PoV IvanSosok wanita dengan balutan kebaya berwarna putih tulang yang kini melangkah ke arahku setelah tadi aku menyebut namanya dalam ikrar ijab kabul yang kuucapkan dengan lancar dan tenang.Cahaya Kirana, istriku!Tak dapat kusembuyikan perasaan bahagiaku ketika dengan takzim wanita yang kini sudah halal bagiku itu meraih tanganku lalu mencium dengan takzim punggung tanganku. Dan kutumpahkan semua rasaku saat aku mencium keningnya setelah itu.“Terima kasih, Istriku. Love u, Sunshine!”Kubisikkan kalimat itu dengan perasaan yang dalam, kulihat keharuan menyelimuti wanita kesayanganku itu.Satu hal lagi yang membuatku bernapas lega adalah, kehadiran Adam Haidar, mantan suami Aya di sana dan turut memberi ucapan selamat pada kami. Agak canggung, tapi rasa bahagia yang membuncah tak mampu lagi kusembunyikan. Meskipun kusadari aku meraih kemenangan ini dengan sedikit mencuranginya.Hal yang kemudian membuatku harus kecewa adalah, ternyata aku masih belum bisa menikmati malam-malam yan
PoV CahayaSiangnya, Tiara datang bersama perawat yang akan menjaga ibuku. Aku sendiri tak pernah memikirkan ini, tapi Ivan lah yang mengatur semuanya, menyuruh sekretarisnya mencari perawat terbaik untuk membantu merawat ibu, dan tentu saja dengan bayaran yang mahal. Pria itu memberi tatapan protes pada sekretarisnya karena menganggap Tiara terlambat menjalankan perintahnya, mencarikan perawat terbaik.“Pak Ivan kan ngasih perintahnya malam. Jadi baru bisa dapat siang ini, itu juga sudah minta bantuan beberapa orang. Nggak gampang mencari yang terbaik, Pak.” Gadis itu sudah memperlihatkan ekspresi hendak menangis saat Ivan memarahinya.Tiara memang tipe gadis yang cengeng. Sudah berkali-kali Ivan membuatnya menangis saat harus pasang badan ketika atasannya itu melenceng dari jadwal yang sudah disusunnya. Untungnya menurut Ivan, gadis itu sangat cerdas dan setia, maka dia tetap bekerja meskipun banyak kegilaan yang dilakukan boss belakangan ini, tepatnya sejak mengenalku.“Jangan dim
Aku terheran-heran melihat banyaknya karangan bunga berisi ucapan selamat atas pernikahan kami di depan rumah Ivan, bahkan berderet hingga ke depan pagar. Ternyata menurut Ivan, dia sudah menduga ini, karena ponselnya pun dari kemarin tak pernah berhenti berdering menerima ucapan selamat dari semua partner kerjanya sejak foto-foto pernikahan kami beredar.“Sebanyak ini?” Aku melongo.Kuperlambat jalanku dan membaca satu-persatu ucapan di karangan bunga. Sementara dia sudah tak sabar menarik tanganku yang lebih seperti menyeretku. Tadi saat aku minta mampir sebentar ke rumah ibuku dengan alasan mengambil beberapa pakaianku, dia sudah semakin terlihat gelisah. Mampir yang menurutku sebentar, sementara ia protes karena merasa terlalu lama. Reaksi yang berlebihan menurutku. Dan pria itu membuatku terheran-heran saat tadi tiba-tiba saja menyusul masuk ke dalam kamarku dan langsung mengunci pintu kamar.“Kenapa dikunci? Tunggu bentar lagi, aku masih milih pakaianku.”Dia berdecak kesal.“Bu
