[Udah ngobrolnya?]Pesan dari nomor Ivan masuk saat aku dan Nindya masih mengobrol.[Udah. Aku dan Nindya di sini.]Kukirim sebuah foto untuk menginformasikan kami sedang di mana. Tak lama pria yang itu terlihat di pintu masuk restoran franchise, kulambaikan tangan agar ia melihat kami.“Kamu kelihatannya bahagia banget sekarang, Ay,” kata Nindya. Aku kembali menatapnya, sambil menunggu Ivan berjalan ke arah kami.“Iya, aku bahagia.”“Kamu nggak merasa bersalah?”“Untuk?”“Hubungan kalian terjalin saat kamu masih sama Mas Adam.”Aku menarik napas. “Bohong kalau kubilang nggak merasa bersalah, Nin. Ada rasa bersalah pada keluargaku dan juga keluarga Mas Adam. Tapi aku sudah tak mau lagi melihat ke belakang. Aku hanya ingin fokus memperbaiki diri, agar kesalahan-kesalahan yang kemarin terjadi bisa kujadikan pelajaran hidup untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Tuhan pasti punya rencana mempertemukanku dengan suamiku, dia orang yang bisa mengembalikan apa yang sudah rusak di hubunganku
Aku hanya memandanginya dari jauh, membiarkannya larut dalam kesenangannya. Kunikmati memandang wajah dan ekspresi bahagianya dari sudut kafe. Tak pernah kusangka pria pemilik senyum manis itu kini menjadi milikku. Aku mencari pria itu dalam ingatan masa laluku, namun sama sekali tak menemukannya di sana selain sebatang cokelat silver queen dan setangkai bunga yang waktu itu nyasar padaku. Ah, seperti apa dia di masa itu? Kenapa pria semenarik itu luput dari perhatianku? Puas memandanginya dari jauh, aku memilih melipir ke samping kafe, di mana terdapat taman kecil dengan air mancur di sana, membuatku kembali mengingat malam saat pertama kali bertemu dengannya di grand opening kafe ini. Begitu cepat waktu berlalu, saat itu aku berada di sini sebagai tamu undangan menemani Mas Adam dan kini aku berada di sini sebagai istrinya. Di tempat ini pula lah dia pertama kali melihatku menangis.“Hei, dicari ke mana-mana ternyata di sini.” Pria yang sedang ada di dalam pikiranku itu tiba-tiba s
Lelah menunggunya, aku pun memilih berbaring di sofa, lalu kembali mengingat saat aku tertidur di sofa ini. Saat kami berdua menginap di kafe ini karena dia memilih tak membangunkanku. Itu pertama kalinya aku berbohong pada Mas Adam, karena padanya aku mengaku menginap di rumah Imelda.Aku tersenyum mengingat semuanya. Ivan orang pertama yang membuatku sanggup melawan ketidakadilan bahkan membuatku mampu keluar dari tekanan untuk memulihkan diri dan hatiku. Terima kasih, Tuhan, sudah mengirim pria itu dalam hidupku. Terima kasih, Tuhan, sudah mempertemukan kami di tempat ini pada malam itu.Aku menggeliat lalu membuka mata ketika merasakan ada lengan yang memelukku, juga deru napas hangat dan teratur yang menerpa leherku. Rupanya aku tertidur di sofa dan ternyata Ivan pun memilih ikut tidur bersamaku. Perlahan kulepaskan tangannya, lalu turun dari sofa. Nampaknya sudah tengah malam karena kafe sudah sunyi, tak ada kegiatan apa pun lagi.Itu artinya, kejadian yang dulu di mana aku tert
