan Cahaya Kirana, istriku, sudah lima tahun bersama-sama.” Dia menatapku dari depan sana, dan tatapan itu selalu membuatku merasa dicintai. Ivan masih menatapku sambil bicara. “Aku jatuh cinta pada wanita ini sejak kami masih memakai almamater yang sama, lalu Tuhan begitu baik mempertemukanku kembali dengannya belasan tahun kemudian hingga kami menikah. Dan sejak menikahinya, aku masih jatuh cinta padanya setiap hari, masih saja jatuh cinta padanya berulang kali. Malam ini saya meminta doa pada kalian semua agar kami tetap dikuatkan dalam
Lima tahun bersamanya, lima tahun penuh bahagia meski tak sedikit pula ombak kecil yang menghantam. Lima tahun bisa menjadi diriku sendiri setelah tahun-tahun sebelumnya terjebak dalam hubungan yang membuatku nyaris kehilangan kepercayaan diri. Malam ini Twin House ditutup untuk umum demi merayakan lima tahun pernikahan ku dan Ivan.Dekorasi anniversary sudah menghiasi Twin House, deretan-deretan makanan pun sudah tertata rapi di sana. Aku sendiri tak terlibat sedikit pun mempersiapkan malam ini, aku hanya memperhatikan kesibukan Iin yang berlalu lalang mengatur venue, lalu Byan yang mondar mandir menyusun catering. Sepasang kekasih itu kini benar-benar menjadi orang kepercayaanku dan Ivan.Aku juga sama sekali tak terlibat mengatur siapa saja undangan malam ini, sebab beberapa hari terakhir aku benar-benar hanya fokus pada diriku sendiri. Setelah siang itu di mana aku berbincang dengan Nindya dan baru menyadari ada yang aneh pada diriku, aku benar-benar melakukan pemeriksaan demi mem
“Emang akunya yang kecepatan sih, Ay. Sebenarnya janjinya agak sorean, tapi karena tadi kebetulan Mas Adam juga pas mau keluar, ya udah aku ikut aja. Aku nggak apa kan nunggu di sini?”“Nggak apa, Nin.”“Oiya, Aya. Aku tadi bareng Mas Adam,” katanya lagi tepat di saat sosok yang dibicarakannya itu muncul dari arah parkiran.“Hai, Aya. Gimana kabarmu?” Kaku sekali, pria itu menyapa.“Baik, Mas. Mas Adam gimana kabarnya?” Akupun menjawab sama kakunya. Kini aku mengerti mengapa Ivan berusaha menghindarkan pertemuan seperti ini. Aku dan dia pernah punya cerita, dan meski selalu berusaha untuk saling biasa saja, namun tak bisa dipungkiri akan ada kekakuan seperti ini saat berinteraksi.“Aku juga baik. Oiya, Ivan ada?”Kembali kujelaskan bahwa suamiku baru saja keluar.“Kalo gitu aku titip Nindya ya, Ay. Dia ada urusan dikit sama Ivan untuk urusan pekerjaan.” Mas Adam menjelaskan dengan detail urusan pekerjaan antara Nindya dan Ivan padaku.Aku kembali mengangguk setuju.“Ya udah, kutinggal
“Hari ini ikut ke Twin House, ya.”Ini sudah sebulan sejak kami kembali dari Bali setelah seminggu menikmati kebersamaan di sana. Dan untuk memenuhi permintaannya waktu itu agar aku mengurangi waktuku di butik, aku juga sudah mulai beradaptasi. Tentu tak ada alasan bagiku untuk tak mengikuti inginnya, apalagi alasan yang mendasari keinginannya sangat masuk akal.“Adam akan lebih sering datang ke kantorku, dan tentu saja akan lebih sering bertemu kamu juga. Bagaimanapun juga, kalian pernah memiliki cerita, aku hanya ingin menjagamu lebih baik lagi.”“Aku juga bakalan banyak pekerjaan, Aya. Dan keberadaanmu di sekitarku hanya akan membuatku tak bisa berkonsentrasi. Yang ada bukannya kerja, tapi malah ngerjain kamu.”Itu dua alasan yang membuatku menerima keingingannya, karena sejujurnya memang seperti inilah kebersamaan yang sejak dulu kuinginkan. Bertukar pendapat dengan pasangan, saling mendengarkan isi hati, saling memahami apa yang pasangan inginkan. Pernikahanku dengan Ivan adalah
“Dari mana, Pi?” Rasanya tak dapat kutahan kekesalanku hari ini. Bagaimana tidak? Kami tiba di villa sejak beberapa jam yang lalu, dan beristirahat sebentar. Lalu saat aku terjaga, tak kutemui pria itu di sudut mana pun sementara ponselnya tergeletak begitu saja di atas meja.“Udah bangun, Sayang? Gimana istirahatnya udah cukup belum?”Dan kesalnya lagi, Ivan justru menanggapi santai dengan kecupan di keningku.“Dari mana aja? Ponsel ditinggal nggak bisa dihubungi, tadi kan cuma mau istirahat bentar abis itu kita jalan-jalan. Kenapa malah ditinggalin berjam-jam gini?” Aku benar-benar kesal kali ini. Yang ada dalam pikiranku tadi, setelah tiba di villa, kami hanya perlu beristirahat sebentar lalu keluar dan menikmati liburan ini.Villa yang disewa Ivan kurasa bukan villa sembarangan. Lokasinya tepat menghadap ke pantai Jimbaran yang terkenal dengan keindahan sunset-nya. Bukan hanya aku, Kia dan Mbak Ri pun terlihat begitu antusias ketika tiba di villa ini tadi. Pemandangan pantai yang
Dari sini aku bisa melihat seperti apa hubungan kekeluargaan mereka di masa lalu yang sering Kak Dian ceritakan. Mungkin seperti inilah hubungan akrab mereka dulu di masa lalu sebelum semua hancur karena sebuah kesalahan. Tak ada yang perlu disesali, karena jika menyesali masa lalu, maka mungkin kehadiran Wira juga akan menjadi penyesalan. Padahal bocah yang memiliki banyak keisitimewaan itulah yang menjadi pemersatu kebersamaan kami ini.Tangan Ivan pun tak lagi selalu tertaut padaku. Kurasa dia juga sudah mulai menyadari bahwa Tari sudah berubah, setidaknya berusaha sangat keras untuk berubah.Dan hingga kebersamaan itu berakhir, kami semua seperti sedang menemukan kebahagiaan baru. Aku, Ivan dan Kia serta pengasuhnya melanjutkan liburan kami ke Bali, meninggalkan Tari dan anak-anaknya di rumah Kak Dian.“Aku bangga punya kamu, Aya.” Dan genggaman tangan itu kembali tertaut saat kami dalam perjalanan melanjutkan trip liburan. “Kalo bukan karena kebesaran hatimu, nggak akan ada keber