“Hufttt!” keluhnya setelah melepas bibirku.“Kenapa lagi?” tanyaku.“Celanaku sempit.” Dia tersenyum malu-malu,Astaga! Lucu sekali suamiku ini.Aku tertawa ngakak. “Sabar, ya,” kataku.Dia menarik tanganku ke arah depan tubuhnya, mengarahkan tanganku ke area pribadinya. Aku bisa merasakan betapa tersiksanya dia dari semalam. Karena aku sudah merasakan keinginan terbesarnya itu saat aku tertidur dalam peluknya di sofa semalam.“Dia udah nggak sabaran.” Tatapannya rapuh.Aku hanya menatapnya sekilas, lalu kemudian menarik tanganku dari sana. Kepalanya terhempas ke belakang saat aku dengan iseng menyapukan tanganku sebelum benar-benar menariknya dari sana.“Aya.” Dia menggumam, dengan sangat rapuh.“Cepat sedikit!” Dia setengah menyeretku ketika aku masih terus memperhatikan satu-persatu ucapan selamat di bunga-bunga yang berjejer.Dan kurasa ujiannya selanjutnya adalah sambutan Kak Dian saat dia baru saja hendak membuka pintu rumah.“Selamat datang pengantin baru!” sambut Kak Dian deng
“Terima kasih, Aya,” ucap lelaki yang kini terkapar di sampingku. Bibirnya tersenyum penuh kepuasan, matanya masih menatapku, membuatku tak tahan untuk kembali mengecup bibir tebal itu.“Ini yang pertama?” Entah mengapa aku menanyakan ini.Dia tak menjawab, hanya menoleh sekilas lalu memejamkan matanya. Namun, diamnya justru membuatku bertanya-tanya.“Ini yang pertama?” Aku mengulangi pertanyaanku, kali ini lebih kudekatkan lagi wajahku padanya.“Jangan nanya yang enggak-enggak, Sayang,” gumamnya, masih dengan mata tertutup, yang kini membuatku yakin jika jawabannya adalah tidak.“Jawab,” kataku. Dia membuka mata.“Nggak usah lihat ke belakang, Sayang. Nggak perlu bahas masa lalu, kita hanya perlu menatap ke depan.”Deg! Dan jawabannya makin membuatku yakin dengan dugaanku.“Jadi kamu sudah pernah? Kapan? Dengan siapa?”Hatiku tak terima. Kutepis tangannya saat Ivan berusaha meraih tanganku. Segera kuraih selimut dan menutupi tubuhku hingga leher. Rasa kecewa itu datang hanya selang b
“Seharusnya tadi kamu berbohong saja, agar tak membuatku justru merasa terluka. Ini malam pertama kita, dan aku tak menyangka justru mendapati kenyataan yang menyakitkan seperti ini.Tangannya memeluk sepanjang bahuku yang terbuka. Tak mampu kutepis tangan itu dari sana karena dia memeluk erat.“Justru karena ini malam pertama kita, Aya. Aku tak mau mengawali rumah tangga kita dengan berbohong. Aku hanya tak menyangka kamu akan menanyakan hal ini. Waktu itu aku sendirian, kesepian. Tak punya orang tua, sedangkan Kak Dian sibuk bekerja demi membiayai hidup kami dan juga membiayai kuliahku. Aku pria dewasa yang kemudian dihadapkan pada situasi hanya berduaan dengan seorang gadis. Meski tak ada rasa padanya, tapi godaan setan lebih kuat dari pada hanya sekedar mencari rasa.”Dadaku sesak membayangkannya.“Berapa kali?” tanyaku.“Hanya sekali itu, dan itu benar-benar karena khilaf. Tak ada niat untuk kembali mengulangnya. Aku justru menyesal dan berkali-kali memohon maaf padanya waktu itu
Kuhela napas dalam-dalam. Kurasa Ivan benar, tak ada gunanya membahas masa lalu. Toh semua sudah tertinggal di belakang, biarlah semua menjadi pelajaran bagi kami ke depannya. Biarlah pengalaman buruknya di masa lalu membuatnya semakin dewasa dan kelak bisa membimbing anak-anak kami untuk tidak terjatuh pada dosa yang sama. Benar kata Ivan, kami hanya perlu meluruskan niat, meminta ridho dari-Nya agar bisa menjalani rumah tangga kami dengan baik. Kurasa apa pun yang terjadi di masa lalunya, aku harus menerimanya sebagai bagian dari dirinya. Toh, dia sudah jujur padaku, meski sangat memungkinkan untuk dia berbohong. Bukankah tak ada bekas apa pun pada seorang lelaki setelah melakukannya? Berbeda dengan wanita yang bisa langsung terbaca. Tapi ternyata Ivan memilih jujur, dan seharusnya aku bangga padanya.Tapi tunggu! Pantas saja ada yang beda darinya. Kutatap matanya lekat-lekat.“Ada apa, Ay?” Dia menatap heran.“Pantesan,” kataku.“Pantesan apanya?”“Pantesan tadi kamu ... nggak kaku