Tak Bisa ke Lain Hati“Aku memang sudah merencanakan menyuruhmu menutup butikmu, hanya saja aku masih mencari waktu yang tepat agar tidak menyinggung perasaanmu. Aku tak menyangka jika kamu justru meminta pendapatku untuk hal ini.” Dia tersenyum.“Kenapa senyum?” Aku menyelidik.“Entah kenapa aku merasa kamu selalu datang meyerahkan dirimu padaku, dalam hal apa pun. Termasuk untuk urusan yang tadi.” Ekspresinya menyebalkan.“Tinggalkan semua yang diberikan Adam. Jika dia memaksa, paling tidak kalian bisa membagi dua, dan jatahmu boleh kamu sumbangin ke kegiatan-kegiatan sosial. Kamu ingat kan aku tak memperbolehkanmu membawa apa pun ke dalam rumah kita. Selain dirimu dan cintamu. Tinggalkan semua yang ada di belakang.”Aku mengangguk setuju.“Kalau boleh membuka butik lagi, silakan pilih lokasinya, nanti Tiara yang urus semuanya,” katanya lagi. Tapi, kali ini aku menggeleng.“Nggak mau. Aku mau beristirahat saja. Dulu, aku membuka butik untuk membantu biaya sekolah adik-adikku. Tapi s
Kusapukan sentuhan make up terakhir di wajahku, lalu berdiri melihat penampilanku sendiri lewat pantulan cermin. Kurasa cukup puas dengan gaun malam berwarna biru navy model turtleneck yang kukekanakan. Rambutku kuikat tinggi dan hanya menambahkan kalung sebagai aksesoris. Malam ini kami berdua akan menghadiri resepsi Supri. Ivan duduk di sofa ruang depan menungguku berdandan. Pria yang mengenakan mengenakan setelan tuxedo berwarna hitam itu terlihat sedang serius menatap layar ponsel di tangannya. Dia mengangkat wajahnya saat mendengar langkahku, lalu kutangkap matanya yang berbinar-binar menatapku tak berkedip.“Wow! Aya!” serunya tertahan.“Kenapa?” Aku mengeryitkan kening sambil memperhatikan penampilanku sendiri. Mungkin saja ada yang salah dengan penampilanku.Pria itu berdiri, lalu berjalan menghampiriku. Tangannya melingkari pinggangku.“Wow! Cuma dandan sebentar dan hasilnya seperti ini, Aya? Kamu memang mengagumkan, Sayang.” Dia mencium pipiku sekilas.Aku terdiam, lalu mena
“Soalnya apa?”Lagi, aku berniat menjahilinya, karena aku tau kelemahan pria ini.“Soalnya senyumnya bikin meleleh, dan malam ini kamu seksi sekali.” Sengaja kuucapkan dengan berbisik.“Aya, please! Jangan bikin aku mutar balik. Aku nggak kuat.”Aku menertawakan ketidakberdayaannya hingga pipiku terasa pegal karena menertawakannya.“Aya.” Suaranya tiba-tiba mellow.“Aku senang bisa melihatmu tertawa seperti ini,” ucapnya lagi.“Terima kasih sudah menghadirkan tawa dalam hidupku,” balasku serius.Bersamanya, aku memang selalu bisa selepas ini, tanpa ada tekanan apalagi kekangan. Bersamanya, semua yang dulu tak mungkin jadi mungkin. Bersamanya, aku menemukan diriku kembali.🍁🍁🍁Ivan mengenggam tanganku erat-erat saat memasuki gedung di mana acara resepsi digelar. Kurasa pria itu tahu bahwa aku sedang merasa gugup. Bagaimana pun, ini pertama kalinya aku tampil di depan banyak orang bersamanya. Apalagi teman-temannya yang waktu itu ikut di acara reuni pasti semua datang, dan semua past
“Oh, jadi ini yang namanya Mbak Cahaya? Cantik gini ... pantesan!”Hanya sapaan sederhana, bahkan disertai senyuman ramah padaku. Tapi, kata-kata sederhana ini punya makna yang dalam bagiku. Apalagi aku menangkap tatapan mata Mas Adam padaku. Ternyata, tak semudah itu memperkenalkan status baruku pada dunia. Semua masih terasa canggung dan juga menimbulkan rasa gugup.Aku meminta izin pada Ivan untuk mencari toilet saat dia sedang berbincang berdua dengan pelatihnya. Kurasa dia sedang menjelaskan hubungan yang rumit untuk dijelaskan ini karena kulihat si pelatih sesekali menoleh padaku, lalu kemudian menatap Adam. Entah mengapa aku menangkap tatapan iba dari si pelatih bahkan dari teman-teman mereka pada mantan suamiku itu. Dan itu membuatku merasa seolah mereka semua sedang menghakimiku.Sengaja aku berlama-lama di toilet sambil merapikan make up. Seandainya bisa, rasanya aku mau pulang saja dari tempat yang membuatku mulai merasa tak nyaman ini. Tapi aku tak mungkin meninggalkan Iva