Kak Dian mengarahkan ponselnya padaku. Aku buru-buru menarik rambutku, mengurainya ke depan untuk menutupi leher sambil menyengir ke arah kamera ponsel Kak Dian.“Jangan dengarin, Ay. Mereka emang gitu.” Ivan mengacak poniku.“Kak udah, deh. Kasihan Aya jadi salah tingkah gitu.” Ivan protes.“Oke. Udah dulu, ya, Pa. Nih vampire nya protes kita gangguin istrinya.” Kak Dian masih memprovokasi.Aku hanya tersenyum menyaksikan keakraban mereka.“Ay, kamu nggak pakai gaya yang aneh-aneh kan semalam?” Kak Dian membuatku tersedak.“Apaan sih, Kak?” Ivan mendelik, sambil menyodorkan segelas air putih padaku.“Aku udah bilang, kan, kalo adik kesayanganku ini sudah terbiasa cerita semua padaku. Semuanya! Aku takut kamu malu kalau dia cerita gimana malam pertama kalian.” Kak Dian berbicara sambil tertawa. Kurasa dia masih ingin menggoda adiknya.“Kak, buruan sarapan. Kuantar ke airport sekarang juga!”“Ehh sialan nih bocah udah berani ngusir kakaknya!”Kedua kakak beradik itu masih berdebat. Aku
“Kalian ini ya ... sama aja dua-duanya! Bucin gak ada obat emang!” Tak kupedulikan suara Kak Dian. Aku segera memeluk Aya sebisaku, membuatnya senyaman mungkin.“Untung bayimu nggak kembar, Ay. Kamu bayangin deh kalo dapat bayi kembar, punya tiga bayi kamu di rumah. Sanggup?” Kak Dian kembali bicara. “Kurasa yang paling ngerepotin sih bayi raksasamu yang ini, Ay.” Telunjuk Kak Dian mengarah padaku.“Jangan bikin Aya ketawa, Kak! Kakak nggak tau kan gimana rasanya ketawa pasca operasi lahiran?” Aku mengulangi kata-kata Kak Dian.“Oiya, sanggup puasa nggak lu, Bro! Empat puluh hari loh.” Kak Dian menekankan kata empat puluh. “Nggak bisa bikin anak orang keramas tiap hari lagi lu.” Suara kekehan Kak Dian terdengar mengejek.“Nak Dian dan Ivan di sana. Biar Ibu yang di sini.” Sebuah perintah lain membuatku dan Kak Dian tak bisa membantah lagi. Ibu mengambil alih posisiku, mengusap lembut kening putri sulungnya dan memberi bisikan-bisikan yang kurasa berisi banyak makna, sebab setelahnya k
PoV IvanAku seperti berada di sebuah ruangan sempit, terkunci rapat dan membuatku tak bisa bernapas. Kilasan-kilasan kebersamaan selama lima tahun lebih pernikahanku dengan Aya berputar kembali di kepala seperti adegan film yang membuat dadaku semakin sesak terhimpit.Tahun-tahun bersama Cahaya adalah tahun-tahun terbaik dalam kehidupanku. Tentu saja jika ini adalah film, seharusnya ini adalah film romantis, bukan film sedih yang membuat dadaku sesak seperti ini. Akan tetapi, sesak ini semakin tak dapat kutahan saja. Tak kupeduikan lagi bagaimana rupaku sekarang. Aku terisak ketika sudah tak dapat menahan sesak, lalu kembali menghirup udara ketika merasa sudah hampir kehilangan napasku.Ruangan ini tentu saja bukanlah ruangan yang sempit mengingat aku sedang berada di ruang VIP salah satu rumah sakit ternama. Di ruangan ini aku juga tak sendirian, ada ibu, Candra dan kembarannya, Kak Dian dan Bang Malik, namun meski banyak orang di ruangan ini, tak ada satu pun di antara kami yang be