“Kebahagiaanku adalah kamu, Aya. Sayangnya aku baru menyadarinya sekarang.”“Aku tak percaya dan aku tak mau mendengar apa pun lagi. Sekali lagi permisi, aku mau lewat.”Dia menyingkir, tapi tak melepaskan tatapannya dariku. Lututku masih gemetar setelah berlalu dari pandangannya. Ternyata trauma itu masih ada saat mendapatkan tatapan mengintimidasi darinya.“Kok lama?” Ivan bertanya.“Ng- nggak apa-apa,” jawabku. Keningnya bertaut, kurasa dia melihat kegugupanku.“Mau pulang?” tanyanya.“Tapi ... kamu masih ... kalian masih ....”Ah, aku bingung harus berkata apa. Namun telapak tangan hangat dan lebar itu membuatku merasa nyaman saat ia menggenggam tanganku.“Kita pulang sekarang. Kelihatannya kamu tak nyaman berada di sini.”Aku mengangguk. Dia terus menggenggam tanganku, lalu berpamitan pada teman-temannya, termasuk pada Mas Adam.🍁🍁🍁Ivan mengajakku ke hotel yang bagian rooftopnya dijadikan restoran. Kami berdua memang belum sempat manikmati hidangan di acara resepsi tadi karen
“Kalian ini ya ... sama aja dua-duanya! Bucin gak ada obat emang!” Tak kupedulikan suara Kak Dian. Aku segera memeluk Aya sebisaku, membuatnya senyaman mungkin.“Untung bayimu nggak kembar, Ay. Kamu bayangin deh kalo dapat bayi kembar, punya tiga bayi kamu di rumah. Sanggup?” Kak Dian kembali bicara. “Kurasa yang paling ngerepotin sih bayi raksasamu yang ini, Ay.” Telunjuk Kak Dian mengarah padaku.“Jangan bikin Aya ketawa, Kak! Kakak nggak tau kan gimana rasanya ketawa pasca operasi lahiran?” Aku mengulangi kata-kata Kak Dian.“Oiya, sanggup puasa nggak lu, Bro! Empat puluh hari loh.” Kak Dian menekankan kata empat puluh. “Nggak bisa bikin anak orang keramas tiap hari lagi lu.” Suara kekehan Kak Dian terdengar mengejek.“Nak Dian dan Ivan di sana. Biar Ibu yang di sini.” Sebuah perintah lain membuatku dan Kak Dian tak bisa membantah lagi. Ibu mengambil alih posisiku, mengusap lembut kening putri sulungnya dan memberi bisikan-bisikan yang kurasa berisi banyak makna, sebab setelahnya k
PoV IvanAku seperti berada di sebuah ruangan sempit, terkunci rapat dan membuatku tak bisa bernapas. Kilasan-kilasan kebersamaan selama lima tahun lebih pernikahanku dengan Aya berputar kembali di kepala seperti adegan film yang membuat dadaku semakin sesak terhimpit.Tahun-tahun bersama Cahaya adalah tahun-tahun terbaik dalam kehidupanku. Tentu saja jika ini adalah film, seharusnya ini adalah film romantis, bukan film sedih yang membuat dadaku sesak seperti ini. Akan tetapi, sesak ini semakin tak dapat kutahan saja. Tak kupeduikan lagi bagaimana rupaku sekarang. Aku terisak ketika sudah tak dapat menahan sesak, lalu kembali menghirup udara ketika merasa sudah hampir kehilangan napasku.Ruangan ini tentu saja bukanlah ruangan yang sempit mengingat aku sedang berada di ruang VIP salah satu rumah sakit ternama. Di ruangan ini aku juga tak sendirian, ada ibu, Candra dan kembarannya, Kak Dian dan Bang Malik, namun meski banyak orang di ruangan ini, tak ada satu pun di antara kami yang be
“Terima kasih buat keluarga dan teman-teman yang udah hadir malam ini.” Ivan mengambil momen, menghentikan alunan music akustik yang sedari tadi mengisi pendengaran. Pria itu mengucapkan terima kasih yang tulus pada keluarga kami yang hadir malam ini, lalu pada teman-teman dekat yang diundang khusus olehnya. Aku menatapnya dari tempatku duduk tepat di depan panggung kecil di mana ia berdiri. “Malam ini kami merayakan tahun kelima pernikahan. Aku dan Cahaya Kirana, istriku, sudah lima tahun bersama-sama.” Dia menatapku dari depan sana, dan tatapan itu selalu membuatku merasa dicintai. Ivan masih menatapku sambil bicara. “Aku jatuh cinta pada wanita ini sejak kami masih memakai almamater yang sama, lalu Tuhan begitu baik mempertemukanku kembali dengannya belasan tahun kemudian hingga kami menikah. Dan sejak menikahinya, aku masih jatuh cinta padanya setiap hari, masih saja jatuh cinta padanya berulang kali. Malam ini saya meminta doa pada kalian semua agar kami tetap dikuatkan dalam
“Terima kasih buat keluarga dan teman-teman yang udah hadir malam ini.” Ivan mengambil momen, menghentikan alunan music akustik yang sedari tadi mengisi pendengaran. Pria itu mengucapkan terima kasih yang tulus pada keluarga kami yang hadir malam ini, lalu pada teman-teman dekat yang diundang khusus olehnya. Aku menatapnya dari tempatku duduk tepat di depan panggung kecil di mana ia berdiri. “Malam ini kami merayakan tahun kelima pernikahan. Aku dan Cahaya Kirana, istriku, sudah lima tahun bersama-sama.” Dia menatapku dari depan sana, dan tatapan itu selalu membuatku merasa dicintai. Ivan masih menatapku sambil bicara. “Aku jatuh cinta pada wanita ini sejak kami masih memakai almamater yang sama, lalu Tuhan begitu baik mempertemukanku kembali dengannya belasan tahun kemudian hingga kami menikah. Dan sejak menikahinya, aku masih jatuh cinta padanya setiap hari, masih saja jatuh cinta padanya berulang kali. Malam ini saya meminta doa pada kalian semua agar kami tetap dikuatkan dalam
Lima tahun bersamanya, lima tahun penuh bahagia meski tak sedikit pula ombak kecil yang menghantam. Lima tahun bisa menjadi diriku sendiri setelah tahun-tahun sebelumnya terjebak dalam hubungan yang membuatku nyaris kehilangan kepercayaan diri. Malam ini Twin House ditutup untuk umum demi merayakan lima tahun pernikahan ku dan Ivan.Dekorasi anniversary sudah menghiasi Twin House, deretan-deretan makanan pun sudah tertata rapi di sana. Aku sendiri tak terlibat sedikit pun mempersiapkan malam ini, aku hanya memperhatikan kesibukan Iin yang berlalu lalang mengatur venue, lalu Byan yang mondar mandir menyusun catering. Sepasang kekasih itu kini benar-benar menjadi orang kepercayaanku dan Ivan.Aku juga sama sekali tak terlibat mengatur siapa saja undangan malam ini, sebab beberapa hari terakhir aku benar-benar hanya fokus pada diriku sendiri. Setelah siang itu di mana aku berbincang dengan Nindya dan baru menyadari ada yang aneh pada diriku, aku benar-benar melakukan pemeriksaan demi mem
“Emang akunya yang kecepatan sih, Ay. Sebenarnya janjinya agak sorean, tapi karena tadi kebetulan Mas Adam juga pas mau keluar, ya udah aku ikut aja. Aku nggak apa kan nunggu di sini?”“Nggak apa, Nin.”“Oiya, Aya. Aku tadi bareng Mas Adam,” katanya lagi tepat di saat sosok yang dibicarakannya itu muncul dari arah parkiran.“Hai, Aya. Gimana kabarmu?” Kaku sekali, pria itu menyapa.“Baik, Mas. Mas Adam gimana kabarnya?” Akupun menjawab sama kakunya. Kini aku mengerti mengapa Ivan berusaha menghindarkan pertemuan seperti ini. Aku dan dia pernah punya cerita, dan meski selalu berusaha untuk saling biasa saja, namun tak bisa dipungkiri akan ada kekakuan seperti ini saat berinteraksi.“Aku juga baik. Oiya, Ivan ada?”Kembali kujelaskan bahwa suamiku baru saja keluar.“Kalo gitu aku titip Nindya ya, Ay. Dia ada urusan dikit sama Ivan untuk urusan pekerjaan.” Mas Adam menjelaskan dengan detail urusan pekerjaan antara Nindya dan Ivan padaku.Aku kembali mengangguk setuju.“Ya udah, kutinggal