“Terima kasih buat keluarga dan teman-teman yang udah hadir malam ini.” Ivan mengambil momen, menghentikan alunan music akustik yang sedari tadi mengisi pendengaran. Pria itu mengucapkan terima kasih yang tulus pada keluarga kami yang hadir malam ini, lalu pada teman-teman dekat yang diundang khusus olehnya. Aku menatapnya dari tempatku duduk tepat di depan panggung kecil di mana ia berdiri. “Malam ini kami merayakan tahun kelima pernikahan. Aku dan Cahaya Kirana, istriku, sudah lima tahun bersama-sama.” Dia menatapku dari depan sana, dan tatapan itu selalu membuatku merasa dicintai. Ivan masih menatapku sambil bicara. “Aku jatuh cinta pada wanita ini sejak kami masih memakai almamater yang sama, lalu Tuhan begitu baik mempertemukanku kembali dengannya belasan tahun kemudian hingga kami menikah. Dan sejak menikahinya, aku masih jatuh cinta padanya setiap hari, masih saja jatuh cinta padanya berulang kali. Malam ini saya meminta doa pada kalian semua agar kami tetap dikuatkan dalam
“Terima kasih buat keluarga dan teman-teman yang udah hadir malam ini.” Ivan mengambil momen, menghentikan alunan music akustik yang sedari tadi mengisi pendengaran. Pria itu mengucapkan terima kasih yang tulus pada keluarga kami yang hadir malam ini, lalu pada teman-teman dekat yang diundang khusus olehnya. Aku menatapnya dari tempatku duduk tepat di depan panggung kecil di mana ia berdiri. “Malam ini kami merayakan tahun kelima pernikahan. Aku dan Cahaya Kirana, istriku, sudah lima tahun bersama-sama.” Dia menatapku dari depan sana, dan tatapan itu selalu membuatku merasa dicintai. Ivan masih menatapku sambil bicara. “Aku jatuh cinta pada wanita ini sejak kami masih memakai almamater yang sama, lalu Tuhan begitu baik mempertemukanku kembali dengannya belasan tahun kemudian hingga kami menikah. Dan sejak menikahinya, aku masih jatuh cinta padanya setiap hari, masih saja jatuh cinta padanya berulang kali. Malam ini saya meminta doa pada kalian semua agar kami tetap dikuatkan dalam
Lima tahun bersamanya, lima tahun penuh bahagia meski tak sedikit pula ombak kecil yang menghantam. Lima tahun bisa menjadi diriku sendiri setelah tahun-tahun sebelumnya terjebak dalam hubungan yang membuatku nyaris kehilangan kepercayaan diri. Malam ini Twin House ditutup untuk umum demi merayakan lima tahun pernikahan ku dan Ivan.Dekorasi anniversary sudah menghiasi Twin House, deretan-deretan makanan pun sudah tertata rapi di sana. Aku sendiri tak terlibat sedikit pun mempersiapkan malam ini, aku hanya memperhatikan kesibukan Iin yang berlalu lalang mengatur venue, lalu Byan yang mondar mandir menyusun catering. Sepasang kekasih itu kini benar-benar menjadi orang kepercayaanku dan Ivan.Aku juga sama sekali tak terlibat mengatur siapa saja undangan malam ini, sebab beberapa hari terakhir aku benar-benar hanya fokus pada diriku sendiri. Setelah siang itu di mana aku berbincang dengan Nindya dan baru menyadari ada yang aneh pada diriku, aku benar-benar melakukan pemeriksaan demi mem
“Emang akunya yang kecepatan sih, Ay. Sebenarnya janjinya agak sorean, tapi karena tadi kebetulan Mas Adam juga pas mau keluar, ya udah aku ikut aja. Aku nggak apa kan nunggu di sini?”“Nggak apa, Nin.”“Oiya, Aya. Aku tadi bareng Mas Adam,” katanya lagi tepat di saat sosok yang dibicarakannya itu muncul dari arah parkiran.“Hai, Aya. Gimana kabarmu?” Kaku sekali, pria itu menyapa.“Baik, Mas. Mas Adam gimana kabarnya?” Akupun menjawab sama kakunya. Kini aku mengerti mengapa Ivan berusaha menghindarkan pertemuan seperti ini. Aku dan dia pernah punya cerita, dan meski selalu berusaha untuk saling biasa saja, namun tak bisa dipungkiri akan ada kekakuan seperti ini saat berinteraksi.“Aku juga baik. Oiya, Ivan ada?”Kembali kujelaskan bahwa suamiku baru saja keluar.“Kalo gitu aku titip Nindya ya, Ay. Dia ada urusan dikit sama Ivan untuk urusan pekerjaan.” Mas Adam menjelaskan dengan detail urusan pekerjaan antara Nindya dan Ivan padaku.Aku kembali mengangguk setuju.“Ya udah, kutinggal
“Hari ini ikut ke Twin House, ya.”Ini sudah sebulan sejak kami kembali dari Bali setelah seminggu menikmati kebersamaan di sana. Dan untuk memenuhi permintaannya waktu itu agar aku mengurangi waktuku di butik, aku juga sudah mulai beradaptasi. Tentu tak ada alasan bagiku untuk tak mengikuti inginnya, apalagi alasan yang mendasari keinginannya sangat masuk akal.“Adam akan lebih sering datang ke kantorku, dan tentu saja akan lebih sering bertemu kamu juga. Bagaimanapun juga, kalian pernah memiliki cerita, aku hanya ingin menjagamu lebih baik lagi.”“Aku juga bakalan banyak pekerjaan, Aya. Dan keberadaanmu di sekitarku hanya akan membuatku tak bisa berkonsentrasi. Yang ada bukannya kerja, tapi malah ngerjain kamu.”Itu dua alasan yang membuatku menerima keingingannya, karena sejujurnya memang seperti inilah kebersamaan yang sejak dulu kuinginkan. Bertukar pendapat dengan pasangan, saling mendengarkan isi hati, saling memahami apa yang pasangan inginkan. Pernikahanku dengan Ivan adalah
“Dari mana, Pi?” Rasanya tak dapat kutahan kekesalanku hari ini. Bagaimana tidak? Kami tiba di villa sejak beberapa jam yang lalu, dan beristirahat sebentar. Lalu saat aku terjaga, tak kutemui pria itu di sudut mana pun sementara ponselnya tergeletak begitu saja di atas meja.“Udah bangun, Sayang? Gimana istirahatnya udah cukup belum?”Dan kesalnya lagi, Ivan justru menanggapi santai dengan kecupan di keningku.“Dari mana aja? Ponsel ditinggal nggak bisa dihubungi, tadi kan cuma mau istirahat bentar abis itu kita jalan-jalan. Kenapa malah ditinggalin berjam-jam gini?” Aku benar-benar kesal kali ini. Yang ada dalam pikiranku tadi, setelah tiba di villa, kami hanya perlu beristirahat sebentar lalu keluar dan menikmati liburan ini.Villa yang disewa Ivan kurasa bukan villa sembarangan. Lokasinya tepat menghadap ke pantai Jimbaran yang terkenal dengan keindahan sunset-nya. Bukan hanya aku, Kia dan Mbak Ri pun terlihat begitu antusias ketika tiba di villa ini tadi. Pemandangan pantai yang
Dari sini aku bisa melihat seperti apa hubungan kekeluargaan mereka di masa lalu yang sering Kak Dian ceritakan. Mungkin seperti inilah hubungan akrab mereka dulu di masa lalu sebelum semua hancur karena sebuah kesalahan. Tak ada yang perlu disesali, karena jika menyesali masa lalu, maka mungkin kehadiran Wira juga akan menjadi penyesalan. Padahal bocah yang memiliki banyak keisitimewaan itulah yang menjadi pemersatu kebersamaan kami ini.Tangan Ivan pun tak lagi selalu tertaut padaku. Kurasa dia juga sudah mulai menyadari bahwa Tari sudah berubah, setidaknya berusaha sangat keras untuk berubah.Dan hingga kebersamaan itu berakhir, kami semua seperti sedang menemukan kebahagiaan baru. Aku, Ivan dan Kia serta pengasuhnya melanjutkan liburan kami ke Bali, meninggalkan Tari dan anak-anaknya di rumah Kak Dian.“Aku bangga punya kamu, Aya.” Dan genggaman tangan itu kembali tertaut saat kami dalam perjalanan melanjutkan trip liburan. “Kalo bukan karena kebesaran hatimu, nggak akan ada keber