“Hari ini ikut ke Twin House, ya.”Ini sudah sebulan sejak kami kembali dari Bali setelah seminggu menikmati kebersamaan di sana. Dan untuk memenuhi permintaannya waktu itu agar aku mengurangi waktuku di butik, aku juga sudah mulai beradaptasi. Tentu tak ada alasan bagiku untuk tak mengikuti inginnya, apalagi alasan yang mendasari keinginannya sangat masuk akal.“Adam akan lebih sering datang ke kantorku, dan tentu saja akan lebih sering bertemu kamu juga. Bagaimanapun juga, kalian pernah memiliki cerita, aku hanya ingin menjagamu lebih baik lagi.”“Aku juga bakalan banyak pekerjaan, Aya. Dan keberadaanmu di sekitarku hanya akan membuatku tak bisa berkonsentrasi. Yang ada bukannya kerja, tapi malah ngerjain kamu.”Itu dua alasan yang membuatku menerima keingingannya, karena sejujurnya memang seperti inilah kebersamaan yang sejak dulu kuinginkan. Bertukar pendapat dengan pasangan, saling mendengarkan isi hati, saling memahami apa yang pasangan inginkan. Pernikahanku dengan Ivan adalah
“Dari mana, Pi?” Rasanya tak dapat kutahan kekesalanku hari ini. Bagaimana tidak? Kami tiba di villa sejak beberapa jam yang lalu, dan beristirahat sebentar. Lalu saat aku terjaga, tak kutemui pria itu di sudut mana pun sementara ponselnya tergeletak begitu saja di atas meja.“Udah bangun, Sayang? Gimana istirahatnya udah cukup belum?”Dan kesalnya lagi, Ivan justru menanggapi santai dengan kecupan di keningku.“Dari mana aja? Ponsel ditinggal nggak bisa dihubungi, tadi kan cuma mau istirahat bentar abis itu kita jalan-jalan. Kenapa malah ditinggalin berjam-jam gini?” Aku benar-benar kesal kali ini. Yang ada dalam pikiranku tadi, setelah tiba di villa, kami hanya perlu beristirahat sebentar lalu keluar dan menikmati liburan ini.Villa yang disewa Ivan kurasa bukan villa sembarangan. Lokasinya tepat menghadap ke pantai Jimbaran yang terkenal dengan keindahan sunset-nya. Bukan hanya aku, Kia dan Mbak Ri pun terlihat begitu antusias ketika tiba di villa ini tadi. Pemandangan pantai yang
Dari sini aku bisa melihat seperti apa hubungan kekeluargaan mereka di masa lalu yang sering Kak Dian ceritakan. Mungkin seperti inilah hubungan akrab mereka dulu di masa lalu sebelum semua hancur karena sebuah kesalahan. Tak ada yang perlu disesali, karena jika menyesali masa lalu, maka mungkin kehadiran Wira juga akan menjadi penyesalan. Padahal bocah yang memiliki banyak keisitimewaan itulah yang menjadi pemersatu kebersamaan kami ini.Tangan Ivan pun tak lagi selalu tertaut padaku. Kurasa dia juga sudah mulai menyadari bahwa Tari sudah berubah, setidaknya berusaha sangat keras untuk berubah.Dan hingga kebersamaan itu berakhir, kami semua seperti sedang menemukan kebahagiaan baru. Aku, Ivan dan Kia serta pengasuhnya melanjutkan liburan kami ke Bali, meninggalkan Tari dan anak-anaknya di rumah Kak Dian.“Aku bangga punya kamu, Aya.” Dan genggaman tangan itu kembali tertaut saat kami dalam perjalanan melanjutkan trip liburan. “Kalo bukan karena kebesaran hatimu, nggak akan ada keber